Thursday, October 06, 2016

Gandrung #1

“Jadi kita ngapain di Museum Nasional ini, Mas?” tanya Enggar pada kakak laki-lakinya, Ito.  Gadis manis berambut bob itu terlihat malas mengikuti Ito yang sedang sibuk memotret sebuah prasasti. Laki-laki muda berkaca mata berambut cepak di depannya membalikkan badan, bola matanya berputar. Ini pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya dilontarkan Enggar.
“Satu, membantuku melengkapi data untuk skripsi dan novel fiksiku tentang Majapahit. Dua, kita ada janji ketemuan dengan seniorku yang menemukan benda bersejarah dari jaman Majapahit beberapa minggu lalu saat penggalian situs di Trowulan,” jawab Ito, masih mencoba bersabar. “Seru sekali ya melakukan penggalian dan menemukan benda tak ternilai. Seniorku menemukan sebuah kotak besi berisi sebuah gelang emas dan perkamen. Gosip yang beredar di grup arkeolog, perkamen itu memberi petunjuk adanya manusia dari masa depan yang datang ke Majapahit. Tapi ada juga yang bilang perkamen itu sebenarnya surat cinta. Nah, mumpung seniorku itu ada di sini, aku mau tahu cerita yang sebenarnya.”
“Bisa nggak utangku dibayar dengan melakukan hal lain? Yang tidak berhubungan dengan kerjaan Mas Ito. Terus terang aku agak bosan dengan semua hal berbau Majapahit. Sudah hampir sebulan Mas Ito mempekerjakan aku secara paksa untuk baca literatur, apa masih perlu lagi mengajakku kemari?” tanya Enggar, sama sekali tidak berminat dengan apa yang disampaikan kakaknya. “Aku punya kesibukan lain, Mas,” lanjut Enggar mencari-cari alasan.
Ito menyentil hidung adiknya. “Ini libur semesteran. Kamu juga nggak punya pacar, memangnya mau sibuk apa? Daripada kesana kemari dengan teman-temanmu hanya menghasilkan gosip, mending bantuin aku. Nanti kalau skripsiku beres dan novelku diterbitkan, ada bonus untukmu.” Ito tersenyum optimis.
“Semangat betul untuk bikin novel lagi. Yakin kali ini bisa diselesaikan tulisannya? Yang kemaren menulis tentang alien itu apa kabarnya? Terus yang tentang mesin waktu?” sindir Enggar. Sudut bibir Ito terangkat sebelah, raut mukanya terlihat jengkel. “Makanya fokus saja dulu menyelesaikan skripsi, Mas. Menulis fiksinya nanti aja kalau sudah beres skripsinya. Deadline dari ayah tinggal satu semester lagi lho,” Enggar memperingatkan. 
“Berisik ah!” Ito menarik ujung hidung adik perempuannya lagi. “Kamu juga dikasih deadline ngenalin pacar, mana sampai sekarang belum ada. Cowok sebanyak itu di kampus apa nggak ada yang nyangkut salah satu?”
“Nggak,” jawab Enggar enteng. Sebenarnya sudah ada beberapa cowok yang menyatakan suka, tapi belum ada yang mampu menakhlukkan hatinya.
“Mau nggak kujodohin sama Mas Bara, seniorku yang nanti mau kita temui? Kayaknya dia masih jomblo juga. Keasyikan berkutat penelitian bidang arkeologi, sampai lupa nyari pacar.”
“Dijodohin sama Indiana Jones? Tidak, terima kasih deh. Cukup Mas Ito saja di keluarga kita yang antik,” tukas Enggar seenaknya.
“Manusia itu harus menghargai sejarah agar bisa memetik pelajaran tentang peradaban. Jaman boleh berlalu, tapi esensi kehidupan itu tetap sama dari waktu ke waktu. Sifat manusia pada dasarnya sama dari masa ke masa.” Ito sok bijak.
Enggar menghela napas panjang. “Hadeh, Mas, sudah cukup aku disuruh bantuin Mas terlibat dengan proyek sejarah ini, nggak perlu Mas tambahin dengan ceramah. Bisa vertigo aku nanti,” seloroh Enggar. “Sekarang bagaimana kalau kita berpencar saja. Kita ketemu nanti jam satu di kantin museum sama senior Mas Ito sekalian. Bagaimana? Sepakat?” tawar Enggar.
Ito berpikir sejenak. Ada baiknya juga dia konsentrasi cari bahan untuk menulis daripada mendengar adiknya menggerutu seperti dengungan lebah di dekatnya. “Oke. Tapi kamu jangan lupa dengan tugasmu untuk mendokumentasikan apa saja yang berkaitan dengan Majapahit. Jangan hanya mojok terus browsing atau update sosial media ya. Mumpung di museum ini, manfaatkan sumber pengetahuan ini dengan sebaik-baiknya. Oke?”  
“Ya, ya, ya, sudah sana.” Enggar mendorong kakaknya pergi. Setelah memastikan Ito tidak kelihatan, dia melakukan persis apa yang diperingatkan Ito tadi. Mojok, browsing internet dan update sosial media.
Serombongan turis asing melewati Enggar. Sang pemandu wisata bersemangat menceritakan sejarah dari benda-benda yang mereka lewati, sementara turis-turis asing itu manggut-manggut, hikmat mendengarkan. Sejenak Enggar tak enak hati. Orang luar negeri saja begitu antusias dengan kebudayaan Indonesia, dia yang asli lokal malah cuek saja.
Dengan enggan Enggar berdiri dari duduknya. Demi membayar pinjaman uang kakaknya untuk beli tiket pertunjukan musik K-Pop beberapa waktu lalu, dia harus memenuhi janjinya membantu proyek kakaknya. Dimulainya tugas itu dari Gedung Arca untuk mulai melihat dan mencatat benda-benda yang berkaitan dengan Majapahit.
Baru sekitar tiga puluh menit berada di lantai dua, ponsel Enggar berbunyi. Dari Ito. Di-reject-nya panggilan masuk itu, dia sedang sibuk mengambil gambar, tapi lagi-lagi Ito menelepon. “Halo, Mas, apa? Gempa apa, nggak ada. Nggak ada. Aku nggak ngerasain getaran apa-apa.” Enggar berjalan ke arah tangga menuju lantai ketiga. Lagi-lagi ponselnya berbunyi. Saat dijawabnya panggilan itu, terdengar Ito memintanya segera turun. Dengan kesal Enggar menuruni tangga untuk kembali ke Gedung Gajah tempat kakaknya beredar.
Baru saja dia dia mau keluar, langkahnya terganggu oleh gerakan yang mengguncang tubuhnya. Rasa pusing menyerang dan dunia seolah bergetar.
“Gempa! Gempa!”
Lalu terdengar teriakan bersahutan dilanjutkan dengan orang-orang yang berlari keluar dari gedung, berebutan. Hati Enggar mencelos, mulai diserang panik karena melihat benda-benda yang mulai berjatuhan. Dia harus pandai-pandai berlari menyelamatkan diri tanpa terluka.  
Buggg! Sesuatu menimpa kepalanya. Lalu semuanya gelap.

***
Samar-samar Enggar melihat batang-batang kayu berjajar. Lalu dia mendengar suara orang berbicara di balik batang-batang kayu itu. Mereka bicara dengan bahasa yang kedengarannya agak asing, tapi anehnya Enggar mengerti. Kalau tidak salah mereka berbahasa jawa, tapi bukan bahasa jawa yang biasa Enggar dengar.
Matanya masih agak susah dibuka. Denyutan keras dan berkali-kali di kepalanya membuat Enggar tidak sanggup bergerak dulu. Sekali lagi Enggar mengamati sekitarnya. Dimana dia sekarang? Sepertinya dia ada di sebuah kamar.
Kalau menurut ingatan terakhirnya dia berada di Museum Nasional, sedang lari keluar dari gedung untuk menyelamatkan diri dari gempa bumi, lalu sesuatu menimpa kepalanya. Jadi seumpama dia tersadar, seharusnya ada di rumah sakit atau di puskesmas, atau setidaknya mobil ambulance.
Tapi ini sepertinya di kamar di sebuah gubuk atau pondok.
“Puteri sudah sadar lagi.”
Tiba-tiba ada seraut wajah muncul di muka Enggar. Giginya banyak, berantakan dan berebutan ingin keluar. Sumpah Enggar kaget banget. Di film horor yang sering dia liat, ada banyak penampakan yang mengerikan, tapi yang satu ini benar-benar bikin copot jantung.
Enggar hendak membaca ayat kursi keras-keras, tapi tidak ada suara yang keluar karena ternyata mulutnya ditutup dengan kain. Makin paniklah dia. Apalagi tangan dan kakinya terikat. Gadis itu meronta-ronta kalap sementara manusia bergigi banyak itu mengulurkan tangan ke arahnya. Enggar menjerit sekuat tenaga dan seketika dunia menjadi gulita.

***

1 comment:

Sura Menda Ginting said...

I am baaackk.. blog-walking-ing...hahaha *meaning, I have some serious stuffs I have to do, but I don't want to do it until I am forced to do it....
.
.
.
.
How's life?