Haryo menyepak abu
bekas perapian di depan pondok. Barata ada di kemarin malam. Dia barusan
melihat isi pondok dan menemukan kain yang dari bentuknya digunakan untuk
mengikat. Kemungkinan mengikat kaki dan tangan seseorang. Puteri Anggoro. Tapi
kenapa? Kenapa dia harus diikat?
Diperiksanya sekitar
pondok. Jejaknya mengarah ke sungai lalu menghilang. Haryo meraup air sungai
dan membasuh wajahnya dengan air itu. Dia kemudian minum sedikit. Rambutnya
yang tidak terlalu gondrong dibasahi, dari arah depan ke belakang. Otaknya
berpikir, apa yang akan dia lakukan kalau dia adalah Barata.
Sudah jelas ada lebih
dari empat orang yang menginap di tempat itu, meskipun jejaknya berusaha
dihilangkan. Mereka berjalan ke sini, lalu menyusuri sungai. Haryo masuk ke
dalam sungai dan mulai berjalan. Berjalan berombongan akan memperlambat sampai
ke tempat tujuan, jadi kemungkinan mereka akan berpisah di suatu tempat.
Puteri Anggoro adalah
kekasih Pangeran Palawa, apa Barata akan membawa dia kepadanya? Barata
diduganya menuju kotaraja, padahal saat ini Pangeran Palawa sedang tidak ada di
istana. Bukan pilihan yang bijak mengingat orang-orang mengenalnya. Seharusnya
dia bersembunyi dahulu di suatu tempat sampai keadaan benar-benar aman.
Haryo berhenti. Tanah
di pinggir sungai sebelah sana agak berbeda. Diseberanginya sungai dengan
cepat. Mereka mencoba mengaburkankan jejak kaki itu, tapi Haryo terlalu pintar
untuk diperdaya. Mungkin ini saatnya mencari Barata tanpa direcokin
Jayengwangsa dan prajuritnya. Haryo bergegas kembali ke pondok. Sudah ada
Jayengwangsa dan anak buahnya di situ.
“Mereka menginap di
sini?” tanya Jayengwangsa.
“Iya.” Haryo mengangguk
dan melewati orang itu, menuju kudanya. “Mereka menyeberangi sungai. Aku
melihat jejaknya. Mereka pasti akan berpencar. Kurasa kita juga.” Haryo naik ke
atas kuda. “Mereka ke arah timur dan utara. Kemungkinan Puteri Anggoro dan ketua
penculik berpisah arah untuk mengecoh kita dan akan bertemu lagi di suatu
tempat. Aku akan mengambil arah timur.”
“Tunggu, kami saja yang
ke timur. Anda yang ke utara.”
Haryo tersenyum dalam
hati, umpannya dengan mudah ditangkap Jayengwangsa. “Kenapa? Aku mengenal
Kepala Merah, aku pernah ketemu dengannya, sedangkan kau belum.”
“Anak buahku pernah
melihatnya. Biarkan kami yang ke timur.”
“Baiklah kalau kalian
memaksa. Ayo, Bintang, jalan!” Haryo menepuk perut kudanya dengan kaki dan kuda
itu bergerak. “Bodoh,” gumamnya setelah meninggalkan orang-orang itu. Dia tahu
Jayengwangsa akan memilih arah yang dipilihnya. Orang seperti dia selalu ingin
cari muka. Kalau dia bisa menangkap Barata, sesumbarnya pasti luar biasa. Kalau
bisa.
***
Tumengung Sukmo meneguk
air dari kendi. Laki-laki tinggi kurus itu gelisah menunggu kedatangan
seseorang.
“Kita sudah dua kali
bertemu di sini, tempat ini tidak aman lagi. Lain kali cari tempat lain.” Orang
yang ditunggunya sudah datang. Tumengung Sukmo berdiri menyambut laki-laki
tinggi berkumis lebat itu. “Aku akan sebentar saja. Aku sangat kecewa padamu.
Kalau pekerjaan kecil begini saja tidak bisa beres, bagaimana mungkin aku akan
mengajakmu naik bersamaku? Puteri itu seharusnya sudah mati. Dia terlalu tahu
banyak rencana kita.”
“Dia sayuran, Tuan.
Tabib saya sudah memastikan dia tidak akan bicara.”
Sikap tubuh laki-laki berkumis
itu makin kaku, tanda dia marah. “Kau bisa menjamin itu? Dia dibawa kabur. Dan
apapun ramuan yang diberikan tabibmu padanya juga bisa dinetralkan oleh tabib
lain. Kau membahayakan rencana kita. Aku sudah memperingatkanmu untuk
membunuhnya langsung saat itu juga, tapi kau malah membuatnya dipenjara
terlebih dahulu. Bodoh!”
“Itu juga untuk
mengalihkan perhatian orang, Tuan. Hukum harus kelihatan berjalan, sehingga
orang-orang tidak akan curiga. Pihak istana selalu saja memantau, apalagi Puteri
Anggoro masih keluarga jauh menteri. Dengan pengadilan yang sesuai hukum,
mereka tidak ada alasan lagi untuk menyelidiki lebih jauh.” Tumenggung Sukmo
membela diri.
“Jangan mencari alasan,
Sukmo. Aku mau semua tuntas sampai akarnya. Rencana ini tidak boleh bocor.
Sebaiknya Puteri Anggoro ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, atau kau yang
akan menggantikannya. Aku tidak peduli bagaimana caramu. Kuberi waktu dua hari.
Nyawanya atau nyawamu.”
Orang itu pergi,
meninggalkan Tumengung Sukmo yang terduduk lemas.
“Jayengwira, cari
perempuan yang mirip Anggoro. Kita harus menjalankan rencana cadangan,”
perintah Tumenggung Sukmo kepada bawahannya.
“Baik, Tuan.”
***
3 comments:
can't wait to read the next chapter mbak ...
ini yang bakalan jd novel barunya ya mbak? :)
Mbak buat dong DIA part II penasaran sama kelanjutan Denia sama saka
Hai, Breliantina dan Indah.
Untuk novel Gandrung ini rencananya akan kuposting di blog sampai selesai, gratis tis tis hehehe.
Tentang DIA part II...hmm... ;)
Post a Comment