Suara seresah
terinjak-injak oleh kaki manusia membuat telinga rusa jantan itu berdiri. Sikap
waspada ditunjukkannya. Rusa itu mengarahkan telinga ke arah suara itu berasal.
Lalu dia lari, melompati gerumbulan semak dan menghilang di balik pepohonan.
Tiga orang berjalan
terburu-buru. Pakaian mereka berwarna hitam dengan kain batik membalut bagian
pinggang. Seorang dari mereka membawa bungkusan yang dipanggul di punggung, bertubuh
gempal, dengan wajah bulat dan berambut lurus. Sebuah golok menggantung di
pinggang kanannya. Seorang lagi bertubuh tinggi kurus, membawa pedang. Tidak
ada sehelai rambut pun di kepalanya. Bisa terlihat jelas bekas luka di berjajar
di kepala gundulnya itu.
Sang pemimpin, orang
yang paling depan, bertubuh tinggi tegap, sedikit lebih tinggi dari si gundul.
Rambut gondrong, diikat sembarangan. Wajahnya berewokan, tidak rapi. Ikat
kepalanya berwarna merah.
“Dimana dia
disembunyikan, Mijil?” tanya si pemimpin kepada si gempal.
“Di pondok di tengah
hutan, dekat aliran sungai, Ketua,” jawab Mijil.
Mereka berjalan lagi.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Sang Ketua mengangkat tangannya, memberi tanda
agar mereka berhenti. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Dua orang anak
buahnya mencabut senjata. Mereka dalam posisi siap menyerang. Pendengaran
ditajamkan, penglihatan dimaksimalkan. Desau angin menggoyang daun-daun dan
suara satwa memekik di kejauhan. Menegangkan.
“Kalian tidak mendengar
sesuatu?” bisik Sang Ketua.
“Tidak, Ketua,” bisik Mijil.
“Tetap waspada,” ujar Sang
Ketua disambut anggukan oleh anak buahnya.
Sekitar lima belas
menit kemudian mereka bertemu aliran sungai kecil. Mengikuti arah yang
berlawanan dengan aliran air, mereka tiba di tempat yang dituju. Di balik semak
tinggi ada sebuah pondok yang tersembunyi dari pandangan mata.
“Uhu huuu,” seru Mijil,
menirukan suara burung. Ditunggu sesaat, tidak ada suara balasan seperti
kesepakatan. Ketiga orang itu saling pandang. Singo Abang memberi kode agar
Mijil mengulanginya. “Uhu huuu..”
Lagi-lagi sepi.
Tidak sabar lagi, Sang
Ketua menebas semak dengan gusar dan bergegas menuju pondok. Pedang terhunus di
tangannya.
“Pangeran.” Seorang
pria tinggi besar, muncul dari dalam pondok, tergesa menyambut Sang Ketua. Dia bernama
Bogar. Keahliannya memasak dan meramu obat-obatan. Bogar berjongkok, menyembah
si Ikat Kepala Merah.
“Pangeran.” Datang lagi
seorang pemuda kurus dari dalam pondok. Dia bernama Sanip, keahlian memanah dan
berburu hewan.
“Apa gunanya membuat
sandi kalau tidak dipakai?” ucap Sang Ketua berang. Kedua orang di depannya
menunduk lebih dalam, tanda mereka merasa bersalah. “Berdiri berdiri! Sudah
berapa kali aku katakan jangan menyebut pangeran, apalagi menyembahku. Ingat, namaku
Singo Abang.” Singo Abang hendak masuk ke dalam pondok, tapi urung. “Kutinggal dua
hari apa Puteri Anggoro sempat sadar?”
Keduanya saling
pandang, mau mengatakan sesuatu tapi tidak berani. Singo Abang memelototkan
mata, curiga kalau telah terjadi sesuatu.
“Am..Ampun, Ketua,
itu... anu...” Sanip gelagapan. “Saat ini masih belum sadar lagi,” lanjutnya
pelan.
“Belum sadar lagi? Jadi
tadi sempat sadar?” tanya Singo Abang agak bersemangat. Buru-buru laki-laki itu
masuk ke dalam pondok kecil itu. Saat pintu dibuka, dilihatnya ada sesosok
gadis tergolek di atas balai-balai. Kaki, tangan dan mulutnya terikat kain. Rambut
gadis itu terurai berantakan. Sisa lelehan air mata terlihat jelas di pipinya.
Matanya tertutup rapat. “Bogar! Sanip! Kenapa tangan dan kakinya diikat? Kenapa
mulutnya disumpal? Kalian apakan dia? Kan sudah kubilang jangan disakiti!”
teriak Singo Abang dari dalam pondok.
Sanip dan Bogar
tergopoh-gopoh menghadap Singo Abang yang sedang membuka ikatan pada tubuh
Puteri Anggoro, disusul dua orang yang lain.
“Ampun, Ketua. Saat Puteri Anggoro sadar dan
berteriak-teriak tidak keruan, beliau juga mengamuk, Ketua. Kami dipukuli dan
ditendangi, terpaksa kami ikat kaki dan tangannya. Saat saya mau
menenangkannya, saya malah digigit, jadi saya tutup saja mulutnya dengan kain.”
Wajah Sanip sudah pucat pasi. Bogar agak gemetaran di sebelahnya.
Tatapan mata Singo
Abang setajam pedang yang bisa membelah pohon bambu dalam sekali tebas.
Keringat dingin mengucur dari pelipis Sanip dan Bogar. Meskipun sudah beberapa
waktu menjadi anak buat Singo Abang, mereka masih suka ngeri kalau melihat
pemimpinnya marah. “Puteri Anggoro bisa berteriak dan memukul?” tanya Singo
Abang pelan-pelan, memastikan dia tidak salah dengar ucapan Sanip tadi.
“I..iya, Ketua,” Bogar
menjawab, Sanip menganggukkan kepala.
“Puteri Anggoro selama
ini seperti mayat hidup karena racun. Kalaupun sadar, dia hanya bisa membuka
mata saja, tidak bisa bergerak lebih dari itu. Kalau sekarang dia bisa berteriak
dan memukul, maka ada kemungkinan pengaruh racunnya sudah mulai berkurang,”
ucap Singo Abang sambil menoleh ke arah Jandul. Jandul menganggukkan kepala
tanda dia memiliki pemikiran yang sama. “Hm, bagus. Kalau kesadarannya pulih,
aku akan lebih mudah membantunya.”
“Kita harus lebih waspada,
Ketua. Membawa Puteri Anggoro dalam keadaan sadar akan mengundang banyak
perhatian kalau kita tidak berhati-hati,” kata Mijil.
“Kamu benar, Mijil.
Apalagi Tumenggung Sukmo dari Mertabumi sudah mengirim orang untuk mencari kita.
Bahkan Haryo juga ikut,” ujar Singo Abang.
“Tapi jarak kita masih
aman, Ketua,” kata Mijil lagi.
“Aku tidak yakin kita akan terus aman. Mereka
punya orang-orang yang cekatan. Kalau kita tidak cepat, mereka bisa menghadang
sebelum kita sampai tujuan.” Singo Abang menggelengkan kepala. “Aku akan mencoba
menyadarkan Puteri Anggoro lagi. Kalian berjaga-jaga dan siapkan makanan,”
perintahnya.
“Baik, Ketua.”
Singo Abang berjongkok
di samping balai-balai. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari kantong
bajunya, sebuah botol keramik kecil yang berisi cairan dengan bau menyengat
untuk membuat siuman orang pingsan. Baru saja Singo Abang hendak mendekatkan
botol itu ke hidung Puteri Anggoro, tiba-tiba mata sang puteri terbuka dan
terbelalak lebar.
“Huaaaaa!!” Teriakan
puteri itu membuat burung-burung yang sedang bertengger di dahan terbang. “Ini
tempat apa?? Kenapa aku bicara dengan bahasa aneh ini?!”
“Puteri, tenanglah.
Jangan teriak-teriak seperti itu.” Singo Abang berusaha menenangkan. Dia
memeriksa dahi gadis itu, memastikan tidak sedang demam dan berhalusinasi
karenanya.
“Siapa kau? Tolooong!” teriak
sang puteri. Raut wajahnya terlihat panik, apalagi saat melihat pedang yang
dibawa oleh laki-laki berewokan itu. Dia menepis tangan Singo Abang dan berlari
keluar. Tapi baru dua langkah tubuhnya luruh. Beruntung Singo Abang
menangkapnya terlebih dahulu sebelum dia jatuh ke lantai pondok. “Jangan bunuh
akuuuu...” Gadis itu sesenggukan.
“Puteri, badanmu masih lemas karena
berhari-hari tidak kemasukan makanan. Harap beristirahat dulu di balai-balai. Hidangan
sedang disiapkan, Puteri Anggoro bisa makan sebentar lagi.” Singo Abang yang
menggendong puteri itu kembali ke tempat tidurnya nampak sedikit bingung. “Puteri
Anggoro, aku akan mengingatkanmu tentang kejadian tiga hari lalu. Saat
orang-orang Tumenggung Sukmo membawamu ke Sadeng, aku, Jandul dan Mijil
menculikmu untuk menyelamatkanmu dari eksekusi. Tujuanku adalah membawamu ke
kotaraja, menemui paduka Jogoroso, hakim istana, untuk mendapatkan keadilan.
Kami berpikir Puteri telah dijebak,” kata Singo Abang. “Aku belum tahu kejadian
sebenarnya, tetapi banyak kepentingan yang bermain di sini. Kalau Puteri mau
menceritakan kepadaku, aku mungkin bisa membantu,” kata Singo Abang.
Gadis yang dipanggil
Puteri Anggoro itu melongo sesaat sebelum akhirnya menangis lagi. “Huhuhu.. namaku
Enggar, bukan Puteri Anggoro. Aku mau pulang. Jam berapa ini, kenapa gelap? Kenapa
aku ada di sini?” tanya sang puteri. Matanya melihat kesana kemari. Ketakutan
masih menguasainya. “Mas Ito, ini dimana? Mana Mas Ito?” tanyanya pada Singo
Abang. “Bunda... Ayah...”
“Namamu Enggar?” tanya Singo
Abang memastikan tidak salah dengar. Kenapa puteri menyebut namanya Enggar?
“Iya. Namaku Enggar
Penggalih, mahasiswa semester tiga fakultas ekonomi manajemen UI. Aku tadi sama
Mas Ito di Museum Nasional, lalu ada gempa, sepertinya kepalaku kejatuhan benda
berat dan mungkin pingsan. Pas bangun, kenapa aku ada di sini? Ini tempat apa?”
Enggar celingukan.
Tidak ada satu kalimat pun
yang bisa dicerna oleh Singo Abang. Entah Puteri Anggoro kesurupan apa sampai
mengatakan hal yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Atau mungkin racun
itu sudah merusak isi kepalanya.
Gadis cantik anak
almarhum Adipati Rekso itu seperti zombi ketika diculiknya. Sorot matanya
kosong. Orang-orang bahkan sudah menduganya nggak waras. Kalau melihat
perkembangan sekarang, mungkin mereka benar. Puteri Anggoro sudah gila.
“Ketua, apa semua
baik-baik saja? Kami mendengar teriakan.” Dari pintu muncullah Mijil dan
Jandul. Senjata tajam sudah terhunus di tangan masing-masing.
Wajah Enggar makin
pucat. Kenapa banyak sekali wajah asing yang dilihatnya, seram dan kotor
seperti tidak pernah mandi berhari-hari. Terlalu tidak masuk akal, jadi pasti
ini rekayasa.
“Ini reality show kan? Aku dikerjain ya?
Kalian aktor semua, iya kan? Pasti ini juga rambut dan jenggot palsu.” Tanpa
berpikir panjang Enggar menjambak rambut dan menarik jenggot Singo Abang sekuat
tenaga. Laki-laki itu menyeringai kesakitan dan menggebrak balai-balai. Lambang
kejantanannya dilecehkan begitu saja, dia jadi emosi. Wijil dan Mijil
memejamkan mata. Kalau saja Puteri Anggoro tahu siapa sebenarnya laki-laki yang
ada di hadapannya itu, pasti dia akan memohon ampun. “Kok asli?” gumam Enggar
heran.
“Puteri Anggoro,
sebaiknya sekarang istirahat dulu saja sambil menunggu makanan matang. Setelah
makan dan tidur pikiran akan lebih tenang.” Singo Abang mencoba untuk bersabar
lagi.
“Aku mau pulang saja,
Pak. Tolong.” Enggar merajuk. Tangannya mengguncang-guncang lengan Singo Abang.
“Namaku Singo Abang,
bukan Pak,” kata Singo Abang sembari melepaskan jari-jari tangan Enggar yang
mulai mencengkeram lengannya.
“Bang Singo, aku mau
pulang. Nggak diantar nggak apa-apa deh. Ini dimana sih kok sepertinya ada di
hutan. Ini di Taman Safari ya?” tanya Enggar yang mengintip ke luar dari sela-sela
dinding pondok. “Punya hape nggak, Bang, pinjam dong buat nelepon rumah.”
Singo Abang menggaruk
kepala, semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan gadis itu. Sekali lagi
Singo Abang meminta puteri untuk menenangkan diri sementara dia bersama anak buahnya
keluar dari pondok.
“Ketua, Puteri Anggoro
apa sudah tidak waras?” tanya Mijil hati-hati saat mereka sudah berkumpul di
halaman pondok. Harum umbi bakar menyeruak, menggugah selera. Ikan yang dibawa
oleh Mijil sudah dibumbui oleh Bogar dan siap dibakar.
“Aku kuatir begitu,”
gumam Singo Abang. “Sanip, Bogar, kalian pasti melewatkan sesuatu. Ketika aku
meminta kalian menyembunyikan Puteri Anggoro, dia tidak seperti ini. Apa
terjadi sesuatu dengannya yang kalian belum ceritakan padaku? Apa kalian memberinya
makanan atau ramuan yang aneh-aneh sampai dia jadi begitu?”
“Ampun, Ketua. Kami
benar-benar tidak melakukan apa-apa, kecuali yang sudah Ketua perintahkan.
Memberinya ramuan obat sehari tiga kali,” kata Bogar, diiyakan oleh Sanip dengan
anggukan kepala berkali-kali.
Singo Abang duduk di
sebuah batang kayu yang tumbang. Otaknya berpikir keras mencari-cari penjelasan
yang masuk akal mengenai keadaan Puteri Anggoro. Dia harus sekali lagi
memastikan bahwa Puteri Anggoro dalam kondisi waras agar bisa diajak bekerja
sama membongkar persekongkolan itu.
“Maaf, Ketua, ini
makanannya sudah siap.” Bogar menyerahkan makanan kepada Singo Abang. Makanan
itu kemudian dibawa Singo Abang sendiri untuk diberikan pada sang puteri. Dia mencoba
berkomunikasi lagi dengan Puteri Anggoro.
Mata Enggar membuka
ketika mendengar kedatangan seseorang. Si berewok itu lagi. Selama dia
ditinggalkan sendiri, Enggar berpikir keras tentang apa yang terjadi. Dia masih
hidup, itu hal yang pasti. Pertanyaannya adalah: dia ada di mana, siapa orang-orang
itu, dan kenapa mereka memanggilnya Puteri Anggoro?
Dia sangat berharap
sedang dikerjain oleh orang-orang usil, karena kalau ini kenyataan akan terlalu
mengerikan. Dandanannya seperti sedang main ketoprak atau wayang orang, memakai
kemben yang ditutup selendang dan kain untuk bawahannya. Rambutnya pun panjang
asli, tidak ditambah hair extention.
Dia bahkan bisa berbicara dengan bahasa kuno. Kalau tidak sedang dikerjain, dia
pasti sedang bermimpi. Tapi melihat bekas cubitannya sendiri di tangan, ini
bukanlah mimpi.
“Bagaimana keadaanmu,
Puteri Anggoro?” Singo Abang muncul, mendekat ke arahnya. Harum makanan membuat
perut Enggar melilit.
“Kita sebenarnya dimana
sih, Bang?” tanya Enggar.
“Hutan Wonokawi, lima
hari perjalanan menuju kotaraja Majapahit,” jawab Singo Abang yang sontak
membuat Enggar nyengir.
“Hehehehe...Majapahit?
Becanda nih, Abang.” Enggar mendorong Singo Abang yang meletakkan makanan di
sampingnya. Singo Abang menahan napas, mencoba bersabar. “Mana mungkin aku ada
di Majapahit. Majalengka kali,” tukas Enggar.
“Ini memang Majapahit.”
“Majapahit asli?
Berarti sekarang Raja Hayam Wuruk lagi nongkrong di istana dong. Boleh dong
minta waktu ketemuan,” canda Enggar saking stresnya.
“Siapa Hayam Wuruk
itu?” tanya Singo Abang.
“Ya raja Majapahit lah,
masa raja hutan,” jawab Enggar dengan tampang culun. Singo Abang mengerutkan
alis. Kelihatan bingung. “Masa nggak kenal Hayam Wuruk sih, Bang? Dia orang
sini juga, cucunya Sri Kertarajasa Jayawardana,” ujar Enggar dengan gaya
ibu-ibu gosip.
Ekspresi wajah Singo
Abang semakin terlihat puyeng. “Tidak ada pangeran yang bernama Hayam Wuruk,”
ujar Singo Abang.
“Ah, Abang orang sini bukan sih? Ketahuan kan
kalau ini Majapahit palsu. Kalau tidak ada yang bernama Hayam Wuruk, ini emang
Majapahit tahun berapa?” tanya Enggar. Saat menyebutkan Majapahit tadi dia
menggerakkan jari telunjuk dan tengah kedua tangannya untuk memberi “tanda
petik”.
“1329,” jawab Singo
Abang.
“Kalau tahun 1329 Hayam Wuruk emang belum ada.
Lima tahun lagi dia baru lahir,” guman Enggar. Karena belakangan dia dicekoki
sejarah Majapahit oleh kakaknya, sedikit banyak dia tahu. “Jadi yang sekarang
jadi raja...”
“Ratu. Ratu Tribuana
Tunggadewi Jayawisnuwardani,” sahut Singo Abang, mulai penasaran dengan arah
pembicaraan Enggar.
““Tahun segini Gajah
Mada belum menjadi mahapatih ya,” celetuk Enggar.
“Kamu bilang apa tadi?
Mahapatih Majapahit sekarang adalah Aryo Tadah. Apa nanti Gajah Mada yang akan
menggantikannya menjadi mahapatih?” tanya Singo Abang dengan mata menatap lurus
kepada gadis di hadapannya. “Kamu bisa meramal atau hanya mengacau, Puteri
Anggoro?” Singo Abang masih belum melepas tatapan matanya dari Enggar.
“Bang, namaku
Enggar, bukan Puteri Anggoro. Enggar Penggalih.” Enggar mencoba tidak berkedip
untuk meredakan jantungnya yang berdebar aneh.
“Kamu itu Puteri
Anggoro, anak almarhum Adipati Rekso. Sekitar satu minggu lalu, kamu dinyatakan
membunuh anak Tumenggung Sukmo dari Mertabumi yang bernama Sukmana. Orang-orang
menemukanmu berada di sebelah mayatnya, dengan membawa keris penuh darah. Kamu
terbukti bersalah dan akan dihukum mati.” Singo Abang mengembalikan pembicaraan
ke topik semula. Informasi dari gadis itu mengenai Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajah Mada sangat dini untuk dapat dipercaya, jadi akan dianggapnya omong kosong.
“Mana mungkin aku
membunuh orang. Mengarangnya jangan terlalu indah deh, Bang. Kuberitahu sekali
lagi ya, Bang, tolong didengarkan baik-baik. Namaku Enggar Penggalih. Terakhir
kali kuingat aku berada di Museum Nasional, sedang lari dari gedung saat gempa.
Sesuatu menimpa kepalaku dan aku pingsan. Setelah sadar aku berada di sini dan
sekarang aku mau pulang.” Enggar mengatakannya pelan-pelan, berharap Singo
Abang percaya.
Lagi-lagi mereka
bertatapan mata agak lama. Entah kenapa kali ini Singo Abang terlihat sedikit
jengah dan dia memalingkan muka.
“Racun yang mereka
berikan kemungkinan sudah merusak syarafmu. Aku tidak tahu apa Mpu Soma bisa
menyembuhkanmu, Puteri.” Singo Abang membelakangi gadis itu. “Kita akan
meninggalkan tempat ini besok pagi-pagi sekali. Pangeran Palawa akan menemui
Puteri di perbatasan,” putus Singo Abang. Nampaknya dia harus segera mencari
jawaban atas keanehan Puteri Anggoro dan itu bisa dilakukan kalau dia
cepat-cepat menemui orang yang berkompeten untuk menjawab fenomena tersebut.
“Hah? Aku mau dibawa
kemana? Siapa lagi itu Pangeran Palawa?” Enggar kelabakan. Gawat kalau dia
dibawa pergi ke tempat yang lebih asing.
Enggar menelan ludah. Karena
tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan apa maunya, maka hanya ada satu hal yang
bisa dilakukan sebagai langkah pertama. Melarikan diri!
***
No comments:
Post a Comment