Tuesday, November 01, 2016

Gandrung #7

Singo Abang mengambil sobekan kain warna merah yang terikat di salah satu cabang perdu ketika mereka akan melewati hutan Wonorogo. Hutan ini adalah hutan terakhir yang akan mereka lewati untuk menuju kotaraja.
“Ada apa, Bang?” tanya Enggar. Dia cukup tahu kalau ada sesuatu yang nggak beres. Wajah laki-laki itu terlalu serius.
“Kita harus memutar, tidak bisa melewati hutan ini,” kata Singo Abang.
“Kenapa, Ketua?” tanya Bogar.
“Jandul bilang komplotan Kolojinggo beraksi lagi. Musim dagang dengan orang-orang Cina sudah dimulai. Banyak barang yang lewat, banyak perampokan yang terjadi. Untuk saat ini mereka akan mengira siapa pun yang lewat membawa barang dagangan atau barang berharga, jadi hampir bisa dipastikan kita bakal dihadang. Kita akan kerepotan kalau nekat masuk. Jadi sebaiknya kita memutar.”
“Kalau memutar menambah berapa hari lagi?” tanya Enggar. Dia sudah capek berkuda. Tiap kali turun inginnya merebahkan diri saja.
“Dua sampai tiga hari.” Singo Abang memutar arah kudanya.
“Kalau masuk hutan ini?” tanya Enggar lagi. Singo Abang mengacungkan jari telunjuknya, menandakan satu hari. “Kita masuk hutan ini saja. Biar cepat sampai. Sudah capek.”
“Kamu tidak mendengar apa yang kukatakan tadi? Kita hanya bertiga. Bogar hanya tahu sedikit ilmu beladiri dan kamu tidak bisa sama sekali. Kalau hanya lima sampai sepuluh orang aku masih sanggup menghadapi. Kalau puluhan, namanya berniat mati konyol,” kata Singo Abang, entah realistis atau pesimis.
“Kalau aku jadi rampoknya, aku keder kok liat tampangmu, Bang. Sesama perampok dilarang saling mendahului. Iya kan?” kata Enggar cengengesan.
“Jangan melucu. Kita memutar,” putus Singo Abang, mengarahkan kudanya ke timur. Tidak sampai setengah jam mereka berkuda, mereka melihat ada asap di kejauhan. Semakin dekat ke desa, semakin terlihat jelas asap itu.
“Apa ada kebakaran?” tanya Enggar sambil melongokkan kepala dari balik punggung Singo Abang.
Desa itu seperti medan perang. Jeritan wanita dan anak-anak dimana-mana. Beberapa rumah habis terbakar. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Enggar sampai mual-mual dan sakit kepala melihatnya.
Ada suara pedang beradu dan teriakan nyaring. Singo Abang memacu kudanya. Pedang sudah dihunus. Bogar juga demikian. Bukan pedang yang dihunus, tapi pisau dapur besar.
Terlihat seorang lelaki gundul berkelahi melawan tiga orang.  Jandul.
“Bogar, jaga Enggar.” Singo Abang melompat turun dan membantu Jandul.
Enggar gemetaran di atas kuda. Dia harus bagaimana? Dia pernah berantem, satu lawan satu. Itu pun jambak-jambakan. Kalau berbanyak begini ngeri juga.
Seorang bocah kecil menangis. Dia memanggil-manggil ibunya. Rumah di dekatnya yang sedang terbakar mulai berjatuhan palang-palangnya. Tanpa sadar Enggar turun dari kuda dan berlari ke arah bocah itu. Disambarnya si bocah sebelum rumah itu ambruk dan penyangganya mengenainya.
“Anakku!” Seorang wanita keluar dari samping rumah yang lain. Dia menghambur ke arah Enggar. Didekapnya bocah itu dengan tubuh gemetaran. “Terima kasih, Tuan.” Perempuan itu bergegas lari mencari tempat yang aman.
Bogar menarik tangan Enggar, hendak membawanya kembali. Tapi tiba-tiba dari arah belakang muncul seseorang dengan golok dan hampir menebas Bogar kalau Enggar tidak berteriak dan menariknya ke depan.
Si penyerang menggerak-gerakkan golok di tangannya. Bogar berbalik dan melindungi Enggar di belakangnya. 
Datang lagi seseorang dari samping, langsung menyerang ke arah Enggar dengan belati. Enggar spontan berlari, tanpa memikirkan arah.
“Ketua! Den Enggar!” teriak Bogar. Singo Abang yang baru saja melumpuhkan dua orang langsung melesat ke arah Bogar. “Ke sebelah sana!”
Lari Enggar terhenti. Orang yang tadi mengejar di belakangnya sudah ada di depan. Seringainya begitu menjijikkan, sepertinya tidak pernah sikat gigi.
“Jangan macam-macam padaku! Aku punya jurus andalan yang tidak pernah kau lihat di manapun,” ancam Enggar, sambil bergerak kesana kemari dengan hitungan satu sampai delapan. Dia bersenam kesegaran jasmani! Gerakan apapun jadilah asal bisa mengulur waktu.
Rampok di depannya terbengong-bengong.
“Awas ada sapi gila!” seru Enggar sambil menunjuk ke belakang. Si penjahat spontan menengok ke belakang dan hal itu dimanfaatkan oleh Enggar untuk melarikan diri. Langkahnya terhenti ketika ada sesuatu melesat cepat melewati sisi kanan kepalanya, hanya berjarak sejengkal. Benda itu, sebuah belati, menancap ke batang pohon di depannya. Enggar menoleh ke belakang dan mendapati penyerangnya sudah menyusul, bahkan melemparkan belatinya lagi. Gadis itu menjerit, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Lho, tidak ada yang terasa sakit. Enggar membuka tangan dan memeriksa seluruh tubuhnya. Lemparan belati itu tidak mengenainya. Saat dia menengadahkan kepala untuk mengetahui apa yang akan diperbuat lagi oleh penyerangnya, napasnya tertahan. Penyerangnya ternyata sudah terkapar di tanah dengan anak panah tertancap di punggung.
“Ciaaaaat..!” Ada suara keras di belakang Enggar. Rampok yang menyerang Bogar mengayunkan golok padanya dan Enggar hanya mematung.
Jleb!Anak panah melesat melewati kepala Enggar dan menancap tepat di dada si pembawa golok, membuat gadis itu pingsan karena ketegangan dan ketakutan yang berlebihan.
Singo Abang yang berlari ke arah Enggar terlambat menangkap tubuhnya. Enggar keburu jatuh ke tanah. Segera diperiksanya gadis itu, memastikan tidak terluka. Orang yang membidikkan panah dari atas punggung kudanya tersenyum melihat Singo Abang. 
“Akhirnya kutemukan juga kau, Barata.” Laki-laki di atas kuda yang masih memegang busur itu bertanya.  
“Jangan sekarang, Haryo. Kamu tidak melihat aku sedang sibuk?” Singo Abang mengangkat tubuh Enggar, sementara Bogar dan Jandul mengambil kuda-kuda mereka. Singo Abang menaikkan Enggar ke atas punggung kuda, baru kemudian dia naik. Diraihnya tubuh Enggar dan didudukkan di depannya.
“Hei hei, enak saja mau langsung pergi,” seru Haryo ketika Singo Abang hendak meninggalkannya.
“Urusan pribadi kita bisa diselesaikan belakangan. Aku tidak ada waktu untuk bertarung denganmu,” ucap Singo Abang serius.
“Aku mencarimu bukan untuk membuat perhitungan. Aku ditugaskan untuk menangkapmu. Kamu buronan, kepalamu berharga lumayan.” Haryo menghadang Singo Abang. “Itu Puteri Anggoro?” tanya dia.
“Bukan. Namanya Enggar,” elak Singo Abang.
“Ayolah, jangan bohong. Meskipun aku belum pernah melihat Puteri itu secara langsung, aku bisa mengenalinya. Walau dia berdandan laki-laki, dia tetap terlihat perempuan bagiku.” Haryo tersenyum.
“Bisa juga kamu mengenali perempuan,” kata Singo Abang. Haryo, teman sekaligus rivalnya itu selama ini hanya tertarik dengan ilmu beladiri. Belum ada gadis yang bisa menarik hatinya. Padahal di kalangan puteri-puteri istana, Haryo sangat populer. Dia tampan, rapi, bersih dan wangi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Singo Abang saat ini.
“Kamu membawanya kabur saat dia mau menjalani pengadilan, Barata. Itu sama saja menemaninya menjalani hukuman. Puteri Anggoro terbukti bersalah.”
“Satu, dia Enggar, bukan Puteri Anggoro. Dua, Puteri Anggoro tidak bersalah. Bisa kau menyingkir sekarang?” Singo Abang mulai menggerakkan tali kuda. Dia benar-benar ingin pergi segera dari hadapan Haryo.
Haryo seketika membentangkan busur dan anak panah, mengarahkan ke muka Singo Abang. Saat itu juga pedang Jandul terhunus di muka Haryo, begitu pun pisau dapur Bogar. Haryo tertawa. Setahun tidak bertemu Barata, dia sudah mempunyai anak buah yang loyal. Tidak mengira si penyendiri itu bisa juga berinteraksi dengan orang lain. Kemajuan.
Haryo menyarungkan pedangnya. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi.”
“Kamu masih mau membawa kepalaku ke Tumengung Sukmo? Kamu mau jadi orang suruhan?” tanya Singo Abang sinis.
“Ini tidak ada hubungannya dengan Tumengung Sukmo. Orang tuamu yang memintaku membawamu pulang. Tapi tentu saja bukan karena keduanya aku mencarimu. Kita masih ada urusan,” ujar Haryo dengan tatapan mata tajam.
“Perkara sepele masih saja kamu ingat. Kita sudah setahun tidak bertemu, lupakan saja masalah itu. Aku saja sudah tidak ingat,” sahut Singo Abang.
“Utang tetap utang, Barata. Kita harus bertanding. Panah dan pedang. Dan jangan mengalah lagi.” Haryo bersikeras.
“Aku memang kalah, guru juga mengetahui itu, untuk apa diperpanjang. Sekarang kembali saja ke rumah, bilang pada orangtuaku aku baik-baik saja.”
“Rasa penasaranku harus dijawab, Bar. Kamu memang gila, tapi tidak sembrono. Apa yang membuatmu yakin dia tidak membunuh Sukmana?”
“Apa yang membuatmu yakin aku tidak sembrono?” Singo Abang alias Barata balik bertanya.
Haryo tidak menjawab. “Jadi dia benar-benar tidak bersalah?” Busur di tangannya diturunkan dan anak panah dikembalikan ke tempatnya semula.
“Aku yakin begitu. Aku hanya perlu bukti-bukti. Ada sesuatu yang besar di balik kejadian ini. Kamu pasti berpikir sama.” Singo Abang memberi kode Jandul untuk mendekat. “Jandul, kamu dan Bogar bantu orang-orang di sini. Banyak yang terluka. Aku harus membawa Enggar pergi dulu. Cari tahu siapa yang menyerang tadi. Aku mendengar akhir-akhir ini banyak desa yang diserang. Sepertinya ada yang ingin merusak stabilitas keamanan kerajaan. Kalian nanti menyusul kalau sudah selesai di sini,” perintah Singo Abang.
 “Ketua tidak apa-apa bersama dia?” tanya Bogar, melirik ke arah Haryo.
“Dia temanku, aku akan baik-baik saja.”
Akhirnya Jandul dan Bogar ditinggal dulu untuk membantu penduduk desa sekaligus mencari infomasi tentang penyerangan barusan, sementara Singo Abang dan Haryo mencari tempat terdekat untuk menyadarkan Enggar.
Menjelang malam mereka tiba penginapan di sebuah desa. Singo Abang membaringkan Enggar di atas balai-balai yang hanya dilapisi tikar. Setelah itu dia keluar sebentar mencari air.
Haryo yang masih ada di ruangan berdiri di samping balai-balai, mengamati gadis yang masih tidak sadarkan diri itu. Dari berita mulut ke mulut, Puteri Anggoro terkenal cantik. Tidak salah. Hanya saja dia tampak lemah, kurus dan tak terurus. Meragukan kalau dia punya kemampuan membunuh. Kalau Haryo tidak melepaskan anak panah ke dua orang tadi, mungkin puteri itu sudah mati.
Tapi entahlah. Orang yang terlihat lemah belum tentu tidak berbahaya.
Mata Enggar terbuka perlahan. Seiring kesadarannya yang terkumpul, mulai tampaklah kayu-kayu penyangga genting, lalu dinding dari bambu. Enggar menggerakkan kepalanya ke samping. Satu denyutan nyeri terasa di belakang lehernya. Mata Enggar menutup, alis dan dahinya berkerut menahan sakit. Dia mengerjap beberapa kali baru kemudian bisa melihat jelas wajah seseorang.
Ganteng. Bukan si berewok. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, matanya bagus, alisnya juga. Senyumnya luar biasa indah. Enggar bersorak dalam hati. Dia sudah tidak berada di jaman Majapahit.
“Sudah sadar?” Tiba-tiba seraut wajah berbulu menggantikan wajah tampan itu. Singo Abang jongkok tepat di samping  balai-balai, menutupi keberadaan Haryo. Enggar langsung menutup mukanya. Kecewa berat. “Minum dulu.” Singo Abang menyodorkan air di cawan kecil.
Enggar menurunkan kaki, duduk di tepi balai-balai. Meminum air yang diberikan Singo Abang dengan tatapan mata ke arah cowok di belakang laki-laki itu.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Singo Abang pada Enggar.
Enggar menggelengkan kepala. Matanya tidak sengaja melihat bajunya yang kotor karena abu. “Bagaimana dengan desa yang dibakar itu? Penjahatnya sudah diusir? Dimana Pak Bogar? Dia nggak terluka?” Enggar parno begitu mengingat kejadian terakhir yang dialaminya.
“Penjahat-penjahatnya sudah bisa diusir. Bogar dan Jandul masih berada di sana untuk membantu penduduk desa. Kamu harus berterima kasih pada Haryo, dia yang menyelamatkanmu,” kata Singo Abang sambil menoleh ke arah Haryo. Haryo melambaikan tangan dan tersenyum di sana.
“Jadi dia yang memanah orang-orang itu? Apa mereka mati? Orang yang kamu panah?” tanya Enggar. Haryo menaikkan bahu. “Terima kasih sudah menolongku. Tapi yang kamu lakukan mengerikan sekali. Membunuh orang itu melanggar hukum. Nggak boleh.”
“Lucu sekali kamu mengatakan begitu, padahal kamu sudah membunuh Sukmana,” kata Haryo. Singo Abang melirik Haryo dengan galak.
“Eh, Mas, aku baru di sini enam hari, pembunuhan Raden Sukmana itu hampir dua pekan lalu. Kalau Mas mengira aku Puteri Anggoro, itu salah besar. Namaku Enggar Penggalih.” Enggar meminum lagi air yang ada di cawan. “Tahu nggak, tadi waktu aku bangun aku sudah seneng banget, kukira aku sudah kembali ke Depok, taunya masih di sini,” katanya. “Kalau di fim Back to the Future, Martin McFly dan Doc bisa ke masa lalu dan ke masa depan karena menggunakan kendaraan dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Di Chronicle of Narnia, tokohnya bisa masuk ke negeri Narnia melalui lemari tua ajaib. Di film Enchanted, Puteri Gissele terkirim ke New York lewat sumur. Nah aku? Aku pingsan dan tiba-tiba saja ada di sini, bagaimana cara kembali ke jamanku lagi? Aku sudah beberapa kali pingsan, tapi tetap saja ada di sini?”
 “Bicaranya tidak keruan,” bisik Haryo pada Singo Abang, disambut dengan kode Singo Abang agar Haryo mengikutinya keluar.
Enggar yang ditinggal di kamar membaringkan tubuhnya lagi. Mengingat-ingat kejadian di desa tadi. Rasanya masih tidak percaya itu nyata. Pembakaran sebuah desa dan pertarungan dengan senjata. Asli terluka dan asli berdarah. Sudah enam hari dia berada di Majapahit. Sampai kapan dia akan berada di tempat ini? 
Di luar, Singo Abang menceritakan tentang “Puteri Anggoro” kepada Haryo dan hanya ditanggapi dengan tawa tidak percaya.
“Dari masa depan? Dia pura-pura gila ya, Bar?”
“Kurasa dia mengatakan yang sebenarnya. Kamu lihat sendiri bahasa yang digunakannya. Bukan begitu gaya puteri bicara. Tahu tidak, dia bilang Gajah Mada akan menjadi mahapatih.”  
“Benarkah? Paman Gajah Mada jadi mahapatih?” Haryo menggelengkan kepala. “Tapi mungkin juga. Dia berani,  pandai berdiplomasi dan ahli siasat perang. Kembali ke masalah Enggar tadi. Bagaimana mungkin orang dari masa ratusan tahun di depan bisa berada di sini?”
“Itu yang dia mau cari jawabannya. Itu juga yang ingin aku ketahui. Keadaannya serba repot, Har. Kalau dia benar-benar Enggar, maka tidak akan ada ingatan mengenai Puteri Anggoro, yang berarti aku tidak bisa menggali informasi darinya mengenai pembunuhan itu.” Singo Abang menghela napas pendek.
“Menurutmu ada rencana besar di balik pembunuhan itu?”
“Ya. Aku sudah menyelidiki tentang Tumengung Sukmo. Dia orangnya Adipati Sadeng. Pangeran Palawa memantau Adipati Sadeng sudah cukup lama. Pengeran Palawa mencurigai sesuatu, makanya dia mengirim orang ke Kadipaten untuk mengetahui kemana arah rencananya. Kalau bisa menggali informasi dari Tumengung Sukmo, mungkin bisa tahu maunya Adipati Sadeng.”
“Orang yang dikirim itu Puteri Anggoro?”
“Kupikir bukan. Puteri Anggoro datang ke Kadipaten Sadeng untuk belajar sastra. Kebetulan dia belajar di tempat Sukmana belajar. Suatu hari Sukmana mengundang Puteri Anggoro ke Mertabumi untuk menghadiri pertemuan para sastrawan. Sehari sebelum kembali ke Sadeng, Puteri Anggoro dan Sukmana terlihat bertengkar dan malamnya Puteri ditemukan di kamar Sukmana dengan senjata berdarah di tangannya.” Singo Abang mengelap wajahnya. “Entahlah, itu terlalu mudah, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa.”
“Jadi menurutmu Puteri Anggoro dijebak?”
“Aku menduga Puteri Anggoro mendengar apa yang seharusnya tidak didengar dan dia disingkirkan,” duga Singo Abang. “Sepanjang yang kutahu, Sukmana anak baik-baik, hanya tertarik pada kesenian dan sastra. Justru bapaknya Sukmana, Tumenggung Sukmo, yang perlu diselidiki lebih lanjut. Dia abu-abu dan ambisius.”
“Menurutmu dia ingin maju melalui Adipati Sadeng? Bahkan sampai mengorbankan anaknya?” tanya Haryo.
“Kekuasaan menggelapkan mata, teman. Seperti tidak tahu saja.”
“Bagaimana kalau pembunuhan itu terkait masalah asmara. Puteri Anggoro calon istri Pangeran Palawa. Kedekatannya dengan Sukmana bukan sesuatu yang pantas.” Haryo mencoba melihat dari sisi lain.
“Ehem. Permisi. Maaf, mengganggu sebentar.” Enggar menyela pembicaraan mereka. “Boleh aku bicara denganmu, Bang?”
“Ada apa?” Singo Abang mendekat.   
“Aku ingin tahu rencanamu besok seperti apa? Jadinya kamu akan membawaku menemui hakin Jogoroso, menemui Pangeran Palawa, atau Mpu Soma?” tanya Enggar. Sebelum Singo Abang menjawab, Enggar sudah melanjutkan omongannya. “Kalau kita menemui hakim Jogoroso dahulu, kurasa itu nggak ada gunanya. Aku bukan Puteri Anggoro, jadi aku sama sekali tidak ingat tentang apa saja yang dialaminya, jadi nggak ada kasus yang bisa direview sama Pak Jogo. Per-cu-ma,” kata Enggar dengan gaya Bang Haji. “Jadi opsi pertama kita coret saja ya. Opsi kedua, bertemu dengan Pangeran Palawa, yang kau bilang dia cowokku. Itu otomatis juga harus dicoret. Aku bukan ceweknya. Dia bisa sakit encok kalau tahu Puteri pujaannya yang lemah lembut santun gemulai jadi amburadul begini. Ya kan?” kata Enggar polos.
“Hahaha...” Haryo tertawa lagi. Makin lama Enggar makin menarik hatinya. 
So, diputuskan kita ketemu Mpu Soma saja untuk menganalisa keadaanku. Syukur-syukur dia bisa membantuku mencari cara untuk kembali ke masa depan. Semakin cepat aku kembali, semakin cepat Bang Singo mendapatkan Puteri Anggoro yang asli, semakin cepat pula kasus yang kau selidiki selesai.” Enggar bertepuk tangan sambil nyengir, membuat Singo Abang hanya bisa menatapnya saja. “Kenapa temanmu itu ketawa terus, apanya yang lucu?” Enggar menggerak-gerakkan kepalanya menunjuk ke arah Haryo. “Jadi bagaimana, Bang? Berapa lama lagi perjalanan ke Mpu Soma? Sehari? Dua hari? Kita berangkat saja sekarang,  gimana? Untuk mempersingkat waktu. Yuk!”
“Haha...kamu bisa membuat Barata bengong, bagus sekali.” Haryo mendekati Enggar dan menepuk pundaknya. “Hei, aku belum pernah melihat wajahnya begitu tolol, kecuali saat berhadapan dengan Shiao Lan,” bisiknya.
“Kamu tadi bukannya bertanya apa rencanaku, kenapa malah kamu yang menentukan kemana dan kapan kita pergi?” tanya Singo Abang.
“Siapa Barata?” Enggar bertanya pada Haryo. Haryo menunjuk Singo Abang. “Siapa Shiao Lan?” bisik Enggar.
Haryo hanya berdehem tanpa menjawab pertanyaan Enggar. “Hei, kamu mau kita pergi malam ini? Ide bagus itu. Aku akan menemanimu,” kata Haryo. Enggar menganggukkan kepala dengan antusias.
“Jangan sembarangan ya.” Singo Abang menghalangi mereka. “Perjalanan malam hari tidak aman, apalagi akhir-akhir ini...”
“Eh, justru kalau kita terlalu lama di suatu tempat malah tidak aman. Kamu ini masih belum sadar kalau jadi buronan? Jayengwangsa ada bersamaku di Wonokawi. Mungkin saat ini dia sudah tahu kalau aku menipunya dan menurut perhitunganku dia sudah menuju kesini.”
“Mereka tidak mengetahui identitasku,” kata Singo Abang kalem.
“Mereka mengenali Anggoro. Walau sudah menyamar, ada kemungkinan ketahuan. Lihat saja, masih cantik begini.” Kalau Haryo tidak yakin gadis di hadapannya bukan Puteri Anggoro, dia tidak akan berani berkata seperti itu.
“Tuh kan, Bang.” Enggar tersenyum tersipu malu dibilang cantik. “Sudah, kita pergi saja sekarang.”
“Kamu yakin? Katamu bosan berkuda terus-terusan,” kata Singo Abang
“Keselamatan lebih penting. Oh ya, Mas Haryo, pelana kudanya lebih empuk daripada pelana kuda Bang Singo nggak?” tanya Enggar.
“Memangnya kenapa?” tanya Haryo dan Singo Abang bersamaan.
“Kalau lebih empuk aku mbonceng Mas Haryo saja ya.”
“Maaf, Enggar. Aku tidak biasa memboncengkan perempuan,” tolak Haryo halus. “Kamu membonceng Barata saja ya.”
“Hahahaha...” Singo Abang tertawa puas. “Baiklah, kita berangkat malam ini. Aku akan meninggalkan pesan dulu untuk Jandul dan Bogar,” katanya setelah tertawanya reda.

*** 

No comments: