Friday, September 29, 2017

Gandrung #22

“Kenapa?” Singo Abang menarik Enggar agar duduk di sebelahnya.
“Waaah.” Enggar masih takjub. “Tidak ada berewok, tidak awut-awutan, tidak gondrong berantakan.” Gadis itu menyentuh rambutnya, mengelus wajahnya, menggeleng-gelengkan kepala, menatap kagum pada Singo Abang.
Ketika sadar apa yang dilakukannya, terlebih lagi saat melihat tatapan mata Singo Abang yang melelehkan jiwa itu lekat padanya, Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa, mau bilang aku ganteng?” goda Singo Abang.
“He-eh.” Spontan Enggar menjawab. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, pura-pura mencari kemana elang itu terbang, karena malu. Dalam hati dia merutuk karena keceplosan mengatakan isi hatinya.
Singo Abang tertawa bahagia melihatnya. Duh, Enggar seperti cokelat di bawah terik mentari. Lumer oleh tawa Singo Abang yang memesona.
“Kalau melihatku sekarang ini, gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang iseng, sekaligus penasaran. Sekian lama merasa tak dianggap, dia ingin pengakuan jujur dari Enggar setelah melihatnya dalam sosok pangeran.
“Idih, Abang tanya yang lain kenapa, kayak anak kecil.” Enggar beringsut menjauh, berusaha melarikan diri. Tapi Singo Abang sudah keburu menangkap lengannya. Ditariknya kembali gadis itu ke sisinya.
“Jawab saja, gantengan mana aku sama Haryo?” desak Singo Abang.
Kalau saja Singo Abang mendengar deburan ombak yang terasa di dalam dada Enggar, lelaki itu tidak perlu lagi bertanya. Apalagi raut wajah Enggar sudah sedemikian bersemu merah menahan jengah.
Getaran aneh menjalari seluruh tubuh Enggar. Seolah ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya, Enggar serasa melayang ketika jemari Singo Abang menyentuh lembut dagunya.
Keheningan sekaligus ketegangan di antara mereka membuat keduanya kesulitan bernapas.
Oh, Tuhan. Enggar memalingkan muka, menyadari keinginannya untuk semakin dekat kepada lelaki di hadapannya semakin susah dikendalikan. “Jadi gimana, apa yang harus kulakukan selama di sini? Aku tidak perlu bertemu dengan orang tua Bang Singo kan?” hindarnya. Menghapus bayangan Singo Abang mendekapnya hangat, sungguh terasa sayang.
Singo Abang menggeram kalut. Sedikit lebih lama lagi mereka saling pandang seperti barusan, dia tidak bisa menjamin dirinya untuk tidak mengecup bibir gadis di hadapannya.
“Selalu begitu kalau ditanyain hal yang penting, tidak mau menjawab.” Singo Abang melipat tangannya di depan dada. Meredakan gemuruh yang bergejolak.
Enggar mencibir. “Masa penting bertanya gantengan mana?!” Singo Abang merusak momen indah.
“Penting buatku. Ayo, gantengan mana?” kejar Singo Abang.
“Siapa yang lebih ganteng dari siapa?”
Panjang umur. Pangeran Haryo nongol dari belakang. Enggar yang posisinya memunggungi Haryo, membalikkan badan dan berdiri. Agak terkejut juga dia melihat Haryo dengan pakaian kebesaran seorang pangeran, tidak pakaian lapangan yang biasa dia kenakan. Ketampanan lelaki itu naik lagi beberapa derajat.  
Kalau tadi Singo Abang tertegun saat melihat Enggar pertama kali dalam pakaian dinas seorang puteri, Haryo membeku takjub.
“Enggar?” tanya dia dengan wajah terpukau. Dia berjalan melewati Enggar dan berdiri tepat di sebelah Singo Abang untuk melihat lebih jelas puteri jadi-jadian itu. “Kamu sungguh jelita.”
“Mas Haryo bisa saja. Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Enggar basa basi dan tersipu di waktu yang sama.
“Kamu benar-benar membuatku pangling. Puteri-puteri di sini pasti pada ngiri melihatmu,” puji Haryo tulus. “Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Singo Abang menyingkirkan Haryo dari hadapan Enggar. Sifat kompetitif sekaligus kekanak-kanakannya muncul. “Ganggu orang saja kamu, Yo. Aku sedang bicara serius dengan Enggar. Eh, Enggar, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang, lebih gigih dari sebelumnya karena terbakar cemburu.
“Aku sama kamu gantengan mana? Jelas aku,” sela Haryo terkekeh sombong. Singo Abang mendengus kesal.
Enggar perlahan melipir, menjauh dari mereka berdua agar tidak terperangkap antara dua pilihan. Bisa terjadi perang bratayuda kalau dia bilang dua-duanya ganteng.
“Oh ya, Bar, aku ada informasi terbaru. Di wilayah Keta ada laporan ada sejumlah pemuda pergi dari rumah dalam waktu yang berdekatan, mirip seperti yang terjadi di Sadeng. Mereka bilangnya pergi ke kota, tapi sepertinya tidak.” Haryo mengundur misi perjuangan cintanya demi menyampaikan berita penting pada Singo Abang.
“Kau mencurigai ada pergerakan di Keta?” Sesaat Singo Abang melupakan konflik pribadi dengan Haryo.
“Apa, Mas? Di mana tadi?” tanya Enggar. Nama itu menggelitik kupingnya.
“Keta,” jawab Haryo. “Kenapa?”
“Kamu teringat sesuatu?” tanya Singo Abang.
“Aku belum yakin, tapi nama itu tidak asing. Sadeng, Keta.” Enggar menggigit bibir bawahnya, berpikir keras. Sementara itu kedua lelaki di hadapannya menatap penuh cinta. “Astaga! Bang, aku ingat. Pada masa pemerintahan Tribuana Tunggadewi terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta, kalau tidak salah tahun 1331,” serunya.
Singo Abang dan Haryo tampak kaget. Mereka sudah menduga ada gelagat pemberontakan, tapi semuanya masih belum jelas.
Ketiganya lalu terdiam sesaat, sambil saling pandang.
“Kamu yakin?” tanya Singo Abang, memastikan Enggar tidak salah ingat.
“Di buku sejarah begitu. Pada tahun 1331 Keta dan Sadeng hendak melepaskan diri dari Majapahit. Tapi pemberontakan mereka berhasil ditumpas oleh...Gajah Mada.” Enggar menatap mereka bergantian.
Haryo melirik Singo Abang. “Menurutmu kita harus menemui Paman Gajah Mada, Bar?”
“Menemui Gajah Mada?” Tenggorokan Enggar kering. Bertemu Gajah Mada secara langsung sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Enggar merasakan bulu-bulu berdiri. Dia tidak harus menghadap Gajah Mada kan?
“Kamu tidak perlu bertemu dengan Paman Gajah Mada dulu. Agak beresiko juga kalau kamu harus membuka identitas dirimu. Semakin banyak orang tahu, kamu semakin nggak aman nanti.” Sifat protektif Singo Abang muncul.
“Tapi tidak ada salahnya juga Enggar bertemu Paman Gajah Mada. Beliau orang yang bijak. Kujamin tidak akan membahayakan Enggar.”
“Kupikir untuk sementara informasi ini kita simpan dulu saja, Har. Kamu mungkin bisa mengusulkan untuk meningkatkan pengawasan di kedua wilayah itu, tapi untuk mengatakan langsung kepada paman Gajah Mada, bukan ide bagus saat ini. Semua dinding istana bisa mendengar, aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Enggar. Kamu pikir apa yang akan terjadi jika ada seorang yang tahu benar tentang masa depan Majapahit, di dalam istana ini?” Singo Abang memberi tekanan pada kata ‘di dalam istana ini’. “Enggar akan jadi bulan-bulanan.”
“Kamu benar. Baiklah, untuk sementara kita simpan informasi ini. Oh ya, satu lagi berita yang kubawa. Berita yang ini tidak bagus. Cakrawaja dikeluarkan dari tahanan pagi tadi.”
“Apa?” Lutut Enggar bergetar hebat.
“Untuk dua atau tiga hari saja. Di rumah keluarganya sedang ada upacara dan orang tuanya memohon Cakrawaja dihadirkan. Mereka menjamin Cakrawaja tidak akan melarikan diri,” lanjut Haryo.      
“Di hari pertamaku pulang seharusnya kamu bawa berita yang menyenangkan, Har.”
“Maaf. Tapi lebih baik kuberitahu, jadi kalian bisa waspada. Aku harus pergi dulu. Akan kutemui kalian lagi.” Haryo tersenyum pada Enggar. “Oh ya, Barata, apa kau tahu Pangeran Palawa sudah kembali dari negeri seberang?”
Deg! Enggar sekarang benar-benar merasa ciut dan gemetaran.

Sisi tangan Singo Abang menyentuh tangan Enggar. “Jangan kuatir, selama aku di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”
*** 

Thursday, September 07, 2017

Gandrung #21

Dua hari berikutnya Enggar, Singo Abang dan Jandul pergi meninggalkan Ketanggung. Untuk sementara Sanip dan Bogar tetap di sana. Tenaga keduanya dibutuhkan untuk melatih orang-orang mengenai seni tembikar dan seni kuliner. Seperti dugaan Sanip, celengan yang dibuatnya atas ide Enggar waktu itu banyak peminatnya, jadi dia harus memberi pelatihan di beberapa tempat.
Mereka duduk di atas kuda masing-masing. Enggar sudah berlatih naik kuda dan semakin meningkat kemampuannya, meski tetap dalam pengawasan ketat Singo Abang. Perjalanan ke kotaraja membawa sensasi tersendiri bagi Enggar. Dia penasaran seperti apa pusat ibukota Majapahit itu.
“Bang Singo anak menteri, berarti semacam pangeran begitu?” tanya Enggar.
“Tidak usah dibicarakan,” tolak Singo Abang, merasa tidak nyaman.
“Jadi betul Bang Singo itu pangeran? Ah, rasanya mustahil. Apa nama panggilan Abang di sana? Pangeran Barata? Di sana nanti harus memakai tata krama, menyembah-nyembah begitu? Harus berbahasa halus dan lembut?”
Sepanjang perjalanan kemudian Singo Abang mesti menahan asam lambung karena mendengar Enggar yang tak kunjung padam bertanya. Baru saat mereka memasuki kotaraja, Enggar kehabisan kata-kata. Dia sibuk mengagumi rumah-rumah beratap genteng, tertata apik dan rapi. Orang Majapahit sudah membuat sistem pembuangan air dengan membangun selokan-selokan di sisi kaki bangunan. Selokan itu dibangun dari satuan-satuan bata untuk memperkuat strukturnya dan memudahkan air mengalir lebih cepat. Halaman-halaman rumah mereka dihiasi jambangan air dan kendi berhias di antara tanaman-tanaman menghijau. Enggar juga sempat melihat beberapa candi selama perjalanan.
Orang-orang ibukota memang selalu berbeda dengan orang-orang di perkampungan. Di kotaraja ini orang-orang berpakaian lebih indah dan lebih mahal. Selain orang Majapahit, Enggar juga melihat orang-orang Cina dan Gujarat. Sebagian ada yang hanya berkunjung untuk keperluan berdagang, tetapi ada juga yang menetap di kotaraja. Para pedagang Cina mengenakan jubah panjang menutup seluruh tubuh dengan kancing baju terletak di bagian tengah depan, ditandai garis lurus vertikal atau kadang polos, serta topi bulat di kepala. Beberapa orang Gujarat juga ada di sini, dikenali dengan tutup kepalanya yang berbentuk kopiah atau sorban, selain mata besar, hidung mancung besar dan bibir tebalnya.      
“Kita sudah ada di gerbang istana,” kata Singo Abang. Di hadapan mereka terdapat sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh prajurit kerajaan bersenjatakan tombak dan tameng. Singo Abang mengeluarkan sebuah lempengan berwarna keemasan, tanda bahwa dia anggota kerajaan, untuk ditunjukkan kepada prajurit penjaga. Mereka bertiga dipersilahkan masuk setelah pengecekan. 
Di dalam komplek istana ini rumah-rumahnya jauh lebih bagus dan besar daripada yang di luar sana. Enggar sampai berkali-kali berdecak kagum. Inikah jantung kerajaan Majapahit? Apa dia akan mengenali bila berpapasan dengan orang-orang yang dibacanya di buku sejarah? Perlukah dia minta tanda tangan sama orang-orang bersejarah itu? Jantung Enggar berdebar-debar memikirkannya.
“Itu rumahku.” Singo Abang menunjukkan sebuah gerbang yang dijaga dua orang prajurit. Dua orang itu buru-buru memberi hormat dan mempersilahkan mereka masuk. Kedatangan mereka langsung disambut seorang pria bertubuh tambun yang langsung mengingatkan Enggar pada Semar.
“Pangeran Barata, syukurlah Pangeran pulang. Kanjeng Puteri pasti senang sekali. Mari, Pangeran, hamba antar ke dalam,” kata pria bertubuh tambun itu.
“Pak Samar, masih ingat dengan Jandul kan?” tanya Singo Abang. Pak Samar mengangguk. “Ini Puteri Enggar, tolong suruh Mbok Sorjan melayaninya baik-baik. Dia tamu pentingku.”
“Baik, Pangeran.”
“Enggar, kita berpisah dulu. Aku harus menemui ibu, baru kemudian aku menemuimu. Tidak apa-apa, tidak usah takut atau sungkan. Kamu akan dilayani dengan baik. Nanti sore kita bertemu lagi. Aku akan menyuruh orang mengantarkan pesan untukmu.”
“Aku tidak bisa ikut Bang Singo ya?” bisik Enggar agak kuatir.
“Di istana aturannya cukup ketat, tidak seperti di luar sana. Aku akan jelaskan padamu nanti. Pak Samar, tolong panggil Mbok Sorjan kemari sekarang,” pinta Singo Abang.
“Baik, Pangeran.”
Pak Samar bergegas pergi dan kembali sebentar kemudian dengan Mbok Sorjan. Perempuan setengah tua berbadan tak kalah tambun dari Pak Samar tampak senang sekali tuan mudanya pulang. Mbok Sorjan ibaratnya ibu kedua dari Singo Abang. Dia yang merawatnya sejak kecil. Semenjak Singo Abang keluar dari rumah setiap hari doanya agar tuan mudanya itu pulang.
“Mbok, memeluknya nanti saja kalau tidak ada orang,“ bisik Singo Abang ketika Mbok Sorjan mau memeluknya. Enggar tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Mbok, ini Puteri Enggar. Kuserahkan dia sepenuhnya pada Mbok Sorjan. Awas kalau sampai dia lecet-lecet. Nanti Mbok tidak kuajarin nulis surat cinta pada Pak Samar.”
“Ih, Pangeran ini masih saja suka menggoda. Mbok sudah menikah dengan Pak Samar sembilan bulan lalu, jadi tidak perlu surat cinta,” kata Mbok Sorjan malu-malu. Singo Abang tertawa. Enggar sampai mencubit tangannya, mengira itu mimpi. Ini pertama kalinya dia melihat Singo Abang tertawa. Kok cakep...
Singo Abang mendekati Enggar. “Enggar, ikut Mbok Sorjan ya. Dia sudah seperti ibuku, jadi kamu akan aman bersamanya. Jandul, ikut aku.”
Mereka pun berpisah.
Mbok Sorjan menatap Enggar dengan sinar matanya yang ramah. Dia bisa merasakan kalau gadis kucel di hadapannya ini istimewa bagi Barata-nya. Pangeran Barata bisa tertawa lagi, itu baru luar biasa.
“Mari ikut hamba, Puteri. Kita perawatan tubuh dulu agar badan Putri yang lelah selama perjalanan bisa segar kembali.”
Kedengarannya menyenangkan.         
***
Seumur-umur Enggar tidak pernah spa di salon, jadi ketika dia mendapatkan perawatan kecantikan secara lengkap begitu dari Mbok Sorjan dan para asistennya, dia hanya bisa ketiduran. Habisnya enak banget dipijat, dilulur, mandi air wangi, dikeramas dan disuguhi camilan. Surga dunia.
Penat, pegal, daki dan debu dari perjalanan penuh petualangan dan bahaya selama berminggu-minggu ini lenyap sudah. Begitu selesai diberi perawatan oleh para dayang, Enggar merasa begitu bersih, harum, rileks dan cantik. Apalagi setelah itu dia beristirahat di ranjang empuk dan lebar. Wah, nikmatnya.
Setelah sekitar dua jam tidur, Enggar terbangun dengan senyuman tersungging di bibir. Tiap hari begini bisa betah di Majapahit. Enggar berjalan ke sebuah meja di sudut ruangan. Ada tempat berisi air dan kain di sisinya untuk cuci muka.
Pintu kamar diketuk. Muncul seorang dayang muda, seusia Enggar. Dia bertanya apa Enggar siap dirias karena Pangeran Barata hendak bertemu. Enggar mengangguk. Dia dipersilahkan duduk di kursi di meja rias. Dayang itu menata rambutnya, membedakinya dan memasang beberapa perhiasan. Untuk yang terakhir itu Enggar menolak, dia nggak mau memakai perhiasan orang, takut nanti kalau terjadi apa-apa. Dia kan tidak punya uang untuk mengganti bila perhiasan itu rusak atau hilang.
Setelah selesai berdandan, Enggar mengikuti dayang itu menuju taman.
Taman samping dipenuhi dengan berbagai bunga dan tanaman beraneka warna. Lantai taman terbuat dari bebatuan bundar yang disusun sedemikian rupa dan dibingkai oleh bata, membentuk segi empat yang saling terhubung dengan yang lain. Ada beberapa kandang yang berisi burung-burung berbulu indah. Pohon buah-buahan ditempatkan di beberapa titik. Ada kolam berair jernih dengan pancuran di tengahnya, menambah keasrian taman itu. Rupanya keluarga Singo Abang memang kaya.
Tapi dimana laki-laki itu? Katanya menunggu di taman, kok tidak tampak batang hidungnya.
Enggar berjalan menuju tepi kolam. Ada sebentuk bangku panjang yang dipayungi tanaman merambat di atasnya. Dia duduk di situ, menanti kedatangan Singo Abang sambil mengagumi pemandangan di sekitarnya.
Ada seseorang datang. Seorang pemuda tampan dengan seekor burung elang di pergelangan tangan kirinya. Enggar segera berdiri, bersiap untuk menyapa. Dia mungkin salah satu pangeran yang tinggal di sini. Sepupu Singo Abang atau saudaranya. Semoga dia sekedar lewat saja dan tidak menanyainya macam-macam. Dia belum berkoordinasi dengan Singo Abang, harus ngomong apa pada siapa, menjawab ini bila ditanya itu.
Enggar siap tersenyum. Pemuda itu menghentikan langkahnya dan tertegun melihatnya. Enggar jadi kikuk. Apa ada yang salah dengannya? Apa dandanannya mencurigakan?
Keduanya akhirnya hanya saling menatap. Enggar grogi. Dia bahkan berusaha untuk tidak menelan ludah, agar tidak semakin salah tingkah.
“Ehem.” Laki-laki muda itu berdehem sambil mengalihkan pandangan ke burung elang di pergelangan tangannya. Bukannya berjalan menjauh, dia malah menghampiri Enggar dan duduk di bangku panjang itu.
Enggar buru-buru berdiri dan menundukkan kepala. Tidak berani menyapa duluan, takut ditanyai macam-macam.
“Kenapa berdiri terus. Duduklah,” kata pemuda yang mengelus sayap elangnya dan menyuruhnya terbang.

“Ahh!!” Enggar berseru kaget sambil tangannya menunjuk muka laki-laki di dekatnya. Itu kan suara Singo Abang! Enggar spontan membungkukkan badan untuk mengamati lebih dekat. “Bang. Betul kamu Bang Singo?” tanya dia tidak percaya.
***