Tuesday, December 27, 2016

Gandrung #13

Hari sudah malam saat mereka tiba di Mertabumi. Perjalanan dua hari dengan hanya sedikit istirahat membuat semua orang lelah. Enggar yang tidak bicara sama sekali setelah tertangkap lagi, tampak kusut. Dia marah dan benci dengan Haryo. Orang itu tenyata bersekongkol dengan Cakrawaja untuk membawanya kembali ke Mertabumi.
Enggar dibawa ke sebuah rumah yang agak terpisah dengan rumah-rumah yang lain. Dia dikurung di kamar dengan penjagaan ketat.
“Kamu akan baik-baik di sini. Jangan melarikan diri karena sangat berbahaya. Aku akan segera kembali,” bisik Haryo padanya sebelum pergi bersama Cakrawaja. Enggar melengos, sama sekali tidak mau menatap mata Haryo. “Tidak seorangpun boleh mengganggunya, mengerti?” kata dia pada para penjaga di situ.
Enggar mengelilingi ruangan yang hanya berisikan satu balai-balai, satu meja dan satu kursi itu. Dia benar-benar seperti dalam penjara. Tidak ada jendela di sini. Hanya ada satu pintu untuk keluar. Tidak ada sendok untuk menggali. Hanya ada kendi berisi air  dan piring berisi makanan di atas meja.
Gadis itu duduk di kursi, mengamati makanan di meja. Dia sudah lapar, tapi ragu mau mengganyang makanan itu. Siapa tahu beracun. Meski ditahannya, tangannya terulur menyentuh makanan itu. Dibukanya bungkus dari daun pisang itu, kemudian disentuhnya isi di dalamnya dengan jari telunjuk. Perlahan dijilatnya jari telunjuknya. Tidak berasa aneh. Diendusnya beberapa kali, kemudian dijilat lagi. Enggar menunggu reaksi. Setelah agak yakin makanan itu tidak diberi racun, dia memakannya.
Makanan di piring ludes dalam waktu cepat dan setelahnya Enggar hanya bisa bersandar di kursi kekenyangan. Lalu terasa reaksi yang aneh. Tubuh Enggar terguling dari atas kursi dan tertelungkup di tanah. Nyenyak.
Di luar rumah tahanan itu, Cakrawaja dan Haryo sedang berjalan menuju ke rumah Tumenggung Sukmo yang ada di pusat Mertabumi, sekitar dua kilometer dari tempat mereka sekarang.
“Kau yakin dia tidak akan kabur?” tanya Cakrawaja.
“Dia sudah makan obat tidurnya. Satu piring dihabiskannya, dia akan bangun besok malam. Itu akan menghemat energi kita untuk tidak menguatirkannya,” ujar Haryo, menghela napas panjang.
“Kita tidak mengkuatirkannya atau kau tidak mengkuatirkannya?” tanya Cakrawaja dengan seringai aneh.
Haryo meliriknya. “Apa maksudmu?”
“Kupikir kau tidak pernah peduli dengan gadis manapun. Kau sudah berubah sekarang karena dia? Hahaha. Kau memilih gadis yang salah, Haryo. Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa dan dia akan kembali dari negeri seberang beberapa minggu lagi.” Cakrawaja tampak senang.
“Cakrawaja, ingat tujuan kita semula. Kamu akan dapat nama baik dan orang tuamu akan mengembalikanmu ke daftar penerima warisan kalau kita bisa mengungkap misteri pembunuhan Sukmana. Jadi, jangan merusaknya dengan mengusik urusan pribadiku atau kubawa Eng...Anggoro pergi dan kamu tidak mendapat apa-apa.”
Cakrawaja tersenyum sinis. Biarkan saja Haryo berpikir dia melakukannya untuk mendapatkan nama baik. Haryo tidak tahu kalau Cakrawaja punya rencana lain. Sekali tepuk dua nyamuk mati.   
***

Mereka bertiga duduk semeja. Dalam suasana formal, biasanya Tumenggung Sukmo akan berada di meja lain karena kedudukan kedua orang di hadapannya lebih tinggi darinya. Tapi untuk malam ini itu bukan masalah.
“Apa yang hamba bisa bantu, Tuanku? Malam-malam begini Tuanku berdua datang ke rumah hamba pasti ada hal yang penting,” kata Tumenggung Sukmo kepada Cakrawaja dan Haryo.
“Maaf mengganggu tidurmu, Tumenggung Sukmo. Kami kebetulan saja lewat dan mampir. Sebenarnya besok pagi kami ingin kesini, tapi nampaknya semakin cepat semakin baik. Istana ingin mengetahui bagaimana kelanjutan dari kasus Puteri Anggoro,”  kata Haryo.
Tumenggung Sukmo mendongakkan wajah. “Maksud, Tuanku? Kasus itu sudah selesai, tidak ada kelanjutan. Puteri Anggoro sempat melarikan diri saat hendak dihukum mati, tapi dia sudah diketemukan.”
“Dalam keadaan terbakar?” sahut Cakrawaja. “Bukannya itu sedikit aneh?”
“Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, kami hanya menemukannya dalam keadaan seperti itu. Mungkin dia dan orang yang menolongnya berurusan dengan pihak lain,” kata Tumenggung Sukmo dengan senyum meyakinkan.
“Bagaimana kau yakin itu Anggoro, Tumenggung?” Haryo meneguk minuman yang disuguhkan. “Bagaimana kamu bisa mengenalinya dengan kondisi yang seperti itu?”
“Cincin yang dikenakan. Ya. Dia mengenakan cincin yang tidak mungkin orang lain punya. Cincin dari Pangeran Palawa. Puteri Anggoro pernah menceritakan soal cincin itu,” jawab Tumenggung Sukmo sambil berdehem.
“Kamu menyimpannya?” lanjut Haryo.
Tumenggung Sukmo sedikit merubah posisi duduknya. “Tidak, kami menguburnya bersama dengan Puteri Anggoro.”
“Jayengwangsa sudah kembali ke Mertabumi?” tanya Haryo. Tumenggung Sukmo menggeleng. “Puteri Anggoro sudah ditemukan, untuk apa kamu tetap meminta Jayengwangsa meneruskan pencarian?” kejar Haryo.
Tumenggung Sukmo menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Hamba menyuruhnya untuk menyelesaikan tugas lain. Si penculik masih jadi buronan. Dia harus ditangkap untuk bisa mengorek informasi siapa yang menyuruhnya. Hamba mencurigai penculikan Puteri Anggoro bermuatan politis.”
Pinter juga nih Tumenggung ngeles. Cakrawaja hendak bicara, tapi Haryo mencegahnya. “Tumenggung Sukmo, kami ingin mengajakmu ke suatu tempat, menemui seseorang.”
“Sekarang, Tuanku?” Tumenggung Sukmo menatap Haryo dan Cakrawaja bergantian. Ajakan Haryo nampaknya mempunyai maksud lain dari hanya sekedar mengajak pergi. “Boleh saya mengajak Jayengwira?” Pertanyaannya dijawab anggukan oleh Haryo. Tumenggung Sukmo pamit ke belakang dan kembali bersama Jayengwira. Mereka berempat pergi dengan kuda masing-masing, menuju tempat Enggar ditahan.
Mijil sedang keluar dari rumahnya ketika melihat mereka lewat. Pangeran Haryo ada di Mertabumi lagi, mencurigakan. Apalagi bersama-sama dengan Tumenggung Sukmo dan Pangeran Cakrawaja. Mijil diam-diam mengikuti kemana rombongan itu pergi.
Tidak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah paling ujung di Mertabumi. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira saling melihat, menebak-nebak maksud dari dua pangeran itu membawa mereka ke sana. Haryo dan Cakrawaja turun dari kuda, diikuti Tumenggung Sukmo dan Jayengwira.
“Kau tahu rumah siapa ini?” tanya Cakrawaja.
“Ini rumah Ki Waji. Sudah sebulan kosong. Hamba tidak tahu Tuanku berdua menginap di sini. Kalau Tuanku berkenan menginap di tempat hamba.”
“Itu tidak penting,” kata Haryo. “Silahkan masuk.” Haryo mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju ke sebuah kamar dengan pintu terkunci. Haryo membuka pintu itu.
Tumenggung Sukmo dan Jayengwira tersentak ketika melihat sosok gadis yang terbaring di atas balai-balai, tertidur lelap. Meskipun dandanannya berbeda, tetapi wajahnya amat mereka kenal.
“Itu...Itu...” Tumenggung Sukmo kesulitan untuk meneruskan kata-katanya.
“Puteri Anggoro.” Cakrawaja yang menjawab. “Dia masih hidup.”
Muka keduanya pucat. Haryo bisa melihat tangan mereka gemetaran. “Bagaimana mungkin Puteri Anggoro masih hidup?” tanya Tumenggung Sukmo.
“Tumenggung Sukmo, ada yang mau kamu ceritakan pada kami sebelum kami memberimu banyak pertanyaan?” tanya Haryo yang mempersilahkan mereka keluar dari kamar itu.
“Jadi siapa yang meninggal dalam keadaan terbakar itu, Jayengwira? Kau yang menemukannya kan? Kalau ini Puteri Anggoro, jadi siapa yang kau temukan?” tanya Tumenggung Sukmo pada Jayengwira.
“Kakang, aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin ada dua orang yang sama. Yang terbakar itu benar-benar Puteri Anggoro. Cincin yang dikenakannya adalah milik Puteri Anggoro.” Jayengwira nampak kebingunan. “Tuanku, dimana Tuanku menemukan Puteri Anggoro ini?”
“Tidak penting bagaimana kami menemukannya. Ada yang tidak beres dengan kasus ini sejak awal. Aku membawa perintah dari istana untuk menyelidiki ulang kasus pembunuhan Sukmana. Puteri Anggoro kemungkinan hanya dijebak. Aku akan membawanya ke istana untuk mendapatkan pengadilan.” Haryo menatap Tumenggung Sukmo tajam.
“Tapi kejadiannya sudah jelas. Puteri Anggoro membunuh anak hamba.”
“Itu akan kita lihat lagi, Tumenggung Sukmo. Aku diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Aku akan minta bantuanmu menghadirkan saksi-saksi untuk menemuiku. Setelah kamu kembali ke rumah, buatlah daftar nama-nama siapa saja yang ada pada hari pembunuhan itu, serahkan padaku dan aku akan memanggil mereka satu per satu. Mengerti?” perintah Haryo.
“B..baik, Tuanku.” Tumenggung Sukmo dan Jayengwira berpamitan pada Haryo dan Cakrawaja. Mereka pergi dengan keresahan di wajah mereka.
“Kau diberi wewenang istana untuk menyelidiki ulang kasus ini?” tanya Cakrawaja. “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Sekarang kamu sudah tahu.” Haryo masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek keadaan Enggar. Sebentar lagi mungkin dia akan sadar.
Cakrawaja mengepalkan tangan, kesal pada Haryo Tindakan Haryo memaksanya untuk menemui seseorang agar rencananya tidak terganggu.
***

Mata Enggar tidak berkedip menatap Haryo. Bukan dengan pandangan penuh kekaguman seperti biasanya, tapi pandangan sebal luar biasa. Orang yang selama ini dipikirnya baik, ternyata punya udang di balik tepung.
“Apa kamu tidak akan bicara padaku sama sekali? Aku tidak mendengar suaramu dua hari ini. Padahal biasanya kamu...” Haryo tidak meneruskan kalimatnya karena Enggar melengos. “Maafkan aku, Enggar, tapi aku harus melakukan ini untuk menyelesaikan tugasku. Dan itu akan membantumu juga untuk terbebas dari masalah yang sebenarnya memang tidak ada hubungannya denganmu sebagai Enggar, tapi terkait erat denganmu sebagai Anggoro. Kehadiranmu di sini akan membongkar apapun yang direncanakan oleh orang-orang tertentu pada kerajaan Majapahit. Rencana yang tidak baik.”
Haryo mendekat ke balai-balai tempat Enggar duduk, tapi Enggar menggebrak balai-balai itu. Haryo nggak jadi mendekat.
“Seharusnya aku memberitahumu sebelum membawamu kemari. Tapi aku sudah pernah mencoba mengajakmu kesini kan? Waktu kita makan ikan bakar di sungai?” Haryo tersenyum, tiba-tiba saja teringat saat Enggar kejebur. “Seperti yang pernah kamu bilang, membawamu ke istana untuk bertemu Pangeran Palawa dan Hakim Jogoroso akan percuma saja, karena kamu bukan Puteri Anggoro. Dan tujuan Barata membawamu menemui Mpu Soma untuk mendapatkan cara kembali ke masa depan juga tidak membuahkan hasil. Daripada tidak ada hal yang bisa dilakukan, kamu lebih baik kubawa kemari dan menuntaskan masalah utama yang terkait denganmu sebagai Anggoro. Aku akan menanyai orang-orang yang ada di tempat kejadian dan menyelidiki beberapa hal. Kehadiranmu di sini sudah menciptakan riak di danau yang tenang. Tidak lama lagi suasana akan bergolak. Semakin cepat kasus ini selesai, semakin baik, karena kamu akan bisa konsentrasi untuk mencari jalan pulang, tanpa harus dikejar-kejar mereka lagi. Orang-orang yang ingin mencelakaimu kemungkinan besar akan mendatangimu. Jangan takut, aku menempatkan beberapa orang kepercayaanku untuk menjagamu di sini, kamu tidak perlu kuatir.”
Kata-kata Haryo sungguh terdengar manis di telinga Enggar, tapi menyadari dia digunakan sebagai umpan, Enggar emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan mendatangi Haryo, lalu meninju dada laki-laki itu. Haryo spontan menghindar, sehingga tangan Enggar mendarat di dinding. Enggar jongkok sambil meniupi tangannya agar rasa panasnya berkurang.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Haryo meraih tangan Enggar dan mengelusnya lembut. “Sakit?” tanya Haryo. Enggar mau menyemprot Haryo dengan banyak kata, tapi mata Haryo menguncinya. Dia sepertinya sungguh-sungguh kuatir padanya. Sesaat Enggar meleleh.
Enggar membuka pintu kamarnya dan mendorong Haryo keluar sebelum dia luluh. Dibantingnya pintu itu keras-keras saat Haryo sudah berada di luar. Enggar tidak mau berurusan dengannya.
Gadis itu menuju pojok ruangan, menempelkan tubuhnya ke dinding. berpikir keras kenapa harus terkirim ke Majapahit, “menjadi” Puteri Anggoro yang terlibat pembunuhan, terkait dengan sebuah “rencana” yang dia sama sekali tidak tahu.
Enggar membalikkan badan lalu tubuhnya melorot hingga jongkok. Mau menangis, tapi air matanya tidak keluar. Sudah mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan terisak-isak palsu, masih saja tidak berhasil.
Rencana pada Majapahit. Rencana yang tidak baik. Rencana apa? Singo Abang pernah menyebut hal itu juga, jadi kemungkinan besar memang ada sebuah rencana. Enggar mengerutkan dahi, mengingat-ingat apa yang sudah diketahuinya tentang sejarah Majapahit yang terhubung dengan nama-nama seperti Anggoro, Sukmo, Cakrawaja, Jayengwira dan sebagainya. Tidak, dia tidak tahu.
Pemberontakan Ranggalawe, Sora, Nambi, Ra Kuti, Enggar menduga-duga kemungkinan yang disebut rencana itu adalah rencana pemberontakan. Tapi pemberontakan yang dipikirkannya sudah terjadi.
Suara guntur menggelegar, mengagetkan Enggar. Dia buru-buru bangun dan naik ke atas balai-balai. Udara dingin menyelusup masuk. Enggar duduk memeluk kakinya. Pintu ruangan itu terbuka. Haryo datang membawa selimut. Dia tahu Enggar masih marah, jadi Haryo hanya meletakkan selimut itu di balai-balai, lalu pergi lagi. Enggar mengambil kain tebal itu dan membungkus dirinya.
Sesuatu terjatuh di samping Enggar. Sebuah keris kecil, kemungkinan diselipkan di lipatan kain. Enggar mengambilnya. Apa Haryo sengaja memberikan padanya untuk melindungi diri? Enggar memandang pintu dan keris kecil itu bergantian. Dia akan menyimpannya.
Kantuk tidak memberi kesempatan pada Enggar untuk meneruskan usahanya mencari jawaban. Dia terlelap, tepat saat seseorang meniupkan asap dari bambu kecil yang diselipkan ke lubang dinding.

*** 

Wednesday, December 21, 2016

Gandrung #12

“Aku ingin bicara berdua saja dengan Enggar,” kata Mpu Soma ketika Singo Abang dan Haryo berdiri dari duduknya. Mpu Soma mengajak Enggar jalan-jalan di malam hari ini.
Udara pegunungan yang dingin memaksa Enggar menyelimuti tubuhnya dengan kain. Mereka berjalan pelan-pelan menuju danau yang berada di belakang petak tanaman obat. Enggar baru tahu di sana ada danau karena tertutup oleh jajaran pepohonan.
Sinar bulan yang mengantung di langit dipantulkan oleh permukaan danau. Airnya yang tenang seperti sebuah cermin raksasa. Bayangan pepohonan di pinggir danau juga nampak di sana. Enggar merasa sedang berada di dunia lain dengan keheningan yang membius itu.
Mpu Soma mempersilahkan Enggar duduk di sebuah batu besar, sementara dia duduk di batu yang berada tak jauh dari Enggar. Orang tua itu memejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam.
“Bagaimana menurutmu tempat ini?”
“Tenang dan indah. Tapi lumayan bikin seram kalau kesini sendirian. Takut tiba-tiba muncul monster dari dalam sana hehehe,” kata Enggar setengah bercanda setengah serius. Enggar menghela napas panjang sebelum bicara lagi. “Maaf, Mpu. Saya tidak tahu Bang Singo sudah cerita apa saja, tapi saya butuh bantuan Mpu untuk pulang ke jaman saya. Saya nggak mungkin berada di sini.”
“Benar. Apalagi dengan pengetahuanmu.”
“Maksudnya?” Enggar tidak mengerti.
“Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit.” Mpu Soma terdiam sejenak, memberi kesempatan pada Enggar untuk memahami arah pembicaraannya. “Kamu tahu itu?”
“Nggak juga...” Enggar nyengir malu.
“Kerajaan ini masih belum kuat. Banyak orang menginginkan apa yang bukan hak mereka. Apa yang seharusnya dilakukan, tidak dilakukan. Apa yang seharusnya tidak dilakukan malah dikerjakan. Semuanya berebut, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.” Mpu Soma memandang ke arah langit.
Enggar merapatkan kain yang menyelimutinya. Pembicaraan tingkat tinggi begini bukan yang diharapkannya. Pikirannya sederhana saja. Dia mau kembali ke masa depan, apa Mpu Soma bisa membantunya?
“Mpu, maaf nih, memotong. Bagaimana saya bisa pulang?”
“Sebelum membicarakan tentang hal itu, aku ingin kamu mengerti dulu posisimu saat ini, karena itu yang akan kamu hadapi nanti. Kedatanganmu bisa membawa kepada dua hal. Kesiapan dan bencana,” kata Mpu Soma, makin serius.
“Bencana? Jangan membuat saya takut, Mpu. Memangnya apa yang bisa saya lalukan sampai menimbulkan bencana?” tanya Enggar masih belum paham.
“Seperti yang kusampaikan tadi. Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit sangat berbahaya. Singo Abang memberitahuku tentang Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Itu salah satu contoh saja. Aku yakin kamu tahu lebih banyak dari sekedar itu.” Mpu Soma menatap Enggar dalam-dalam.
Enggar mengatupkan mulut. Dia memang tahu beberapa hal tentang Majapahit, mulai berdiri hingga keruntuhannya, dari buku dan pelajaran sejarah. Tapi pengetahuan itu  juga belum tentu semuanya benar seratus persen.  “Bagaimana itu bisa menjadi bencana, Mpu?”
“Pengetahuan adalah senjata. Kalau kamu membicarakan pengetahuanmu pada orang yang berambisi untuk berkuasa, mereka akan membuat langkah-langkah untuk memastikan pengetahuanmu sejalan dengan mereka.”
“Saya tidak memberitahu siapa-siapa kok, hanya ke Bang Singo. Hanya tentang Hayam Wuruk jadi raja dan Gajah Mada jadi Mahapatih. Itu saja.”
“Ada beberapa orang yang bisa membaca tanda masa depan, tapi hanya mampu memberi peringatan apa yang akan terjadi dengan Majapahit nantinya. Tetapi kamu, kamu sudah berada di masa depan, dimana segala sesuatu yang menimpa Majapahit adalah sebuah kepastian. Kamu tahu siapa, kapan, dimana, dan bagaimana itu terjadi.”
Makin runyam urusannya. Enggar tidak berpikir sampai kesitu. Lagipula dia tidak tahu detail tentang Majapahit. Guru sejarah mungkin lebih tau.
“Yang ingin kukatakan adalah kamu harus berhati-hati selama di sini. Identitasmu harus dijaga kerahasiannya. Apalagi saat ini kamu sedang diburu oleh orang-orang tertentu. Mungkin mereka memburumu untuk alasan pembunuhan di Mertabumi, tapi kalau mereka sampai tahu mengenai jati dirimu, mereka pasti menginginkan hal yang lebih dan itu sangat berbahaya bagi kerajaan ini nantinya. Sampai kamu menemukan cara untuk kembali, kamu harus mengunci rapat pengetahuanmu,” kata Mpu Soma.
“Lalu bagaimana caranya saya kembali?”
“Maaf, anakku. Saat ini aku benar-benar tidak tahu,” ucap Mpu Soma lirih.
“Terus bagaimana saya?” Bibir Enggar mulai bergetar menahan tangis. Dia menaruh harapan besar Mpu Soma bisa membantu.
“Tapi aku akan mencari cara untuk membantumu,” janji Mpu Soma. “Sementara tinggallah di sini dulu. Renungkanlah apa yang kusampaikan tadi.”
Enggar lemes. Dia pikir malam ini akan dapat berita bahagia, ternyata malah berita yang menambah kadar stres. Caranya begini dia harus berusaha sendiri untuk cari alternatif cara pulang. Salah satunya adalah dengan sugesti bahwa semua ini adalah mimpi dan dia ketika dia terbangun, semuanya kembali normal. Kesimpulannya, dia harus segera tidur.
Enggar kembali ke pondok setelah berpamitan. Mpu Soma hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Enggar hilang di balik pepohonan, Mpu Soma berjalan menembus kabut, menuju pondok  obatnya di belakang.
Haryo yang menyambut Enggar pertama kali terlihat sedikit cemas karena ekspresi wajah Enggar tidak menunjukkan kegembiraan. Singo Abang yang menunggu di depan pintu pondoknya mengepalkan tangan. Mpu Soma sepertinya belum bisa berbuat apa-apa. Harus kemana lagi mencari bantuan untuk Enggar.
***

Enggar terbangun dengan napas tersengal. Baru saja dia bermimpi buruk, diburu oleh Cakrawaja. “Aaaaaaa!” Enggar menjerit ketika melihat sesosok bayangan hitam  menjulang di hadapannya mengacungkan pedang. Spontan Enggar mengambil benda-benda di sekitarnya dan melemparkan ke arah sosok itu. Bayangan itu mundur, tampak kaget karena tidak menyangka Enggar akan bangun dan langsung berkelebat pergi, seperti angin.
Tergopoh-gopoh Enggar keluar dari pondok. Dia kebingungan hendak lari kemana. Kabut hanya memberinya jarak satu meter untuk melihat. Sambil meraba-raba Enggar berlari. Lalu dia menabrak seseorang.
“Jangan bunuh aku!” teriaknya sambil menutupi kepalanya.
“Enggar!” Orang itu menguncang badan Enggar ketika dia meronta-ronta seperti kesetanan. “Kamu kenapa? Berhenti memukuliku. Ini aku, Singo Abang.”
“Bang, ada yang mau membunuhku! Huhuhu, nggak sanggup lagi, aku mau pulang. Aku nggak mau mati di sini. Bunda...” Enggar jongkok dengan lutut gemetaran. Singo Abang dengan lembut menariknya berdiri.
 Nyala titik-titik api muncul dari balik kabut. Sebentar kemudian orang-orang mendekat, mengerumuni Singo Abang dan Enggar yang tampak ganjil. Dua orang laki-laki berpelukan begitu.
“Ada penyusup, dia menyerang adikku. Cepat periksa sekitar sini!” seru Singo Abang pada orang-orang itu sebelum mereka berpikir yang aneh-aneh. Mereka segera berpencar untuk memeriksa, sementara Singo Abang membawa Enggar kembali ke pondok.
“Bang, dia bawa pedang. Dia berdiri di sini,” Enggar yang masih gemetaran menunjukkan posisi sosok yang dilihat tadi. Dia terus-menerus berada di belakang Singo Abang sementara laki-laki itu memeriksa isi pondok.   
“Yakin bukan mimpi?” tanya Singo Abang yang sudah ada di teras pondok.
“Mimpiku dikejar Pangeran Cakrawaja, Bang. Yang berpedang itu aku melihatnya setelah bangun.” Enggar menyusul keluar.
“Kamu tidak mengenalinya?” tanya Singo Abang.
“Nggak, dia cepat-cepat pergi saat aku berteriak.”
“Bicara soal teriak, kalau kamu terlalu sering berteriak, orang-orang di sini akan mencurigaimu kalau kamu perempuan,” kata Singo Abang.
“Lho, bukannya mereka sudah tahu aku perempuan?” Enggar bertanya.
“Mereka hanya mengiramu bocah laki-laki yang gagal tumbuh,” jawab Singo Abang keceplosan. “Ng, maksudnya suara laki-lakimu belum terbentuk.”
“Tapi harusnya mereka tahu aku perempuan, cantik rupawan begini.”
Hidung Enggar menumbuk punggung Singo Abang yang berhenti mendadak. Laki-laki itu meliriknya sesaat lalu menggeleng-gelengkan kepala tanda kurang setuju. Singo Abang kemudian jongkok, mencari jejak.
“Apa yang terjadi?” Haryo muncul dari balik kabut.
“Ada penyusup masuk kesini,” kata Singo Abang. “Pintu pondok dibuka dengan paksa. Tempat ini sudah tidak aman.”
“Apa? Enggar, kamu baik-baik saja?” tanya Haryo kuatir.
Enggar mengangguk. “Untung aku terbangun waktu itu, Mas. Kalau nggak, aku pasti sudah mati,” kata Enggar. “Eh, tapi mungkin kalau itu terjadi aku bisa kembali ke masa depan ya?”
“Hus, jangan ngomong sembarangan. Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku akan berkeliling untuk mengecek sekali lagi.” Singo Abang menuju jalan setapak. “Haryo, kamu mau terus di sini?”
“Jangan kuatir Enggar, kami akan memastikan kamu aman.” Haryo menyusul Singo Abang keluar. “Kamu kembalilah tidur.”
“Aku nggak mau sendirian! Aku ikut kalian.” Enggar mengejar mereka.
Singo Abang dan Haryo saling berpandangan. Walaupun tanpa berkata-kata nampaknya mereka saling berkomunikasi dan bagi tugas. Setelah keduanya mengangguk, Haryo pergi, sedangkan Singo Abang tinggal.
“Aku akan berada di luar sini menjagamu. Kamu masuk saja. Jangan kuatir,” kata Singo Abang yang berdiri di luar pintu.
“Nggak ah, aku di sini saja, nggak mau tidur. Takut.” Enggar duduk di depan pintu, tak jauh dari tempat Singo Abang berdiri.
Orang-orang bermunculan lagi dari balik kegelapan, melaporkan kalau mereka tidak menemukan siapapun. Kemungkinan besar penyusup itu sudah pergi dari kediaman Mpu Soma. Singo Abang berterima kasih pada mereka dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Meskipun begitu Pak Susatra menugaskan beberapa orang untuk sekali lagi berkeliling dan menempatkan mereka di pos-pos tertentu untuk berjaga. Kejadian seperti ini belum pernah ada sebelumnya. 
 Ketika semua orang sudah pergi, Singo Abang duduk di sebelah Enggar. “Masuklah ke dalam. Udara di luar dingin, nanti kamu sakit.”
“Aku nggak ngantuk kok,” kata Enggar sambil menguap.
“Menguap terus bilangnya tidak ngantuk. Sudah, masuk saja, aku akan tetap di sini. Dia tidak akan berani kembali. Masuklah.”
Enggar sekali lagi menguap. “Abang tetep di sini kan?”
“Iya,” jawab Singo Abang. Rasa iba menguasai hatinya melihat wajah pucat gadis itu. Hampir saja tangannya bergerak untuk mengelus pipi Enggar, memberinya kepastian rasa aman, tapi buru-buru ditepisnya niat itu.
“Betul ya?” Enggar bangkit dan membuka pintu. “Jangan kemana-mana. Pokoknya kalau aku panggil Abang harus menjawab, jadi aku tahu Abang masih di luar,” lanjut Enggar yang hanya terlihat kepalanya saja.
“Iya, iya, berisik sekali. Cepat masuk.” Suara lembut Singo Abang berubah.
“Awas kalau Abang pergi dari situ.” Enggar masih juga belum masuk. Sring! Singo Abang mengeluarkan pedang. Sudah geregetan nampaknya. Enggar buru-buru masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu tersenyum samar. Dia bisa membuat Singo Abang geregetan, dia pasti akan bisa membuat Singo Abang tersenyum, bahkan tertawa suatu saat.  
Mata Enggar menjelajahi seluruh sudut ruangan. Darimana penyusup itu masuk? Singo Abang menduga dari atap, tapi Enggar tidak melihat keanehan pada atapnya. Atau karena dia orang awam, tidak tahu ilmu susup menyusup?
Enggar berjalan ke arah meja, mengambil lampu minyak. Dibawanya lampu minyak itu dan mulai memeriksa lagi ruangannya. Dijelajahi sudut per sudut, jengkal per jengkal. Siapa tau menemukan sesuatu yang bisa memberi informasi siapa penyusup tadi. Tapi kalau orang itu penyusup atau ninja profesional rasanya bakalan susah nyari jejaknya.
Singo Abang menggeleng-gelengkan kepala di luar sana. Beberapa kali dia mendengar suara sesuatu terantuk atau benda digeser.
Enggar menguap tertahan. Sudah capek begini tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia naik ke balai-balai, merebahkan diri. “Bang, masih di situ kah?”
“Tidur sana!” Terdengar suara Singo Abang.
Dikatupkannya matanya, berusaha untuk tidur. Posisi tidurnya beberapa kali berubah, tidak juga terasa nyaman. Enggar memandang ke arah luar. “Bang, masih di situ kan?” tanya dia, mengetes apakah Singo Abang masih ada.
“Sekali lagi kamu panggil-panggil, kubawakan Jambul untuk menemanimu, biar habis kamu dihajarnya,” ucap Singo Abang geram. Enggar terkekeh pelan.
Suara malam mulai meninabobokkan Enggar. Matanya semakin berat dan dunia mimpi mulai menyambutnya. Bayangan hitam berlari, melompati dinding, memanjat menuju atap. Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah ruangan seseorang pemuda tergeletak bersimbah darah. Gadis yang berada di sampingnya duduk mematung dengan sebilah keris di tangan. Gadis itu dia.  
Tubuh Enggar tersentak dan matanya membuka lebar. Malam ini mimpinya tidak ada yang beres. Enggar buru-buru turun dari balai-balai dan menuju pintu, mau melihat apa Singo Abang masih berada di luar. Betul, dia masih ada di depan pondok, duduk dan tampak mengantuk.
“Bang, nggak tidur semalaman ya? Sekarang Abang balik aja ke pondok, tidur. Aku sudah nggak takut lagi kok. Lagipula sudah mulai pagi ini.”
Singo Abang mengusap wajahnya. “Bagaimana tidurmu?”
“Mimpi buruk lagi. Tapi setidaknya hanya mimpi.”
“Mimpi apa?”
Enggar mau menceritakan, tapi melihat wajah Singo Abang yang seperti orang kurang darah dan kurang vitamin itu dia membatalkannya. “Nanti kuceritakan. Sekarang Abang tidur saja dulu.” Enggar mengayunkan tangannya untuk mengurangi hawa dingin. “Sebentar lagi anak-anak sini pada latihan? Aku mau jadi instruktur senam lagi ah. Nanti kutambah poco-poco biar lebih seru.”
Singo Abang memijit dahinya. Makin mengenal Enggar makin dia terheran-heran dengan sifatnya. Gadis itu bisa santai atau melakukan hal konyol sementara dia dalam bahaya. Satu waktu histeris, beberapa saat kemudian sudah tertawa. Apa itu cara dia untuk mempertahankan kewarasan? Menjaga keseimbangan emosi? Atau dia memang benar-benar berkepribadian ganda. 
“Aku mau ke pancuran.” Enggar ke belakang pondok diikuti Singo Abang. Setelah selesai membersihkan muka sekalian wudhu, Enggar balik ke pondok. Singo Abang hendak berjaga-jaga lagi, tapi Enggar berhasil membujuknya untuk kembali ke pondoknya sendiri untuk tidur.
Enggar duduk terpekur di lantai beralaskan kain. Kain yang digunakan untuk mukena darurat sudah dilipat di depannya. Saat ini Enggar masih merasa begitu buntu. Kenapa Tuhan mengirimnya ke sini? Untuk apa?
Dia selalu berdoa agar yang dialaminya adalah mimpi, tapi setiap kali terbangun dan membuka mata, dia tidak juga kembali ke masanya. Memikirkan kemungkinan dia akan benar-benar akan tinggal di Majapahit untuk selamanya membuat keringat dinginnya mengalir.
Menghela napas berat, itu yang dilakukan Enggar sebelum melipat kain pengganti sajadah. “Apa ini?” Tangan Enggar menyentuh sesuatu yang jatuh dari lipatan kain. Sebuah sapu tangan sutera warna biru.
Enggar bangkit dan mengangkat tangan kirinya yang memegang sapu tangan itu sejajar dengan matanya. Diamatinya baik-baik. Siapa yang punya?
Kuping Enggar menegang, dia mendengar ada suara halus di belakangnya. Baru Enggar akan berbalik untuk melihat, tiba-tiba mulutnya dibekap dan sebuah tepukan berat mendarat di tengkuknya. Enggar terkulai seketika dan bayangan itu memanggulnya di pundak. Kemudian menghilang.
*** 

Friday, December 16, 2016

Gandrung #11

Singo Abang mondar-mandir di halaman klinik. Sesekali dia melihat ke arah pintu gerbang, menanti kedatangan Haryo dan Enggar. Sudah sore begini belum muncul juga.
Jambul Abang mondar-mandir tak jauh dari Singo Abang. Sengaja atau tidak sepertinya monyet menirukannya. Orang-orang di pendopo klinik saling berbisik dan tersenyum melihat kedua makluk itu.
“Apa kamu liat-liat?” bentak Singo Abang pada si monyet yang mulai membuatnya senewen. “Tidak tahu apa orang sedang pusing?”
“Nakmas Barata.” Pak Susatra memanggil Singo Abang. “Mbah So sudah tiba. Mari saya antar menemuinya.”
“Beliau sudah datang?” Singo Abang ragu sesaat, mau menunggu Enggar pulang dulu atau menemui Mpu Soma. Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Pak Susatra ke belakang.
Mereka berjalan melewati semua kompleks bangunan, menuju ke hutan kecil setelah kebun buah. Di hutan kecil itu ada sebuah pondok yang sering dipakai Mpu Soma untuk menyendiri bila sedang tidak ingin diganggu oleh kegiatan di kediamannya. Biasanya juga beliau meracik obat-obat baru di situ. Pak Susatra meninggalkan Singo Abang setelah mempersilahkannya masuk.
Hal pertama yang dilihat oleh Singo Abang begitu memasuki pondok adalah sebuah meja besar berukuran hampir dua setengah meter kali satu setengah meter yang ada di tengah ruangan. Di atas meja itu ada berbagai macam botol, cawan, mangkok, kendi, guci dari keramik, perak maupun dari gerabah. Benda-benda gerabah dari tanah liat didapatkan dari sekitar sini saja, dibuat sendiri oleh beberapa penduduk desa, sedangkan benda-benda dari keramik dibeli dari pedagang dari Cina di kota.
Singo Abang melihat keranjang-keranjang kecil berisi berbagai macam biji-bijian, daun-daunan, kulit dan akar kering. Ada juga beberapa macam serbuk berwarna yang ditempatkan di wadah seperti toples. Semua tertata rapi.
Di dinding sebelah kanan meja terdapat rak-rak berisi lembaran-lembaran daun kajang yang disusun sedemikian rupa. Daun kajang merupakan media untuk menulis, seperti halnya kertas. Hanya saja menulisnya tidak menggunakan tinta tapi dengan pisau tajam sebagai pena. Jadi rak itu berfungsi sebagai rak buku. Selain daun kajang, ada juga lembaran kulit hewan yang digulung, yang juga digunakan untuk media menulis atau menggambar.
Ada beberapa alat yang diletakkan di sisi kiri meja. Sebagian besar terbuat dari logam, berupa penjepit, pisau, gunting, kaki untuk meletakkan wadah, penyaring, sesuatu berbentuk seperti penggorengan dan peralatan lain. Beberapa lampu minyak ada di meja itu pula.
“Sudah berapa tahun kamu tidak main ke sini, Barata? Kupikir kamu sudah lupa menengok orang tua ini.” Seseorang keluar dari ruangan di belakang ruang kerja itu. Singo Abang langsung mendekati orang tersebut dan memeluknya erat seperti cucu kepada kakeknya yang sudah lama tidak bertemu.
Mpu Soma masih seperti dulu meskipun rambutnya sekarang benar-benar putih semua. Rambutnya panjang sebahu diikat dengan rapi dan jenggotnya bahkan lebih panjang. Ikat kepala yang digunakan juga berwarna putih, sebagaimana pakainannya.
“Mpu Soma sehat?”
“Ya, beginilah. Harus sering jalan-jalan ke gunung biar tetap segar. Bagaimana keadaanmu? Masih belum selesai menghadapi badaimu?” tanya Mpu Soma dengan senyum penuh arti. “Ketika kamu memutuskan untuk keluar dari rumah, aku senang. Meski mungkin sebelumnya tujuanmu untuk melupakan sesuatu, tapi banyak hal terjadi di luar, yang aku yakin sedikit demi sedikit telah mengubahmu. Kalau tidak, kamu tidak akan berada disini.” Mpu Soma mengeluarkan sebuah tas yang terbuat dari kulit kambing. Di dalamnya ada berbagai macam dedaunan, akar, buah, bunga, kulit pohon, getah, bahkan tanah.
“Mpu, saya membutuhkan bantuan Mpu.”
“Hahaha. Kamu masih seperti dulu, tidak pakai basa-basi. Kalau begitu kita jalan-jalan dulu sebentar di sekitar sini, sambil mencari madu. Ayo.”
Mpu Soma mengajak Singo Abang keluar dari pondok dan mereka berjalan di hutan itu. Sambil jalan Singo Abang menceritakan tentang kejadian di Mertabumi, keadaan Puteri Anggoro dan “munculnya” Enggar dari negeri antah berantah. Mpu Soma mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Jadi, bagaimana menurut Mpu?” tanya Singo Abang.
“Menurutku, kamu harus membantuku mengambilkan madu di atas pohon itu. Cukup berbahaya, tapi itu madu terbaik. Hati-hati dengan sengatan lebahnya. Aku tunggu di sini. Naiklah ke atas sana.”
Kita tinggalkan dulu Singo Abang dengan tugasnya. Di depan sana, tampak dua orang memasuki gerbang. Haryo dan Enggar. Mereka tadi keluar tanpa membawa kuda, karena kuda Haryo menolak siapapun kecuali si empunya. Dan Enggar belum bisa naik kuda sendiri.
Jambul Abang menyambut. Tatapan matanya mengarah ke Enggar, begitu menurut perasaan Enggar. Setiap Enggar melangkah maju, si Jambul juga begitu. Enggar ke kanan, dia menghadang. Enggar ke kiri, dia menghalangi.
“Hush...sana! Jauh-jauh sana!” Enggar mengusir-usir Jambul Abang, tapi si monyet cuek saja. “Kenapa sih sama si Jambul nih? Naksir aku ya? Sori, aku sudah ada yang punya tuh!” seru Enggar.
“Siapa?” tanya Haryo.
“Siapa apanya?” tanya Enggar. Tadi dia hanya asal bicara.
“Kekasihmu. Katamu kamu sudah ada yang punya.”
Enggar menoleh. “Mas Haryo, usirin Jambul dong. Dia mau menggigitku deh kayaknya.” Enggar tidak mau menjawab.
“Ayo, kukawal.” Haryo mengulurkan tangan, menanti sambutan Enggar.
“Pangeran Haryo.” Pak Susatra keluar dari klinik dan menghampiri mereka. Jambul Abang menyingkir begitu Pak Susatra datang. “Mbah So sudah turun dari gunung. Saat ini Nakmas Barata sedang menemuinya.”
“Sudah datang? Betul? Asyik. Aku bisa pulang dong. Di mana, Pak, mereka?” Enggar kelihatan bersemangat sekali mendengar berita yang disampaikan Pak Susatra. Mpu Soma sudah ada, berarti ada cara dia bisa kembali ke masa depan. “Di belakang ya?” Enggar berlari meninggalkan Haryo begitu Pak Susatra menunjuk arah belakang.      
Dalam perjalanan menuju hutan, Enggar melihat ada dua orang berjalan melewati bengkel kerja. Yang satu berbaju putih, satunya lagi berbaju hitam. Si baju putih tampak terang benderang karena dari ujung rambut ke ujung kaki putih semua. Bersih bersinar deh. Sedangkan si baju hitam tampak aneh, mukanya bentol besar di beberapa tempat. Tangannya juga. Merah ranum siap dipetik.
Mpu Soma memperlambat jalannya ketika Enggar mendekat. Enggar menghentikan langkahnya saat melihat muka Singo Abang yang jadi abstrak.
“Eh, kenapa, Bang, bengkak-bengkak begitu, habis disengat tawon?” tanya Enggar, mengitari Singo Abang dengan sedikit takjub. Sebanyak itu bentolnya.
“Bertanya apa memastikan?” jawab Singo Abang. Enggar terkekeh, tapi segera terdiam karena wajah Singo Abang jadi galak. “Dia yang aku bilang, Mpu. Namanya Enggar.” Singo Abang memperkenalkan Enggar pada Mpu Soma.
Enggar mengulurkan tangan, mengajak salaman. Mpu Soma menyambutnya. Ini nggak lazim, tapi mungkin itu cara orang di masa depan menyampaikan salam.
“Selamat datang di Majapahit,” kata Mpu Soma. Wajahnya yang damai membuat Enggar merasa untuk pertama kalinya tidak merasa asing. “Sudah kutunggu kedatanganmu.”
“Oh ya? Sanip cerita apa saja sama Mpu?” tanya Enggar.
“Aku sudah menunggumu jauh sebelum Sanip kesini,” kata Mpu Soma penuh arti. Enggar nyengir tidak mengerti. “Sedikit berbeda dari dugaanku, tapi ini memang kamu, Enggar. Hm, matahari sudah hampir tenggelam. Kalian kembalilah dulu ke pondok masing-masing. Nanti malam kita bertemu di pondokku.” Mpu Soma menepuk punggung Singo Abang. Itu cowok mendesis. Yang ditepuk itu salah satu luka sengatannya.
Mpu Soma menganggukan kepala ketika Haryo datang memberi salam. Mereka hanya saling menyapa kemudian berpisah. Haryo hendak mendatangi Singo Abang, tapi orangnya keburu pergi diikuti Enggar.
“Apa yang terjadi padamu, Bar?” tanya Haryo. Dia menyusul Singo Abang dan Enggar. Singo Abang diam saja. “Kenapa, kamu marah padaku? Karena membawa Enggar seharian?”
Singo Abang berhenti mendadak, membuat Enggar yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.
“Aduh.” Singo Abang berbalik. “Jangan menambah kejengkelanku ya. Bentol ini sudah cukup menyebalkan, kamu lagi nambah perkara,” ujarnya.
“Memangnya apa salahku?” tanya Enggar bingung.
“Aku yang membawa Enggar, kamu jangan menyalahkannya. Marah saja padaku,” kata Haryo sebelum Enggar disemprot sama Singo Abang.
“Kamu di sini untuk bersembunyi, untuk mengamankan diri, bukannya plesir jalan-jalan kesana kemari. Mata-mata Sukmo sudah menyebar, juga orang-orang Cakrawaja. Kamu mau mereka mengetahui keberadaanmu? Kalau hanya latihan pedang-pedangan, nggak perlu sampai ke desa. Di sini juga bisa. Kalau hanya mau makan ikan bakar, di belakang juga ada. Mengerti?” Singo Abang melipat kedua tangannya di dada. Kata-katanya serius, apalagi dengan kernyit kesakitan seperti itu. Enggar hanya bisa menelan ludah.
“Hei, aku sudah bilang jangan menyalahkannya,” bela Haryo. Singo Abang sama sekali tidak mempedulikan Haryo, matanya hanya menatap Enggar saja. “Aku hanya ingin Enggar sedikit lebih nyaman. Ini tempat asing...”
“Ini tempat asing, jadi kamu harus lebih berhati-hati. Kamu kesini bukan untuk liburan,” potong Singo Abang. Enggar menggangguk. “Lain kali kalau mau kemana-mana, bilang padaku. Aku yang tentukan kamu boleh pergi atau tidak. Kamu itu tanggung jawabku. Mengerti?”
“Bar, aku juga peduli akan keselamatannya.” Haryo maju lagi.
“Kembali ke pondokmu,” perintah Singo Abang pada Enggar.
“Kau mau ke klinik ya, Bang? Ikut dong,” kata Enggar, berniat menjelaskan yang dilakukannya tadi. Rasanya tidak enak merasakan kemarahan Singo Abang.
“Tidak dengar barusan aku bilang apa?” Singo Abang menahan geram.
“Tanganku agak melepuh setelah latihan seharian, aku mau diobati juga. Mas Haryo, aku ke klinik dulu sama Bang Singo ya. Dadah.” Enggar berjalan mendahului Singo Abang. Ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Singo Abang berjalan lambat, Enggar menggerakkan tangannya, menyuruh laki-laki itu menambah kecepatan.
Haryo berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. Sepertinya tidak akan semudah itu membawa Enggar pergi dari Singo Abang. Tapi justru ini akan lebih seru.
“Sori, Bang. Maaf deh kalo Bang Singo marah. Sudah dong jangan monyong begitu, tambah abstrak mukanya. Aku kan ngikutin nasehat Abang untuk mulai berlatih pedang dan membela diri. Aku tahu aku nggak boleh sembarangan pergi, tapi kan aku nggak sendiri. Lagian tadi latihannya di tempat yang sepi kok, nggak menarik perhatian. Eh, tunggu dulu. Kok Abang tau sih kami latihan pedang, makan ikan bakar? Bang Singo emang tadi nyusul kesana? Di sebelah mana, kok aku nggak ngeliat?”
Dunia milik berdua begitu mana bisa liat yang lain, batin Singo Abang. Kalau Enggar ada di istana dia yakin gadis itu pasti bergabung menjadi anggota kelompok pemuja Haryo. Singo Abang mempercepat jalannya, membuat Enggar harus berlari untuk mengejar. Tapi langkah Enggar terhenti karena ada Jambul Abang di halaman pendopo.
 “Mbul, kekasihmu datang,” kata Singo Abang pada Jambul Abang. Dia naik di pendopo, sementara Enggar membatu di halaman. Jambul Abang sudah mengunci jalannya.
Enggar menyeringai pada Singo Abang, tapi laki-laki itu pura-pura tidak ngeliat. “Jambul, kita gencatan senjata dulu ya. Peace deh, peace.” Enggar angkat kaki perlahan.
Jambul Abang tiba-tiba menerjang. Enggar berteriak sambil menutup mukanya. Pasrah lah kalau nasibnya harus dimakan monyet.
Lho, kok tidak terasa ada cakaran atau gigitan di tubuhnya. Enggar membuka jari-jari tangannya dan melihat ada seseorang berdiri di depannya. Dilihatnya ke arah bawah, Jambul Abang terkulai di tanah. Masih hidup, tapi tampak lemas. Jangan-jangan Singo Abang menotoknya.
“Lagi-lagi menutup mata setiap ada yang menyerang. Kamu tidak belajar dari pengalaman. Kalau kamu tidak membuka mata, mana bisa tahu dari arah mana dan kapan serangan akan datang? Kecuali kalau indra pendengaranmu sudah terlatih. Diserang dengan pedang, merem. Diserbu monyet, merem juga. Mana hasil latihanmu seharian?” Singo Abang menurunkan kedua tangan Enggar dari mukanya. “Cepat ke pendopo, aku akan membebaskannya.”
Tanpa dibilangin dua kali Enggar lari ke pendopo. Singo Abang melepaskan totokannya dan monyet itu langsung bergerak-gerak, berlari menjauh.
“Kenapa aku saja sih yang diincarnya?” tanya Enggar setelah Singo Abang menyusul ke pendopo.
“Dia mungkin merasakan ada yang tidak semestinya pada Den Enggar,” kata Pak Susatra yang sudah ada di sebelah Enggar. “Jambul Abang ini monyet betina, tidak begitu suka dengan keberadaan perempuan muda. Tapi Den Enggar kan laki-laki ya. Saya juga bingung.”
“Pak, bisa minta tolong aku diberi obat untuk luka sengatan ini, lama-lama makin perih.” Singo Abang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Pak Susatra penasaran dengan Enggar karena semakin sedikit yang tahu Enggar semakin baik.
Singo Abang mendapatkan perawatan dari Pak Susatra sementara Enggar menungguinya. Tangannya diobati kemudian.
“Masih marah kah, Bang?” tanya Enggar saat mereka meninggalkan klinik. “Iya deh, aku janji kalau kemana-mana bilang dulu sama Abang. Tadi itu spontan saja perginya. Di desa ini keadaannya tenang banget, damai, jadi aku nggak kepikiran ada orang-orang jahat yang mengincarku. Lagian ada Mas Haryo.”
“Kamu baru mengenalnya, tapi sudah begitu dekat dengannya.” Terdengar nada protes dari suara Singo Abang.
“Lho, dia kan teman Abang. Dia juga pernah menyelamatkanku. Wajar lah.”
“Ketika baru mengenalku, kamu mati-matian berusaha melarikan diri dariku. Sikapmu berbeda sekali dengan saat bertemu Haryo pertama kali. Apa karena si Haryo bertampang lelaki baik hati, bersih, rapi dan tampan, sedangkan tampangku yang seperti perampok, beruang. Apa lagi julukan yang kamu berikan untukku? Pembantu? Pengangguran?” Singo Abang mencoba mengingat-ingat daftar yang pernah diucapkan Enggar.
“Ampun...ampun..” Enggar mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala. “Maaf, Bang, maaf. Bercanda itu. Nggak serius. Waktu itu aku mau lari dari Abang karena masih syok. Terlempar ke jaman ini bikin depresi. Apalagi ketemu sama Abang yang tampangnya...” Enggar segera menutup mulut.
“Jadi kalau wajahku bersih, bajuku rapi, senyumku ramah seperti Haryo kamu tidak akan lari?” tanya Singo Abang, penasaran.
“Nah, ngomongin senyum, kenapa sih Bang Singo nggak pernah senyum?”
“Jawab dulu. Apa kalau aku seganteng Haryo kamu tidak akan lari?”

***