Wednesday, June 21, 2017

Gandrung #18

“Kamu kecebur saat mancing ikan?” tanya Mpu Soma sekali lagi pada Singo Abang. Singo Abang mengangguk. “Kamu cukup pintar untuk tahu lukamu ini harus dijaga tetap kering selama beberapa hari.”
Singo Abang dan Enggar saling lirik. “Aku ingin makan ikan bakar,” kata Singo Abang menambah-nambah alasan.
“Kalau hanya ikan bakar, Ketua kan bisa minta ke dapur. Tidak perlu nyebur danau,” kata Bogar. Dia orang pertama yang menemukan mereka berdua di tepi danau. Yang satu pingsan, yang satunya heboh menyadarkan, tapi tidak bisa-bisa. “Nanti malam saya masakkan ikan bakar, Ketua,” lanjut Bogar. Singo Abang mengangguk saja.
“Aku sudah membersihkan lukamu agar kuman-kuman tidak masuk. Jaga agar tetap kering.” Mpu Soma menyelesaikan bebatan luka Singo Abang. “Enggar, kita akan menemui kakak seperguruanku pekan depan terkait keinginanmu untuk pulang. Sementara menunggu, kamu bantu aku merawat Barata. Besok aku harus ke gunung selama dua atau tiga hari.”
“Baik, Mpu,” jawab Enggar.
“Pastikan Barata tidak melakukan hal-hal yang seperti dilakukannya hari ini kalau mau cepat sembuh.” Mpu Soma tersenyum geli. “Sebaliknya pesanku juga sama untukmu, Barata. Pastikan Enggar tidak membuatmu mancing ikan lagi. Hm?”
Mpu Soma dan Bogar keluar dari pondok Singo Abang. “Kamu bisa pergi beristirahat sekarang,” kata Singo Abang.
“Bang, tadi itu sepertinya ada orang yang mau menenggelamkanku,” kata Enggar. “Apa tempat ini sudah tidak aman lagi?”
“Jandul sudah memeriksa sekitar danau dan tidak menemukan tanda mencurigakan. Mungkin ada hewan yang mengiramu makanan. Atau mungkin kakimu tersangkut tanaman.” Singo Abang tidak terlihat yakin.
“Ah, jangan menakutiku, Bang. Di danau itu serius ada monsternya?” tanya Enggar dijawab gelengan kepala oleh Singo Abang. “Tapi tahu tidak, Bang. Saat sadar tadi aku sempat berharap sudah kembali ke masa depan, tapi ternyata lagi-lagi gagal. Aku jadi tidak yakin kalau akan bisa pulang.” Enggar menyandarkan kepala di dinding.
“Minggu depan mungkin kamu akan tahu. Sudah, jangan sedih begitu.”
“Masih ada satu harapan.” Enggar memaksakan diri untuk tersenyum. “Eh, Bang, aku belum sempat bertanya. Setelah Abang mengeluarkanku dari danau, Bang Singo langsung pingsan gitu ya?”
Singo Abang mengangguk. Apa yang dilakukannya untuk menyadarkan Enggar tadi akan disimpannya sendiri. Toh dia tidak begitu yakin apa benar terjadi. Sudah setengah gelap.
“Mulai sekarang sepertinya aku memang harus lebih berhati-hati. Kalau selalu mengandalkan Bang Singo, nanti bisa jadi kebiasaan buruk. Baiklah, aku mau istirahat sebentar, terus nanti mau latihan pedang. Aku pergi dulu ya.” Enggar berjalan keluar.
“Jauhi masalah untuk sementara. Aku masih belum sehat,” pesan Singo Abang.
Enggar menutup pintu sementara Singo Abang merebahkan diri ke balai-balai. “Bang, aku masih penasaran. Waktu Pak Bogar menemukanku, katanya aku sudah sadar, sedangkan Bang Singo pingsan. Padahal terakhir kuingat adalah aku di dalam air. Betul aku sadar sendiri?” tanya Enggar yang melongokkan kepala.
“Tutup pintunya, aku mau tidur.” Singo Abang langsung merem, tidak menjawab pertanyaan sama sekali. Dadanya bergemuruh dilanda gempa.
***

Sanip membentuk mulut guci dari tanah liat dengan hati-hati. Tangannya yang basah, belepotan air dan tanah itu, memberikan sentuhan akhir, sementara kakinya terus memutar alas pembuat tembikar. Dia ada di bengkel, sedang menunjukkan kemampuannya membuat tembikar pada beberapa orang di situ. Desanya dulu adalah salah satu desa penghasil tembikar yang terkenal.
“Kang Sanip, nggak bikin celengan?” tanya Enggar. Selama ini yang dia lihat gerabah atau tembikar yang ada berbentuk guci, tempayan, kendi dan sebagainya yang sebagian besar untuk keperluan yang berhubungan dengan air atau peralatan dapur.
“Apa itu celengan?” tanya Sanip.
“Celengan, tempat untuk menyimpan uang. Memangnya kalian menyimpan uang di mana?” tanya Enggar.
“Kantong atau batang bambu,” jawab salah seorang.
“Jadi nggak ada celengan semar, ayam, kodok, babi.”
“Saya tidak mengerti maksud Den Enggar,” kata Sanip.
Enggar memberi penjelasan singkat tentang celengan. Suatu tempat yang dibuat tertutup tapi berongga, hanya ada satu lubang cukup untuk memasukkan keping uang. Dinamakan celengan karena berbentuk celeng atau babi hutan.
Mereka masih bingung. Jadi terpaksa Enggar memberi contoh penampakannya. Dia meminta tanah liat dan mulai dibentuknya menjadi celengan. Di kepalanya sih menciptakan celengan babi, tapi hasilnya jauh dari itu.
“Ini apa?” tanya Sanip.
“Babi,” jawab Enggar. “Dikasih lubang di sini, atau di sini untuk memasukkan uangnya. Nih.” Enggar memipihkan sejumput tanah liat hingga berbentuk keping, lalu memasukkan ke lubang celengan.
“Babi bentuknya tidak seperti ini, Den. Ini sih cecurut.” Sanip tidak bermaksud menghina, tapi telak mengena. Enggar meringis. Emang bentuknya lebih mirip cecurut, yang gagal dikloning. “Kalau babi atau celeng itu seperti ini.” Sanip pun beraksi. Tangannya lincah dan cekatan bekerja membuat celengan.
Enggar bertepuk tangan ketika celengan itu sudah jadi. Itu adalah celengan babi tergemuk dan paling menggemaskan yang pernah dilihatnya. Perutnya hampir menyentuh tanah. Mukanya bulat, matanya seperti tersenyum, pipinya tembem, kakinya kecil dan pantatnya seksi. Ukurannya pun lumayan besar, jadi siapapun yang bisa mengisi celengan ini sampai penuh, pasti kaya raya.
“Bagus sekali, Sanip.”
Sanip terkekeh malu. “Belum pernah terpikir sebelumnya untuk membuat celengan dari tanah liat. Dengan bambu tidak bisa dibentuk macam-macam, tapi dengan tanah liat, kita bisa bikin yang kita mau. Ya. Ini pasti laku keras kalau dijual.”
Mereka terlihat gembira dengan gagasan mengenai celengan. Enggar ikut senang melihat mereka bersemangat begitu.
“Permisi, Den Enggar. Ada yang mencari Den Enggar.” Markun datang menghampiri Enggar. “Pangeran Haryo. Beliau menunggu di pondok Den Barata.”
“Mas Haryo?” Enggar sampai lupa pamitan pada Sanip dan teman-temannya karena buru-buru pergi. Haryo ke sini, apa permasalahan di Mertabumi sudah beres?
Kedua laki-laki itu sedang berbincang ketika Enggar tiba. Haryo menyambutnya dengan senyuman hangat. Dia mempersilahkan Enggar duduk, menanyakan bagaimana kabarnya dan meminta maaf atas kejadian selama di Mertabumi.        
“Apa hatimu sudah baik untuk bisa memaafkanku?” tanya Haryo.
“Apa yang terjadi dengan mereka? Cakrawaja dan anak buahnya? Tumenggung Sukmo dan orang bergelang naga itu?” tanya Enggar. Dia tidak begitu kepikiran lagi tentang rasa sebelnya pada Haryo.
“Mereka sudah ditangkap. Tapi kasus yang bisa diangkat baru tentang pembunuhan Sukmana dan upaya pembunuhan terhadapmu. Kami belum mendapatkan bukti-bukti kuat tentang adanya rencana lain. Orang-orang yang mengetahui tentang itu hanya orang-orang tertentu dan mereka mengunci rapat-rapat. Tanpa saksi dan bukti kami tidak bisa begitu saja memperkarakan mereka. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini. Penyelidikan terus berlanjut,” ujar Haryo. “Sebenarnya Putri Anggoro bisa menjadi saksi, tapi kamu tahu sendiri keadaannya.”
Enggar nyengir. “Jadi siapa yang membunuh Sukmana?”
“Cakrawaja. Dia sebenarnya sudah pergi dari Mertabumi hari itu juga. Mengira segala sesuatu sudah beres, sampai muncul berita kamu diculik oleh Kepala Merah.”
“Apa Sukmana tahu tentang rencana mereka sebagaimana Putri Anggoro?”
“Aku yakin begitu. Tapi Cakrawaja membuat pengakuan dia melakukan itu karena Sukmana membuatnya kesal,” jawab Haryo yang tidak lepas memandang Enggar. “Cakrawaja bisa menyakiti orang hanya karena orang itu tersenyum padanya. Orangnya memang seperti itu.”
“Terus kelanjutannya bagaimana, Mas?”
“Untuk itulah aku datang kesini menemuimu. Kamu mungkin akan dipanggil ke istana untuk dimintai keterangan. Aku masih belum bisa menemukan jalan keluar mengenai dirimu. Orang istana tahunya kamu adalah Putri Anggoro, padahal kamu bukan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau mereka tahu sebenarnya, bahwa kamu dari masa depan. Sampai sekarang pun aku masih belum sepenuhnya percaya.”    
“Aku ke istana? Waduh, nggak deh, terima kasih. Aku ada agenda yang jauh lebih penting. Pulang ke rumah.” Enggar tersenyum.
“Hm. Mpu Soma sudah menemukan caranya?”
“Beliau harus menemukan cara, aku sudah kehabisan ide,” keluh Enggar.
“Jujur aku berharap kamu tetap ada di sini, agar aku bisa melihatmu setiap hari,” ucap Haryo merayu.
 “Haryo, kamu kesini bukannya mau menyelesaikan urusan denganku juga?” sela Singo Abang sebelum Haryo semakin mencari kesempatan menarik hati Enggar. Haryo menoleh ke Singo Abang.
“Kamu masih terluka begitu apa mau bertanding, Barata? Itu tidak adil untukmu.”
“Kalau mau aku cepat sembuh, kalian jangan mengganggu istirahatku. Sana, keluar sana, aku mau tidur,” tukas Singo Abang. 
“Kok jadi galak begitu sih, Bang? Tunggu, memang selalu galak ding. Yuk, Mas Haryo, kita keluar saja,” ajak Enggar. Dia keluar duluan dari pondok, diikuti Haryo. Singo Abang kesal bukan main.
Di luar, Haryo mengikuti Enggar ke arah bengkel di belakang. Semula mereka berjalan berdampingan, tapi Haryo kemudian mendahului Enggar dan memintanya untuk berhenti dulu.
“Enggar, aku masih merasa tidak enak padamu tentang penculikan waktu itu. Aku hanya berpikir semakin cepat kuselesaikan kasusnya, kamu akan semakin cepat terbebas. Aku tidak tega kamu jadi buronan terus. Tapi aku kurang memperhitungkan keselamatanmu. Kupikir aku bisa selalu melindungimu, ternyata tidak. Aku merasa bersalah sekali.”
“Sudah kumaafkan kok. Lagipula aku sdah mau pulang, nggak baik kan menyimpan dendam. Semua urusan harus beres sebelum aku balik.”
“Apa tidak ada yang bisa menahanmu di sini? Aku misalnya,” kata Haryo, membuat Enggar demam dadakan.
“Mak..maksudnya?”
“Den Enggar, sini!” Bogar melambaikan tangan di seberang, di depan dapur. “Pisang goreng kerispi.”
Enggar menoleh ke arah Bogar dan menganggukkan kepala. Saat dia kembali memandang Haryo, laki-laki itu masih manatapnya. “Aku mau lihat pisang goreng crispy dulu.” Enggar beranjak. Haryo menahan dengan menarik tangannya.
“Den Enggar, sini!” Bogar memanggilnya lagi. Enggar melepaskan tangannya dan berlari menuju dapur, meninggalkan Haryo yang termangu.
Senyum sumringah Bogar menyurut karena Enggar melewatinya dan malah masuk dapur, kemudian jongkok di depan tungku sambil menepuk-nepuk pipinya.
“Panas...panas...” gumam Enggar.
“Jongkok di depan tungku ya panas, Den,” celetuk Bogar. Dia ikut berjongkok di sebelah Enggar. “Apa jangan-jangan Den Enggar jadi demam karena kecebur di danau? Eh, waktu kejadian kemaren, saya betul-betul takut kalau Den Enggar sudah meninggal saat dibawa naik oleh Ketua.”
“Lho, memangnya Pak Bogar sudah ada di sana waktu aku dibawa naik?”
“Iya. Sebenarnya saya sudah mau lari mendekat untuk membantu, tapi tidak jadi waktu Ketua memberi napas buatan pada Den Enggar. Tapi begitu Ketua pingsan setelahnya, saya buru-buru datang.”
Enggar gelagepan. “Ap...apa?” Makin panas saja pipinya, seperti bakpau keluar dari kukusan. Tidak sadar dia menutup mulutnya. Singo Abang memberinya napas buatan? Apa itu berarti Singo Abang menciumnya? Waduuuuh...
“Den. Den Enggar. Den!” seru Bogar. “Ini saya sudah buat tepung kerispinya. Mau dicoba rasanya?” Bogar menyodorkan pisang goreng yang dibuatnya.
“He? Oh iya...iya.” Enggar mencomot satu pisang goreng dan menghabiskannya sekali telan. Dikunyah-kunyah secepatnya kemudian ditelan sambil matanya mendelik. “Enak. Hebat. Aku pergi dulu ya, Pak.” Enggar ngeloyor pergi.
***
Anak-anak dan remaja murid sekolahan Mpu Soma berbaris duduk mengelilingi lapangan. Sore ini ada acara ujian beladiri untuk kenaikan tingkat, sekaligus unjuk kebolehan secara berkelompok. Enggar tak ketinggalan ikut menonton. Dia duduk di bangku yang disediakan Pak Markun, bersebelahan dengan Haryo. Sanip, Jandul dan Bogar duduk di rerumputan, di depan mereka.
Satu kelompok maju ke tengah lapangan. Mereka mempraktekkan beberapa jurus bersamaan. Kekompakan, hafalan gerakan dan keindahan formasi yang dinilai oleh ketua juri, Pak Susatra.
“Jurus apa itu namanya, Kang Sanip?” tanya Enggar pada Sanip.
“Jurus Bangau.”
“Masa’ nama jurusnya cuma Bangau? Di dunia persilatan itu nama jurusnya keren-keren lho, misalnya jurus Tendangan Maut, Dewa Mabuk, Tendangan Tanpa Bayangan, Naga Membelah Angkasa...”
“Memangnya jurus diberi nama sepanjang itu?” tanya Markun.
“Iya dong, biar dramatis. Kalau nama jurusnya hebat kan musuh bisa keder duluan,” kata Enggar memancing orang-orang di sekitar situ untuk berpikir. Haryo tersenyum. Dia suka gaya Enggar yang seperti itu.
“Kalau yang mereka peragakan sekarang pantasnya diberi nama jurus apa ya?” tanya Sanip. “Bagaimana kalau nama jurunya Katak dalam Tempurung?”
“Hehehehe... itu peribahasa, Kang.”
Mereka mulai ramai membahas nama-nama jurus. Setiap ganti giliran beraksi di tengah lapangan sana, terjadilah nama-nama jurus baru. Jurus yang diusulkan Sanip di antaranya: Pungguk Merindukan Bulan, Serigala Berbulu Domba, Anak Ayam Kehilangan Induknya. Patut dicurigai nih. Jangan-jangan peribahasa di masa depan itu Sanip pencipta aslinya.  
Lain Sanip lain pula Bogar. Karena dia seorang koki, nama jurus karangannya tidak beda jauh sama dunianya: Udang Goreng Tepung, Cumi Asam Manis, Bebek Cabe Hijau.
Haryo puas tertawa.
Seseorang datang menghampiri bangku tempat Enggar dan Haryo duduk. Singo Abang. Dari jauh dia melihat mereka kok jadi migren, ya sudah, bergabung saja. Bertiga mereka duduk, Enggar ada di tengah. Mati gaya. Daripada kaku dan beku karena salah tingkah, Enggar turun dan ikut lesehan di rerumputan dengan yang lain.
Markun minta ijin bicara pada Haryo. Ada seseorang membawa pesan untuk Haryo agar dia harus segera balik ke istana. Dilema. Dengan berat hati Haryo pergi dulu menemui si pembawa pesan. Enggar bertanya-tanya dalam hati ada apa lagi. Haryo tidak tampak hingga makan malam. Enggar jadi tambah penasaran.
“Dia dipanggil ke istana,” kata Singo Abang kepada Enggar. Tidak tahan melihat cewek itu celingukan dari tadi menunggu kemunculan Haryo.
Yang datang malah Mpu Soma. Sebenarnya sudah datang sejak sore tadi sih, tapi baru menemui Enggar sekarang. “Besok pagi-pagi sekali kita pergi. Siapkan semua keperluanmu. Pastikan tidak ada yang ketinggalan.”
“Heh? Besok pagi saya bisa pulang?” Senyum Enggar mekar.
“Mungkin saja.”
“Terima kasih, Mpu.” Enggar menyenggol Singo Abang. “Bang, besok aku bisa pulang. Senangnya.”
“Siapa yang pulang?” Haryo datang. Enggar mengacungkan tangan. “Kamu pulang kemana? Kamu benar tidak ingin tinggal di Majapahit bersamaku?”
Ada yang tersedak makanan mendengar kata-kata Haryo barusan.
“Ini bukan tempatku. Meskipun Majapahit tidak sepahit yang kukira, tapi aku lebih memilih untuk berada di tempat yang semestinya.” Enggar menggeser duduknya dekat Haryo. “Aku sekalian pamit aja deh sama Mas Haryo, maafkan aku kalau aku ada salah. Harap semua utangku dianggap lunas, semua pinjaman dianggap impas.”
“Aku baru menemukanmu, masa kamu sudah mau pergi?” Tatapan mata Haryo seperti bius, membuat Enggar lemas.
Singo Abang meletakkan kendi agak keras. Kecurigaannya kalau Haryo menyukai Enggar terbukti. Sepertinya ini saat yang tepat untuk adu pedang dan panah.
Enggar melirik Singo Abang yang sok cool meneruskan makan. Orang itu diam saja meskipun tahu dia akan pergi. Tidak keberatan atau setidaknya bilang apa gitu yang membuat Enggar merasa penting untuknya.
“Enggar, aku dipanggil ke istana malam ini juga dan aku masih ingin bisa melihatmu. Bagaimana kalau kamu ikut aku saja dan tidak usah pulang?” pinta Haryo.
“Tidak menyangka kamu jadi normal karena dia, Har. Kupikir yang akan bisa menakhlukkanmu adalah putri dari seberang lautan yang kecantikannya terkenal hingga tujuh daratan dan lautan,” sindir Singo Abang.
“Eh, Bang Singo, nggak perlu bikin keki orang deh kalau di dalam hati sebenarnya Abang juga ingin aku tinggal. Iya, aku tahu Bang Singo pasti lega banget kalau aku pulang, jadi nggak perlu susah payah menjagaku. Maaf kalau aku sudah merepotkan.“ Enggar mengulurkan tangan ke Haryo dan menyalaminya. “Doakan aku berhasil ya, Mas. Dan hati-hati di perjalanan ke istana. Aku balik ke pondok dulu ya. Mau persiapan mental.”
Enggar pergi dengan tanpa menoleh lagi.
“Apa setelah Enggar pulang kamu akan pulang ke istana?” tanya Haryo ketika mereka tinggal berdua saja.
“Aku tidak berminat pulang ke istana. Di luar sini menyenangkan.”
“Bar, orang tuamu menginginkanmu bekerja untuk istana. Tenagamu sangat diperlukan. Masalah Shiao Lan sudah lama berlalu, apa kau tidak bisa melupakannya?”
“Mereka membuat Shiao Lan dan keluarganya tewas, Haryo.”
“Tapi mereka orang tuamu. Dan tenggelamnya kapal keluarga Shiao Lan itu oleh badai, bukan oleh orang tuamu. Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil, Barata. Orang tuamu tidak menyetujui hubungan kalian, kamu bisa melawannya dan sudah kau buktikan. Tapi maut sudah menjadi garisan takdir. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun orang tuamu setuju pun, nasib tetap akan membawa Shiao Lan dan keluarganya dalam badai itu. Berhentilah menghukum mereka.”
“Orangmu sudah menunggumu di sana, kamu harus segera pergi.” Singo Abang seperti tidak peduli omongan Haryo.
“Pikirkan apa yang kukatakan. Aku pergi dulu.”

***