Tuesday, August 01, 2017

Gandrung #20

Gadis itu itu mengurung diri di dalam pondok. Tidak bernafsu makan, tidak mau latihan beladiri, tidak mau berbincang-bincang. Singo Abang sampai mendatangkan bala bantuan untuk menghiburnya. Anak buahnya dan anak-anak didik Mpu Soma menyambangi Enggar bergantian. Bogar membawa makanan-makanan enak. Sanip membawa celengan atau terakota yang lucu-lucu. Jandul yang tidak pernah bicara itu pun rela datang menemui Enggar untuk menunjukkan beberapa jurus pedang. Mpu Soma bahkan beberapa kali berkunjung untuk membesarkan semangatnya.
Perhatian orang-orang padanya sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan Enggar. Apalagi Singo Abang berjanji mencari cara lain untuk membantunya. Selama ini Singo Abang bisa dipercaya, jadi Enggar yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Malam ini tidak seperti biasanya Enggar melihat Singo Abang agak lain. Sesorean tadi laki-laki itu murung. Sekarang saja Singo Abang duduk menyendiri di luar pendopo, sementara orang-orang berkumpul di dalam mendengarkan Mpu Soma membacakan kitab. Enggar mendatangi Singo Abang karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ada apa, Bang?” tanya Enggar sambil duduk di sebelah Singo Abang. “Kulihat hari ini galau banget. Terlalu lama hidup damai di sini, jadi kangen berantem ya?”
Gurauan Enggar hanya mendapatkan sedikit senyuman dari Singo Abang. “Aku mendapat berita dari Haryo kalau ibuku sakit keras. Keluargaku memintaku pulang.”
“Lhah, kenapa Abang masih di sini? Pulanglah, temui ibumu. Pasti beliau senang kalau Abang datang. Siapa tahu sakitnya karena merindukan Bang Singo. Abang sebenarnya juga rindu sama ibumu kan? Aku baru beberapa minggu di sini sudah kangen setengah mati sama Bunda, apalagi Abang yang sudah bertahun-tahun,” tukas Enggar.
Singo Abang menghela napas. Kepergiannya waktu itu penuh dengan cerita kepedihan dan kebencian. Meskipun luka hatinya sudah mulai sembuh, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai komunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.
Tapi pengalaman demi pengalaman selama berpetualang di luar istana memberinya pelajaran, bahwa kesedihan, kemarahan, kebencian dan egoisme yang tinggi tidak akan membawanya kemana-mana kecuali kerusakan pada diri sendiri.
Selain masih adanya rasa enggan dan canggung untuk pulang, Singo Abang juga kepikiran Enggar. Kalau dia pulang, apa dia harus meninggalkan Enggar? Atau membawa Enggar serta ke istana dimana ada sebagian orang mengenalinya sebagai Putri Anggoro?
Pasti akan muncul masalah, apalagi Cakrawaja saat ini berada di penjara istana. Meskipun tubuhnya terkurung di balik tahanan, orang-orang Cakrawaja masih bebas berkeliaran dan Singo Abang sangat yakin keselamatan Enggar tidak bisa dijamin. Apalagi jika nanti Singo Abang harus fokus pada rekonsiliasi hubungannya dengan keluarganya.
“Oh ya, rumah Bang Singo dimana? Kotaraja?” tebak Enggar.
“Iya. Kamu ikut denganku kalau aku pulang?” tanya Singo Abang.
“Ya iya lah. Di seluruh Majapahit orang yang kukenal baik dan kupercaya hanya Abang saja. Kemanapun Abang pergi aku pasti ikut,” jawab Enggar enteng.
Gadis itu tidak tahu betapa senangnya Singo Abang mendengar kata-katanya. Mati-matian laki-laki itu menahan senyum bahagia.
“Kalau kau mau ikut denganku, sebaiknya kukatakan keadaan yang sebenarnya di tempat tinggalku. Jangan sampai kau kaget dan merasa tidak enak, apalagi tidak betah. Ini juga untuk mengantisipasi masalah yang bisa saja terjadi di rumahku nanti.”
“Bikin penasaran banget. Memangnya kenapa sih, Bang? Rumahnya tidak punya kamar tamu?” sela Enggar. Singo Abang melirik sebal.
“Sebenarnya aku tidak hanya tinggal di kotaraja, tetapi aku tinggal di komplek istana.” Singo Abang menunggu komentar Enggar. Karena tidak ada komentar, Singo Abang meneruskan. “Orang tuaku adalah salah satu menteri di kerajaan Majapahit.”
Enggar belum juga komentar. Mungkin karena gadis itu tidak begitu saja percaya akan pengakuan Singo Abang dan perlu waktu untuk mencerna informasi penting barusan.
“Tapi itu bukan hal yang bisa menimbulkan masalah. Ada hal yang lebih serius yang akan kamu hadapi. Di sana nanti kamu pasti dianggap sebagai Putri Anggoro, sebagian orang sudah mengenalnya karena Putri Anggoro kekasih Pangeran Palawa. Mereka akan menikah setelah Pangeran Palawa pulang dari negeri seberang dan itu tidak akan lama lagi. Dalam beberapa hari ke depan Pangeran Palawa akan datang,” ujar Singo Abang hati-hati.  
Mata Enggar melebar. Napasnya mulai tak beraturan.
“P..Pangeran Palawa calon suami Puteri Anggoro? Oooohh....” Enggar memegang lengan Singo Abang, merasa tekanan darahnya tiba-tiba turun. Memikirkan dia akan bertemu Pangeran Palawa dan menjadi kekasihnya membuat kepala Enggar pusing. “Ada yang bawa air minum?” tanya Enggar.
“Jadi bagaimana, menurutmu aku harus pulang?” Singo Abang meminta pertimbangan Enggar.
“Beri aku waktu untuk berpikir. Otakku kekurangan oksigen.” Enggar mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi pening.
“Aku bisa saja menitipkanmu di salah satu rumah kerabatku di kotaraja agar kamu terhindar dari masalah Anggoro, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku tidak mau kehilanganmu lagi,” kata Singo Abang, tak sadar menatap Enggar dengan penuh arti.
“Hah?” Enggar terkejut mendengar kata-kata Singo Abang.
“Oh, eh, maksudku kamu kan suka kabur kalau aku lengah, apalagi kalau kutinggal pergi. Tersesat di kotaraja lebih mengerikan dibanding tersesat di hutan atau di gunung. Begitu,” ralat Singo Abang sebelum keadaan makin membuatnya kikuk karena wajah Enggar jadi merah merona.
Enggar menundukkan kepala yang terasa mengeluarkan uap panas. Seluruh tubuhnya diselimuti sensasi aneh yang menghangatkan. Mungkin Singo Abang merasakan hal yang sama, terbukti sikap tubuhnya menjadi sedikit kaku dan canggung.
“Bagaimana? Aku akan sangat senang sekali kalau kamu mau ikut aku ke istana,” kata Singo Abang sambil berdehem keras untuk menghilangkan atmosfer aneh yang mengelilingi mereka.
“Coba kuhitung-hitung resikonya. Di Ketanggung sudah tipis harapanku untuk bisa dipulangkan ke masa depan. Tetap berada di sini juga tidak menjamin  keamananku. Cepat atau lambat masalah Puteri Anggoro palsu akan terungkap. Mumpung  ada di Majapahit, apa salahnya aku datang ke istana? Siapa tahu di istana nanti malah ada titik cerah. Istana berisi banyak orang pintar dan berilmu, mungkin ada yang bisa membantu.”
“Aku senang kamu penuh harapan.”
“Apa hal terburuk yang bisa kualami di istana? Pangeran Palawa tentu bukan orang yang sempit pikiran dan tetap memaksakan menikahiku kalau tahu aku bukan Anggoro. Tentang Cakrawaja, dia ada di penjara yang penjagaannya tentu lebih ketat. Tentang orang-orang yang mengenalku sebagai Anggoro terkait dengan rencana apapun yang sedang disusun orang Mertabumi dan Sadeng, ada Bang Singo dan Mas Haryo yang mau membantuku.”
Singo Abang menghela napas pendek, tidak sepakat Haryo dibawa-bawa.  
“Baik, aku akan ikut Bang Singo ke istana!” putus Enggar dengan senyuman lebar. Betapa banyak hal yang akan disaksikannya nanti di pusat kerajaan Majapahit. Itu akan menjadi pengalaman yang tak akan terulang lagi di hidupnya.

***