Friday, March 31, 2017

Coming Soon... E-Book DIA and SEMPURNA

Dear Friends,
After waiting in a while (due to technical issue, aka mail was "lost in piles of documents in my hometown"), finally I signed the contract to publish DIA and SEMPURNA in E-Book version. I am so excited :).

Another news, I will be joining Indoreadgram on 23 April 2017, a voluntary program to donate my books - signed by myself, for you to read while commuting by train. You can also join the program and donate books you recommend. Kindly check Indoreadgram instagram account to get further detail on the information of the program (@indoreadgram.
Perhaps I will see you in the event ;).




Wednesday, March 01, 2017

Gandrung #17

Pagi itu Singo Abang keluar dari kamar setelah empat hari istirahat total. Agak terkejut dia saat melihat latihan beladiri kali ini karena ada Enggar yang turut serta. Jandul yang ada tak jauh dari lapangan memberinya salam hormat ketika melihatnya.
“Menurutmu dia akan bisa mempelajari ilmu beladiri dengan cepat?” tanya Singo Abang pada Jandul. Laki-laki berkepala pelontos itu mengangguk, segurat senyum menghiasi bibirnya. “Kuharap juga begitu karena keadaan ke depan akan lebih serius. Jandul, sementara kita di sini. Tunggu berita dari Haryo, baru kita lakukan langkah selanjutnya. Aku sudah menyiapkan beberapa strategi yang akan kubahas bersamamu nanti. Sekarang aku mau jalan-jalan sebentar,” kata Singo Abang sambil menepuk pundak Jandul lalu melangkah pergi. Jandul menganggukkan kepala dan mengantar kepergian Singo Abang dengan pandangan matanya.
Enggar melihat kepergian Singo Abang dengan ekor matanya. Sekitar setengah jam kemudian latihan selesai. Enggar membersihkan badan dulu baru pergi mencari Singo Abang. Ada orang yang melihatnya pergi ke danau, jadi ke situ Enggar pergi.
Danau itu ramai oleh burung belibis. Mereka berenang di tepi danau, berombongan. Beberapa terbang rendah dan dengan manis mendarat di permukaan air. Di sisi lain dari danau, Enggar melihat seseorang sedang berdiri dengan posisi kuda-kuda dan kedua tangannya terentang. Perlahan tangan itu bergerak ke depan dan ke samping. Sesekali berhenti, kemudian mulai lagi. Rupanya Singo Abang sedang melatih gerakan tangannya yang terluka, sudah bisa dipergunakan seperti biasa atau tidak.
“Jangan dipaksa dulu lah, Bang, masih sakit gitu. Nanti kalau sudah pulih baru dipakai berolah kanuragan lagi,” ujar Enggar penuh perhatian. Singo Abang hanya berdeham saja sebagai jawaban. “Katanya mau ngomong sama aku. Ngomong apa?” Enggar mencopot ikat kepalanya agar rambutnya yang masih basah lebih cepat kering, mumpung di danau hanya ada mereka berdua. Digerainya rambut hitam sebahu itu. Segarnya kena angin di pinggir danau.
Tidak terdengar keributan belibis, tidak terlihat pepohonan dan danau, tidak terasa embusan angin. Yang diterima panca indera Singo Abang hanya keberadaan Enggar.  
Muka Singo Abang menghangat lagi. Sial.
Laki-laki itu pura-pura memeriksa lukanya untuk mengembalikan fokusnya. Setelah bisa mengerem debaran jantungnya, Singo Abang melihat ke arah Enggar. Tapi hanya sebentar saja karena suara di dalam dadanya berulah lagi. Singo Abang memalingkan muka.
Enggar bepindah dari tempatnya, lalu berdiri di depan Singo Abang, membuat laki-laki itu kaget. “Mau ngomong apa?” tanya Enggar lagi. Wajahnya memerangkap Singo Abang lekat-lekat.
“Maaf aku lengah menjagamu sampai kamu bisa dibawa pergi ke Mertabumi. Kamu sampai dilukai oleh mereka, aku benar-benar menyesal. Ini salahku,” kata Singo Abang serius. Selain serius meminta maaf, dia juga serius berkonsentrasi agar pikirannya tidak terpecah oleh gejolak hatinya.
“Oh.” Enggar menjawab pendek. Ada sedikit rasa kecewa, dipikirnya bukan itu yang mau dibicarakan Singo Abang. “Bukan salahmu kok, Bang.”
“Aku juga ingin mengucapkan terima kasih, kamu telah susah payah membawaku kemari dan merawatku selama di perjalanan,” ujar Singo Abang.
“Kok pembicaraannya jadi resmi begini. Santai saja, Bang.” Enggar cengengesan. Berharap Singo Abang tersenyum. Tapi laki-laki itu hanya diam menatapnya. “Yang kulakukan itu nggak sebanding dengan kebaikan Bang Singo padaku. Abang sudah berkali-kali menyelamatku. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya walaupun suka marah. Selalu bisa diandalkan, meskipun seringnya menyebalkan.” 
Enggar mencoba mengurangi rasa grogi yang menyerangnya akibat tatapan mata Singo Abang.
“Kamu ini mau memuji apa menghina?” Suara Singo Abang meninggi. 
Enggar nyengir. “Bercanda, bang,” kata Enggar sambil nonjok lengan kanan Singo Abang. Cowok itu langsung menyeringai kesakitan. “Maaf, maaf, kena lukanya ya?” Enggar memencet luka itu, antara sengaja dan tidak.
“Hei, kamu ini!” Singo Abang mulai emosi karena Enggar menggoda dia.
“Ya, ya, maaf.” Mulut bilang maaf, tapi tangan maju untuk menyentuh luka Singo Abang. Belum jari-jari Enggar sampai, tangan kiri Singo Abang memelintirnya duluan.
Enggar segera memutar badannya untuk melepaskan diri dari tangan Singo Abang. Salah satu gerakan bela diri yang dipelajarinya di sini berhasil dipraktekkan.
“Kamu sudah berlatih.” Singo Abang manggut-manggut.
“Iyalah.” Enggar membanggakan diri. “Aku selalu kebagian babak belur di Majapahit ini, kalau aku nggak serius belajar beladiri, bisa korban penganiayaan terus. Makanya kuputuskan sejak kembali ke sini aku akan giat berlatih. Nanti sore aku mau berlatih pedang sama Pak Jandul.”
“Aku bisa melatihmu.” Singo Abang menawarkan diri.
“Nggak deh, makasih. Aku susah belajar kalau gurunya galak, cerewet,...”
“Tidak mudah juga punya murid lamban, refleksnya payah, suka menangis, sering pingsan, berisik,” balas Singo Abang.
“Hoi hoi.” Enggar berkacak pinggang tidak terima. “Aku yang begitu ramah, cantik, cerdas dan tanggap begini diremehkan. Abang nggak tahu saja bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. Kalau Bang Singo melihat kepiawaianku bersilat lidah dengan Cakrawaja, Tumenggung Sukmo dan orang bergelang naga itu,  pasti terkagum-kagum padaku.”
“Aku ingin membahas itu denganmu. Kamu belum menceritakan apa yang terjadi di sana. Apa ada informasi yang kamu dapatkan saat pertemuanmu dengan mereka? Suatu rencana mungkin.”
“Itu dia. Mereka terus memaksaku untuk mengatakan pada siapa kuberitahu rencana mereka. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak tahu rencana apa itu. Tapi karena kepiawaianku bersandiwara, aku agak bisa menduga-duga kalau mereka akan melakukan sesuatu terhadap Majapahit. Ketika kubilang Gajah Mada sudah kuberitahu tentang rencana itu dan kuingatkan kalau semua pemberontakan hingga Hayam Wuruk berkuasa bisa diberantas tuntas, mereka agak gentar.”
“Kamu menyebutkan nama Hayam Wuruk? Kamu sudah lupa pesan Mpu Soma?”
“Kepepet, Bang. Yang penting mereka nggak tahu aku dari masa depan, walaupun Cakrawaja sempat menuduhku bukan Anggoro. Untung hanya dia yang curiga, lainnya mengira aku kesurupan. Oh ya, aku jadi ingat. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih sama Abang. Panah beracun waktu itu sebenarnya ditujukan padaku kan? Kalau Bang Singo nggak melindungiku, aku pasti sudah mati.”
“Kamu adalah tanggung jawabku, wajar aku melakukan itu. Tidak usah diungkit lagi. Sampai kamu bertemu dengan Pangeran Palawa, baru aku bisa tenang.” Saat Singo Abang berkata itu, raut wajahnya berubah.
Terlintas kejadian waktu itu. Anak panah yang dilepaskan Cakrawaja meluncur kencang ke arah Enggar. Tinggal sedetik saja sebelum Singo Abang melesat dan memeluk Enggar untuk menghindarkan gadis itu dari bahaya. Satu detik setelah itu sengatan panas menghentak di bawah pundaknya, rasa terbakar menyebar ke punggung. Singo Abang merasakan tubuh Enggar menjadi berat dan mereka berdua terjatuh ke tanah. Saat itulah Singo Abang panik, mengira panahnya tembus hingga ke Enggar.
Untung darah di tubuh Enggar berasal adalah darahnya. Singo Abang pasti akan mengutuk dirinya seumur hidup kalau sampai Enggar terluka. Enggar adalah tanggung jawab yang diberikan padanya oleh Pangeran Palawa untuk dijaga. Dia tidak boleh mengecewakan Pangeran Palawa.
Bohong. Bukan itu alasannya.
“Menurut Bang Singo mereka akan memberontak?” Pertanyaan Enggar membuyarkan lamunan Singo Abang.
“Ya, aku juga curiga begitu. Tapi masih belum ada bukti-bukti kuat. Sementara yang bisa diusut hanyalah tentang pembunuhan Sukmana. Kamu, maksudnya Anggoro, yang seharusnya menjadi saksi kunci tentang pembunuhan maupun keterkaitannya dengan rencana itu tidak bisa dimintai keterangan.”
Enggar menghela napas berat, membenarkan kata-kata Singo Abang barusan. Kuncinya memang Anggoro, sayangnya dia bukan Anggoro dan dia tak tahu apa-apa. “Kurasa Cakrawaja tahu banyak, Bang. Kalau dia bisa ditangkap dan mau mengakui rencana mereka, mungkin akan lebih mudah masalahnya selesai sebelum membesar.”
“Cakrawaja adalah anak salah satu menteri yang punya kedudukan kuat. Meskipun dia sedang tidak rukun dengan orangtuanya, tapi mereka juga tidak akan tinggal diam kalau Cakrawaja ditangkap,” kata Singo Abang.
“Jadi dia bisa lolos meskipun sudah menjahati orang-orang?” tanya Enggar. Singo Abang mengangguk. “Nggak di jaman ini nggak di masa depan, sama aja ternyata,” gumam Enggar. “Sepertinya meskipun jaman berganti berkali-kali, peradaban berubah-ubah, inti-inti kejahatan tetap saja sama.”
“Keadaan di masa depan sama saja dengan masa sekarang? Berarti kamu tidak perlu susah-susah cari cara untuk pulang. Kamu bisa tinggal di sini seterusnya. Toh sama saja,” gumam Singo Abang, cukup jelas terdengar di telinga Enggar.
“Tinggal di sini seterusnya? Ogah! Aku tetap mau pulang.” Enggar melemparkan batu ke danau. Batu itu membubarkan kelompok belibis yang asyik berenang, membuat mereka terbang bersamaan.
“Kamu tidak ingin bersamaku?” Pertanyaan itu tidak bisa ditahan oleh Singo Abang.  Enggar terpaku, menatap Singo Abang yang memandanginya. “Aku hanya bercanda, tidak perlu dijawab. Oh ya, Mpu Soma sudah menemui kakak seperguruannya untuk mendiskusikan tentangmu. Tapi aku tidak tahu sejauh mana pembicaraan mereka. Kamu bisa menanyakannya nanti.”
“Baiklah.” Enggar berjalan menuju tepi danau. “Bang, aku mau nyebur ke danau, sudah lama nggak berenang” kata Enggar. Dia melepas sandalnya dan terjun ke danau. 
 “Hati-hati airnya dingin,” ujar Singo Abang.
“Kenapa nggak dari tadi bilangnya! seru Enggar, gemetaran menahan dingin.
Singo Abang menahan senyum. “Gerakanmu lebih cepat daripada kata-kataku.” Laki-laki itu mengulurkan tangan kirinya, hendak membantu Enggar naik. Gadis itu cemberut kesal, tapi bergerak menuju Singo Abang. Namun belum sampai tepian, ada sesuatu yang menahan kaki Enggar.
Tiba-tiba Enggar tersentak dan tertarik masuk ke dalam air. Tangannya menggapai-gapai, meminta pertolongan Singo Abang. “Bang!” teriaknya ketika sempat muncul kembali ke permukaan, sebelum tenggelam lagi. Posisi Enggar sudah agak jauh dari tempatnya semula.
Laki-laki itu langsung terjun mengejar Enggar. Rasa menyengat dan nyeri tidak dipedulikan Singo Abang. Dia menyelam mencari keberadaan Enggar. Tatapannya liar menuju ke segala arah. Singo Abang naik ke atas untuk mengambil napas lalu masuk ke dalam air lagi. Dia sangat kuatir dengan keselamatan Enggar karena sudah berada di dalam air lebih dari kemampuan rata-rata orang bisa menahan napas.
Sesosok tubuh terkulai di badan air di depan sana. Singo Abang mempercepat gerakannya. Direngkuhnya tubuh Enggar dan ditarik ke atas. Sesuatu menyangkut di kakinya. Singo Abang harus melepaskannya dulu. Enggar terangkat begitu kakinya bebas. Singo Abang meraih tubuhnya dan membawanya ke atas.
Belibis-belibis terbang dan sebagian berenang menjauh ketika kepala Singo Abang muncul di permukaan diikuti kepala Enggar. Tangan kanan Singo Abang memeluk Enggar sementara tangan kirinya mengayuh.
Singo Abang mengerang kesakitan saat menarik tubuh Enggar keluar dari danau. Tapi dia tidak bisa beristirahat sekarang. Enggar harus disadarkan. “Bisa tidak sekali-kali tidak membuatku kuatir,” gerutu Singo Abang sambil memeriksa denyut nadi Enggar. Dia lalu menekan-nekan perut Enggar untuk mengeluarkan air. “Ayo, bangun, Enggar!” Singo Abang memukul tanah karena kepalanya mulai berdenyut-denyut hebat dan pandangan matanya kabur. “Sialan. Awas kalau kamu tidak bangun juga.”
Singo Abang sedikit mendongakkan kepala Enggar. Sebelum pingsan dia harus sudah bisa menyadarkan Enggar. Dalam keadaan pandangan mata hampir gelap, Singo Abang memberikan napas buatan.
Suara Enggar yang sedang terbatuk batuk-batuk dengan air yang keluar dari mulutnya adalah suara terindah yang pernah didengar Singo Abang sebelum dia hilang kesadaran.

***