Wednesday, September 04, 2019

DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia....!


Hai hai hai....!

Masih ingat novelku yang berjudul DIA?
Yang mau kangen-kangenan sama Saka, Denia dan Janu, tunggu ya bulan Oktober nanti DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia. Yang pasti ceritanya disegarkan lagi dengan ending yang berbeda dari versi lamanya. Cover novelnya pasti juga beda dong.... :).
So, ditunggu ya.

Aku juga nggak sabar hehehe...

Salam,
Nonier


Gandrung #23 (TAMAT)


 “Baiklah, aku harus pergi sekarang. Enggar, aku senang sekali melihatmu, apalagi di sini. Besok kalau ada waktu aku akan mengajakmu jalan-jalan ke kotaraja,” janji Haryo. Matanya mengerling menggoda. “Kamu mau apa saja akan kubelikan.”
“Hei hei!” Singo Abang menyeringai. Haryo ini main selonong saja.
Haryo berpamitan dan meninggalkan mereka berdua. Enggar mau tak mau tersenyum geli melihat kelakuan mereka berdua.
“Dasar Haryo, selalu saja menginginkan yang aku suka,” kata Singo Abang. Enggar yang ada di sebelahnya menoleh kaget. Singo Abang yang baru menyadari telah berkata dengan suara lantang itu, menjadi kikuk.
Singo Abang berdehem sembari mencondongkan tubuh ke arah Enggar. Jantung gadis itu berdebar sangat kencang. Apalagi saat Singo Abang meraih kedua tangannya. “Enggar, apa kamu tahu kalau kamu sudah membuatku gila? Kupikir aku sudah tidak bisa lagi mempunyai perasaan yang begitu dalam pada seseorang, tapi aku salah.” 
“Bang...” Suara Enggar bergetar. Lilitan yang terasa di dalam perutnya semakin mengencang. Terbius oleh tatapan mata Singo Abang yang seolah diselimuti kabut.
 “Aku jatuh cinta padamu.” Suara lirih namun tegas dari Singo Abang seperti ledakan kembang api yang sangat indah. Memercikkan rasa sayang yang tak disangka Enggar begitu besar. Kedamaian memeluk hati Enggar.
Perlahan, Singo Abang membelai pipi Enggar, menghapus air mata haru yang mengalir lembut. Lalu memeluknya dengan erat, sepenuh jiwa. “Tidak penting kamu mempunyai perasaan yang sama atau ini hanya hatiku saja, aku mencintaimu. Tidak peduli kamu dari masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu,” bisiknya mesra.
Enggar berkaca-kaca mendengar kata-kata Singo Abang. Perasaannya diselimuti rasa bahagia. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah gelang emas yang cantik diberikannya pada Enggar. “Ini untukmu. Aku mengukirkan namamu di belakangnya, kuharap kamu suka.”
Saat Singo Abang hendak memasangkan gelang itu ke tangan Enggar, terdengar pekikan elang Singo Abang. Suaranya dekat tapi dia tidak tampak. Sesuatu terjadi padanya karena pekikan tadi menandakan dia kesakitan atau terluka. Singo Abang terpaksa menyadarkan diri dari suasana mabuk kepayang dan mencari dimana elangnya. “Suaranya dari sebelah sana.” Singo Abang melangkah, tapi kemudian berbalik. “Jangan kemana-mana, aku akan segera kembali.” Singo Abang pergi meninggalkan Enggar dengan senyuman yang paling indah.
Begitu Singo Abang menjauh, Enggar terduduk di bangku, membungkam mulutnya yang menganga. Enggar bisa mendengar suara kembang api di dadanya. Hatinya serasa mekar berbunga.  
Suara gemeresak tanaman di samping kolam membuat Enggar menengadahkan wajah. “Bang, apa ketemu elangnya?”
Enggar terkesiap dan mukanya pucat. Bukan Singo Abang yang datang, tapi Cakrawaja yang berdiri di sampingnya dengan tangan menggenggam batu. Enggar hendak berteriak, tapi Cakrawaja sudah keburu menyergapnya.
“Kau harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku. Kalau aku jatuh, kau akan ikut bersamaku,” desisnya penuh amarah.
“Enak saja jatuh ngajak-ngajak orang. Makan-makan baru ngajak orang. Asal kamu tahu ya, rencana jahatmu tidak akan berhasil. Jadi lebih baik sekarang kamu tobat, bertanggung jawab atas perbuatanmu dan tidak mencari masalah lagi.”
“Banyak omong kau!”
“Biarin!”
Enggar berontak. Dia menginjak kaki Cakrawaja, menyodok perutnya dan menggigit tangannya. Sekuat tenaga Enggar berlari menjauh dari Cakrawaja. Tetapi karena dia masih belum hafal tempat itu, Enggar justru terpojok di salah satu sudut taman.
“Aku akan menghabisimu!” teriak Cakrawaja.
Amarah dan dendam sudah merasuki Cakrawaja. Dia sudah tidak memikirkan lagi yang dihadapannya adalah seorang perempuan yang tidak sebanding kekuatan dan ilmu kanuragan dengannya.
Enggar beberapa kali berhasil lolos, tapi Cakrawaja bisa menangkapnya. Semua jurus yang diingat Enggar dikeluarkan, namun lawannya terlalu tangguh. Ketika Cakrawaja melayangkan pukulan bertubi-tubi, Enggar hanya sempat menangkis beberapa kali. Saat dia berbalik hendak melarikan diri, sebuah pukulan berat di belakang kepala. Enggar terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.
Tak jauh dari situ, Singo Abang datang dengan sedikit kesal.
“Ada yang memanah elangku.” Singo Abang datang dengan menopang seekor elang yang sayapnya terluka di tangannya. “Enggar! Enggar! Kamu dimana?” Singo Abang panik tidak menemukan Enggar di tempatnya semula. Seperti orang kesetanan dia mencari ke sana kemari.
Jantung Singo Abang seakan berhenti berdetak ketika menemukan Enggar tergolek di sisi barat taman. Diperiksanya keadaan Enggar, masih hidup.
Singo Abang buru-buru menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Panggil tabib, cepat!” teriaknya mengagetkan Mbok Sorjan yang sedang lewat. Mbok Sorjan pun segera melaksanakan perintah.
Singo Abang membaringkan Enggar di ranjang. Diperiksanya sekali lagi keadaannya. Kepalanya terluka dan mengeluarkan darah. Kurang ajar, siapa yang melakukannya?
“Enggar, bangunlah. Jangan melakukan ini padaku terus-menerus. Kasihanilah jantungku ini.” Singo Abang memberi bau-bauan agar Enggar sadar. Kepala gadis itu bergerak dan matanya mulai membuka. “Enggar, kamu bisa melihatku? Tabib sebentar lagi datang.” Singo Abang menyeka darah yang masih mengalir di kepala gadis itu.
“Hhh... dimana aku?” gumam gadis itu lirih.
“Di kamarku. Tabib akan segera datang, jangan terlalu banyak bergerak.”
“Jangan serahkan aku pada orang-orang itu. Aku tidak membunuh Sukmana,” gumam gadis itu lirih. Kain di tangan Singo Abang yang digunakan untuk menyeka darah itu seketika terjatuh.
Tubuh Singo Abang lemas. Pikirannya berkecamuk mendengar omongan gadis yang terbaring di hadapannya. Dia menduga-duga dan sangat ingin dugaannya salah. “Apa kamu ingat namamu?” tanya Singo Abang. Suaranya bergetar.
“Ya. Namaku Anggoro.”
***

Hari ini berlalu seperti biasanya, tapi tidak bagi Singo Abang. Kenyataan bahwa Enggar telah pulang, dengan cara yang tak terduga, membuatnya serasa bangun dari mimpi. Mimpi yang diharapkannya tidak akan berakhir.
Hatinya sudah dibawa kabur oleh gadis itu. Tanpa bekas, tanpa sisa. Dia ingin memintanya kembali, tapi apa yang bisa dilakukan? Kalau hanya tujuh ratus kilometer jarak untuk mencapainya, Singo Abang akan pergi. Kalau hanya tujuh ratus hari perjalanan menuju kesana, Singo Abang akan berangkat. Ini tujuh ratus tahun. Bagaimana caranya bertemu kekasih hatinya?
***
Di hadapannya seraut wajah gembira menyambut. Tangan kiri ibunya menggenggamnya erat, tangan kanannya mengelus kepala Enggar. Seorang suster datang, disusul dokter. Dokter laki-laki itu bertanya beberapa hal sembari mengecek kondisi Enggar, memastikannya benar-benar sadar.
Air mata Enggar meleleh. Dia tahu dia sudah pulang ke masanya. Bunyi peralatan medis, selang oksigen, lampu terang dan harum pembersih lantai memastikan dia tidak lagi berada di jaman Majapahit. Seharusnya dia merasa senang, bertemu lagi dengan keluarga dan orang-orang yang menyayanginya. Tapi hatinya begitu sedih karena perpisahannya dengan Singo Abang tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Enggar menutup mata, berharap mimpi akan membawanya kembali untuk mengatakan perasaannya, bahwa dia juga mencintai laki-laki itu.   
***

EPILOG

Sudah enam bulan sejak dia sadar dari koma, pikirnya rasa sesak di dada karena rindu pada sosok laki-laki itu akan hilang. Ternyata tidak. Kadang-kadang sengaja Enggar tidur lebih lama, berharap mimpi bisa membawanya melintasi ruang dan waktu untuk bertemu Singo Abang lagi, tapi itu tidak pernah terjadi.
Hari ini pertama kalinya sejak gempa waktu itu Enggar menginjakkan lagi kakinya ke Museum Nasional. Kali ini dia yang mengajak Ito pergi. Hanya sekedar ingin melepas sesak di dada, berharap ada keajaiban atau apalah yang bisa membuat hatinya tenang. Atau setidaknya membuatnya benar-benar sadar bahwa apa yang dialaminya waktu itu benar-benar ilusi.
Cara pandangnya terhadap benda-benda yang ada di sana, terutama benda-benda dari jaman Majapahit berubah seratus delapan puluh derajat. Benda-benda itu terlihat jauh lebih indah meski penampakannya sebagian tidak utuh lagi.
“Mana sih orangnya kok tidak datang juga. Aku sudah tidak sabar melihat koleksi terbaru museum ini. Ingat yang pernah kubilang seniorku menemukan gelang dan perkamen dari jaman Majapahit waktu itu? Setelah diterjemahkan isi perkamennya, ternyata itu adalah surat cinta. Romantis sekali. Tahu kepada siapa surat cinta itu ditujukan? Dugaannya surat cinta itu untuk gadis yang namanya terukir dalam gelang emas,” kata Ito. Enggar tidak begitu memperhatikan omongan Ito. Perhatiannya tertuju pada sesuatu yang menarik perhatiannya di jajaran rak-rak kaca.
Napas Enggar tertahan saat melihat sebentuk celengan babi hutan di salah satu rak. Babi hutan yang gemuk dengan pipi tembem, perut besar dan wajah lucu. Sebagian badannya seperti mozaik karena sebenarnya sudah pecah, tapi direkatkan ulang dan ditambal. Tangan Enggar menggapainya, dadanya mulai berdebar-debar tidak keruan. Ini celengan buatan Sanip. Dia mengenalinya. Tidak mungkin salah.
Apa artinya yang terjadi padanya bisa jadi nyata?
Enggar menghirup napas dalam-dalam, memastikan semuanya hanya kebetulan. Bahwa dia hanya mencocokkan apa yang ada di sini dengan apa yang terjadi di mimpinya. Tidak ada bukti dia pernah berada di jaman Majapahit. Tidak akan pernah ada.
 “Di gelang itu terukir nama Enggar Penggalih, percaya nggak? Enggar Penggalih. Namanya sama persis dengan namamu. Ajaib kan? Aku jadi penasaran, itu nama seorang puteri atau bukan ya. Sudah kucoba googling, tapi tidak ketemu jawabannya,” lanjut Ito sambil tertawa-tawa. Enggar yang mendengar kata-kata Ito semakin deg deg an.
“Dimana senior Mas Ito sekarang?” tanya Enggar, mengguncang-guncang lengan kakaknya yang terheran-heran.
“Itu dia, kutelepon dari tadi tidak diangkat. Hei, Enggar. Mau kemana?” Ito memanggil adiknya yang tiba-tiba berlari ke Gedung Arca. Mau tidak mau Ito mengejar sambil terus berusaha menghubungi seniornya.
Napas Enggar tersengal-sengal saat tiba di ruang yang berisi koleksi perhiasan dari berbagai masa. Dengan cepat Enggar mencari gelang yang dimaksudkan oleh Ito di antara puluhan koleksi perhiasan dari seluruh nusantara. Langkahnya terhenti salah satu kotak kaca yang ditempatkan tersendiri. Perlahan Enggar berjalan, mendekatinya. Tubuhnya gemetaran, menatap nanar pada sebuah gelang yang dipajang dengan sebuah perkamen di sebelahnya. Aksara jawa kuno tampak samar tertulis dalam perkamen itu.
Gelang itu, Enggar mengenalnya.
“Tidak peduli kamu dari masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu.” Terdengar seseorang berkata. “Kira-kira begitu isi perkamennya. Orang jaman dahulu romantis,” lanjut orang itu.
Enggar menoleh ke belakang dan sontak gemetaran seperti melihat hantu.
“Enggar!” Ito datang menyusul. “Lho, Mas Bara di sini? Aku telepon tidak diangkat-angkat. Mana temuan Mas Bara yang dipajang di museum. Itu ya? Itu gelang untuk adikku, Enggar Penggalih? Hehehe.”
Laki-laki yang disebut Bara menganggukkan kepala.
“Enggar, ini Mas Bara, seniorku. Dia dulu yang menyelamatkanmu dari reruntuhan saat gempa di sini. Mas, masih ingat, ini adikku yang Mas Bara gendong keluar museum.” Ito memperkenalkan mereka berdua lagi. “Lho, kok pada lihat-lihatan, diam-diaman. Lho, kok kamu nangis, Enggar?” 
“Kamu yang menyelamatkanku?” tanya Enggar pada Bara. “Terima kasih.”
“Aku senang kamu baik-baik saja.” Senyum Bara membuat Enggar makin berlinang air mata.
Angin berembus melewati pintu dan jendela-jendela. Bara mendekatinya, menyerahkan sapu tangan pada Enggar yang masih terus menangis tanpa suara.   
***