Thursday, February 09, 2017

Gandrung #16

Enggar stres. Biasanya dia hanya menjadi pengikut saja dalam perjalanan, sekarang dia yang memimpin perjalanan. Meskipun masih Singo Abang yang mengendalikan kuda, tapi Enggar yang membuat keputusan kapan mereka istirahat atau melanjutkan perjalanan. Dia juga harus merawat Singo Abang, menyiapkan makan, mengurus kuda dan lain sebagainya. Bukannya dia keberatan, justru dia merasa kuatir kalau apa yang dilakukannya kurang maksimal.
Singo Abang merasa kasihan pada Enggar. Dia tahu Enggar lelah, walau gadis itu berusaha untuk selalu tegar dan ceria. Setiap hari dia hanya tidur tidak lebih dari empat atau lima jam. Dengan sabar dia mengurusi Singo Abang. Mengompresnya saat demam, mengganti perban, membersihkan luka yang semakin tidak enak dilihat, bahkan menyuapinya makan.
“Awas saja kalau Bang Singo berani mati. Pokoknya Abang harus kuat. Kalau Abang meninggalkanku sendirian di Majapahit, aku akan benci Abang seumur hidup,” ancam Enggar setiap kali Singo Abang melemah. Lalu gadis itu memeluknya erat. “Jangan tinggalkan aku ya, Bang.”
Pada hari ketiga mereka sampai di Ketanggung. Enggar harus berlari ke pendopo dan memanggil bantuan karena Singo Abang sudah keburu pingsan di atas kuda sebelum tiba di pintu gerbang.
Untunglah Mpu Soma ada di tempat. Dia meminta Pak Susatra untuk membawa Singo Abang ke pondok pribadinya, sedangkan Enggar hanya bisa menunggu dengan gelisah di kamarnya.
Kantuk sudah sedari tadi menyerangnya, tapi Enggar nggak bisa tidur sebelum tahu bagaimana keadaan Singo Abang. Anak-anak yang bersekolah di sana mendatangi Enggar, menanyakan keadaannya dan berusaha menghiburnya.
Selama dua hari Enggar tidak diperbolehkan menengok Singo Abang, membuatnya makin penasaran dengan keadaan laki-laki yang telah menyelamatkannya itu. Mpu Soma bilang Singo Abang tidak boleh diganggu. Tapi bukan Enggar kalau tidak mencari cara. Entah mengintip atau minta bocoran dari Pak Sukarsa mengenai perkembangan kesehatan Singo Abang.
Malam ini, saat Enggar sibuk melipat pakaian, ada orang mengetuk pintu pondoknya. Semoga ada yang mengabarkan kalau dia boleh menengok Singo Abang.
“Puteri!” Tiga wajah terpampang di depan Enggar. Jandul, Bogar dan Sanip rupanya sudah sampai ke Ketanggung.
“Pak Bogar, Pak Jandul, Kang Sanip!” Enggar menyalami mereka satu per satu. “Kapan datangnya? Sudah tahu bagaimana keadaan Bang Singo? Aku belum dikasih ijin untuk menengok. Oh ya, Bagaimana kabar kalian?”
 “Kami buru-buru kemari begitu mendengar kabar Putri menghilang. Sampai di sini malah diberitahu Ketua terluka. Tapi untunglah Puteri selamat. Ketua orangnya kuat dan jagoan, pasti akan sembuh, Puteri jangan kuatir,” kata Bogar.
“Permisi.” Pak Susatra datang menghampiri mereka. “Maaf, Nakmas Barata ingin bertemu dengan Den Enggar dan kalian. Silahkan, semuanya sudah ditunggu di pondok Mbah So.”
“Asyik!” Enggar bersorak. “Ayo, Pak, buruan yuk!” Enggar lalu sibuk mendorong mereka keluar dari pondoknya. 
Mereka sampai di pondok Mpu Soma, tempat Singo Abang dirawat. Enggar mau langsung menyerbu, tapi ditahan oleh Pak Susatra karena diminta bergiliran masuknya. Urutannya adalah Jandul, Bogar, Sanip, baru kemudian Enggar.
Satu persatu mereka masuk dan keluar. Untung cuma sebentar-sebentar. Pada saat tiba gilirannya, Enggar justru malah jadi ragu untuk masuk. Jantungnya deg deg an luar biasa dan entah kenapa hatinya terasa tidak karuan. Dia sampai harus mengingatkan diri sendiri untuk bisa menahan gejolak aneh yang merasukinya.
Setelah beberapa kali mengambil napas panjang, Enggar masuk. Tapi ketika dia sudah tiba di tempat Singo Abang berbaring, dilihatnya laki-laki itu sudah memejamkan mata. Apakah dia tidur? Enggar pelan-pelan mendekatinya.
Napas Singo Abang naik turun teratur, nampaknya memang tidur. Rupanya Enggar terlalu lama membuatnya menunggu. Tapi tidak apa. Kesempatan itu digunakannya untuk memandang wajah Singo Abang sampai puas. Tak sadar tangan gadis itu terulur, hendak menyentuh luka di dada kanan Singo Abang.
“Barata. Minum obatnya dulu.” Datanglah Mpu Soma dengan membawa cawan berisi cairan berwarna kehijauan untuk diminum Singo Abang. Laki-laki itu membuka mata, agak kaget melihat keberadaan Enggar. Mereka saling menatap, tapi hanya sekilas karena Enggar terpaksa menyingkir, memberi tempat pada Mpu Soma untuk memberi obat. Enggar duduk di kursi tak jauh dari balai-balai tempat Singo Abang berbaring miring.
Setelah obat habis diminum, Mpu Soma memeriksa luka Singo Abang, sambil mengajaknya bicara cukup lama. Mpu Soma keluar dari ruangan kira-kira lima belas menit kemudian, setelah membaca bahasa tubuh Singo Abang yang sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Enggar.
“Aku tidak melihatmu beberapa hari ini. Bagaimana keadaanmu?” tanya Singo Abang sambil mengalihkan pandangan ke Enggar. “Hei. Enggar!” panggil Singo Abang. Enggar tidak menyahut, rupanya ketiduran di kursi. Kepalanya tersandar di dinding dan kedua tangannya terkulai di pangkuannya.
Singo Abang bangun dari tempatnya berbaring. Pelan-pelan dia berjalan menuju lemari dan mengambil kain. Diselimutkannya kain itu ke Enggar. Termangu Singo Abang di sampingnya. Menatap wajah Enggar dengan penuh rasa rindu. Rasa hangat tiba-tiba menyebar di wajahnya. Singo Abang mundur, menyadari keinginannya untuk mencium gadis itu tidak boleh dilakukannya.
Singo Abang hendak kembali ke balai-balai ketika tiba-tiba mendengar suara berdebum. Bukan benda, tapi Enggar! Saking lelapnya, tubuhnya oleng ke samping, dan gaya gravitasi langsung menariknya ke bumi.
Enggar geragapan dan kontan berdiri. Ada dimana dia sekarang? Enggar menoleh ke kanan dan ke kiri. Kaget dia setelah sadar bahwa dia meringkuk di tanah.
“Awas kalau ketawa!” ancamnya ketika mendapati Singo Abang mematung di dekat balai-balai, menatapnya lurus.
Enggar bergegas keluar dari kamar itu sebelum mukanya terbakar karena malu. Sampai di luar Enggar langsung berjongkok, mengacak-acak rambutnya. Duuuh, kenapa dia sampai ketiduran? Sampai tumbang ke tanah segala, hancur sudah keanggunannya.
Eh, tadi dia melihat kain tergeletak di tanah. Apa Singo Abang menyelimutinya?
Enggar bangun dan kembali ke kamar Singo Abang. Laki-laki itu terbaring dengan mata terpejam, seperti posisi ketika Enggar masuk pertama kali. Di kursi tempat dia ketiduran, Enggar tidak melihat adanya selimut.

***