Tuesday, December 10, 2019

Rilis Ulang SMASH! dan DIA by Gramedia


Yeaaaay....akhirnya rilis juga. Covernya cute banget kan :).
Yang ingin ngerasain patah hati, yang mau tahu tips mengejar pujaan hati, yang kangen ketawa ketiwi, atau yang rindu nostalgia rasanya jatuh cinta, yuk boleh deh kepoin SMASH! dan DIA. Sudah beredar di Gramedia dan toko buku lainnya ya.

Wednesday, September 04, 2019

DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia....!


Hai hai hai....!

Masih ingat novelku yang berjudul DIA?
Yang mau kangen-kangenan sama Saka, Denia dan Janu, tunggu ya bulan Oktober nanti DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia. Yang pasti ceritanya disegarkan lagi dengan ending yang berbeda dari versi lamanya. Cover novelnya pasti juga beda dong.... :).
So, ditunggu ya.

Aku juga nggak sabar hehehe...

Salam,
Nonier


Gandrung #23 (TAMAT)


 “Baiklah, aku harus pergi sekarang. Enggar, aku senang sekali melihatmu, apalagi di sini. Besok kalau ada waktu aku akan mengajakmu jalan-jalan ke kotaraja,” janji Haryo. Matanya mengerling menggoda. “Kamu mau apa saja akan kubelikan.”
“Hei hei!” Singo Abang menyeringai. Haryo ini main selonong saja.
Haryo berpamitan dan meninggalkan mereka berdua. Enggar mau tak mau tersenyum geli melihat kelakuan mereka berdua.
“Dasar Haryo, selalu saja menginginkan yang aku suka,” kata Singo Abang. Enggar yang ada di sebelahnya menoleh kaget. Singo Abang yang baru menyadari telah berkata dengan suara lantang itu, menjadi kikuk.
Singo Abang berdehem sembari mencondongkan tubuh ke arah Enggar. Jantung gadis itu berdebar sangat kencang. Apalagi saat Singo Abang meraih kedua tangannya. “Enggar, apa kamu tahu kalau kamu sudah membuatku gila? Kupikir aku sudah tidak bisa lagi mempunyai perasaan yang begitu dalam pada seseorang, tapi aku salah.” 
“Bang...” Suara Enggar bergetar. Lilitan yang terasa di dalam perutnya semakin mengencang. Terbius oleh tatapan mata Singo Abang yang seolah diselimuti kabut.
 “Aku jatuh cinta padamu.” Suara lirih namun tegas dari Singo Abang seperti ledakan kembang api yang sangat indah. Memercikkan rasa sayang yang tak disangka Enggar begitu besar. Kedamaian memeluk hati Enggar.
Perlahan, Singo Abang membelai pipi Enggar, menghapus air mata haru yang mengalir lembut. Lalu memeluknya dengan erat, sepenuh jiwa. “Tidak penting kamu mempunyai perasaan yang sama atau ini hanya hatiku saja, aku mencintaimu. Tidak peduli kamu dari masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu,” bisiknya mesra.
Enggar berkaca-kaca mendengar kata-kata Singo Abang. Perasaannya diselimuti rasa bahagia. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah gelang emas yang cantik diberikannya pada Enggar. “Ini untukmu. Aku mengukirkan namamu di belakangnya, kuharap kamu suka.”
Saat Singo Abang hendak memasangkan gelang itu ke tangan Enggar, terdengar pekikan elang Singo Abang. Suaranya dekat tapi dia tidak tampak. Sesuatu terjadi padanya karena pekikan tadi menandakan dia kesakitan atau terluka. Singo Abang terpaksa menyadarkan diri dari suasana mabuk kepayang dan mencari dimana elangnya. “Suaranya dari sebelah sana.” Singo Abang melangkah, tapi kemudian berbalik. “Jangan kemana-mana, aku akan segera kembali.” Singo Abang pergi meninggalkan Enggar dengan senyuman yang paling indah.
Begitu Singo Abang menjauh, Enggar terduduk di bangku, membungkam mulutnya yang menganga. Enggar bisa mendengar suara kembang api di dadanya. Hatinya serasa mekar berbunga.  
Suara gemeresak tanaman di samping kolam membuat Enggar menengadahkan wajah. “Bang, apa ketemu elangnya?”
Enggar terkesiap dan mukanya pucat. Bukan Singo Abang yang datang, tapi Cakrawaja yang berdiri di sampingnya dengan tangan menggenggam batu. Enggar hendak berteriak, tapi Cakrawaja sudah keburu menyergapnya.
“Kau harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku. Kalau aku jatuh, kau akan ikut bersamaku,” desisnya penuh amarah.
“Enak saja jatuh ngajak-ngajak orang. Makan-makan baru ngajak orang. Asal kamu tahu ya, rencana jahatmu tidak akan berhasil. Jadi lebih baik sekarang kamu tobat, bertanggung jawab atas perbuatanmu dan tidak mencari masalah lagi.”
“Banyak omong kau!”
“Biarin!”
Enggar berontak. Dia menginjak kaki Cakrawaja, menyodok perutnya dan menggigit tangannya. Sekuat tenaga Enggar berlari menjauh dari Cakrawaja. Tetapi karena dia masih belum hafal tempat itu, Enggar justru terpojok di salah satu sudut taman.
“Aku akan menghabisimu!” teriak Cakrawaja.
Amarah dan dendam sudah merasuki Cakrawaja. Dia sudah tidak memikirkan lagi yang dihadapannya adalah seorang perempuan yang tidak sebanding kekuatan dan ilmu kanuragan dengannya.
Enggar beberapa kali berhasil lolos, tapi Cakrawaja bisa menangkapnya. Semua jurus yang diingat Enggar dikeluarkan, namun lawannya terlalu tangguh. Ketika Cakrawaja melayangkan pukulan bertubi-tubi, Enggar hanya sempat menangkis beberapa kali. Saat dia berbalik hendak melarikan diri, sebuah pukulan berat di belakang kepala. Enggar terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.
Tak jauh dari situ, Singo Abang datang dengan sedikit kesal.
“Ada yang memanah elangku.” Singo Abang datang dengan menopang seekor elang yang sayapnya terluka di tangannya. “Enggar! Enggar! Kamu dimana?” Singo Abang panik tidak menemukan Enggar di tempatnya semula. Seperti orang kesetanan dia mencari ke sana kemari.
Jantung Singo Abang seakan berhenti berdetak ketika menemukan Enggar tergolek di sisi barat taman. Diperiksanya keadaan Enggar, masih hidup.
Singo Abang buru-buru menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Panggil tabib, cepat!” teriaknya mengagetkan Mbok Sorjan yang sedang lewat. Mbok Sorjan pun segera melaksanakan perintah.
Singo Abang membaringkan Enggar di ranjang. Diperiksanya sekali lagi keadaannya. Kepalanya terluka dan mengeluarkan darah. Kurang ajar, siapa yang melakukannya?
“Enggar, bangunlah. Jangan melakukan ini padaku terus-menerus. Kasihanilah jantungku ini.” Singo Abang memberi bau-bauan agar Enggar sadar. Kepala gadis itu bergerak dan matanya mulai membuka. “Enggar, kamu bisa melihatku? Tabib sebentar lagi datang.” Singo Abang menyeka darah yang masih mengalir di kepala gadis itu.
“Hhh... dimana aku?” gumam gadis itu lirih.
“Di kamarku. Tabib akan segera datang, jangan terlalu banyak bergerak.”
“Jangan serahkan aku pada orang-orang itu. Aku tidak membunuh Sukmana,” gumam gadis itu lirih. Kain di tangan Singo Abang yang digunakan untuk menyeka darah itu seketika terjatuh.
Tubuh Singo Abang lemas. Pikirannya berkecamuk mendengar omongan gadis yang terbaring di hadapannya. Dia menduga-duga dan sangat ingin dugaannya salah. “Apa kamu ingat namamu?” tanya Singo Abang. Suaranya bergetar.
“Ya. Namaku Anggoro.”
***

Hari ini berlalu seperti biasanya, tapi tidak bagi Singo Abang. Kenyataan bahwa Enggar telah pulang, dengan cara yang tak terduga, membuatnya serasa bangun dari mimpi. Mimpi yang diharapkannya tidak akan berakhir.
Hatinya sudah dibawa kabur oleh gadis itu. Tanpa bekas, tanpa sisa. Dia ingin memintanya kembali, tapi apa yang bisa dilakukan? Kalau hanya tujuh ratus kilometer jarak untuk mencapainya, Singo Abang akan pergi. Kalau hanya tujuh ratus hari perjalanan menuju kesana, Singo Abang akan berangkat. Ini tujuh ratus tahun. Bagaimana caranya bertemu kekasih hatinya?
***
Di hadapannya seraut wajah gembira menyambut. Tangan kiri ibunya menggenggamnya erat, tangan kanannya mengelus kepala Enggar. Seorang suster datang, disusul dokter. Dokter laki-laki itu bertanya beberapa hal sembari mengecek kondisi Enggar, memastikannya benar-benar sadar.
Air mata Enggar meleleh. Dia tahu dia sudah pulang ke masanya. Bunyi peralatan medis, selang oksigen, lampu terang dan harum pembersih lantai memastikan dia tidak lagi berada di jaman Majapahit. Seharusnya dia merasa senang, bertemu lagi dengan keluarga dan orang-orang yang menyayanginya. Tapi hatinya begitu sedih karena perpisahannya dengan Singo Abang tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Enggar menutup mata, berharap mimpi akan membawanya kembali untuk mengatakan perasaannya, bahwa dia juga mencintai laki-laki itu.   
***

EPILOG

Sudah enam bulan sejak dia sadar dari koma, pikirnya rasa sesak di dada karena rindu pada sosok laki-laki itu akan hilang. Ternyata tidak. Kadang-kadang sengaja Enggar tidur lebih lama, berharap mimpi bisa membawanya melintasi ruang dan waktu untuk bertemu Singo Abang lagi, tapi itu tidak pernah terjadi.
Hari ini pertama kalinya sejak gempa waktu itu Enggar menginjakkan lagi kakinya ke Museum Nasional. Kali ini dia yang mengajak Ito pergi. Hanya sekedar ingin melepas sesak di dada, berharap ada keajaiban atau apalah yang bisa membuat hatinya tenang. Atau setidaknya membuatnya benar-benar sadar bahwa apa yang dialaminya waktu itu benar-benar ilusi.
Cara pandangnya terhadap benda-benda yang ada di sana, terutama benda-benda dari jaman Majapahit berubah seratus delapan puluh derajat. Benda-benda itu terlihat jauh lebih indah meski penampakannya sebagian tidak utuh lagi.
“Mana sih orangnya kok tidak datang juga. Aku sudah tidak sabar melihat koleksi terbaru museum ini. Ingat yang pernah kubilang seniorku menemukan gelang dan perkamen dari jaman Majapahit waktu itu? Setelah diterjemahkan isi perkamennya, ternyata itu adalah surat cinta. Romantis sekali. Tahu kepada siapa surat cinta itu ditujukan? Dugaannya surat cinta itu untuk gadis yang namanya terukir dalam gelang emas,” kata Ito. Enggar tidak begitu memperhatikan omongan Ito. Perhatiannya tertuju pada sesuatu yang menarik perhatiannya di jajaran rak-rak kaca.
Napas Enggar tertahan saat melihat sebentuk celengan babi hutan di salah satu rak. Babi hutan yang gemuk dengan pipi tembem, perut besar dan wajah lucu. Sebagian badannya seperti mozaik karena sebenarnya sudah pecah, tapi direkatkan ulang dan ditambal. Tangan Enggar menggapainya, dadanya mulai berdebar-debar tidak keruan. Ini celengan buatan Sanip. Dia mengenalinya. Tidak mungkin salah.
Apa artinya yang terjadi padanya bisa jadi nyata?
Enggar menghirup napas dalam-dalam, memastikan semuanya hanya kebetulan. Bahwa dia hanya mencocokkan apa yang ada di sini dengan apa yang terjadi di mimpinya. Tidak ada bukti dia pernah berada di jaman Majapahit. Tidak akan pernah ada.
 “Di gelang itu terukir nama Enggar Penggalih, percaya nggak? Enggar Penggalih. Namanya sama persis dengan namamu. Ajaib kan? Aku jadi penasaran, itu nama seorang puteri atau bukan ya. Sudah kucoba googling, tapi tidak ketemu jawabannya,” lanjut Ito sambil tertawa-tawa. Enggar yang mendengar kata-kata Ito semakin deg deg an.
“Dimana senior Mas Ito sekarang?” tanya Enggar, mengguncang-guncang lengan kakaknya yang terheran-heran.
“Itu dia, kutelepon dari tadi tidak diangkat. Hei, Enggar. Mau kemana?” Ito memanggil adiknya yang tiba-tiba berlari ke Gedung Arca. Mau tidak mau Ito mengejar sambil terus berusaha menghubungi seniornya.
Napas Enggar tersengal-sengal saat tiba di ruang yang berisi koleksi perhiasan dari berbagai masa. Dengan cepat Enggar mencari gelang yang dimaksudkan oleh Ito di antara puluhan koleksi perhiasan dari seluruh nusantara. Langkahnya terhenti salah satu kotak kaca yang ditempatkan tersendiri. Perlahan Enggar berjalan, mendekatinya. Tubuhnya gemetaran, menatap nanar pada sebuah gelang yang dipajang dengan sebuah perkamen di sebelahnya. Aksara jawa kuno tampak samar tertulis dalam perkamen itu.
Gelang itu, Enggar mengenalnya.
“Tidak peduli kamu dari masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu.” Terdengar seseorang berkata. “Kira-kira begitu isi perkamennya. Orang jaman dahulu romantis,” lanjut orang itu.
Enggar menoleh ke belakang dan sontak gemetaran seperti melihat hantu.
“Enggar!” Ito datang menyusul. “Lho, Mas Bara di sini? Aku telepon tidak diangkat-angkat. Mana temuan Mas Bara yang dipajang di museum. Itu ya? Itu gelang untuk adikku, Enggar Penggalih? Hehehe.”
Laki-laki yang disebut Bara menganggukkan kepala.
“Enggar, ini Mas Bara, seniorku. Dia dulu yang menyelamatkanmu dari reruntuhan saat gempa di sini. Mas, masih ingat, ini adikku yang Mas Bara gendong keluar museum.” Ito memperkenalkan mereka berdua lagi. “Lho, kok pada lihat-lihatan, diam-diaman. Lho, kok kamu nangis, Enggar?” 
“Kamu yang menyelamatkanku?” tanya Enggar pada Bara. “Terima kasih.”
“Aku senang kamu baik-baik saja.” Senyum Bara membuat Enggar makin berlinang air mata.
Angin berembus melewati pintu dan jendela-jendela. Bara mendekatinya, menyerahkan sapu tangan pada Enggar yang masih terus menangis tanpa suara.   
***

Friday, September 29, 2017

Gandrung #22

“Kenapa?” Singo Abang menarik Enggar agar duduk di sebelahnya.
“Waaah.” Enggar masih takjub. “Tidak ada berewok, tidak awut-awutan, tidak gondrong berantakan.” Gadis itu menyentuh rambutnya, mengelus wajahnya, menggeleng-gelengkan kepala, menatap kagum pada Singo Abang.
Ketika sadar apa yang dilakukannya, terlebih lagi saat melihat tatapan mata Singo Abang yang melelehkan jiwa itu lekat padanya, Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa, mau bilang aku ganteng?” goda Singo Abang.
“He-eh.” Spontan Enggar menjawab. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, pura-pura mencari kemana elang itu terbang, karena malu. Dalam hati dia merutuk karena keceplosan mengatakan isi hatinya.
Singo Abang tertawa bahagia melihatnya. Duh, Enggar seperti cokelat di bawah terik mentari. Lumer oleh tawa Singo Abang yang memesona.
“Kalau melihatku sekarang ini, gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang iseng, sekaligus penasaran. Sekian lama merasa tak dianggap, dia ingin pengakuan jujur dari Enggar setelah melihatnya dalam sosok pangeran.
“Idih, Abang tanya yang lain kenapa, kayak anak kecil.” Enggar beringsut menjauh, berusaha melarikan diri. Tapi Singo Abang sudah keburu menangkap lengannya. Ditariknya kembali gadis itu ke sisinya.
“Jawab saja, gantengan mana aku sama Haryo?” desak Singo Abang.
Kalau saja Singo Abang mendengar deburan ombak yang terasa di dalam dada Enggar, lelaki itu tidak perlu lagi bertanya. Apalagi raut wajah Enggar sudah sedemikian bersemu merah menahan jengah.
Getaran aneh menjalari seluruh tubuh Enggar. Seolah ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya, Enggar serasa melayang ketika jemari Singo Abang menyentuh lembut dagunya.
Keheningan sekaligus ketegangan di antara mereka membuat keduanya kesulitan bernapas.
Oh, Tuhan. Enggar memalingkan muka, menyadari keinginannya untuk semakin dekat kepada lelaki di hadapannya semakin susah dikendalikan. “Jadi gimana, apa yang harus kulakukan selama di sini? Aku tidak perlu bertemu dengan orang tua Bang Singo kan?” hindarnya. Menghapus bayangan Singo Abang mendekapnya hangat, sungguh terasa sayang.
Singo Abang menggeram kalut. Sedikit lebih lama lagi mereka saling pandang seperti barusan, dia tidak bisa menjamin dirinya untuk tidak mengecup bibir gadis di hadapannya.
“Selalu begitu kalau ditanyain hal yang penting, tidak mau menjawab.” Singo Abang melipat tangannya di depan dada. Meredakan gemuruh yang bergejolak.
Enggar mencibir. “Masa penting bertanya gantengan mana?!” Singo Abang merusak momen indah.
“Penting buatku. Ayo, gantengan mana?” kejar Singo Abang.
“Siapa yang lebih ganteng dari siapa?”
Panjang umur. Pangeran Haryo nongol dari belakang. Enggar yang posisinya memunggungi Haryo, membalikkan badan dan berdiri. Agak terkejut juga dia melihat Haryo dengan pakaian kebesaran seorang pangeran, tidak pakaian lapangan yang biasa dia kenakan. Ketampanan lelaki itu naik lagi beberapa derajat.  
Kalau tadi Singo Abang tertegun saat melihat Enggar pertama kali dalam pakaian dinas seorang puteri, Haryo membeku takjub.
“Enggar?” tanya dia dengan wajah terpukau. Dia berjalan melewati Enggar dan berdiri tepat di sebelah Singo Abang untuk melihat lebih jelas puteri jadi-jadian itu. “Kamu sungguh jelita.”
“Mas Haryo bisa saja. Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Enggar basa basi dan tersipu di waktu yang sama.
“Kamu benar-benar membuatku pangling. Puteri-puteri di sini pasti pada ngiri melihatmu,” puji Haryo tulus. “Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Singo Abang menyingkirkan Haryo dari hadapan Enggar. Sifat kompetitif sekaligus kekanak-kanakannya muncul. “Ganggu orang saja kamu, Yo. Aku sedang bicara serius dengan Enggar. Eh, Enggar, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang, lebih gigih dari sebelumnya karena terbakar cemburu.
“Aku sama kamu gantengan mana? Jelas aku,” sela Haryo terkekeh sombong. Singo Abang mendengus kesal.
Enggar perlahan melipir, menjauh dari mereka berdua agar tidak terperangkap antara dua pilihan. Bisa terjadi perang bratayuda kalau dia bilang dua-duanya ganteng.
“Oh ya, Bar, aku ada informasi terbaru. Di wilayah Keta ada laporan ada sejumlah pemuda pergi dari rumah dalam waktu yang berdekatan, mirip seperti yang terjadi di Sadeng. Mereka bilangnya pergi ke kota, tapi sepertinya tidak.” Haryo mengundur misi perjuangan cintanya demi menyampaikan berita penting pada Singo Abang.
“Kau mencurigai ada pergerakan di Keta?” Sesaat Singo Abang melupakan konflik pribadi dengan Haryo.
“Apa, Mas? Di mana tadi?” tanya Enggar. Nama itu menggelitik kupingnya.
“Keta,” jawab Haryo. “Kenapa?”
“Kamu teringat sesuatu?” tanya Singo Abang.
“Aku belum yakin, tapi nama itu tidak asing. Sadeng, Keta.” Enggar menggigit bibir bawahnya, berpikir keras. Sementara itu kedua lelaki di hadapannya menatap penuh cinta. “Astaga! Bang, aku ingat. Pada masa pemerintahan Tribuana Tunggadewi terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta, kalau tidak salah tahun 1331,” serunya.
Singo Abang dan Haryo tampak kaget. Mereka sudah menduga ada gelagat pemberontakan, tapi semuanya masih belum jelas.
Ketiganya lalu terdiam sesaat, sambil saling pandang.
“Kamu yakin?” tanya Singo Abang, memastikan Enggar tidak salah ingat.
“Di buku sejarah begitu. Pada tahun 1331 Keta dan Sadeng hendak melepaskan diri dari Majapahit. Tapi pemberontakan mereka berhasil ditumpas oleh...Gajah Mada.” Enggar menatap mereka bergantian.
Haryo melirik Singo Abang. “Menurutmu kita harus menemui Paman Gajah Mada, Bar?”
“Menemui Gajah Mada?” Tenggorokan Enggar kering. Bertemu Gajah Mada secara langsung sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Enggar merasakan bulu-bulu berdiri. Dia tidak harus menghadap Gajah Mada kan?
“Kamu tidak perlu bertemu dengan Paman Gajah Mada dulu. Agak beresiko juga kalau kamu harus membuka identitas dirimu. Semakin banyak orang tahu, kamu semakin nggak aman nanti.” Sifat protektif Singo Abang muncul.
“Tapi tidak ada salahnya juga Enggar bertemu Paman Gajah Mada. Beliau orang yang bijak. Kujamin tidak akan membahayakan Enggar.”
“Kupikir untuk sementara informasi ini kita simpan dulu saja, Har. Kamu mungkin bisa mengusulkan untuk meningkatkan pengawasan di kedua wilayah itu, tapi untuk mengatakan langsung kepada paman Gajah Mada, bukan ide bagus saat ini. Semua dinding istana bisa mendengar, aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Enggar. Kamu pikir apa yang akan terjadi jika ada seorang yang tahu benar tentang masa depan Majapahit, di dalam istana ini?” Singo Abang memberi tekanan pada kata ‘di dalam istana ini’. “Enggar akan jadi bulan-bulanan.”
“Kamu benar. Baiklah, untuk sementara kita simpan informasi ini. Oh ya, satu lagi berita yang kubawa. Berita yang ini tidak bagus. Cakrawaja dikeluarkan dari tahanan pagi tadi.”
“Apa?” Lutut Enggar bergetar hebat.
“Untuk dua atau tiga hari saja. Di rumah keluarganya sedang ada upacara dan orang tuanya memohon Cakrawaja dihadirkan. Mereka menjamin Cakrawaja tidak akan melarikan diri,” lanjut Haryo.      
“Di hari pertamaku pulang seharusnya kamu bawa berita yang menyenangkan, Har.”
“Maaf. Tapi lebih baik kuberitahu, jadi kalian bisa waspada. Aku harus pergi dulu. Akan kutemui kalian lagi.” Haryo tersenyum pada Enggar. “Oh ya, Barata, apa kau tahu Pangeran Palawa sudah kembali dari negeri seberang?”
Deg! Enggar sekarang benar-benar merasa ciut dan gemetaran.

Sisi tangan Singo Abang menyentuh tangan Enggar. “Jangan kuatir, selama aku di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”
*** 

Thursday, September 07, 2017

Gandrung #21

Dua hari berikutnya Enggar, Singo Abang dan Jandul pergi meninggalkan Ketanggung. Untuk sementara Sanip dan Bogar tetap di sana. Tenaga keduanya dibutuhkan untuk melatih orang-orang mengenai seni tembikar dan seni kuliner. Seperti dugaan Sanip, celengan yang dibuatnya atas ide Enggar waktu itu banyak peminatnya, jadi dia harus memberi pelatihan di beberapa tempat.
Mereka duduk di atas kuda masing-masing. Enggar sudah berlatih naik kuda dan semakin meningkat kemampuannya, meski tetap dalam pengawasan ketat Singo Abang. Perjalanan ke kotaraja membawa sensasi tersendiri bagi Enggar. Dia penasaran seperti apa pusat ibukota Majapahit itu.
“Bang Singo anak menteri, berarti semacam pangeran begitu?” tanya Enggar.
“Tidak usah dibicarakan,” tolak Singo Abang, merasa tidak nyaman.
“Jadi betul Bang Singo itu pangeran? Ah, rasanya mustahil. Apa nama panggilan Abang di sana? Pangeran Barata? Di sana nanti harus memakai tata krama, menyembah-nyembah begitu? Harus berbahasa halus dan lembut?”
Sepanjang perjalanan kemudian Singo Abang mesti menahan asam lambung karena mendengar Enggar yang tak kunjung padam bertanya. Baru saat mereka memasuki kotaraja, Enggar kehabisan kata-kata. Dia sibuk mengagumi rumah-rumah beratap genteng, tertata apik dan rapi. Orang Majapahit sudah membuat sistem pembuangan air dengan membangun selokan-selokan di sisi kaki bangunan. Selokan itu dibangun dari satuan-satuan bata untuk memperkuat strukturnya dan memudahkan air mengalir lebih cepat. Halaman-halaman rumah mereka dihiasi jambangan air dan kendi berhias di antara tanaman-tanaman menghijau. Enggar juga sempat melihat beberapa candi selama perjalanan.
Orang-orang ibukota memang selalu berbeda dengan orang-orang di perkampungan. Di kotaraja ini orang-orang berpakaian lebih indah dan lebih mahal. Selain orang Majapahit, Enggar juga melihat orang-orang Cina dan Gujarat. Sebagian ada yang hanya berkunjung untuk keperluan berdagang, tetapi ada juga yang menetap di kotaraja. Para pedagang Cina mengenakan jubah panjang menutup seluruh tubuh dengan kancing baju terletak di bagian tengah depan, ditandai garis lurus vertikal atau kadang polos, serta topi bulat di kepala. Beberapa orang Gujarat juga ada di sini, dikenali dengan tutup kepalanya yang berbentuk kopiah atau sorban, selain mata besar, hidung mancung besar dan bibir tebalnya.      
“Kita sudah ada di gerbang istana,” kata Singo Abang. Di hadapan mereka terdapat sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh prajurit kerajaan bersenjatakan tombak dan tameng. Singo Abang mengeluarkan sebuah lempengan berwarna keemasan, tanda bahwa dia anggota kerajaan, untuk ditunjukkan kepada prajurit penjaga. Mereka bertiga dipersilahkan masuk setelah pengecekan. 
Di dalam komplek istana ini rumah-rumahnya jauh lebih bagus dan besar daripada yang di luar sana. Enggar sampai berkali-kali berdecak kagum. Inikah jantung kerajaan Majapahit? Apa dia akan mengenali bila berpapasan dengan orang-orang yang dibacanya di buku sejarah? Perlukah dia minta tanda tangan sama orang-orang bersejarah itu? Jantung Enggar berdebar-debar memikirkannya.
“Itu rumahku.” Singo Abang menunjukkan sebuah gerbang yang dijaga dua orang prajurit. Dua orang itu buru-buru memberi hormat dan mempersilahkan mereka masuk. Kedatangan mereka langsung disambut seorang pria bertubuh tambun yang langsung mengingatkan Enggar pada Semar.
“Pangeran Barata, syukurlah Pangeran pulang. Kanjeng Puteri pasti senang sekali. Mari, Pangeran, hamba antar ke dalam,” kata pria bertubuh tambun itu.
“Pak Samar, masih ingat dengan Jandul kan?” tanya Singo Abang. Pak Samar mengangguk. “Ini Puteri Enggar, tolong suruh Mbok Sorjan melayaninya baik-baik. Dia tamu pentingku.”
“Baik, Pangeran.”
“Enggar, kita berpisah dulu. Aku harus menemui ibu, baru kemudian aku menemuimu. Tidak apa-apa, tidak usah takut atau sungkan. Kamu akan dilayani dengan baik. Nanti sore kita bertemu lagi. Aku akan menyuruh orang mengantarkan pesan untukmu.”
“Aku tidak bisa ikut Bang Singo ya?” bisik Enggar agak kuatir.
“Di istana aturannya cukup ketat, tidak seperti di luar sana. Aku akan jelaskan padamu nanti. Pak Samar, tolong panggil Mbok Sorjan kemari sekarang,” pinta Singo Abang.
“Baik, Pangeran.”
Pak Samar bergegas pergi dan kembali sebentar kemudian dengan Mbok Sorjan. Perempuan setengah tua berbadan tak kalah tambun dari Pak Samar tampak senang sekali tuan mudanya pulang. Mbok Sorjan ibaratnya ibu kedua dari Singo Abang. Dia yang merawatnya sejak kecil. Semenjak Singo Abang keluar dari rumah setiap hari doanya agar tuan mudanya itu pulang.
“Mbok, memeluknya nanti saja kalau tidak ada orang,“ bisik Singo Abang ketika Mbok Sorjan mau memeluknya. Enggar tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Mbok, ini Puteri Enggar. Kuserahkan dia sepenuhnya pada Mbok Sorjan. Awas kalau sampai dia lecet-lecet. Nanti Mbok tidak kuajarin nulis surat cinta pada Pak Samar.”
“Ih, Pangeran ini masih saja suka menggoda. Mbok sudah menikah dengan Pak Samar sembilan bulan lalu, jadi tidak perlu surat cinta,” kata Mbok Sorjan malu-malu. Singo Abang tertawa. Enggar sampai mencubit tangannya, mengira itu mimpi. Ini pertama kalinya dia melihat Singo Abang tertawa. Kok cakep...
Singo Abang mendekati Enggar. “Enggar, ikut Mbok Sorjan ya. Dia sudah seperti ibuku, jadi kamu akan aman bersamanya. Jandul, ikut aku.”
Mereka pun berpisah.
Mbok Sorjan menatap Enggar dengan sinar matanya yang ramah. Dia bisa merasakan kalau gadis kucel di hadapannya ini istimewa bagi Barata-nya. Pangeran Barata bisa tertawa lagi, itu baru luar biasa.
“Mari ikut hamba, Puteri. Kita perawatan tubuh dulu agar badan Putri yang lelah selama perjalanan bisa segar kembali.”
Kedengarannya menyenangkan.         
***
Seumur-umur Enggar tidak pernah spa di salon, jadi ketika dia mendapatkan perawatan kecantikan secara lengkap begitu dari Mbok Sorjan dan para asistennya, dia hanya bisa ketiduran. Habisnya enak banget dipijat, dilulur, mandi air wangi, dikeramas dan disuguhi camilan. Surga dunia.
Penat, pegal, daki dan debu dari perjalanan penuh petualangan dan bahaya selama berminggu-minggu ini lenyap sudah. Begitu selesai diberi perawatan oleh para dayang, Enggar merasa begitu bersih, harum, rileks dan cantik. Apalagi setelah itu dia beristirahat di ranjang empuk dan lebar. Wah, nikmatnya.
Setelah sekitar dua jam tidur, Enggar terbangun dengan senyuman tersungging di bibir. Tiap hari begini bisa betah di Majapahit. Enggar berjalan ke sebuah meja di sudut ruangan. Ada tempat berisi air dan kain di sisinya untuk cuci muka.
Pintu kamar diketuk. Muncul seorang dayang muda, seusia Enggar. Dia bertanya apa Enggar siap dirias karena Pangeran Barata hendak bertemu. Enggar mengangguk. Dia dipersilahkan duduk di kursi di meja rias. Dayang itu menata rambutnya, membedakinya dan memasang beberapa perhiasan. Untuk yang terakhir itu Enggar menolak, dia nggak mau memakai perhiasan orang, takut nanti kalau terjadi apa-apa. Dia kan tidak punya uang untuk mengganti bila perhiasan itu rusak atau hilang.
Setelah selesai berdandan, Enggar mengikuti dayang itu menuju taman.
Taman samping dipenuhi dengan berbagai bunga dan tanaman beraneka warna. Lantai taman terbuat dari bebatuan bundar yang disusun sedemikian rupa dan dibingkai oleh bata, membentuk segi empat yang saling terhubung dengan yang lain. Ada beberapa kandang yang berisi burung-burung berbulu indah. Pohon buah-buahan ditempatkan di beberapa titik. Ada kolam berair jernih dengan pancuran di tengahnya, menambah keasrian taman itu. Rupanya keluarga Singo Abang memang kaya.
Tapi dimana laki-laki itu? Katanya menunggu di taman, kok tidak tampak batang hidungnya.
Enggar berjalan menuju tepi kolam. Ada sebentuk bangku panjang yang dipayungi tanaman merambat di atasnya. Dia duduk di situ, menanti kedatangan Singo Abang sambil mengagumi pemandangan di sekitarnya.
Ada seseorang datang. Seorang pemuda tampan dengan seekor burung elang di pergelangan tangan kirinya. Enggar segera berdiri, bersiap untuk menyapa. Dia mungkin salah satu pangeran yang tinggal di sini. Sepupu Singo Abang atau saudaranya. Semoga dia sekedar lewat saja dan tidak menanyainya macam-macam. Dia belum berkoordinasi dengan Singo Abang, harus ngomong apa pada siapa, menjawab ini bila ditanya itu.
Enggar siap tersenyum. Pemuda itu menghentikan langkahnya dan tertegun melihatnya. Enggar jadi kikuk. Apa ada yang salah dengannya? Apa dandanannya mencurigakan?
Keduanya akhirnya hanya saling menatap. Enggar grogi. Dia bahkan berusaha untuk tidak menelan ludah, agar tidak semakin salah tingkah.
“Ehem.” Laki-laki muda itu berdehem sambil mengalihkan pandangan ke burung elang di pergelangan tangannya. Bukannya berjalan menjauh, dia malah menghampiri Enggar dan duduk di bangku panjang itu.
Enggar buru-buru berdiri dan menundukkan kepala. Tidak berani menyapa duluan, takut ditanyai macam-macam.
“Kenapa berdiri terus. Duduklah,” kata pemuda yang mengelus sayap elangnya dan menyuruhnya terbang.

“Ahh!!” Enggar berseru kaget sambil tangannya menunjuk muka laki-laki di dekatnya. Itu kan suara Singo Abang! Enggar spontan membungkukkan badan untuk mengamati lebih dekat. “Bang. Betul kamu Bang Singo?” tanya dia tidak percaya.
***

Tuesday, August 01, 2017

Gandrung #20

Gadis itu itu mengurung diri di dalam pondok. Tidak bernafsu makan, tidak mau latihan beladiri, tidak mau berbincang-bincang. Singo Abang sampai mendatangkan bala bantuan untuk menghiburnya. Anak buahnya dan anak-anak didik Mpu Soma menyambangi Enggar bergantian. Bogar membawa makanan-makanan enak. Sanip membawa celengan atau terakota yang lucu-lucu. Jandul yang tidak pernah bicara itu pun rela datang menemui Enggar untuk menunjukkan beberapa jurus pedang. Mpu Soma bahkan beberapa kali berkunjung untuk membesarkan semangatnya.
Perhatian orang-orang padanya sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan Enggar. Apalagi Singo Abang berjanji mencari cara lain untuk membantunya. Selama ini Singo Abang bisa dipercaya, jadi Enggar yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Malam ini tidak seperti biasanya Enggar melihat Singo Abang agak lain. Sesorean tadi laki-laki itu murung. Sekarang saja Singo Abang duduk menyendiri di luar pendopo, sementara orang-orang berkumpul di dalam mendengarkan Mpu Soma membacakan kitab. Enggar mendatangi Singo Abang karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ada apa, Bang?” tanya Enggar sambil duduk di sebelah Singo Abang. “Kulihat hari ini galau banget. Terlalu lama hidup damai di sini, jadi kangen berantem ya?”
Gurauan Enggar hanya mendapatkan sedikit senyuman dari Singo Abang. “Aku mendapat berita dari Haryo kalau ibuku sakit keras. Keluargaku memintaku pulang.”
“Lhah, kenapa Abang masih di sini? Pulanglah, temui ibumu. Pasti beliau senang kalau Abang datang. Siapa tahu sakitnya karena merindukan Bang Singo. Abang sebenarnya juga rindu sama ibumu kan? Aku baru beberapa minggu di sini sudah kangen setengah mati sama Bunda, apalagi Abang yang sudah bertahun-tahun,” tukas Enggar.
Singo Abang menghela napas. Kepergiannya waktu itu penuh dengan cerita kepedihan dan kebencian. Meskipun luka hatinya sudah mulai sembuh, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai komunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.
Tapi pengalaman demi pengalaman selama berpetualang di luar istana memberinya pelajaran, bahwa kesedihan, kemarahan, kebencian dan egoisme yang tinggi tidak akan membawanya kemana-mana kecuali kerusakan pada diri sendiri.
Selain masih adanya rasa enggan dan canggung untuk pulang, Singo Abang juga kepikiran Enggar. Kalau dia pulang, apa dia harus meninggalkan Enggar? Atau membawa Enggar serta ke istana dimana ada sebagian orang mengenalinya sebagai Putri Anggoro?
Pasti akan muncul masalah, apalagi Cakrawaja saat ini berada di penjara istana. Meskipun tubuhnya terkurung di balik tahanan, orang-orang Cakrawaja masih bebas berkeliaran dan Singo Abang sangat yakin keselamatan Enggar tidak bisa dijamin. Apalagi jika nanti Singo Abang harus fokus pada rekonsiliasi hubungannya dengan keluarganya.
“Oh ya, rumah Bang Singo dimana? Kotaraja?” tebak Enggar.
“Iya. Kamu ikut denganku kalau aku pulang?” tanya Singo Abang.
“Ya iya lah. Di seluruh Majapahit orang yang kukenal baik dan kupercaya hanya Abang saja. Kemanapun Abang pergi aku pasti ikut,” jawab Enggar enteng.
Gadis itu tidak tahu betapa senangnya Singo Abang mendengar kata-katanya. Mati-matian laki-laki itu menahan senyum bahagia.
“Kalau kau mau ikut denganku, sebaiknya kukatakan keadaan yang sebenarnya di tempat tinggalku. Jangan sampai kau kaget dan merasa tidak enak, apalagi tidak betah. Ini juga untuk mengantisipasi masalah yang bisa saja terjadi di rumahku nanti.”
“Bikin penasaran banget. Memangnya kenapa sih, Bang? Rumahnya tidak punya kamar tamu?” sela Enggar. Singo Abang melirik sebal.
“Sebenarnya aku tidak hanya tinggal di kotaraja, tetapi aku tinggal di komplek istana.” Singo Abang menunggu komentar Enggar. Karena tidak ada komentar, Singo Abang meneruskan. “Orang tuaku adalah salah satu menteri di kerajaan Majapahit.”
Enggar belum juga komentar. Mungkin karena gadis itu tidak begitu saja percaya akan pengakuan Singo Abang dan perlu waktu untuk mencerna informasi penting barusan.
“Tapi itu bukan hal yang bisa menimbulkan masalah. Ada hal yang lebih serius yang akan kamu hadapi. Di sana nanti kamu pasti dianggap sebagai Putri Anggoro, sebagian orang sudah mengenalnya karena Putri Anggoro kekasih Pangeran Palawa. Mereka akan menikah setelah Pangeran Palawa pulang dari negeri seberang dan itu tidak akan lama lagi. Dalam beberapa hari ke depan Pangeran Palawa akan datang,” ujar Singo Abang hati-hati.  
Mata Enggar melebar. Napasnya mulai tak beraturan.
“P..Pangeran Palawa calon suami Puteri Anggoro? Oooohh....” Enggar memegang lengan Singo Abang, merasa tekanan darahnya tiba-tiba turun. Memikirkan dia akan bertemu Pangeran Palawa dan menjadi kekasihnya membuat kepala Enggar pusing. “Ada yang bawa air minum?” tanya Enggar.
“Jadi bagaimana, menurutmu aku harus pulang?” Singo Abang meminta pertimbangan Enggar.
“Beri aku waktu untuk berpikir. Otakku kekurangan oksigen.” Enggar mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi pening.
“Aku bisa saja menitipkanmu di salah satu rumah kerabatku di kotaraja agar kamu terhindar dari masalah Anggoro, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku tidak mau kehilanganmu lagi,” kata Singo Abang, tak sadar menatap Enggar dengan penuh arti.
“Hah?” Enggar terkejut mendengar kata-kata Singo Abang.
“Oh, eh, maksudku kamu kan suka kabur kalau aku lengah, apalagi kalau kutinggal pergi. Tersesat di kotaraja lebih mengerikan dibanding tersesat di hutan atau di gunung. Begitu,” ralat Singo Abang sebelum keadaan makin membuatnya kikuk karena wajah Enggar jadi merah merona.
Enggar menundukkan kepala yang terasa mengeluarkan uap panas. Seluruh tubuhnya diselimuti sensasi aneh yang menghangatkan. Mungkin Singo Abang merasakan hal yang sama, terbukti sikap tubuhnya menjadi sedikit kaku dan canggung.
“Bagaimana? Aku akan sangat senang sekali kalau kamu mau ikut aku ke istana,” kata Singo Abang sambil berdehem keras untuk menghilangkan atmosfer aneh yang mengelilingi mereka.
“Coba kuhitung-hitung resikonya. Di Ketanggung sudah tipis harapanku untuk bisa dipulangkan ke masa depan. Tetap berada di sini juga tidak menjamin  keamananku. Cepat atau lambat masalah Puteri Anggoro palsu akan terungkap. Mumpung  ada di Majapahit, apa salahnya aku datang ke istana? Siapa tahu di istana nanti malah ada titik cerah. Istana berisi banyak orang pintar dan berilmu, mungkin ada yang bisa membantu.”
“Aku senang kamu penuh harapan.”
“Apa hal terburuk yang bisa kualami di istana? Pangeran Palawa tentu bukan orang yang sempit pikiran dan tetap memaksakan menikahiku kalau tahu aku bukan Anggoro. Tentang Cakrawaja, dia ada di penjara yang penjagaannya tentu lebih ketat. Tentang orang-orang yang mengenalku sebagai Anggoro terkait dengan rencana apapun yang sedang disusun orang Mertabumi dan Sadeng, ada Bang Singo dan Mas Haryo yang mau membantuku.”
Singo Abang menghela napas pendek, tidak sepakat Haryo dibawa-bawa.  
“Baik, aku akan ikut Bang Singo ke istana!” putus Enggar dengan senyuman lebar. Betapa banyak hal yang akan disaksikannya nanti di pusat kerajaan Majapahit. Itu akan menjadi pengalaman yang tak akan terulang lagi di hidupnya.

***

Monday, July 03, 2017

Gandrung #19

Kabut sudah mulai turun. Tipis mengambang. Matahari mengintip dari balik punggung gunung. Kehangatannya hanya mampu sedikit menembus sejuknya titik-titik air di udara. Sebentar lagi sore berakhir.
Singo Abang gelisah di gerbang kediaman Mpu Soma. Ini hari ketiga semenjak Enggar dan Mpu Soma pergi. Seharusnya dia menahan Enggar agar tidak pergi. Kalau gadis itu benar-benar kembali ke jamannya, dia tidak akan bertemu lagi. Perpisahan mereka beberapa hari lalu sangat tidak mengenakkan karena keduanya saling diam, jadi Singo Abang akan sangat menyesal kalau Enggar benar-benar pergi.
Laki-laki itu mengguncang-guncang pohon di sebelahnya dengan gemas. Beberapa daun dan ranting kecil menimpanya. Seekor monyet melompat turun dari pohon karena terganggu oleh guncangan itu. Rupanya Jambul Abang.
Singo Abang melirik Jambul Abang. “Dia sudah pergi, jadi tidak ada yang bisa kamu kejar lagi, Mbul. Si cerewet itu sudah balik ke alamnya,” kata Singo Abang. “Kamu tidak kangen mengganggu Enggar lagi, Mbul?” 
Laki-laki itu pun duduk di bawah pohon ditemani Jambul Abang. Mereka berdua sesekali saling melihat.
“Kamu pernah mengalami hal aneh seperti ini, Mbul? Membiarkan, tapi sebenarnya tidak rela. Mendukungnya pergi, tapi sangat mengharap dia kembali. Tidak tahan dia ada di sekitarmu, tapi tidak sanggup juga kalau dia tidak ada. Tahu apa itu artinya? Itu artinya kamu sudah gila,” simpul Singo Abang. “Dan aku sudah gila bicara pada monyet.”
Matahari sudah bersembunyi. Hanya bias cahayanya saja yang masih mewarnai langit. Singo Abang mendengar suara derap kuda. Semakin mendekat semakin kuat debar jantungnya. Ketika dia berdiri, dari belokan muncul Mpu Soma. Sendirian. Rasa kecewa menguasainya. Jadi Enggar benar-benar pergi.
“Kamu menungguku, Barata?” Mpu Soma turun dari kuda. Singo Abang belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melihat ke arah belakang Mpu Soma, berharap menemukan Enggar.
“Ap...apa Enggar sudah kembali ke masanya?” tanya Singo Abang. Mpu Soma tidak menjawab. Hanya menepuk pundak Singo Abang beberapa kali kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
Singo Abang masih mematung beberapa waktu, seperti menunggu. Dia menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Dia sudah pergi, Mbul,” katanya pada Jambul Abang. Dengan langkah lesu laki-laki itu berjalan meninggalkan gerbang dan Si Jambul. Rasanya seperti kehilangan Shiao Lan untuk kedua kali.
Kalau yang dulu dia memang tidak dapat kesempatan mengutarakan isi hatinya pada Shiao Lan. Singo Abang tengah dikirim ke kerajaan tetangga untuk membantu Pangeran Palawa, dan saat kembali ke istana dia mendapat kabar kapal yang membawa Shiao Lan dan keluarganya karam dihajar badai. Tidak ada yang selamat. Kalau sekarang dia punya kesempatan bicara tapi dirusak sendiri olehnya dengan menciptakan suasana tidak nyaman di hari terakhir Enggar akan pergi, karena cemburu pada Haryo.
“Jandul, apa kau baik-baik saja?” tanya Singo Abang yang bertemu Jandul di klinik bersama Pak Susatra. Jandul kena sedikit luka bakar.
Jandul mengangguk tanda dia baik-baik saja. Laki-laki itu menanyakan hal yang sama pada Singo Abang yang dijawab dengan anggukkan kepala juga. Tapi saat Jandul memberi isyarat mengenai Enggar, Singo Abang menggeleng.     
Saat itu terdengar Jambul Abang ribut di depan sana. Semula tidak diperhatikan oleh mereka, Monyet itu memang suka berisik, tapi lama-lama tingkahnya menjadi. 
Singo Abang membalikkan badan. Dilihatnya monyet itu mondar-mandir dan berteriak tidak keruan, lalu lari keluar komplek. Kalau kebiasaannya tidak berubah, dia pasti sedang mengejar seseorang. Dan selama ini hanya satu orang saja yang dikejarnya.
Berharap dugaannya benar, secepat kilat Singo Abang melesat mengikuti Si Jambul. Ada suara gemuruh di telinganya yang berasal dari detak jantungnya.
“Aaaaahh!! Pergi! Pergi! Pergiiiiiiiiiiiii...!” Seorang berteriak sambil menggerak-gerakkan tongkat kayu, mengusir monyet yang hendak menyerangnya.
“Enggar!” seru Singo Abang. Saat dia sudah berada di hadapan Enggar, serta merta dipeluknya gadis itu erat-erat. Perasaan campur aduk meluap-luap, memenuhi seluruh aliran darah lelaki itu. Seolah memastikan dia tidak bermimpi, Singo Abang tak ingin melepaskan dekapannya dari Enggar.
“Kupikir aku tidak akan bertemu kamu lagi,” bisik Singo Abang lega.
Ketakutan Enggar terhadap Jambul Abang lumer seketika. Yang ada hanya rasa aman, hangat dan bahagia.  
Tatapan mata mereka bertemu. Sekilas Enggar teringat peristiwa di danau bersama Singo Abang waktu itu. Raut mukanya seketika memerah. Begitu juga dengan Singo Abang yang tiba-tiba dilanda demam. Pelukan mereka terlepas, keduanya merasa canggung dan salah tingkah.
 “Aku senang bisa bertemu Bang Singo lagi, tapi aku jadi tidak bisa pulang, Bang.” Suara Enggar serak hampir menangis.
Singo Abang mengulurkan tangan, menghapus air mata gadis itu dengan lembut sambil berusaha keras untuk tidak menaikkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. “Kita akan cari jalan lagi, jangan menyerah. Sekarang kamu istirahat dulu di pondok,” kata Singo Abang. Enggar mengangguk. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku. Jangan terlalu bersedih. Pasti ada jalan untuk kamu pulang,” hiburnya.
Enggar tidak berkomentar. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi itu sama sekali tidak dipedulikan Singo Abang. Hatinya terlalu bahagia dengan keberadaan Enggar di sisinya.
Enggar langsung masuk ke pondoknya dan menutup pintu. Singo Abang mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya nggak ditutup-tutupi lagi.

***