Makanan di hadapannya
dihabiskan dengan lahap. Satu, karena dia merasa sangat lapar. Dua, karena dia
butuh tenaga untuk kabur dari tempat itu. Enggar sampai hampir tersedak saat
menelan suapan terakhir. Diteguknya dengan bersemangat air di dalam mangkuk
kecil yang terbuat dari tanah liat itu.
Setelah mengatur napas,
dia mencoba bangkit dan berjalan. Kepalanya masih pusing, merasa dunia setengah
berputar. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi tidak separah beberapa waktu tadi.
Pelan-pelan Enggar
berjalan menuju pintu. Kedua tangannya berpegangan pada dinding pondok. “Bang
Singo, aku mau ke sungai,” seru Enggar kepada lima orang yang sedang berkumpul
tak jauh dari pondok. Singo Abang yang sedang makan itu segera meletakkan
makanan dan berjalan ke arah Enggar. “Perutku sakit,” lanjut Enggar yang
mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hatinya mulai diserang rasa takut
ketika menyadari dia benar-benar berada di hutan yang lebat. Dan tidak ada
tanda-tanda kegiatan syuting. “Aku mau ke sungai,” ulang Enggar pelan.
Singo Abang menghampiri
dan membantu gadis itu berjalan, sembari memberikan kode kepada Sanip untuk
menyiapkan pakaian ganti di pondok.
Singo Abang dan Enggar
berjalan berdampingan. Lelaki itu memapahnya karena beberapa kali Enggar hampir
terjatuh. Sesaat Enggar mencoba untuk melepaskan lengannya dari tangan Singo
Abang, tapi tidak bisa. Lelaki itu memegang lengannya erat. Sesekali mereka
bertatapan mata, namun seringkali Singo Abang menghindarinya.
Mereka tiba di sungai
setelah berjalan kira-kira lima puluh meter.
Matahari belum
benar-benar tenggelam, tapi hanya sedikit cahaya yang bisa menerobos hutan ini,
apalagi dalam keadaan mendung. Dengan sedikit susah payah, Enggar duduk di
sebuah batu di pinggir sungai.
“Bisa kau menyingkir
dulu?” tanya Enggar saat dia mulai merendam salah satu kakinya ke dalam air.
“Aku harus mengawasimu,”
kata Singo Abang.
“Mana bisa aku melakukan
yang harus kulakukan kalau kamu di situ?”
Singo Abang tidak juga
beranjak. “Aku tetap di sini, tapi aku tidak akan melihatmu. Kau bisa pegang
kata-kataku. Cepatlah.”
“Kalau aku hanya cuci
muka, kau tungguin di sebelahku pun aku nggak keberatan, Bang. Tapi ini
memenuhi panggilan alam. Aku butuh privasi.”
“Kenapa butuh itu
segala?” Singo Abang tidak bisa mengulangi kata asing yang baru saja diucapkan
Enggar.
“Privasi. Aku butuh
untuk sendirian. Kuatir apa sih, aku
nggak mungkin bisa lari. Mana berani aku kelayapan di hutan, sudah gelap
begini. Masih ada harimaunya juga kan di sini?”
“Ya. Kadang mereka
turun ke sungai juga.” Singo Abang tidak bermaksud menakut-nakuti Enggar, tapi
wajah gadis itu sudah terlanjur pucat. “Aku akan membalikkan badan.”
“Jangan mengintip.”
Enggar turun ke sungai
dan membasuh wajahnya. Dia tadi memang kebelet, tapi sekarang nggak. Dia
mencari jalur yang tercepat untuk ngabur. Menyeberang saja terus menembus
gerumbul di sana.
Singo Abang mendesah.
Ini sebenarnya bukan urusan dia sama sekali. Terlibat dengan masalah orang lain
tidak masuk dalam agendanya. Dia sudah cukup kenyang menghadapi masalahnya
sendiri. Tapi sejak peristiwa pembunuhan putra pertama Tumengung Sukmo, mau tak
mau dia harus ikut campur. Pangeran Palawa, kekasih Puteri Anggoro, orang yang
pernah menyelamatkan nyawanya, meminta bantuan. Dia tidak mungkin menolak.
Menyembunyikan Puteri
Anggoro membuatnya menjadi orang paling dicari. Tumenggung Sukmo pasti sudah
menyebarkan anak buahnya, atau bahkan meminta para pendekar dunia persilatan
untuk memburu Singo Abang. Satu orang yang sudah pasti mengejarnya adalah
Pangeran Haryo. Rivalnya sejak kecil.
Kenapa Puteri Anggoro
ada di kamar Raden Sukmana, anak Tumengung Sukmo, ketika dia dibunuh? Itu masih
menjadi pertanyaan besar. Yang pasti tuduhan ada padanya, karena di tangan Puteri
Anggoro ada sebilah keris penuh darah yang telah digunakan untuk membunuh Raden
Sukmana.
Singo Abang bersama
Jandul berhasil menculik Puteri Anggoro saat dia dibawa ke penjara Sadeng.
Belum ada yang tahu pasti identitas mereka, kecuali Pangeran Haryo. Kecerobohan
Singo Abang memberinya petunjuk. Ikat kepalanya terjatuh.
“Puteri, sudah selesai?
Puteri.” Singo Abang tersadar dari lamunannya. Menyesal dia karena tidak
berkonsentrasi terhadap keberadaan gadis itu. Apalagi suara riak sungai dan serangga
mengaburkan suara yang lain. “Aku akan membalikkan badan, tidak peduli kau
sedang apa.” Singo Abang menghitung sampai tiga baru membalikkan badan.
Seringai gemas menarik wajahnya ke atas. Sial. Puteri itu hilang!
Sementara itu tak jauh
dari sungai, Enggar berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli ke mana, yang
penting dia bisa lepas dari orang-orang itu. Tubuhnya yang terasa sakit di sana
sini tidak dipedulikannya. Keinginan yang kuat untuk melarikan diri ternyata
memberikan tambahan energi yang cukup untuk membawanya pergi.
“Aaaaa...” Kaki Enggar terperosok.
Tubuhnya tertarik ke bawah, bergulingan dan terhenti, menabrak batang pohon.
Enggar tak bergerak lagi.
Suara guntur
menggelegar dan hujan turun dengan derasnya.
***
“Hahh!” Enggar
terbangun dengan kaget. Dedaunan dan tanah basah menempel di tubuhnya.
Rambutnya yang panjang berantakan tidak karuan. Kepalanya berputar, melihat
sekeliling. Semuanya gelap. Segumpal rasa kecewa menyesakkan dadanya, mengapa
dia masih berada di tempat asing ini.
Mungkinkah semua hanya
mimpi? Kenapa dia ada di Majapahit? Apa karena hal terakhir yang ada di
kepalanya sebelum gempa adalah tentang Majapahit. Lalu memori itu terbawa dalam
mimpi.
Enggar pernah tiga hari
berturut-turut main tetris dan setiap malam mimpinya selalu mengatur balok-balok
berbagai bentuk itu untuk mendapatkan poin tertinggi. Kali ini dia mimpi berada
di Majapahit karena sebelumnya dia melihat dan melihat benda-benda yang
berhubungan dengan Majapahit. Ya, pastinya begitu.
Kalau ini mimpi, maka
yang harus dilakukannya sekarang adalah bangun dari tidur, lalu semua kembali
normal. Begitu kan? Tapi dia sudah bangun, dan masih terjebak di sini.
Enggar bangkit, meraba-raba
dalam gelap. Setelah beberapa saat, matanya mulai beradaptasi dengan
pencahayaan yang minimal itu. Enggar mencari dahan yang terjatuh untuk
digunakan sebagai tongkat. Itu akan membantunya untuk membuka jalan atau
pegangan saat berpijak.
Ada suara menguik serak
di sebelah kanannya. Kalau tidak salah menduga itu suara babi hutan. Enggar
buru-buru menjauh sumber suara dengan tetap berusaha untuk tidak membuat
keributan.
Lalu terdengar suara
auman. Lutut Enggar gemetaran. Keringat dinginnya meluncur. Napasnya jadi
pendek-pendek. Jangan bilang itu harimau....
Enggar sibuk membangun
keberanian. Lambat laun dia mulai bisa menguasai diri. Hingga kemudian
terdengar suara auman ditingkahi suara menguik panik. Apakah sedang terjadi
mangsa diterkam pemangsa? Jantung Enggar rasanya sudah melompat keluar dari
rongga dadanya dan terjatuh di tanah, takut bukan kepalang kalau hewan-hewan
itu berlari ke arahnya. Dengan sisa kekuatan yang ada dia mengangkat kainnya
dan memanjat pohon yang dahan pertamanya cukup pendek untuk bisa digapai. Doa
tidak putus dari mulutnya. Semoga harimau itu hanya memangsa babi hutan dan
bukan dirinya.
Detik demi detik yang
menegangkan terasa lama. Dari suaranya, harimau itu nampaknya sudah dapat
mangsa. Enggar masih gemetaran di dahan pohon, tak lepas dari doa. Hawa dingin
semakin terasa, meskipun hujan sudah reda.
Sekarang dia agak
menyesal telah melarikan diri. Seharusnya dia tinggal dulu bersama mereka di
pondok itu. Setidaknya di sana relatif aman dari hewan-hewan, tidak dingin
karena ada perapian.
Enggar tersedu pilu
tanpa suara.
Sementara tak jauh dari
tempat itu, Singo Abang menggeram. Obor yang ada di tangannya digerakkan ke
beberapa arah. Sudah hampir dua jam mencari Puteri Anggoro tidak juga ketemu.
Dimana dia? Singo Abang
tidak berani membayangkan apa yang bisa terjadi pada Puteri itu di hutan
seperti ini. Dia sama sekali tidak membawa senjata, tubuhnya sedang lemah dan
tidak mempunyai kemampuan melindungi diri.
Seharusnya dia tidak
meminta anak buahnya menyembunyikan Puteri Anggoro di hutan. Tapi siapa juga
yang menyangka Puteri itu bakalan melarikan diri.
Tak jauh dari tempat
itu, Enggar yang hampir tertidur di atas pohon itu terhenyak. Ada sesuatu yang
bergerak melewati lehernya. Dingin, empuk dan agak berat. Instingnya bilang itu
bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah dia betul-betul yakin apa yang
melewatinya. Seekor ular, sebagian tubuhnya berada di leher Enggar, sementara
kepala ular itu tak jauh dari wajahnya.
“Innalillahi,”
batinnya. Enggar berusaha untuk tidak bergerak. Bahkan dia berusaha tidak
bernapas.
Ular itu terus
menggeser tubuhnya. Enggar hanya bisa berdoa supaya ular tidak sedang lapar dan
tidak tertarik padanya.
“Puteri! Puteri
Anggoro!” Ada suara memanggil. Suara Singo Abang. Enggar nggak menyangka dia
akan begitu bahagia mendengar suaranya. Secara reflek Enggar bergerak.
“Aaaaaaa...!!!” Suara
jeritan terdengar diikuti suara sesuatu yang berat terjatuh ke tanah. Ular itu
telah membelit tubuh Enggar.
Singo Abang berlari ke
arah datangnya suara. Obor yang dibawanya diarahnya ke bawah.
“Jangan bergerak. Kalau
kamu bergerak dia akan semakin kencang membelitmu. Aku akan membebaskanmu.” Singo
Abang mengeluarkan pedangnya.
Enggar tidak bisa
melihat dengan jelas pergulatan antara Singo Abang dan ular yang ternyata
berukuran besar itu. Melihat bentuk dan ukurannya, ini adalah jenis boa. Ular
ini tidak berbisa, tapi membunuh dengan cara membelit hingga korbannya mati
lemas dan remuk tulangnya.
Bau anyir tercium.
Enggar merasakan tubuhnya terlepas sepenuhnya dari ular itu. Tapi dia sudah
tidak punya kekuatan untuk bergerak. Dari sinar obor yang tergeletak di tanah dan
hampir mati, Enggar melihat ular itu sudah tidak berkepala. Cairan berwarna
gelap mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong.
“Puteri, kamu tidak
apa-apa?” Singo Abang menarik tangan Enggar, membantunya berdiri. Lelaki itu
menyangka puteri akan berontak lagi dan menjauh, tetapi yang terjadi malah
gadis itu memeluknya erat dan menangis sesenggukan. Untuk sesaat Singo Abang
seperti kena sihir, hanya mematung. Tubuh Enggar yang gemetaran kemudian
menjadi lunglai. Rupanya dia pingsan.
Diangkatnya tubuh Enggar
dan dibawanya pergi.
***
No comments:
Post a Comment