Singo Abang mengambil
sobekan kain warna merah yang terikat di salah satu cabang perdu ketika mereka
akan melewati hutan Wonorogo. Hutan ini adalah hutan terakhir yang akan mereka
lewati untuk menuju kotaraja.
“Ada apa, Bang?” tanya
Enggar. Dia cukup tahu kalau ada sesuatu yang nggak beres. Wajah laki-laki itu
terlalu serius.
“Kita harus memutar,
tidak bisa melewati hutan ini,” kata Singo Abang.
“Kenapa, Ketua?” tanya
Bogar.
“Jandul bilang komplotan
Kolojinggo beraksi lagi. Musim dagang dengan orang-orang Cina sudah dimulai.
Banyak barang yang lewat, banyak perampokan yang terjadi. Untuk saat ini mereka
akan mengira siapa pun yang lewat membawa barang dagangan atau barang berharga,
jadi hampir bisa dipastikan kita bakal dihadang. Kita akan kerepotan kalau
nekat masuk. Jadi sebaiknya kita memutar.”
“Kalau memutar menambah
berapa hari lagi?” tanya Enggar. Dia sudah capek berkuda. Tiap kali turun inginnya
merebahkan diri saja.
“Dua sampai tiga hari.”
Singo Abang memutar arah kudanya.
“Kalau masuk hutan
ini?” tanya Enggar lagi. Singo Abang mengacungkan jari telunjuknya, menandakan
satu hari. “Kita masuk hutan ini saja. Biar cepat sampai. Sudah capek.”
“Kamu tidak mendengar
apa yang kukatakan tadi? Kita hanya bertiga. Bogar hanya tahu sedikit ilmu
beladiri dan kamu tidak bisa sama sekali. Kalau hanya lima sampai sepuluh orang
aku masih sanggup menghadapi. Kalau puluhan, namanya berniat mati konyol,” kata
Singo Abang, entah realistis atau pesimis.
“Kalau aku jadi
rampoknya, aku keder kok liat tampangmu, Bang. Sesama perampok dilarang saling
mendahului. Iya kan?” kata Enggar cengengesan.
“Jangan melucu. Kita
memutar,” putus Singo Abang, mengarahkan kudanya ke timur. Tidak sampai
setengah jam mereka berkuda, mereka melihat ada asap di kejauhan. Semakin dekat
ke desa, semakin terlihat jelas asap itu.
“Apa ada kebakaran?”
tanya Enggar sambil melongokkan kepala dari balik punggung Singo Abang.
Desa itu seperti medan
perang. Jeritan wanita dan anak-anak dimana-mana. Beberapa rumah habis
terbakar. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Enggar sampai mual-mual dan sakit kepala
melihatnya.
Ada suara pedang beradu
dan teriakan nyaring. Singo Abang memacu kudanya. Pedang sudah dihunus. Bogar
juga demikian. Bukan pedang yang dihunus, tapi pisau dapur besar.
Terlihat seorang lelaki
gundul berkelahi melawan tiga orang.
Jandul.
“Bogar, jaga Enggar.”
Singo Abang melompat turun dan membantu Jandul.
Enggar gemetaran di
atas kuda. Dia harus bagaimana? Dia pernah berantem, satu lawan satu. Itu pun
jambak-jambakan. Kalau berbanyak begini ngeri juga.
Seorang bocah kecil
menangis. Dia memanggil-manggil ibunya. Rumah di dekatnya yang sedang terbakar
mulai berjatuhan palang-palangnya. Tanpa sadar Enggar turun dari kuda dan
berlari ke arah bocah itu. Disambarnya si bocah sebelum rumah itu ambruk dan
penyangganya mengenainya.
“Anakku!” Seorang
wanita keluar dari samping rumah yang lain. Dia menghambur ke arah Enggar.
Didekapnya bocah itu dengan tubuh gemetaran. “Terima kasih, Tuan.” Perempuan
itu bergegas lari mencari tempat yang aman.
Bogar menarik tangan
Enggar, hendak membawanya kembali. Tapi tiba-tiba dari arah belakang muncul
seseorang dengan golok dan hampir menebas Bogar kalau Enggar tidak berteriak
dan menariknya ke depan.
Si penyerang
menggerak-gerakkan golok di tangannya. Bogar berbalik dan melindungi Enggar di
belakangnya.
Datang lagi seseorang
dari samping, langsung menyerang ke arah Enggar dengan belati. Enggar spontan
berlari, tanpa memikirkan arah.
“Ketua! Den Enggar!”
teriak Bogar. Singo Abang yang baru saja melumpuhkan dua orang langsung melesat
ke arah Bogar. “Ke sebelah sana!”
Lari Enggar terhenti.
Orang yang tadi mengejar di belakangnya sudah ada di depan. Seringainya begitu
menjijikkan, sepertinya tidak pernah sikat gigi.
“Jangan macam-macam
padaku! Aku punya jurus andalan yang tidak pernah kau lihat di manapun,” ancam
Enggar, sambil bergerak kesana kemari dengan hitungan satu sampai delapan. Dia
bersenam kesegaran jasmani! Gerakan apapun jadilah asal bisa mengulur waktu.
Rampok di depannya
terbengong-bengong.
“Awas ada sapi gila!”
seru Enggar sambil menunjuk ke belakang. Si penjahat spontan menengok ke
belakang dan hal itu dimanfaatkan oleh Enggar untuk melarikan diri. Langkahnya
terhenti ketika ada sesuatu melesat cepat melewati sisi kanan kepalanya, hanya
berjarak sejengkal. Benda itu, sebuah belati, menancap ke batang pohon di
depannya. Enggar menoleh ke belakang dan mendapati penyerangnya sudah menyusul,
bahkan melemparkan belatinya lagi. Gadis itu menjerit, menutup wajahnya dengan
kedua tangan.
Lho, tidak ada yang
terasa sakit. Enggar membuka tangan dan memeriksa seluruh tubuhnya. Lemparan
belati itu tidak mengenainya. Saat dia menengadahkan kepala untuk mengetahui
apa yang akan diperbuat lagi oleh penyerangnya, napasnya tertahan. Penyerangnya
ternyata sudah terkapar di tanah dengan anak panah tertancap di punggung.
“Ciaaaaat..!” Ada suara
keras di belakang Enggar. Rampok yang menyerang Bogar mengayunkan golok padanya
dan Enggar hanya mematung.
Jleb!Anak
panah melesat melewati kepala Enggar dan menancap tepat di dada si pembawa
golok, membuat gadis itu pingsan karena ketegangan dan ketakutan yang
berlebihan.
Singo Abang yang berlari
ke arah Enggar terlambat menangkap tubuhnya. Enggar keburu jatuh ke tanah.
Segera diperiksanya gadis itu, memastikan tidak terluka. Orang yang membidikkan
panah dari atas punggung kudanya tersenyum melihat Singo Abang.
“Akhirnya kutemukan
juga kau, Barata.” Laki-laki di atas kuda yang masih memegang busur itu
bertanya.
“Jangan sekarang,
Haryo. Kamu tidak melihat aku sedang sibuk?” Singo Abang mengangkat tubuh
Enggar, sementara Bogar dan Jandul mengambil kuda-kuda mereka. Singo Abang
menaikkan Enggar ke atas punggung kuda, baru kemudian dia naik. Diraihnya tubuh
Enggar dan didudukkan di depannya.
“Hei hei, enak saja mau
langsung pergi,” seru Haryo ketika Singo Abang hendak meninggalkannya.
“Urusan pribadi kita
bisa diselesaikan belakangan. Aku tidak ada waktu untuk bertarung denganmu,”
ucap Singo Abang serius.
“Aku mencarimu bukan
untuk membuat perhitungan. Aku ditugaskan untuk menangkapmu. Kamu buronan,
kepalamu berharga lumayan.” Haryo menghadang Singo Abang. “Itu Puteri Anggoro?”
tanya dia.
“Bukan. Namanya Enggar,”
elak Singo Abang.
“Ayolah, jangan bohong.
Meskipun aku belum pernah melihat Puteri itu secara langsung, aku bisa
mengenalinya. Walau dia berdandan laki-laki, dia tetap terlihat perempuan
bagiku.” Haryo tersenyum.
“Bisa juga kamu
mengenali perempuan,” kata Singo Abang. Haryo, teman sekaligus rivalnya itu
selama ini hanya tertarik dengan ilmu beladiri. Belum ada gadis yang bisa
menarik hatinya. Padahal di kalangan puteri-puteri istana, Haryo sangat
populer. Dia tampan, rapi, bersih dan wangi. Berbeda seratus delapan puluh
derajat dengan Singo Abang saat ini.
“Kamu membawanya kabur
saat dia mau menjalani pengadilan, Barata. Itu sama saja menemaninya menjalani
hukuman. Puteri Anggoro terbukti bersalah.”
“Satu, dia Enggar,
bukan Puteri Anggoro. Dua, Puteri Anggoro tidak bersalah. Bisa kau menyingkir
sekarang?” Singo Abang mulai menggerakkan tali kuda. Dia benar-benar ingin
pergi segera dari hadapan Haryo.
Haryo seketika
membentangkan busur dan anak panah, mengarahkan ke muka Singo Abang. Saat itu
juga pedang Jandul terhunus di muka Haryo, begitu pun pisau dapur Bogar. Haryo
tertawa. Setahun tidak bertemu Barata, dia sudah mempunyai anak buah yang
loyal. Tidak mengira si penyendiri itu bisa juga berinteraksi dengan orang
lain. Kemajuan.
Haryo menyarungkan
pedangnya. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi.”
“Kamu masih mau membawa
kepalaku ke Tumengung Sukmo? Kamu mau jadi orang suruhan?” tanya Singo Abang
sinis.
“Ini tidak ada
hubungannya dengan Tumengung Sukmo. Orang tuamu yang memintaku membawamu pulang.
Tapi tentu saja bukan karena keduanya aku mencarimu. Kita masih ada urusan,”
ujar Haryo dengan tatapan mata tajam.
“Perkara sepele masih
saja kamu ingat. Kita sudah setahun tidak bertemu, lupakan saja masalah itu.
Aku saja sudah tidak ingat,” sahut Singo Abang.
“Utang tetap utang,
Barata. Kita harus bertanding. Panah dan pedang. Dan jangan mengalah lagi.”
Haryo bersikeras.
“Aku memang kalah, guru
juga mengetahui itu, untuk apa diperpanjang. Sekarang kembali saja ke rumah,
bilang pada orangtuaku aku baik-baik saja.”
“Rasa penasaranku harus
dijawab, Bar. Kamu memang gila, tapi tidak sembrono. Apa yang membuatmu yakin
dia tidak membunuh Sukmana?”
“Apa yang membuatmu
yakin aku tidak sembrono?” Singo Abang alias Barata balik bertanya.
Haryo tidak menjawab. “Jadi
dia benar-benar tidak bersalah?” Busur di tangannya diturunkan dan anak panah
dikembalikan ke tempatnya semula.
“Aku yakin begitu. Aku
hanya perlu bukti-bukti. Ada sesuatu yang besar di balik kejadian ini. Kamu
pasti berpikir sama.” Singo Abang memberi kode Jandul untuk mendekat. “Jandul,
kamu dan Bogar bantu orang-orang di sini. Banyak yang terluka. Aku harus
membawa Enggar pergi dulu. Cari tahu siapa yang menyerang tadi. Aku mendengar
akhir-akhir ini banyak desa yang diserang. Sepertinya ada yang ingin merusak
stabilitas keamanan kerajaan. Kalian nanti menyusul kalau sudah selesai di sini,”
perintah Singo Abang.
“Ketua tidak apa-apa bersama dia?” tanya Bogar,
melirik ke arah Haryo.
“Dia temanku, aku akan
baik-baik saja.”
Akhirnya Jandul dan
Bogar ditinggal dulu untuk membantu penduduk desa sekaligus mencari infomasi
tentang penyerangan barusan, sementara Singo Abang dan Haryo mencari tempat
terdekat untuk menyadarkan Enggar.
Menjelang malam mereka
tiba penginapan di sebuah desa. Singo Abang membaringkan Enggar di atas balai-balai
yang hanya dilapisi tikar. Setelah itu dia keluar sebentar mencari air.
Haryo yang masih ada di
ruangan berdiri di samping balai-balai, mengamati gadis yang masih tidak
sadarkan diri itu. Dari berita mulut ke mulut, Puteri Anggoro terkenal cantik. Tidak
salah. Hanya saja dia tampak lemah, kurus dan tak terurus. Meragukan kalau dia
punya kemampuan membunuh. Kalau Haryo tidak melepaskan anak panah ke dua orang
tadi, mungkin puteri itu sudah mati.
Tapi entahlah. Orang
yang terlihat lemah belum tentu tidak berbahaya.
Mata Enggar terbuka
perlahan. Seiring kesadarannya yang terkumpul, mulai tampaklah kayu-kayu
penyangga genting, lalu dinding dari bambu. Enggar menggerakkan kepalanya ke
samping. Satu denyutan nyeri terasa di belakang lehernya. Mata Enggar menutup,
alis dan dahinya berkerut menahan sakit. Dia mengerjap beberapa kali baru
kemudian bisa melihat jelas wajah seseorang.
Ganteng. Bukan si
berewok. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, matanya bagus, alisnya juga.
Senyumnya luar biasa indah. Enggar bersorak dalam hati. Dia sudah tidak berada
di jaman Majapahit.
“Sudah sadar?”
Tiba-tiba seraut wajah berbulu menggantikan wajah tampan itu. Singo Abang
jongkok tepat di samping balai-balai,
menutupi keberadaan Haryo. Enggar langsung menutup mukanya. Kecewa berat.
“Minum dulu.” Singo Abang menyodorkan air di cawan kecil.
Enggar menurunkan kaki,
duduk di tepi balai-balai. Meminum air yang diberikan Singo Abang dengan
tatapan mata ke arah cowok di belakang laki-laki itu.
“Kamu tidak apa-apa?”
tanya Singo Abang pada Enggar.
Enggar menggelengkan
kepala. Matanya tidak sengaja melihat bajunya yang kotor karena abu. “Bagaimana
dengan desa yang dibakar itu? Penjahatnya sudah diusir? Dimana Pak Bogar? Dia
nggak terluka?” Enggar parno begitu mengingat kejadian terakhir yang
dialaminya.
“Penjahat-penjahatnya
sudah bisa diusir. Bogar dan Jandul masih berada di sana untuk membantu
penduduk desa. Kamu harus berterima kasih pada Haryo, dia yang
menyelamatkanmu,” kata Singo Abang sambil menoleh ke arah Haryo. Haryo
melambaikan tangan dan tersenyum di sana.
“Jadi dia yang memanah
orang-orang itu? Apa mereka mati? Orang yang kamu panah?” tanya Enggar. Haryo
menaikkan bahu. “Terima kasih sudah menolongku. Tapi yang kamu lakukan
mengerikan sekali. Membunuh orang itu melanggar hukum. Nggak boleh.”
“Lucu sekali kamu
mengatakan begitu, padahal kamu sudah membunuh Sukmana,” kata Haryo. Singo
Abang melirik Haryo dengan galak.
“Eh, Mas, aku baru di
sini enam hari, pembunuhan Raden Sukmana itu hampir dua pekan lalu. Kalau Mas
mengira aku Puteri Anggoro, itu salah besar. Namaku Enggar Penggalih.” Enggar
meminum lagi air yang ada di cawan. “Tahu nggak, tadi waktu aku bangun aku
sudah seneng banget, kukira aku sudah kembali ke Depok, taunya masih di sini,” katanya.
“Kalau di fim Back to the Future,
Martin McFly dan Doc bisa ke masa lalu dan ke masa depan karena menggunakan
kendaraan dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Di Chronicle of Narnia, tokohnya bisa masuk ke negeri Narnia melalui
lemari tua ajaib. Di film Enchanted, Puteri
Gissele terkirim ke New York lewat sumur. Nah aku? Aku pingsan dan tiba-tiba
saja ada di sini, bagaimana cara kembali ke jamanku lagi? Aku sudah beberapa
kali pingsan, tapi tetap saja ada di sini?”
“Bicaranya tidak keruan,” bisik Haryo pada
Singo Abang, disambut dengan kode Singo Abang agar Haryo mengikutinya keluar.
Enggar yang ditinggal
di kamar membaringkan tubuhnya lagi. Mengingat-ingat kejadian di desa tadi.
Rasanya masih tidak percaya itu nyata. Pembakaran sebuah desa dan pertarungan
dengan senjata. Asli terluka dan asli berdarah. Sudah enam hari dia berada di
Majapahit. Sampai kapan dia akan berada di tempat ini?
Di luar, Singo Abang
menceritakan tentang “Puteri Anggoro” kepada Haryo dan hanya ditanggapi dengan
tawa tidak percaya.
“Dari masa depan? Dia
pura-pura gila ya, Bar?”
“Kurasa dia mengatakan
yang sebenarnya. Kamu lihat sendiri bahasa yang digunakannya. Bukan begitu gaya
puteri bicara. Tahu tidak, dia bilang Gajah Mada akan menjadi mahapatih.”
“Benarkah? Paman Gajah
Mada jadi mahapatih?” Haryo menggelengkan kepala. “Tapi mungkin juga. Dia
berani, pandai berdiplomasi dan ahli
siasat perang. Kembali ke masalah Enggar tadi. Bagaimana mungkin orang dari
masa ratusan tahun di depan bisa berada di sini?”
“Itu yang dia mau cari
jawabannya. Itu juga yang ingin aku ketahui. Keadaannya serba repot, Har. Kalau
dia benar-benar Enggar, maka tidak akan ada ingatan mengenai Puteri Anggoro,
yang berarti aku tidak bisa menggali informasi darinya mengenai pembunuhan
itu.” Singo Abang menghela napas pendek.
“Menurutmu ada rencana
besar di balik pembunuhan itu?”
“Ya. Aku sudah
menyelidiki tentang Tumengung Sukmo. Dia orangnya Adipati Sadeng. Pangeran
Palawa memantau Adipati Sadeng sudah cukup lama. Pengeran Palawa mencurigai
sesuatu, makanya dia mengirim orang ke Kadipaten untuk mengetahui kemana arah
rencananya. Kalau bisa menggali informasi dari Tumengung Sukmo, mungkin bisa
tahu maunya Adipati Sadeng.”
“Orang yang dikirim itu
Puteri Anggoro?”
“Kupikir bukan. Puteri
Anggoro datang ke Kadipaten Sadeng untuk belajar sastra. Kebetulan dia belajar
di tempat Sukmana belajar. Suatu hari Sukmana mengundang Puteri Anggoro ke
Mertabumi untuk menghadiri pertemuan para sastrawan. Sehari sebelum kembali ke
Sadeng, Puteri Anggoro dan Sukmana terlihat bertengkar dan malamnya Puteri
ditemukan di kamar Sukmana dengan senjata berdarah di tangannya.” Singo Abang
mengelap wajahnya. “Entahlah, itu terlalu mudah, sepertinya sudah diatur
sedemikian rupa.”
“Jadi menurutmu Puteri
Anggoro dijebak?”
“Aku menduga Puteri
Anggoro mendengar apa yang seharusnya tidak didengar dan dia disingkirkan,”
duga Singo Abang. “Sepanjang yang kutahu, Sukmana anak baik-baik, hanya
tertarik pada kesenian dan sastra. Justru bapaknya Sukmana, Tumenggung Sukmo,
yang perlu diselidiki lebih lanjut. Dia abu-abu dan ambisius.”
“Menurutmu dia ingin
maju melalui Adipati Sadeng? Bahkan sampai mengorbankan anaknya?” tanya Haryo.
“Kekuasaan menggelapkan
mata, teman. Seperti tidak tahu saja.”
“Bagaimana kalau
pembunuhan itu terkait masalah asmara. Puteri Anggoro calon istri Pangeran
Palawa. Kedekatannya dengan Sukmana bukan sesuatu yang pantas.” Haryo mencoba
melihat dari sisi lain.
“Ehem. Permisi. Maaf,
mengganggu sebentar.” Enggar menyela pembicaraan mereka. “Boleh aku bicara
denganmu, Bang?”
“Ada apa?” Singo Abang
mendekat.
“Aku ingin tahu
rencanamu besok seperti apa? Jadinya kamu akan membawaku menemui hakin
Jogoroso, menemui Pangeran Palawa, atau Mpu Soma?” tanya Enggar. Sebelum Singo
Abang menjawab, Enggar sudah melanjutkan omongannya. “Kalau kita menemui hakim
Jogoroso dahulu, kurasa itu nggak ada gunanya. Aku bukan Puteri Anggoro, jadi
aku sama sekali tidak ingat tentang apa saja yang dialaminya, jadi nggak ada
kasus yang bisa direview sama Pak
Jogo. Per-cu-ma,” kata Enggar dengan gaya Bang Haji. “Jadi opsi pertama kita
coret saja ya. Opsi kedua, bertemu dengan Pangeran Palawa, yang kau bilang dia
cowokku. Itu otomatis juga harus dicoret. Aku bukan ceweknya. Dia bisa sakit
encok kalau tahu Puteri pujaannya yang lemah lembut santun gemulai jadi
amburadul begini. Ya kan?” kata Enggar polos.
“Hahaha...” Haryo tertawa
lagi. Makin lama Enggar makin menarik hatinya.
“So, diputuskan kita ketemu Mpu Soma saja untuk menganalisa
keadaanku. Syukur-syukur dia bisa membantuku mencari cara untuk kembali ke masa
depan. Semakin cepat aku kembali, semakin cepat Bang Singo mendapatkan Puteri
Anggoro yang asli, semakin cepat pula kasus yang kau selidiki selesai.” Enggar
bertepuk tangan sambil nyengir, membuat Singo Abang hanya bisa menatapnya saja.
“Kenapa temanmu itu ketawa terus, apanya yang lucu?” Enggar menggerak-gerakkan
kepalanya menunjuk ke arah Haryo. “Jadi bagaimana, Bang? Berapa lama lagi
perjalanan ke Mpu Soma? Sehari? Dua hari? Kita berangkat saja sekarang, gimana? Untuk mempersingkat waktu. Yuk!”
“Haha...kamu bisa
membuat Barata bengong, bagus sekali.” Haryo mendekati Enggar dan menepuk
pundaknya. “Hei, aku belum pernah melihat wajahnya begitu tolol, kecuali saat
berhadapan dengan Shiao Lan,” bisiknya.
“Kamu tadi bukannya
bertanya apa rencanaku, kenapa malah kamu yang menentukan kemana dan kapan kita
pergi?” tanya Singo Abang.
“Siapa Barata?” Enggar
bertanya pada Haryo. Haryo menunjuk Singo Abang. “Siapa Shiao Lan?” bisik
Enggar.
Haryo hanya berdehem
tanpa menjawab pertanyaan Enggar. “Hei, kamu mau kita pergi malam ini? Ide
bagus itu. Aku akan menemanimu,” kata Haryo. Enggar menganggukkan kepala dengan
antusias.
“Jangan sembarangan
ya.” Singo Abang menghalangi mereka. “Perjalanan malam hari tidak aman, apalagi
akhir-akhir ini...”
“Eh, justru kalau kita
terlalu lama di suatu tempat malah tidak aman. Kamu ini masih belum sadar kalau
jadi buronan? Jayengwangsa ada bersamaku di Wonokawi. Mungkin saat ini dia
sudah tahu kalau aku menipunya dan menurut perhitunganku dia sudah menuju
kesini.”
“Mereka tidak
mengetahui identitasku,” kata Singo Abang kalem.
“Mereka mengenali
Anggoro. Walau sudah menyamar, ada kemungkinan ketahuan. Lihat saja, masih
cantik begini.” Kalau Haryo tidak yakin gadis di hadapannya bukan Puteri
Anggoro, dia tidak akan berani berkata seperti itu.
“Tuh kan, Bang.” Enggar
tersenyum tersipu malu dibilang cantik. “Sudah, kita pergi saja sekarang.”
“Kamu yakin? Katamu bosan
berkuda terus-terusan,” kata Singo Abang
“Keselamatan lebih
penting. Oh ya, Mas Haryo, pelana kudanya lebih empuk daripada pelana kuda Bang
Singo nggak?” tanya Enggar.
“Memangnya kenapa?”
tanya Haryo dan Singo Abang bersamaan.
“Kalau lebih empuk aku
mbonceng Mas Haryo saja ya.”
“Maaf, Enggar. Aku
tidak biasa memboncengkan perempuan,” tolak Haryo halus. “Kamu membonceng
Barata saja ya.”
“Hahahaha...” Singo
Abang tertawa puas. “Baiklah, kita berangkat malam ini. Aku akan meninggalkan
pesan dulu untuk Jandul dan Bogar,” katanya setelah tertawanya reda.
***
No comments:
Post a Comment