Dear Friends,
After waiting in a while (due to technical issue, aka mail was "lost in piles of documents in my hometown"), finally I signed the contract to publish DIA and SEMPURNA in E-Book version. I am so excited :).
Another news, I will be joining Indoreadgram on 23 April 2017, a voluntary program to donate my books - signed by myself, for you to read while commuting by train. You can also join the program and donate books you recommend. Kindly check Indoreadgram instagram account to get further detail on the information of the program (@indoreadgram.
Perhaps I will see you in the event ;).
Friday, March 31, 2017
Wednesday, March 01, 2017
Gandrung #17
Pagi itu Singo Abang
keluar dari kamar setelah empat hari istirahat total. Agak terkejut dia saat
melihat latihan beladiri kali ini karena ada Enggar yang turut serta. Jandul yang
ada tak jauh dari lapangan memberinya salam hormat ketika melihatnya.
“Menurutmu dia akan
bisa mempelajari ilmu beladiri dengan cepat?” tanya Singo Abang pada Jandul.
Laki-laki berkepala pelontos itu mengangguk, segurat senyum menghiasi bibirnya.
“Kuharap juga begitu karena keadaan ke depan akan lebih serius. Jandul,
sementara kita di sini. Tunggu berita dari Haryo, baru kita lakukan langkah
selanjutnya. Aku sudah menyiapkan beberapa strategi yang akan kubahas bersamamu
nanti. Sekarang aku mau jalan-jalan sebentar,” kata Singo Abang sambil menepuk
pundak Jandul lalu melangkah pergi. Jandul menganggukkan kepala dan mengantar
kepergian Singo Abang dengan pandangan matanya.
Enggar melihat
kepergian Singo Abang dengan ekor matanya. Sekitar setengah jam kemudian
latihan selesai. Enggar membersihkan badan dulu baru pergi mencari Singo Abang.
Ada orang yang melihatnya pergi ke danau, jadi ke situ Enggar pergi.
Danau itu ramai oleh
burung belibis. Mereka berenang di tepi danau, berombongan. Beberapa terbang rendah
dan dengan manis mendarat di permukaan air. Di sisi lain dari danau, Enggar
melihat seseorang sedang berdiri dengan posisi kuda-kuda dan kedua tangannya
terentang. Perlahan tangan itu bergerak ke depan dan ke samping. Sesekali
berhenti, kemudian mulai lagi. Rupanya Singo Abang sedang melatih gerakan
tangannya yang terluka, sudah bisa dipergunakan seperti biasa atau tidak.
“Jangan dipaksa dulu
lah, Bang, masih sakit gitu. Nanti kalau sudah pulih baru dipakai berolah
kanuragan lagi,” ujar Enggar penuh perhatian. Singo Abang hanya berdeham saja
sebagai jawaban. “Katanya mau ngomong sama aku. Ngomong apa?” Enggar mencopot
ikat kepalanya agar rambutnya yang masih basah lebih cepat kering, mumpung di
danau hanya ada mereka berdua. Digerainya rambut hitam sebahu itu. Segarnya
kena angin di pinggir danau.
Tidak terdengar
keributan belibis, tidak terlihat pepohonan dan danau, tidak terasa embusan
angin. Yang diterima panca indera Singo Abang hanya keberadaan Enggar.
Muka Singo Abang
menghangat lagi. Sial.
Laki-laki itu pura-pura
memeriksa lukanya untuk mengembalikan fokusnya. Setelah bisa mengerem debaran
jantungnya, Singo Abang melihat ke arah Enggar. Tapi hanya sebentar saja karena
suara di dalam dadanya berulah lagi. Singo Abang memalingkan muka.
Enggar bepindah dari
tempatnya, lalu berdiri di depan Singo Abang, membuat laki-laki itu kaget. “Mau
ngomong apa?” tanya Enggar lagi. Wajahnya memerangkap Singo Abang lekat-lekat.
“Maaf aku lengah
menjagamu sampai kamu bisa dibawa pergi ke Mertabumi. Kamu sampai dilukai oleh
mereka, aku benar-benar menyesal. Ini salahku,” kata Singo Abang serius. Selain
serius meminta maaf, dia juga serius berkonsentrasi agar pikirannya tidak
terpecah oleh gejolak hatinya.
“Oh.” Enggar menjawab
pendek. Ada sedikit rasa kecewa, dipikirnya bukan itu yang mau dibicarakan
Singo Abang. “Bukan salahmu kok, Bang.”
“Aku juga ingin
mengucapkan terima kasih, kamu telah susah payah membawaku kemari dan merawatku
selama di perjalanan,” ujar Singo Abang.
“Kok pembicaraannya
jadi resmi begini. Santai saja, Bang.” Enggar cengengesan. Berharap Singo Abang
tersenyum. Tapi laki-laki itu hanya diam menatapnya. “Yang kulakukan itu nggak
sebanding dengan kebaikan Bang Singo padaku. Abang sudah berkali-kali
menyelamatku. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya walaupun suka marah.
Selalu bisa diandalkan, meskipun seringnya menyebalkan.”
Enggar mencoba
mengurangi rasa grogi yang menyerangnya akibat tatapan mata Singo Abang.
“Kamu ini mau memuji
apa menghina?” Suara Singo Abang meninggi.
Enggar nyengir. “Bercanda,
bang,” kata Enggar sambil nonjok lengan kanan Singo Abang. Cowok itu langsung
menyeringai kesakitan. “Maaf, maaf, kena lukanya ya?” Enggar memencet luka itu,
antara sengaja dan tidak.
“Hei, kamu ini!” Singo
Abang mulai emosi karena Enggar menggoda dia.
“Ya, ya, maaf.” Mulut
bilang maaf, tapi tangan maju untuk menyentuh luka Singo Abang. Belum jari-jari
Enggar sampai, tangan kiri Singo Abang memelintirnya duluan.
Enggar segera memutar
badannya untuk melepaskan diri dari tangan Singo Abang. Salah satu gerakan bela
diri yang dipelajarinya di sini berhasil dipraktekkan.
“Kamu sudah berlatih.”
Singo Abang manggut-manggut.
“Iyalah.” Enggar
membanggakan diri. “Aku selalu kebagian babak belur di Majapahit ini, kalau aku
nggak serius belajar beladiri, bisa korban penganiayaan terus. Makanya
kuputuskan sejak kembali ke sini aku akan giat berlatih. Nanti sore aku mau
berlatih pedang sama Pak Jandul.”
“Aku bisa melatihmu.”
Singo Abang menawarkan diri.
“Nggak deh, makasih.
Aku susah belajar kalau gurunya galak, cerewet,...”
“Tidak mudah juga punya
murid lamban, refleksnya payah, suka menangis, sering pingsan, berisik,” balas
Singo Abang.
“Hoi hoi.” Enggar
berkacak pinggang tidak terima. “Aku yang begitu ramah, cantik, cerdas dan
tanggap begini diremehkan. Abang nggak tahu saja bagaimana aku bisa
menyelesaikan masalah tanpa masalah. Kalau Bang Singo melihat kepiawaianku
bersilat lidah dengan Cakrawaja, Tumenggung Sukmo dan orang bergelang naga
itu, pasti terkagum-kagum padaku.”
“Aku ingin membahas itu
denganmu. Kamu belum menceritakan apa yang terjadi di sana. Apa ada informasi
yang kamu dapatkan saat pertemuanmu dengan mereka? Suatu rencana mungkin.”
“Itu dia. Mereka terus
memaksaku untuk mengatakan pada siapa kuberitahu rencana mereka. Padahal
sebelumnya aku sama sekali tidak tahu rencana apa itu. Tapi karena kepiawaianku
bersandiwara, aku agak bisa menduga-duga kalau mereka akan melakukan sesuatu
terhadap Majapahit. Ketika kubilang Gajah Mada sudah kuberitahu tentang rencana
itu dan kuingatkan kalau semua pemberontakan hingga Hayam Wuruk berkuasa bisa
diberantas tuntas, mereka agak gentar.”
“Kamu menyebutkan nama
Hayam Wuruk? Kamu sudah lupa pesan Mpu Soma?”
“Kepepet, Bang. Yang
penting mereka nggak tahu aku dari masa depan, walaupun Cakrawaja sempat
menuduhku bukan Anggoro. Untung hanya dia yang curiga, lainnya mengira aku
kesurupan. Oh ya, aku jadi ingat. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih
sama Abang. Panah beracun waktu itu sebenarnya ditujukan padaku kan? Kalau Bang
Singo nggak melindungiku, aku pasti sudah mati.”
“Kamu adalah tanggung
jawabku, wajar aku melakukan itu. Tidak usah diungkit lagi. Sampai kamu bertemu
dengan Pangeran Palawa, baru aku bisa tenang.” Saat Singo Abang berkata itu,
raut wajahnya berubah.
Terlintas kejadian
waktu itu. Anak panah yang dilepaskan Cakrawaja meluncur kencang ke arah
Enggar. Tinggal sedetik saja sebelum Singo Abang melesat dan memeluk Enggar
untuk menghindarkan gadis itu dari bahaya. Satu detik setelah itu sengatan
panas menghentak di bawah pundaknya, rasa terbakar menyebar ke punggung. Singo
Abang merasakan tubuh Enggar menjadi berat dan mereka berdua terjatuh ke tanah.
Saat itulah Singo Abang panik, mengira panahnya tembus hingga ke Enggar.
Untung darah di tubuh
Enggar berasal adalah darahnya. Singo Abang pasti akan mengutuk dirinya seumur
hidup kalau sampai Enggar terluka. Enggar adalah tanggung jawab yang diberikan
padanya oleh Pangeran Palawa untuk dijaga. Dia tidak boleh mengecewakan
Pangeran Palawa.
Bohong. Bukan itu
alasannya.
“Menurut Bang Singo
mereka akan memberontak?” Pertanyaan Enggar membuyarkan lamunan Singo Abang.
“Ya, aku juga curiga
begitu. Tapi masih belum ada bukti-bukti kuat. Sementara yang bisa diusut
hanyalah tentang pembunuhan Sukmana. Kamu, maksudnya Anggoro, yang seharusnya
menjadi saksi kunci tentang pembunuhan maupun keterkaitannya dengan rencana itu
tidak bisa dimintai keterangan.”
Enggar menghela napas
berat, membenarkan kata-kata Singo Abang barusan. Kuncinya memang Anggoro,
sayangnya dia bukan Anggoro dan dia tak tahu apa-apa. “Kurasa Cakrawaja tahu
banyak, Bang. Kalau dia bisa ditangkap dan mau mengakui rencana mereka, mungkin
akan lebih mudah masalahnya selesai sebelum membesar.”
“Cakrawaja adalah anak
salah satu menteri yang punya kedudukan kuat. Meskipun dia sedang tidak rukun
dengan orangtuanya, tapi mereka juga tidak akan tinggal diam kalau Cakrawaja
ditangkap,” kata Singo Abang.
“Jadi dia bisa lolos
meskipun sudah menjahati orang-orang?” tanya Enggar. Singo Abang mengangguk.
“Nggak di jaman ini nggak di masa depan, sama aja ternyata,” gumam Enggar.
“Sepertinya meskipun jaman berganti berkali-kali, peradaban berubah-ubah,
inti-inti kejahatan tetap saja sama.”
“Keadaan di masa depan
sama saja dengan masa sekarang? Berarti kamu tidak perlu susah-susah cari cara
untuk pulang. Kamu bisa tinggal di sini seterusnya. Toh sama saja,” gumam Singo
Abang, cukup jelas terdengar di telinga Enggar.
“Tinggal di sini
seterusnya? Ogah! Aku tetap mau pulang.” Enggar melemparkan batu ke danau. Batu
itu membubarkan kelompok belibis yang asyik berenang, membuat mereka terbang
bersamaan.
“Kamu tidak ingin
bersamaku?” Pertanyaan itu tidak bisa ditahan oleh Singo Abang. Enggar terpaku, menatap Singo Abang yang
memandanginya. “Aku hanya bercanda, tidak perlu dijawab. Oh ya, Mpu Soma sudah
menemui kakak seperguruannya untuk mendiskusikan tentangmu. Tapi aku tidak tahu
sejauh mana pembicaraan mereka. Kamu bisa menanyakannya nanti.”
“Baiklah.” Enggar
berjalan menuju tepi danau. “Bang, aku mau nyebur ke danau, sudah lama nggak
berenang” kata Enggar. Dia melepas sandalnya dan terjun ke danau.
“Hati-hati airnya dingin,” ujar Singo Abang.
“Kenapa nggak dari tadi
bilangnya! seru Enggar, gemetaran menahan dingin.
Singo Abang menahan
senyum. “Gerakanmu lebih cepat daripada kata-kataku.” Laki-laki itu mengulurkan
tangan kirinya, hendak membantu Enggar naik. Gadis itu cemberut kesal, tapi
bergerak menuju Singo Abang. Namun belum sampai tepian, ada sesuatu yang
menahan kaki Enggar.
Tiba-tiba Enggar
tersentak dan tertarik masuk ke dalam air. Tangannya menggapai-gapai, meminta
pertolongan Singo Abang. “Bang!” teriaknya ketika sempat muncul kembali ke
permukaan, sebelum tenggelam lagi. Posisi Enggar sudah agak jauh dari tempatnya
semula.
Laki-laki itu langsung
terjun mengejar Enggar. Rasa menyengat dan nyeri tidak dipedulikan Singo Abang.
Dia menyelam mencari keberadaan Enggar. Tatapannya liar menuju ke segala arah.
Singo Abang naik ke atas untuk mengambil napas lalu masuk ke dalam air lagi.
Dia sangat kuatir dengan keselamatan Enggar karena sudah berada di dalam air
lebih dari kemampuan rata-rata orang bisa menahan napas.
Sesosok tubuh terkulai
di badan air di depan sana. Singo Abang mempercepat gerakannya. Direngkuhnya
tubuh Enggar dan ditarik ke atas. Sesuatu menyangkut di kakinya. Singo Abang
harus melepaskannya dulu. Enggar terangkat begitu kakinya bebas. Singo Abang
meraih tubuhnya dan membawanya ke atas.
Belibis-belibis terbang
dan sebagian berenang menjauh ketika kepala Singo Abang muncul di permukaan
diikuti kepala Enggar. Tangan kanan Singo Abang memeluk Enggar sementara tangan
kirinya mengayuh.
Singo Abang mengerang
kesakitan saat menarik tubuh Enggar keluar dari danau. Tapi dia tidak bisa
beristirahat sekarang. Enggar harus disadarkan. “Bisa tidak sekali-kali tidak
membuatku kuatir,” gerutu Singo Abang sambil memeriksa denyut nadi Enggar. Dia
lalu menekan-nekan perut Enggar untuk mengeluarkan air. “Ayo, bangun, Enggar!”
Singo Abang memukul tanah karena kepalanya mulai berdenyut-denyut hebat dan
pandangan matanya kabur. “Sialan. Awas kalau kamu tidak bangun juga.”
Singo Abang sedikit
mendongakkan kepala Enggar. Sebelum pingsan dia harus sudah bisa menyadarkan
Enggar. Dalam keadaan pandangan mata hampir gelap, Singo Abang memberikan napas
buatan.
Suara Enggar yang sedang terbatuk batuk-batuk dengan air yang keluar dari mulutnya adalah suara terindah yang
pernah didengar Singo Abang sebelum dia hilang kesadaran.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)