Friday, September 29, 2017

Gandrung #22

“Kenapa?” Singo Abang menarik Enggar agar duduk di sebelahnya.
“Waaah.” Enggar masih takjub. “Tidak ada berewok, tidak awut-awutan, tidak gondrong berantakan.” Gadis itu menyentuh rambutnya, mengelus wajahnya, menggeleng-gelengkan kepala, menatap kagum pada Singo Abang.
Ketika sadar apa yang dilakukannya, terlebih lagi saat melihat tatapan mata Singo Abang yang melelehkan jiwa itu lekat padanya, Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa, mau bilang aku ganteng?” goda Singo Abang.
“He-eh.” Spontan Enggar menjawab. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, pura-pura mencari kemana elang itu terbang, karena malu. Dalam hati dia merutuk karena keceplosan mengatakan isi hatinya.
Singo Abang tertawa bahagia melihatnya. Duh, Enggar seperti cokelat di bawah terik mentari. Lumer oleh tawa Singo Abang yang memesona.
“Kalau melihatku sekarang ini, gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang iseng, sekaligus penasaran. Sekian lama merasa tak dianggap, dia ingin pengakuan jujur dari Enggar setelah melihatnya dalam sosok pangeran.
“Idih, Abang tanya yang lain kenapa, kayak anak kecil.” Enggar beringsut menjauh, berusaha melarikan diri. Tapi Singo Abang sudah keburu menangkap lengannya. Ditariknya kembali gadis itu ke sisinya.
“Jawab saja, gantengan mana aku sama Haryo?” desak Singo Abang.
Kalau saja Singo Abang mendengar deburan ombak yang terasa di dalam dada Enggar, lelaki itu tidak perlu lagi bertanya. Apalagi raut wajah Enggar sudah sedemikian bersemu merah menahan jengah.
Getaran aneh menjalari seluruh tubuh Enggar. Seolah ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya, Enggar serasa melayang ketika jemari Singo Abang menyentuh lembut dagunya.
Keheningan sekaligus ketegangan di antara mereka membuat keduanya kesulitan bernapas.
Oh, Tuhan. Enggar memalingkan muka, menyadari keinginannya untuk semakin dekat kepada lelaki di hadapannya semakin susah dikendalikan. “Jadi gimana, apa yang harus kulakukan selama di sini? Aku tidak perlu bertemu dengan orang tua Bang Singo kan?” hindarnya. Menghapus bayangan Singo Abang mendekapnya hangat, sungguh terasa sayang.
Singo Abang menggeram kalut. Sedikit lebih lama lagi mereka saling pandang seperti barusan, dia tidak bisa menjamin dirinya untuk tidak mengecup bibir gadis di hadapannya.
“Selalu begitu kalau ditanyain hal yang penting, tidak mau menjawab.” Singo Abang melipat tangannya di depan dada. Meredakan gemuruh yang bergejolak.
Enggar mencibir. “Masa penting bertanya gantengan mana?!” Singo Abang merusak momen indah.
“Penting buatku. Ayo, gantengan mana?” kejar Singo Abang.
“Siapa yang lebih ganteng dari siapa?”
Panjang umur. Pangeran Haryo nongol dari belakang. Enggar yang posisinya memunggungi Haryo, membalikkan badan dan berdiri. Agak terkejut juga dia melihat Haryo dengan pakaian kebesaran seorang pangeran, tidak pakaian lapangan yang biasa dia kenakan. Ketampanan lelaki itu naik lagi beberapa derajat.  
Kalau tadi Singo Abang tertegun saat melihat Enggar pertama kali dalam pakaian dinas seorang puteri, Haryo membeku takjub.
“Enggar?” tanya dia dengan wajah terpukau. Dia berjalan melewati Enggar dan berdiri tepat di sebelah Singo Abang untuk melihat lebih jelas puteri jadi-jadian itu. “Kamu sungguh jelita.”
“Mas Haryo bisa saja. Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Enggar basa basi dan tersipu di waktu yang sama.
“Kamu benar-benar membuatku pangling. Puteri-puteri di sini pasti pada ngiri melihatmu,” puji Haryo tulus. “Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Singo Abang menyingkirkan Haryo dari hadapan Enggar. Sifat kompetitif sekaligus kekanak-kanakannya muncul. “Ganggu orang saja kamu, Yo. Aku sedang bicara serius dengan Enggar. Eh, Enggar, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang, lebih gigih dari sebelumnya karena terbakar cemburu.
“Aku sama kamu gantengan mana? Jelas aku,” sela Haryo terkekeh sombong. Singo Abang mendengus kesal.
Enggar perlahan melipir, menjauh dari mereka berdua agar tidak terperangkap antara dua pilihan. Bisa terjadi perang bratayuda kalau dia bilang dua-duanya ganteng.
“Oh ya, Bar, aku ada informasi terbaru. Di wilayah Keta ada laporan ada sejumlah pemuda pergi dari rumah dalam waktu yang berdekatan, mirip seperti yang terjadi di Sadeng. Mereka bilangnya pergi ke kota, tapi sepertinya tidak.” Haryo mengundur misi perjuangan cintanya demi menyampaikan berita penting pada Singo Abang.
“Kau mencurigai ada pergerakan di Keta?” Sesaat Singo Abang melupakan konflik pribadi dengan Haryo.
“Apa, Mas? Di mana tadi?” tanya Enggar. Nama itu menggelitik kupingnya.
“Keta,” jawab Haryo. “Kenapa?”
“Kamu teringat sesuatu?” tanya Singo Abang.
“Aku belum yakin, tapi nama itu tidak asing. Sadeng, Keta.” Enggar menggigit bibir bawahnya, berpikir keras. Sementara itu kedua lelaki di hadapannya menatap penuh cinta. “Astaga! Bang, aku ingat. Pada masa pemerintahan Tribuana Tunggadewi terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta, kalau tidak salah tahun 1331,” serunya.
Singo Abang dan Haryo tampak kaget. Mereka sudah menduga ada gelagat pemberontakan, tapi semuanya masih belum jelas.
Ketiganya lalu terdiam sesaat, sambil saling pandang.
“Kamu yakin?” tanya Singo Abang, memastikan Enggar tidak salah ingat.
“Di buku sejarah begitu. Pada tahun 1331 Keta dan Sadeng hendak melepaskan diri dari Majapahit. Tapi pemberontakan mereka berhasil ditumpas oleh...Gajah Mada.” Enggar menatap mereka bergantian.
Haryo melirik Singo Abang. “Menurutmu kita harus menemui Paman Gajah Mada, Bar?”
“Menemui Gajah Mada?” Tenggorokan Enggar kering. Bertemu Gajah Mada secara langsung sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Enggar merasakan bulu-bulu berdiri. Dia tidak harus menghadap Gajah Mada kan?
“Kamu tidak perlu bertemu dengan Paman Gajah Mada dulu. Agak beresiko juga kalau kamu harus membuka identitas dirimu. Semakin banyak orang tahu, kamu semakin nggak aman nanti.” Sifat protektif Singo Abang muncul.
“Tapi tidak ada salahnya juga Enggar bertemu Paman Gajah Mada. Beliau orang yang bijak. Kujamin tidak akan membahayakan Enggar.”
“Kupikir untuk sementara informasi ini kita simpan dulu saja, Har. Kamu mungkin bisa mengusulkan untuk meningkatkan pengawasan di kedua wilayah itu, tapi untuk mengatakan langsung kepada paman Gajah Mada, bukan ide bagus saat ini. Semua dinding istana bisa mendengar, aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Enggar. Kamu pikir apa yang akan terjadi jika ada seorang yang tahu benar tentang masa depan Majapahit, di dalam istana ini?” Singo Abang memberi tekanan pada kata ‘di dalam istana ini’. “Enggar akan jadi bulan-bulanan.”
“Kamu benar. Baiklah, untuk sementara kita simpan informasi ini. Oh ya, satu lagi berita yang kubawa. Berita yang ini tidak bagus. Cakrawaja dikeluarkan dari tahanan pagi tadi.”
“Apa?” Lutut Enggar bergetar hebat.
“Untuk dua atau tiga hari saja. Di rumah keluarganya sedang ada upacara dan orang tuanya memohon Cakrawaja dihadirkan. Mereka menjamin Cakrawaja tidak akan melarikan diri,” lanjut Haryo.      
“Di hari pertamaku pulang seharusnya kamu bawa berita yang menyenangkan, Har.”
“Maaf. Tapi lebih baik kuberitahu, jadi kalian bisa waspada. Aku harus pergi dulu. Akan kutemui kalian lagi.” Haryo tersenyum pada Enggar. “Oh ya, Barata, apa kau tahu Pangeran Palawa sudah kembali dari negeri seberang?”
Deg! Enggar sekarang benar-benar merasa ciut dan gemetaran.

Sisi tangan Singo Abang menyentuh tangan Enggar. “Jangan kuatir, selama aku di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”
*** 

Thursday, September 07, 2017

Gandrung #21

Dua hari berikutnya Enggar, Singo Abang dan Jandul pergi meninggalkan Ketanggung. Untuk sementara Sanip dan Bogar tetap di sana. Tenaga keduanya dibutuhkan untuk melatih orang-orang mengenai seni tembikar dan seni kuliner. Seperti dugaan Sanip, celengan yang dibuatnya atas ide Enggar waktu itu banyak peminatnya, jadi dia harus memberi pelatihan di beberapa tempat.
Mereka duduk di atas kuda masing-masing. Enggar sudah berlatih naik kuda dan semakin meningkat kemampuannya, meski tetap dalam pengawasan ketat Singo Abang. Perjalanan ke kotaraja membawa sensasi tersendiri bagi Enggar. Dia penasaran seperti apa pusat ibukota Majapahit itu.
“Bang Singo anak menteri, berarti semacam pangeran begitu?” tanya Enggar.
“Tidak usah dibicarakan,” tolak Singo Abang, merasa tidak nyaman.
“Jadi betul Bang Singo itu pangeran? Ah, rasanya mustahil. Apa nama panggilan Abang di sana? Pangeran Barata? Di sana nanti harus memakai tata krama, menyembah-nyembah begitu? Harus berbahasa halus dan lembut?”
Sepanjang perjalanan kemudian Singo Abang mesti menahan asam lambung karena mendengar Enggar yang tak kunjung padam bertanya. Baru saat mereka memasuki kotaraja, Enggar kehabisan kata-kata. Dia sibuk mengagumi rumah-rumah beratap genteng, tertata apik dan rapi. Orang Majapahit sudah membuat sistem pembuangan air dengan membangun selokan-selokan di sisi kaki bangunan. Selokan itu dibangun dari satuan-satuan bata untuk memperkuat strukturnya dan memudahkan air mengalir lebih cepat. Halaman-halaman rumah mereka dihiasi jambangan air dan kendi berhias di antara tanaman-tanaman menghijau. Enggar juga sempat melihat beberapa candi selama perjalanan.
Orang-orang ibukota memang selalu berbeda dengan orang-orang di perkampungan. Di kotaraja ini orang-orang berpakaian lebih indah dan lebih mahal. Selain orang Majapahit, Enggar juga melihat orang-orang Cina dan Gujarat. Sebagian ada yang hanya berkunjung untuk keperluan berdagang, tetapi ada juga yang menetap di kotaraja. Para pedagang Cina mengenakan jubah panjang menutup seluruh tubuh dengan kancing baju terletak di bagian tengah depan, ditandai garis lurus vertikal atau kadang polos, serta topi bulat di kepala. Beberapa orang Gujarat juga ada di sini, dikenali dengan tutup kepalanya yang berbentuk kopiah atau sorban, selain mata besar, hidung mancung besar dan bibir tebalnya.      
“Kita sudah ada di gerbang istana,” kata Singo Abang. Di hadapan mereka terdapat sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh prajurit kerajaan bersenjatakan tombak dan tameng. Singo Abang mengeluarkan sebuah lempengan berwarna keemasan, tanda bahwa dia anggota kerajaan, untuk ditunjukkan kepada prajurit penjaga. Mereka bertiga dipersilahkan masuk setelah pengecekan. 
Di dalam komplek istana ini rumah-rumahnya jauh lebih bagus dan besar daripada yang di luar sana. Enggar sampai berkali-kali berdecak kagum. Inikah jantung kerajaan Majapahit? Apa dia akan mengenali bila berpapasan dengan orang-orang yang dibacanya di buku sejarah? Perlukah dia minta tanda tangan sama orang-orang bersejarah itu? Jantung Enggar berdebar-debar memikirkannya.
“Itu rumahku.” Singo Abang menunjukkan sebuah gerbang yang dijaga dua orang prajurit. Dua orang itu buru-buru memberi hormat dan mempersilahkan mereka masuk. Kedatangan mereka langsung disambut seorang pria bertubuh tambun yang langsung mengingatkan Enggar pada Semar.
“Pangeran Barata, syukurlah Pangeran pulang. Kanjeng Puteri pasti senang sekali. Mari, Pangeran, hamba antar ke dalam,” kata pria bertubuh tambun itu.
“Pak Samar, masih ingat dengan Jandul kan?” tanya Singo Abang. Pak Samar mengangguk. “Ini Puteri Enggar, tolong suruh Mbok Sorjan melayaninya baik-baik. Dia tamu pentingku.”
“Baik, Pangeran.”
“Enggar, kita berpisah dulu. Aku harus menemui ibu, baru kemudian aku menemuimu. Tidak apa-apa, tidak usah takut atau sungkan. Kamu akan dilayani dengan baik. Nanti sore kita bertemu lagi. Aku akan menyuruh orang mengantarkan pesan untukmu.”
“Aku tidak bisa ikut Bang Singo ya?” bisik Enggar agak kuatir.
“Di istana aturannya cukup ketat, tidak seperti di luar sana. Aku akan jelaskan padamu nanti. Pak Samar, tolong panggil Mbok Sorjan kemari sekarang,” pinta Singo Abang.
“Baik, Pangeran.”
Pak Samar bergegas pergi dan kembali sebentar kemudian dengan Mbok Sorjan. Perempuan setengah tua berbadan tak kalah tambun dari Pak Samar tampak senang sekali tuan mudanya pulang. Mbok Sorjan ibaratnya ibu kedua dari Singo Abang. Dia yang merawatnya sejak kecil. Semenjak Singo Abang keluar dari rumah setiap hari doanya agar tuan mudanya itu pulang.
“Mbok, memeluknya nanti saja kalau tidak ada orang,“ bisik Singo Abang ketika Mbok Sorjan mau memeluknya. Enggar tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Mbok, ini Puteri Enggar. Kuserahkan dia sepenuhnya pada Mbok Sorjan. Awas kalau sampai dia lecet-lecet. Nanti Mbok tidak kuajarin nulis surat cinta pada Pak Samar.”
“Ih, Pangeran ini masih saja suka menggoda. Mbok sudah menikah dengan Pak Samar sembilan bulan lalu, jadi tidak perlu surat cinta,” kata Mbok Sorjan malu-malu. Singo Abang tertawa. Enggar sampai mencubit tangannya, mengira itu mimpi. Ini pertama kalinya dia melihat Singo Abang tertawa. Kok cakep...
Singo Abang mendekati Enggar. “Enggar, ikut Mbok Sorjan ya. Dia sudah seperti ibuku, jadi kamu akan aman bersamanya. Jandul, ikut aku.”
Mereka pun berpisah.
Mbok Sorjan menatap Enggar dengan sinar matanya yang ramah. Dia bisa merasakan kalau gadis kucel di hadapannya ini istimewa bagi Barata-nya. Pangeran Barata bisa tertawa lagi, itu baru luar biasa.
“Mari ikut hamba, Puteri. Kita perawatan tubuh dulu agar badan Putri yang lelah selama perjalanan bisa segar kembali.”
Kedengarannya menyenangkan.         
***
Seumur-umur Enggar tidak pernah spa di salon, jadi ketika dia mendapatkan perawatan kecantikan secara lengkap begitu dari Mbok Sorjan dan para asistennya, dia hanya bisa ketiduran. Habisnya enak banget dipijat, dilulur, mandi air wangi, dikeramas dan disuguhi camilan. Surga dunia.
Penat, pegal, daki dan debu dari perjalanan penuh petualangan dan bahaya selama berminggu-minggu ini lenyap sudah. Begitu selesai diberi perawatan oleh para dayang, Enggar merasa begitu bersih, harum, rileks dan cantik. Apalagi setelah itu dia beristirahat di ranjang empuk dan lebar. Wah, nikmatnya.
Setelah sekitar dua jam tidur, Enggar terbangun dengan senyuman tersungging di bibir. Tiap hari begini bisa betah di Majapahit. Enggar berjalan ke sebuah meja di sudut ruangan. Ada tempat berisi air dan kain di sisinya untuk cuci muka.
Pintu kamar diketuk. Muncul seorang dayang muda, seusia Enggar. Dia bertanya apa Enggar siap dirias karena Pangeran Barata hendak bertemu. Enggar mengangguk. Dia dipersilahkan duduk di kursi di meja rias. Dayang itu menata rambutnya, membedakinya dan memasang beberapa perhiasan. Untuk yang terakhir itu Enggar menolak, dia nggak mau memakai perhiasan orang, takut nanti kalau terjadi apa-apa. Dia kan tidak punya uang untuk mengganti bila perhiasan itu rusak atau hilang.
Setelah selesai berdandan, Enggar mengikuti dayang itu menuju taman.
Taman samping dipenuhi dengan berbagai bunga dan tanaman beraneka warna. Lantai taman terbuat dari bebatuan bundar yang disusun sedemikian rupa dan dibingkai oleh bata, membentuk segi empat yang saling terhubung dengan yang lain. Ada beberapa kandang yang berisi burung-burung berbulu indah. Pohon buah-buahan ditempatkan di beberapa titik. Ada kolam berair jernih dengan pancuran di tengahnya, menambah keasrian taman itu. Rupanya keluarga Singo Abang memang kaya.
Tapi dimana laki-laki itu? Katanya menunggu di taman, kok tidak tampak batang hidungnya.
Enggar berjalan menuju tepi kolam. Ada sebentuk bangku panjang yang dipayungi tanaman merambat di atasnya. Dia duduk di situ, menanti kedatangan Singo Abang sambil mengagumi pemandangan di sekitarnya.
Ada seseorang datang. Seorang pemuda tampan dengan seekor burung elang di pergelangan tangan kirinya. Enggar segera berdiri, bersiap untuk menyapa. Dia mungkin salah satu pangeran yang tinggal di sini. Sepupu Singo Abang atau saudaranya. Semoga dia sekedar lewat saja dan tidak menanyainya macam-macam. Dia belum berkoordinasi dengan Singo Abang, harus ngomong apa pada siapa, menjawab ini bila ditanya itu.
Enggar siap tersenyum. Pemuda itu menghentikan langkahnya dan tertegun melihatnya. Enggar jadi kikuk. Apa ada yang salah dengannya? Apa dandanannya mencurigakan?
Keduanya akhirnya hanya saling menatap. Enggar grogi. Dia bahkan berusaha untuk tidak menelan ludah, agar tidak semakin salah tingkah.
“Ehem.” Laki-laki muda itu berdehem sambil mengalihkan pandangan ke burung elang di pergelangan tangannya. Bukannya berjalan menjauh, dia malah menghampiri Enggar dan duduk di bangku panjang itu.
Enggar buru-buru berdiri dan menundukkan kepala. Tidak berani menyapa duluan, takut ditanyai macam-macam.
“Kenapa berdiri terus. Duduklah,” kata pemuda yang mengelus sayap elangnya dan menyuruhnya terbang.

“Ahh!!” Enggar berseru kaget sambil tangannya menunjuk muka laki-laki di dekatnya. Itu kan suara Singo Abang! Enggar spontan membungkukkan badan untuk mengamati lebih dekat. “Bang. Betul kamu Bang Singo?” tanya dia tidak percaya.
***

Tuesday, August 01, 2017

Gandrung #20

Gadis itu itu mengurung diri di dalam pondok. Tidak bernafsu makan, tidak mau latihan beladiri, tidak mau berbincang-bincang. Singo Abang sampai mendatangkan bala bantuan untuk menghiburnya. Anak buahnya dan anak-anak didik Mpu Soma menyambangi Enggar bergantian. Bogar membawa makanan-makanan enak. Sanip membawa celengan atau terakota yang lucu-lucu. Jandul yang tidak pernah bicara itu pun rela datang menemui Enggar untuk menunjukkan beberapa jurus pedang. Mpu Soma bahkan beberapa kali berkunjung untuk membesarkan semangatnya.
Perhatian orang-orang padanya sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan Enggar. Apalagi Singo Abang berjanji mencari cara lain untuk membantunya. Selama ini Singo Abang bisa dipercaya, jadi Enggar yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Malam ini tidak seperti biasanya Enggar melihat Singo Abang agak lain. Sesorean tadi laki-laki itu murung. Sekarang saja Singo Abang duduk menyendiri di luar pendopo, sementara orang-orang berkumpul di dalam mendengarkan Mpu Soma membacakan kitab. Enggar mendatangi Singo Abang karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ada apa, Bang?” tanya Enggar sambil duduk di sebelah Singo Abang. “Kulihat hari ini galau banget. Terlalu lama hidup damai di sini, jadi kangen berantem ya?”
Gurauan Enggar hanya mendapatkan sedikit senyuman dari Singo Abang. “Aku mendapat berita dari Haryo kalau ibuku sakit keras. Keluargaku memintaku pulang.”
“Lhah, kenapa Abang masih di sini? Pulanglah, temui ibumu. Pasti beliau senang kalau Abang datang. Siapa tahu sakitnya karena merindukan Bang Singo. Abang sebenarnya juga rindu sama ibumu kan? Aku baru beberapa minggu di sini sudah kangen setengah mati sama Bunda, apalagi Abang yang sudah bertahun-tahun,” tukas Enggar.
Singo Abang menghela napas. Kepergiannya waktu itu penuh dengan cerita kepedihan dan kebencian. Meskipun luka hatinya sudah mulai sembuh, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai komunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.
Tapi pengalaman demi pengalaman selama berpetualang di luar istana memberinya pelajaran, bahwa kesedihan, kemarahan, kebencian dan egoisme yang tinggi tidak akan membawanya kemana-mana kecuali kerusakan pada diri sendiri.
Selain masih adanya rasa enggan dan canggung untuk pulang, Singo Abang juga kepikiran Enggar. Kalau dia pulang, apa dia harus meninggalkan Enggar? Atau membawa Enggar serta ke istana dimana ada sebagian orang mengenalinya sebagai Putri Anggoro?
Pasti akan muncul masalah, apalagi Cakrawaja saat ini berada di penjara istana. Meskipun tubuhnya terkurung di balik tahanan, orang-orang Cakrawaja masih bebas berkeliaran dan Singo Abang sangat yakin keselamatan Enggar tidak bisa dijamin. Apalagi jika nanti Singo Abang harus fokus pada rekonsiliasi hubungannya dengan keluarganya.
“Oh ya, rumah Bang Singo dimana? Kotaraja?” tebak Enggar.
“Iya. Kamu ikut denganku kalau aku pulang?” tanya Singo Abang.
“Ya iya lah. Di seluruh Majapahit orang yang kukenal baik dan kupercaya hanya Abang saja. Kemanapun Abang pergi aku pasti ikut,” jawab Enggar enteng.
Gadis itu tidak tahu betapa senangnya Singo Abang mendengar kata-katanya. Mati-matian laki-laki itu menahan senyum bahagia.
“Kalau kau mau ikut denganku, sebaiknya kukatakan keadaan yang sebenarnya di tempat tinggalku. Jangan sampai kau kaget dan merasa tidak enak, apalagi tidak betah. Ini juga untuk mengantisipasi masalah yang bisa saja terjadi di rumahku nanti.”
“Bikin penasaran banget. Memangnya kenapa sih, Bang? Rumahnya tidak punya kamar tamu?” sela Enggar. Singo Abang melirik sebal.
“Sebenarnya aku tidak hanya tinggal di kotaraja, tetapi aku tinggal di komplek istana.” Singo Abang menunggu komentar Enggar. Karena tidak ada komentar, Singo Abang meneruskan. “Orang tuaku adalah salah satu menteri di kerajaan Majapahit.”
Enggar belum juga komentar. Mungkin karena gadis itu tidak begitu saja percaya akan pengakuan Singo Abang dan perlu waktu untuk mencerna informasi penting barusan.
“Tapi itu bukan hal yang bisa menimbulkan masalah. Ada hal yang lebih serius yang akan kamu hadapi. Di sana nanti kamu pasti dianggap sebagai Putri Anggoro, sebagian orang sudah mengenalnya karena Putri Anggoro kekasih Pangeran Palawa. Mereka akan menikah setelah Pangeran Palawa pulang dari negeri seberang dan itu tidak akan lama lagi. Dalam beberapa hari ke depan Pangeran Palawa akan datang,” ujar Singo Abang hati-hati.  
Mata Enggar melebar. Napasnya mulai tak beraturan.
“P..Pangeran Palawa calon suami Puteri Anggoro? Oooohh....” Enggar memegang lengan Singo Abang, merasa tekanan darahnya tiba-tiba turun. Memikirkan dia akan bertemu Pangeran Palawa dan menjadi kekasihnya membuat kepala Enggar pusing. “Ada yang bawa air minum?” tanya Enggar.
“Jadi bagaimana, menurutmu aku harus pulang?” Singo Abang meminta pertimbangan Enggar.
“Beri aku waktu untuk berpikir. Otakku kekurangan oksigen.” Enggar mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi pening.
“Aku bisa saja menitipkanmu di salah satu rumah kerabatku di kotaraja agar kamu terhindar dari masalah Anggoro, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku tidak mau kehilanganmu lagi,” kata Singo Abang, tak sadar menatap Enggar dengan penuh arti.
“Hah?” Enggar terkejut mendengar kata-kata Singo Abang.
“Oh, eh, maksudku kamu kan suka kabur kalau aku lengah, apalagi kalau kutinggal pergi. Tersesat di kotaraja lebih mengerikan dibanding tersesat di hutan atau di gunung. Begitu,” ralat Singo Abang sebelum keadaan makin membuatnya kikuk karena wajah Enggar jadi merah merona.
Enggar menundukkan kepala yang terasa mengeluarkan uap panas. Seluruh tubuhnya diselimuti sensasi aneh yang menghangatkan. Mungkin Singo Abang merasakan hal yang sama, terbukti sikap tubuhnya menjadi sedikit kaku dan canggung.
“Bagaimana? Aku akan sangat senang sekali kalau kamu mau ikut aku ke istana,” kata Singo Abang sambil berdehem keras untuk menghilangkan atmosfer aneh yang mengelilingi mereka.
“Coba kuhitung-hitung resikonya. Di Ketanggung sudah tipis harapanku untuk bisa dipulangkan ke masa depan. Tetap berada di sini juga tidak menjamin  keamananku. Cepat atau lambat masalah Puteri Anggoro palsu akan terungkap. Mumpung  ada di Majapahit, apa salahnya aku datang ke istana? Siapa tahu di istana nanti malah ada titik cerah. Istana berisi banyak orang pintar dan berilmu, mungkin ada yang bisa membantu.”
“Aku senang kamu penuh harapan.”
“Apa hal terburuk yang bisa kualami di istana? Pangeran Palawa tentu bukan orang yang sempit pikiran dan tetap memaksakan menikahiku kalau tahu aku bukan Anggoro. Tentang Cakrawaja, dia ada di penjara yang penjagaannya tentu lebih ketat. Tentang orang-orang yang mengenalku sebagai Anggoro terkait dengan rencana apapun yang sedang disusun orang Mertabumi dan Sadeng, ada Bang Singo dan Mas Haryo yang mau membantuku.”
Singo Abang menghela napas pendek, tidak sepakat Haryo dibawa-bawa.  
“Baik, aku akan ikut Bang Singo ke istana!” putus Enggar dengan senyuman lebar. Betapa banyak hal yang akan disaksikannya nanti di pusat kerajaan Majapahit. Itu akan menjadi pengalaman yang tak akan terulang lagi di hidupnya.

***

Monday, July 03, 2017

Gandrung #19

Kabut sudah mulai turun. Tipis mengambang. Matahari mengintip dari balik punggung gunung. Kehangatannya hanya mampu sedikit menembus sejuknya titik-titik air di udara. Sebentar lagi sore berakhir.
Singo Abang gelisah di gerbang kediaman Mpu Soma. Ini hari ketiga semenjak Enggar dan Mpu Soma pergi. Seharusnya dia menahan Enggar agar tidak pergi. Kalau gadis itu benar-benar kembali ke jamannya, dia tidak akan bertemu lagi. Perpisahan mereka beberapa hari lalu sangat tidak mengenakkan karena keduanya saling diam, jadi Singo Abang akan sangat menyesal kalau Enggar benar-benar pergi.
Laki-laki itu mengguncang-guncang pohon di sebelahnya dengan gemas. Beberapa daun dan ranting kecil menimpanya. Seekor monyet melompat turun dari pohon karena terganggu oleh guncangan itu. Rupanya Jambul Abang.
Singo Abang melirik Jambul Abang. “Dia sudah pergi, jadi tidak ada yang bisa kamu kejar lagi, Mbul. Si cerewet itu sudah balik ke alamnya,” kata Singo Abang. “Kamu tidak kangen mengganggu Enggar lagi, Mbul?” 
Laki-laki itu pun duduk di bawah pohon ditemani Jambul Abang. Mereka berdua sesekali saling melihat.
“Kamu pernah mengalami hal aneh seperti ini, Mbul? Membiarkan, tapi sebenarnya tidak rela. Mendukungnya pergi, tapi sangat mengharap dia kembali. Tidak tahan dia ada di sekitarmu, tapi tidak sanggup juga kalau dia tidak ada. Tahu apa itu artinya? Itu artinya kamu sudah gila,” simpul Singo Abang. “Dan aku sudah gila bicara pada monyet.”
Matahari sudah bersembunyi. Hanya bias cahayanya saja yang masih mewarnai langit. Singo Abang mendengar suara derap kuda. Semakin mendekat semakin kuat debar jantungnya. Ketika dia berdiri, dari belokan muncul Mpu Soma. Sendirian. Rasa kecewa menguasainya. Jadi Enggar benar-benar pergi.
“Kamu menungguku, Barata?” Mpu Soma turun dari kuda. Singo Abang belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melihat ke arah belakang Mpu Soma, berharap menemukan Enggar.
“Ap...apa Enggar sudah kembali ke masanya?” tanya Singo Abang. Mpu Soma tidak menjawab. Hanya menepuk pundak Singo Abang beberapa kali kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
Singo Abang masih mematung beberapa waktu, seperti menunggu. Dia menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Dia sudah pergi, Mbul,” katanya pada Jambul Abang. Dengan langkah lesu laki-laki itu berjalan meninggalkan gerbang dan Si Jambul. Rasanya seperti kehilangan Shiao Lan untuk kedua kali.
Kalau yang dulu dia memang tidak dapat kesempatan mengutarakan isi hatinya pada Shiao Lan. Singo Abang tengah dikirim ke kerajaan tetangga untuk membantu Pangeran Palawa, dan saat kembali ke istana dia mendapat kabar kapal yang membawa Shiao Lan dan keluarganya karam dihajar badai. Tidak ada yang selamat. Kalau sekarang dia punya kesempatan bicara tapi dirusak sendiri olehnya dengan menciptakan suasana tidak nyaman di hari terakhir Enggar akan pergi, karena cemburu pada Haryo.
“Jandul, apa kau baik-baik saja?” tanya Singo Abang yang bertemu Jandul di klinik bersama Pak Susatra. Jandul kena sedikit luka bakar.
Jandul mengangguk tanda dia baik-baik saja. Laki-laki itu menanyakan hal yang sama pada Singo Abang yang dijawab dengan anggukkan kepala juga. Tapi saat Jandul memberi isyarat mengenai Enggar, Singo Abang menggeleng.     
Saat itu terdengar Jambul Abang ribut di depan sana. Semula tidak diperhatikan oleh mereka, Monyet itu memang suka berisik, tapi lama-lama tingkahnya menjadi. 
Singo Abang membalikkan badan. Dilihatnya monyet itu mondar-mandir dan berteriak tidak keruan, lalu lari keluar komplek. Kalau kebiasaannya tidak berubah, dia pasti sedang mengejar seseorang. Dan selama ini hanya satu orang saja yang dikejarnya.
Berharap dugaannya benar, secepat kilat Singo Abang melesat mengikuti Si Jambul. Ada suara gemuruh di telinganya yang berasal dari detak jantungnya.
“Aaaaahh!! Pergi! Pergi! Pergiiiiiiiiiiiii...!” Seorang berteriak sambil menggerak-gerakkan tongkat kayu, mengusir monyet yang hendak menyerangnya.
“Enggar!” seru Singo Abang. Saat dia sudah berada di hadapan Enggar, serta merta dipeluknya gadis itu erat-erat. Perasaan campur aduk meluap-luap, memenuhi seluruh aliran darah lelaki itu. Seolah memastikan dia tidak bermimpi, Singo Abang tak ingin melepaskan dekapannya dari Enggar.
“Kupikir aku tidak akan bertemu kamu lagi,” bisik Singo Abang lega.
Ketakutan Enggar terhadap Jambul Abang lumer seketika. Yang ada hanya rasa aman, hangat dan bahagia.  
Tatapan mata mereka bertemu. Sekilas Enggar teringat peristiwa di danau bersama Singo Abang waktu itu. Raut mukanya seketika memerah. Begitu juga dengan Singo Abang yang tiba-tiba dilanda demam. Pelukan mereka terlepas, keduanya merasa canggung dan salah tingkah.
 “Aku senang bisa bertemu Bang Singo lagi, tapi aku jadi tidak bisa pulang, Bang.” Suara Enggar serak hampir menangis.
Singo Abang mengulurkan tangan, menghapus air mata gadis itu dengan lembut sambil berusaha keras untuk tidak menaikkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. “Kita akan cari jalan lagi, jangan menyerah. Sekarang kamu istirahat dulu di pondok,” kata Singo Abang. Enggar mengangguk. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku. Jangan terlalu bersedih. Pasti ada jalan untuk kamu pulang,” hiburnya.
Enggar tidak berkomentar. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi itu sama sekali tidak dipedulikan Singo Abang. Hatinya terlalu bahagia dengan keberadaan Enggar di sisinya.
Enggar langsung masuk ke pondoknya dan menutup pintu. Singo Abang mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya nggak ditutup-tutupi lagi.

***

Wednesday, June 21, 2017

Gandrung #18

“Kamu kecebur saat mancing ikan?” tanya Mpu Soma sekali lagi pada Singo Abang. Singo Abang mengangguk. “Kamu cukup pintar untuk tahu lukamu ini harus dijaga tetap kering selama beberapa hari.”
Singo Abang dan Enggar saling lirik. “Aku ingin makan ikan bakar,” kata Singo Abang menambah-nambah alasan.
“Kalau hanya ikan bakar, Ketua kan bisa minta ke dapur. Tidak perlu nyebur danau,” kata Bogar. Dia orang pertama yang menemukan mereka berdua di tepi danau. Yang satu pingsan, yang satunya heboh menyadarkan, tapi tidak bisa-bisa. “Nanti malam saya masakkan ikan bakar, Ketua,” lanjut Bogar. Singo Abang mengangguk saja.
“Aku sudah membersihkan lukamu agar kuman-kuman tidak masuk. Jaga agar tetap kering.” Mpu Soma menyelesaikan bebatan luka Singo Abang. “Enggar, kita akan menemui kakak seperguruanku pekan depan terkait keinginanmu untuk pulang. Sementara menunggu, kamu bantu aku merawat Barata. Besok aku harus ke gunung selama dua atau tiga hari.”
“Baik, Mpu,” jawab Enggar.
“Pastikan Barata tidak melakukan hal-hal yang seperti dilakukannya hari ini kalau mau cepat sembuh.” Mpu Soma tersenyum geli. “Sebaliknya pesanku juga sama untukmu, Barata. Pastikan Enggar tidak membuatmu mancing ikan lagi. Hm?”
Mpu Soma dan Bogar keluar dari pondok Singo Abang. “Kamu bisa pergi beristirahat sekarang,” kata Singo Abang.
“Bang, tadi itu sepertinya ada orang yang mau menenggelamkanku,” kata Enggar. “Apa tempat ini sudah tidak aman lagi?”
“Jandul sudah memeriksa sekitar danau dan tidak menemukan tanda mencurigakan. Mungkin ada hewan yang mengiramu makanan. Atau mungkin kakimu tersangkut tanaman.” Singo Abang tidak terlihat yakin.
“Ah, jangan menakutiku, Bang. Di danau itu serius ada monsternya?” tanya Enggar dijawab gelengan kepala oleh Singo Abang. “Tapi tahu tidak, Bang. Saat sadar tadi aku sempat berharap sudah kembali ke masa depan, tapi ternyata lagi-lagi gagal. Aku jadi tidak yakin kalau akan bisa pulang.” Enggar menyandarkan kepala di dinding.
“Minggu depan mungkin kamu akan tahu. Sudah, jangan sedih begitu.”
“Masih ada satu harapan.” Enggar memaksakan diri untuk tersenyum. “Eh, Bang, aku belum sempat bertanya. Setelah Abang mengeluarkanku dari danau, Bang Singo langsung pingsan gitu ya?”
Singo Abang mengangguk. Apa yang dilakukannya untuk menyadarkan Enggar tadi akan disimpannya sendiri. Toh dia tidak begitu yakin apa benar terjadi. Sudah setengah gelap.
“Mulai sekarang sepertinya aku memang harus lebih berhati-hati. Kalau selalu mengandalkan Bang Singo, nanti bisa jadi kebiasaan buruk. Baiklah, aku mau istirahat sebentar, terus nanti mau latihan pedang. Aku pergi dulu ya.” Enggar berjalan keluar.
“Jauhi masalah untuk sementara. Aku masih belum sehat,” pesan Singo Abang.
Enggar menutup pintu sementara Singo Abang merebahkan diri ke balai-balai. “Bang, aku masih penasaran. Waktu Pak Bogar menemukanku, katanya aku sudah sadar, sedangkan Bang Singo pingsan. Padahal terakhir kuingat adalah aku di dalam air. Betul aku sadar sendiri?” tanya Enggar yang melongokkan kepala.
“Tutup pintunya, aku mau tidur.” Singo Abang langsung merem, tidak menjawab pertanyaan sama sekali. Dadanya bergemuruh dilanda gempa.
***

Sanip membentuk mulut guci dari tanah liat dengan hati-hati. Tangannya yang basah, belepotan air dan tanah itu, memberikan sentuhan akhir, sementara kakinya terus memutar alas pembuat tembikar. Dia ada di bengkel, sedang menunjukkan kemampuannya membuat tembikar pada beberapa orang di situ. Desanya dulu adalah salah satu desa penghasil tembikar yang terkenal.
“Kang Sanip, nggak bikin celengan?” tanya Enggar. Selama ini yang dia lihat gerabah atau tembikar yang ada berbentuk guci, tempayan, kendi dan sebagainya yang sebagian besar untuk keperluan yang berhubungan dengan air atau peralatan dapur.
“Apa itu celengan?” tanya Sanip.
“Celengan, tempat untuk menyimpan uang. Memangnya kalian menyimpan uang di mana?” tanya Enggar.
“Kantong atau batang bambu,” jawab salah seorang.
“Jadi nggak ada celengan semar, ayam, kodok, babi.”
“Saya tidak mengerti maksud Den Enggar,” kata Sanip.
Enggar memberi penjelasan singkat tentang celengan. Suatu tempat yang dibuat tertutup tapi berongga, hanya ada satu lubang cukup untuk memasukkan keping uang. Dinamakan celengan karena berbentuk celeng atau babi hutan.
Mereka masih bingung. Jadi terpaksa Enggar memberi contoh penampakannya. Dia meminta tanah liat dan mulai dibentuknya menjadi celengan. Di kepalanya sih menciptakan celengan babi, tapi hasilnya jauh dari itu.
“Ini apa?” tanya Sanip.
“Babi,” jawab Enggar. “Dikasih lubang di sini, atau di sini untuk memasukkan uangnya. Nih.” Enggar memipihkan sejumput tanah liat hingga berbentuk keping, lalu memasukkan ke lubang celengan.
“Babi bentuknya tidak seperti ini, Den. Ini sih cecurut.” Sanip tidak bermaksud menghina, tapi telak mengena. Enggar meringis. Emang bentuknya lebih mirip cecurut, yang gagal dikloning. “Kalau babi atau celeng itu seperti ini.” Sanip pun beraksi. Tangannya lincah dan cekatan bekerja membuat celengan.
Enggar bertepuk tangan ketika celengan itu sudah jadi. Itu adalah celengan babi tergemuk dan paling menggemaskan yang pernah dilihatnya. Perutnya hampir menyentuh tanah. Mukanya bulat, matanya seperti tersenyum, pipinya tembem, kakinya kecil dan pantatnya seksi. Ukurannya pun lumayan besar, jadi siapapun yang bisa mengisi celengan ini sampai penuh, pasti kaya raya.
“Bagus sekali, Sanip.”
Sanip terkekeh malu. “Belum pernah terpikir sebelumnya untuk membuat celengan dari tanah liat. Dengan bambu tidak bisa dibentuk macam-macam, tapi dengan tanah liat, kita bisa bikin yang kita mau. Ya. Ini pasti laku keras kalau dijual.”
Mereka terlihat gembira dengan gagasan mengenai celengan. Enggar ikut senang melihat mereka bersemangat begitu.
“Permisi, Den Enggar. Ada yang mencari Den Enggar.” Markun datang menghampiri Enggar. “Pangeran Haryo. Beliau menunggu di pondok Den Barata.”
“Mas Haryo?” Enggar sampai lupa pamitan pada Sanip dan teman-temannya karena buru-buru pergi. Haryo ke sini, apa permasalahan di Mertabumi sudah beres?
Kedua laki-laki itu sedang berbincang ketika Enggar tiba. Haryo menyambutnya dengan senyuman hangat. Dia mempersilahkan Enggar duduk, menanyakan bagaimana kabarnya dan meminta maaf atas kejadian selama di Mertabumi.        
“Apa hatimu sudah baik untuk bisa memaafkanku?” tanya Haryo.
“Apa yang terjadi dengan mereka? Cakrawaja dan anak buahnya? Tumenggung Sukmo dan orang bergelang naga itu?” tanya Enggar. Dia tidak begitu kepikiran lagi tentang rasa sebelnya pada Haryo.
“Mereka sudah ditangkap. Tapi kasus yang bisa diangkat baru tentang pembunuhan Sukmana dan upaya pembunuhan terhadapmu. Kami belum mendapatkan bukti-bukti kuat tentang adanya rencana lain. Orang-orang yang mengetahui tentang itu hanya orang-orang tertentu dan mereka mengunci rapat-rapat. Tanpa saksi dan bukti kami tidak bisa begitu saja memperkarakan mereka. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini. Penyelidikan terus berlanjut,” ujar Haryo. “Sebenarnya Putri Anggoro bisa menjadi saksi, tapi kamu tahu sendiri keadaannya.”
Enggar nyengir. “Jadi siapa yang membunuh Sukmana?”
“Cakrawaja. Dia sebenarnya sudah pergi dari Mertabumi hari itu juga. Mengira segala sesuatu sudah beres, sampai muncul berita kamu diculik oleh Kepala Merah.”
“Apa Sukmana tahu tentang rencana mereka sebagaimana Putri Anggoro?”
“Aku yakin begitu. Tapi Cakrawaja membuat pengakuan dia melakukan itu karena Sukmana membuatnya kesal,” jawab Haryo yang tidak lepas memandang Enggar. “Cakrawaja bisa menyakiti orang hanya karena orang itu tersenyum padanya. Orangnya memang seperti itu.”
“Terus kelanjutannya bagaimana, Mas?”
“Untuk itulah aku datang kesini menemuimu. Kamu mungkin akan dipanggil ke istana untuk dimintai keterangan. Aku masih belum bisa menemukan jalan keluar mengenai dirimu. Orang istana tahunya kamu adalah Putri Anggoro, padahal kamu bukan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau mereka tahu sebenarnya, bahwa kamu dari masa depan. Sampai sekarang pun aku masih belum sepenuhnya percaya.”    
“Aku ke istana? Waduh, nggak deh, terima kasih. Aku ada agenda yang jauh lebih penting. Pulang ke rumah.” Enggar tersenyum.
“Hm. Mpu Soma sudah menemukan caranya?”
“Beliau harus menemukan cara, aku sudah kehabisan ide,” keluh Enggar.
“Jujur aku berharap kamu tetap ada di sini, agar aku bisa melihatmu setiap hari,” ucap Haryo merayu.
 “Haryo, kamu kesini bukannya mau menyelesaikan urusan denganku juga?” sela Singo Abang sebelum Haryo semakin mencari kesempatan menarik hati Enggar. Haryo menoleh ke Singo Abang.
“Kamu masih terluka begitu apa mau bertanding, Barata? Itu tidak adil untukmu.”
“Kalau mau aku cepat sembuh, kalian jangan mengganggu istirahatku. Sana, keluar sana, aku mau tidur,” tukas Singo Abang. 
“Kok jadi galak begitu sih, Bang? Tunggu, memang selalu galak ding. Yuk, Mas Haryo, kita keluar saja,” ajak Enggar. Dia keluar duluan dari pondok, diikuti Haryo. Singo Abang kesal bukan main.
Di luar, Haryo mengikuti Enggar ke arah bengkel di belakang. Semula mereka berjalan berdampingan, tapi Haryo kemudian mendahului Enggar dan memintanya untuk berhenti dulu.
“Enggar, aku masih merasa tidak enak padamu tentang penculikan waktu itu. Aku hanya berpikir semakin cepat kuselesaikan kasusnya, kamu akan semakin cepat terbebas. Aku tidak tega kamu jadi buronan terus. Tapi aku kurang memperhitungkan keselamatanmu. Kupikir aku bisa selalu melindungimu, ternyata tidak. Aku merasa bersalah sekali.”
“Sudah kumaafkan kok. Lagipula aku sdah mau pulang, nggak baik kan menyimpan dendam. Semua urusan harus beres sebelum aku balik.”
“Apa tidak ada yang bisa menahanmu di sini? Aku misalnya,” kata Haryo, membuat Enggar demam dadakan.
“Mak..maksudnya?”
“Den Enggar, sini!” Bogar melambaikan tangan di seberang, di depan dapur. “Pisang goreng kerispi.”
Enggar menoleh ke arah Bogar dan menganggukkan kepala. Saat dia kembali memandang Haryo, laki-laki itu masih manatapnya. “Aku mau lihat pisang goreng crispy dulu.” Enggar beranjak. Haryo menahan dengan menarik tangannya.
“Den Enggar, sini!” Bogar memanggilnya lagi. Enggar melepaskan tangannya dan berlari menuju dapur, meninggalkan Haryo yang termangu.
Senyum sumringah Bogar menyurut karena Enggar melewatinya dan malah masuk dapur, kemudian jongkok di depan tungku sambil menepuk-nepuk pipinya.
“Panas...panas...” gumam Enggar.
“Jongkok di depan tungku ya panas, Den,” celetuk Bogar. Dia ikut berjongkok di sebelah Enggar. “Apa jangan-jangan Den Enggar jadi demam karena kecebur di danau? Eh, waktu kejadian kemaren, saya betul-betul takut kalau Den Enggar sudah meninggal saat dibawa naik oleh Ketua.”
“Lho, memangnya Pak Bogar sudah ada di sana waktu aku dibawa naik?”
“Iya. Sebenarnya saya sudah mau lari mendekat untuk membantu, tapi tidak jadi waktu Ketua memberi napas buatan pada Den Enggar. Tapi begitu Ketua pingsan setelahnya, saya buru-buru datang.”
Enggar gelagepan. “Ap...apa?” Makin panas saja pipinya, seperti bakpau keluar dari kukusan. Tidak sadar dia menutup mulutnya. Singo Abang memberinya napas buatan? Apa itu berarti Singo Abang menciumnya? Waduuuuh...
“Den. Den Enggar. Den!” seru Bogar. “Ini saya sudah buat tepung kerispinya. Mau dicoba rasanya?” Bogar menyodorkan pisang goreng yang dibuatnya.
“He? Oh iya...iya.” Enggar mencomot satu pisang goreng dan menghabiskannya sekali telan. Dikunyah-kunyah secepatnya kemudian ditelan sambil matanya mendelik. “Enak. Hebat. Aku pergi dulu ya, Pak.” Enggar ngeloyor pergi.
***
Anak-anak dan remaja murid sekolahan Mpu Soma berbaris duduk mengelilingi lapangan. Sore ini ada acara ujian beladiri untuk kenaikan tingkat, sekaligus unjuk kebolehan secara berkelompok. Enggar tak ketinggalan ikut menonton. Dia duduk di bangku yang disediakan Pak Markun, bersebelahan dengan Haryo. Sanip, Jandul dan Bogar duduk di rerumputan, di depan mereka.
Satu kelompok maju ke tengah lapangan. Mereka mempraktekkan beberapa jurus bersamaan. Kekompakan, hafalan gerakan dan keindahan formasi yang dinilai oleh ketua juri, Pak Susatra.
“Jurus apa itu namanya, Kang Sanip?” tanya Enggar pada Sanip.
“Jurus Bangau.”
“Masa’ nama jurusnya cuma Bangau? Di dunia persilatan itu nama jurusnya keren-keren lho, misalnya jurus Tendangan Maut, Dewa Mabuk, Tendangan Tanpa Bayangan, Naga Membelah Angkasa...”
“Memangnya jurus diberi nama sepanjang itu?” tanya Markun.
“Iya dong, biar dramatis. Kalau nama jurusnya hebat kan musuh bisa keder duluan,” kata Enggar memancing orang-orang di sekitar situ untuk berpikir. Haryo tersenyum. Dia suka gaya Enggar yang seperti itu.
“Kalau yang mereka peragakan sekarang pantasnya diberi nama jurus apa ya?” tanya Sanip. “Bagaimana kalau nama jurunya Katak dalam Tempurung?”
“Hehehehe... itu peribahasa, Kang.”
Mereka mulai ramai membahas nama-nama jurus. Setiap ganti giliran beraksi di tengah lapangan sana, terjadilah nama-nama jurus baru. Jurus yang diusulkan Sanip di antaranya: Pungguk Merindukan Bulan, Serigala Berbulu Domba, Anak Ayam Kehilangan Induknya. Patut dicurigai nih. Jangan-jangan peribahasa di masa depan itu Sanip pencipta aslinya.  
Lain Sanip lain pula Bogar. Karena dia seorang koki, nama jurus karangannya tidak beda jauh sama dunianya: Udang Goreng Tepung, Cumi Asam Manis, Bebek Cabe Hijau.
Haryo puas tertawa.
Seseorang datang menghampiri bangku tempat Enggar dan Haryo duduk. Singo Abang. Dari jauh dia melihat mereka kok jadi migren, ya sudah, bergabung saja. Bertiga mereka duduk, Enggar ada di tengah. Mati gaya. Daripada kaku dan beku karena salah tingkah, Enggar turun dan ikut lesehan di rerumputan dengan yang lain.
Markun minta ijin bicara pada Haryo. Ada seseorang membawa pesan untuk Haryo agar dia harus segera balik ke istana. Dilema. Dengan berat hati Haryo pergi dulu menemui si pembawa pesan. Enggar bertanya-tanya dalam hati ada apa lagi. Haryo tidak tampak hingga makan malam. Enggar jadi tambah penasaran.
“Dia dipanggil ke istana,” kata Singo Abang kepada Enggar. Tidak tahan melihat cewek itu celingukan dari tadi menunggu kemunculan Haryo.
Yang datang malah Mpu Soma. Sebenarnya sudah datang sejak sore tadi sih, tapi baru menemui Enggar sekarang. “Besok pagi-pagi sekali kita pergi. Siapkan semua keperluanmu. Pastikan tidak ada yang ketinggalan.”
“Heh? Besok pagi saya bisa pulang?” Senyum Enggar mekar.
“Mungkin saja.”
“Terima kasih, Mpu.” Enggar menyenggol Singo Abang. “Bang, besok aku bisa pulang. Senangnya.”
“Siapa yang pulang?” Haryo datang. Enggar mengacungkan tangan. “Kamu pulang kemana? Kamu benar tidak ingin tinggal di Majapahit bersamaku?”
Ada yang tersedak makanan mendengar kata-kata Haryo barusan.
“Ini bukan tempatku. Meskipun Majapahit tidak sepahit yang kukira, tapi aku lebih memilih untuk berada di tempat yang semestinya.” Enggar menggeser duduknya dekat Haryo. “Aku sekalian pamit aja deh sama Mas Haryo, maafkan aku kalau aku ada salah. Harap semua utangku dianggap lunas, semua pinjaman dianggap impas.”
“Aku baru menemukanmu, masa kamu sudah mau pergi?” Tatapan mata Haryo seperti bius, membuat Enggar lemas.
Singo Abang meletakkan kendi agak keras. Kecurigaannya kalau Haryo menyukai Enggar terbukti. Sepertinya ini saat yang tepat untuk adu pedang dan panah.
Enggar melirik Singo Abang yang sok cool meneruskan makan. Orang itu diam saja meskipun tahu dia akan pergi. Tidak keberatan atau setidaknya bilang apa gitu yang membuat Enggar merasa penting untuknya.
“Enggar, aku dipanggil ke istana malam ini juga dan aku masih ingin bisa melihatmu. Bagaimana kalau kamu ikut aku saja dan tidak usah pulang?” pinta Haryo.
“Tidak menyangka kamu jadi normal karena dia, Har. Kupikir yang akan bisa menakhlukkanmu adalah putri dari seberang lautan yang kecantikannya terkenal hingga tujuh daratan dan lautan,” sindir Singo Abang.
“Eh, Bang Singo, nggak perlu bikin keki orang deh kalau di dalam hati sebenarnya Abang juga ingin aku tinggal. Iya, aku tahu Bang Singo pasti lega banget kalau aku pulang, jadi nggak perlu susah payah menjagaku. Maaf kalau aku sudah merepotkan.“ Enggar mengulurkan tangan ke Haryo dan menyalaminya. “Doakan aku berhasil ya, Mas. Dan hati-hati di perjalanan ke istana. Aku balik ke pondok dulu ya. Mau persiapan mental.”
Enggar pergi dengan tanpa menoleh lagi.
“Apa setelah Enggar pulang kamu akan pulang ke istana?” tanya Haryo ketika mereka tinggal berdua saja.
“Aku tidak berminat pulang ke istana. Di luar sini menyenangkan.”
“Bar, orang tuamu menginginkanmu bekerja untuk istana. Tenagamu sangat diperlukan. Masalah Shiao Lan sudah lama berlalu, apa kau tidak bisa melupakannya?”
“Mereka membuat Shiao Lan dan keluarganya tewas, Haryo.”
“Tapi mereka orang tuamu. Dan tenggelamnya kapal keluarga Shiao Lan itu oleh badai, bukan oleh orang tuamu. Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil, Barata. Orang tuamu tidak menyetujui hubungan kalian, kamu bisa melawannya dan sudah kau buktikan. Tapi maut sudah menjadi garisan takdir. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun orang tuamu setuju pun, nasib tetap akan membawa Shiao Lan dan keluarganya dalam badai itu. Berhentilah menghukum mereka.”
“Orangmu sudah menunggumu di sana, kamu harus segera pergi.” Singo Abang seperti tidak peduli omongan Haryo.
“Pikirkan apa yang kukatakan. Aku pergi dulu.”

***