Monday, July 03, 2017

Gandrung #19

Kabut sudah mulai turun. Tipis mengambang. Matahari mengintip dari balik punggung gunung. Kehangatannya hanya mampu sedikit menembus sejuknya titik-titik air di udara. Sebentar lagi sore berakhir.
Singo Abang gelisah di gerbang kediaman Mpu Soma. Ini hari ketiga semenjak Enggar dan Mpu Soma pergi. Seharusnya dia menahan Enggar agar tidak pergi. Kalau gadis itu benar-benar kembali ke jamannya, dia tidak akan bertemu lagi. Perpisahan mereka beberapa hari lalu sangat tidak mengenakkan karena keduanya saling diam, jadi Singo Abang akan sangat menyesal kalau Enggar benar-benar pergi.
Laki-laki itu mengguncang-guncang pohon di sebelahnya dengan gemas. Beberapa daun dan ranting kecil menimpanya. Seekor monyet melompat turun dari pohon karena terganggu oleh guncangan itu. Rupanya Jambul Abang.
Singo Abang melirik Jambul Abang. “Dia sudah pergi, jadi tidak ada yang bisa kamu kejar lagi, Mbul. Si cerewet itu sudah balik ke alamnya,” kata Singo Abang. “Kamu tidak kangen mengganggu Enggar lagi, Mbul?” 
Laki-laki itu pun duduk di bawah pohon ditemani Jambul Abang. Mereka berdua sesekali saling melihat.
“Kamu pernah mengalami hal aneh seperti ini, Mbul? Membiarkan, tapi sebenarnya tidak rela. Mendukungnya pergi, tapi sangat mengharap dia kembali. Tidak tahan dia ada di sekitarmu, tapi tidak sanggup juga kalau dia tidak ada. Tahu apa itu artinya? Itu artinya kamu sudah gila,” simpul Singo Abang. “Dan aku sudah gila bicara pada monyet.”
Matahari sudah bersembunyi. Hanya bias cahayanya saja yang masih mewarnai langit. Singo Abang mendengar suara derap kuda. Semakin mendekat semakin kuat debar jantungnya. Ketika dia berdiri, dari belokan muncul Mpu Soma. Sendirian. Rasa kecewa menguasainya. Jadi Enggar benar-benar pergi.
“Kamu menungguku, Barata?” Mpu Soma turun dari kuda. Singo Abang belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melihat ke arah belakang Mpu Soma, berharap menemukan Enggar.
“Ap...apa Enggar sudah kembali ke masanya?” tanya Singo Abang. Mpu Soma tidak menjawab. Hanya menepuk pundak Singo Abang beberapa kali kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
Singo Abang masih mematung beberapa waktu, seperti menunggu. Dia menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Dia sudah pergi, Mbul,” katanya pada Jambul Abang. Dengan langkah lesu laki-laki itu berjalan meninggalkan gerbang dan Si Jambul. Rasanya seperti kehilangan Shiao Lan untuk kedua kali.
Kalau yang dulu dia memang tidak dapat kesempatan mengutarakan isi hatinya pada Shiao Lan. Singo Abang tengah dikirim ke kerajaan tetangga untuk membantu Pangeran Palawa, dan saat kembali ke istana dia mendapat kabar kapal yang membawa Shiao Lan dan keluarganya karam dihajar badai. Tidak ada yang selamat. Kalau sekarang dia punya kesempatan bicara tapi dirusak sendiri olehnya dengan menciptakan suasana tidak nyaman di hari terakhir Enggar akan pergi, karena cemburu pada Haryo.
“Jandul, apa kau baik-baik saja?” tanya Singo Abang yang bertemu Jandul di klinik bersama Pak Susatra. Jandul kena sedikit luka bakar.
Jandul mengangguk tanda dia baik-baik saja. Laki-laki itu menanyakan hal yang sama pada Singo Abang yang dijawab dengan anggukkan kepala juga. Tapi saat Jandul memberi isyarat mengenai Enggar, Singo Abang menggeleng.     
Saat itu terdengar Jambul Abang ribut di depan sana. Semula tidak diperhatikan oleh mereka, Monyet itu memang suka berisik, tapi lama-lama tingkahnya menjadi. 
Singo Abang membalikkan badan. Dilihatnya monyet itu mondar-mandir dan berteriak tidak keruan, lalu lari keluar komplek. Kalau kebiasaannya tidak berubah, dia pasti sedang mengejar seseorang. Dan selama ini hanya satu orang saja yang dikejarnya.
Berharap dugaannya benar, secepat kilat Singo Abang melesat mengikuti Si Jambul. Ada suara gemuruh di telinganya yang berasal dari detak jantungnya.
“Aaaaahh!! Pergi! Pergi! Pergiiiiiiiiiiiii...!” Seorang berteriak sambil menggerak-gerakkan tongkat kayu, mengusir monyet yang hendak menyerangnya.
“Enggar!” seru Singo Abang. Saat dia sudah berada di hadapan Enggar, serta merta dipeluknya gadis itu erat-erat. Perasaan campur aduk meluap-luap, memenuhi seluruh aliran darah lelaki itu. Seolah memastikan dia tidak bermimpi, Singo Abang tak ingin melepaskan dekapannya dari Enggar.
“Kupikir aku tidak akan bertemu kamu lagi,” bisik Singo Abang lega.
Ketakutan Enggar terhadap Jambul Abang lumer seketika. Yang ada hanya rasa aman, hangat dan bahagia.  
Tatapan mata mereka bertemu. Sekilas Enggar teringat peristiwa di danau bersama Singo Abang waktu itu. Raut mukanya seketika memerah. Begitu juga dengan Singo Abang yang tiba-tiba dilanda demam. Pelukan mereka terlepas, keduanya merasa canggung dan salah tingkah.
 “Aku senang bisa bertemu Bang Singo lagi, tapi aku jadi tidak bisa pulang, Bang.” Suara Enggar serak hampir menangis.
Singo Abang mengulurkan tangan, menghapus air mata gadis itu dengan lembut sambil berusaha keras untuk tidak menaikkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. “Kita akan cari jalan lagi, jangan menyerah. Sekarang kamu istirahat dulu di pondok,” kata Singo Abang. Enggar mengangguk. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku. Jangan terlalu bersedih. Pasti ada jalan untuk kamu pulang,” hiburnya.
Enggar tidak berkomentar. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi itu sama sekali tidak dipedulikan Singo Abang. Hatinya terlalu bahagia dengan keberadaan Enggar di sisinya.
Enggar langsung masuk ke pondoknya dan menutup pintu. Singo Abang mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya nggak ditutup-tutupi lagi.

***