Friday, October 14, 2016

Gandrung #6


Haryo menyepak abu bekas perapian di depan pondok. Barata ada di kemarin malam. Dia barusan melihat isi pondok dan menemukan kain yang dari bentuknya digunakan untuk mengikat. Kemungkinan mengikat kaki dan tangan seseorang. Puteri Anggoro. Tapi kenapa? Kenapa dia harus diikat?
Diperiksanya sekitar pondok. Jejaknya mengarah ke sungai lalu menghilang. Haryo meraup air sungai dan membasuh wajahnya dengan air itu. Dia kemudian minum sedikit. Rambutnya yang tidak terlalu gondrong dibasahi, dari arah depan ke belakang. Otaknya berpikir, apa yang akan dia lakukan kalau dia adalah Barata.
Sudah jelas ada lebih dari empat orang yang menginap di tempat itu, meskipun jejaknya berusaha dihilangkan. Mereka berjalan ke sini, lalu menyusuri sungai. Haryo masuk ke dalam sungai dan mulai berjalan. Berjalan berombongan akan memperlambat sampai ke tempat tujuan, jadi kemungkinan mereka akan berpisah di suatu tempat.
Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa, apa Barata akan membawa dia kepadanya? Barata diduganya menuju kotaraja, padahal saat ini Pangeran Palawa sedang tidak ada di istana. Bukan pilihan yang bijak mengingat orang-orang mengenalnya. Seharusnya dia bersembunyi dahulu di suatu tempat sampai keadaan benar-benar aman.
Haryo berhenti. Tanah di pinggir sungai sebelah sana agak berbeda. Diseberanginya sungai dengan cepat. Mereka mencoba mengaburkankan jejak kaki itu, tapi Haryo terlalu pintar untuk diperdaya. Mungkin ini saatnya mencari Barata tanpa direcokin Jayengwangsa dan prajuritnya. Haryo bergegas kembali ke pondok. Sudah ada Jayengwangsa dan anak buahnya di situ.
“Mereka menginap di sini?” tanya Jayengwangsa.
“Iya.” Haryo mengangguk dan melewati orang itu, menuju kudanya. “Mereka menyeberangi sungai. Aku melihat jejaknya. Mereka pasti akan berpencar. Kurasa kita juga.” Haryo naik ke atas kuda. “Mereka ke arah timur dan utara. Kemungkinan Puteri Anggoro dan ketua penculik berpisah arah untuk mengecoh kita dan akan bertemu lagi di suatu tempat. Aku akan mengambil arah timur.”
“Tunggu, kami saja yang ke timur. Anda yang ke utara.”
Haryo tersenyum dalam hati, umpannya dengan mudah ditangkap Jayengwangsa. “Kenapa? Aku mengenal Kepala Merah, aku pernah ketemu dengannya, sedangkan kau belum.”
“Anak buahku pernah melihatnya. Biarkan kami yang ke timur.”
“Baiklah kalau kalian memaksa. Ayo, Bintang, jalan!” Haryo menepuk perut kudanya dengan kaki dan kuda itu bergerak. “Bodoh,” gumamnya setelah meninggalkan orang-orang itu. Dia tahu Jayengwangsa akan memilih arah yang dipilihnya. Orang seperti dia selalu ingin cari muka. Kalau dia bisa menangkap Barata, sesumbarnya pasti luar biasa. Kalau bisa.

***
 Awan bergerak lambat di angkasa. Angin kadang-kadang saja berembus. Siang  terasa panjang. Sudah lebih dari tiga hari sejak penculikan itu dan belum ada berita yang menggembirakan tentang keberadaan Puteri Anggoro. Telik sandi, atau istilah modernnya intel, yang disebar hanya bisa melaporkan kalau si penculik bukan orang sembarangan. Kemungkinan dia kerabat istana.
Tumengung Sukmo meneguk air dari kendi. Laki-laki tinggi kurus itu gelisah menunggu kedatangan seseorang.
“Kita sudah dua kali bertemu di sini, tempat ini tidak aman lagi. Lain kali cari tempat lain.” Orang yang ditunggunya sudah datang. Tumengung Sukmo berdiri menyambut laki-laki tinggi berkumis lebat itu. “Aku akan sebentar saja. Aku sangat kecewa padamu. Kalau pekerjaan kecil begini saja tidak bisa beres, bagaimana mungkin aku akan mengajakmu naik bersamaku? Puteri itu seharusnya sudah mati. Dia terlalu tahu banyak rencana kita.”
“Dia sayuran, Tuan. Tabib saya sudah memastikan dia tidak akan bicara.”
Sikap tubuh laki-laki berkumis itu makin kaku, tanda dia marah. “Kau bisa menjamin itu? Dia dibawa kabur. Dan apapun ramuan yang diberikan tabibmu padanya juga bisa dinetralkan oleh tabib lain. Kau membahayakan rencana kita. Aku sudah memperingatkanmu untuk membunuhnya langsung saat itu juga, tapi kau malah membuatnya dipenjara terlebih dahulu. Bodoh!”
“Itu juga untuk mengalihkan perhatian orang, Tuan. Hukum harus kelihatan berjalan, sehingga orang-orang tidak akan curiga. Pihak istana selalu saja memantau, apalagi Puteri Anggoro masih keluarga jauh menteri. Dengan pengadilan yang sesuai hukum, mereka tidak ada alasan lagi untuk menyelidiki lebih jauh.” Tumenggung Sukmo membela diri.
“Jangan mencari alasan, Sukmo. Aku mau semua tuntas sampai akarnya. Rencana ini tidak boleh bocor. Sebaiknya Puteri Anggoro ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, atau kau yang akan menggantikannya. Aku tidak peduli bagaimana caramu. Kuberi waktu dua hari. Nyawanya atau nyawamu.”
Orang itu pergi, meninggalkan Tumengung Sukmo yang terduduk lemas.
“Jayengwira, cari perempuan yang mirip Anggoro. Kita harus menjalankan rencana cadangan,” perintah Tumenggung Sukmo kepada bawahannya.
“Baik, Tuan.”     
***

Thursday, October 13, 2016

Gandrung #5


Di hadapan mereka berdiri pepohonan tinggi besar, batas hutan Wonokawi. Dari informasi yang didapatkan, dua hari lalu ada tiga orang yang menjual kudanya di pasar dengan ciri-ciri salah seorang dari mereka berambut gondrong dan berewokan. Pangeran Haryo tahu orang itu adalah Pangeran Barata. Dia menduga Pangeran Barata masuk ke hutan untuk menghilangkan jejak.
Sebenarnya pengejaran akan lebih efektif kalau dilanjutkan, tetapi orang-orang itu sudah lelah, jadi diputuskan mereka beristirahat di pinggir hutan.
“Pangeran Haryo, anda yakin mereka menuju ke sini?” tanya Jayengwangsa, kerabat Tumengung Sukmo. Haryo mengangguk sekilas. Dia berjalan menuju dekat api unggun, merebahkan merebahkan badan di rerumputan yang sudah diberi alas kain. Jayengwangsa mendekat. “Pangeran Haryo, apakah...”
“Aku mau tidur, jadi diamlah. Sepanjang hari kamu ngomong tidak ada habisnya. Kalau aku sudah benar-benar kesal, kutinggal kalian. Sekarang jangan mengangguku!” bentak Haryo. Jayengwangsa terpaksa mundur.       
“Kalau saja kau bukan kerabat istana, kutendang kau hingga alun-alun.”
“Lakukan saja kalau berani,” sahut Haryo yang rupanya mendengar gerutuan laki-laki itu. Jayengwangsa minta maaf dan meninggalkan Haryo sendiri.
Haryo tersenyum. Dia tidak mendengar gumaman Jayengwangsa barusan, tapi kalau melihat ekspresinya, orang itu pasti sedang mengutuknya atau mengancamnya. Jadi iseng saja ngomong begitu.
Lelaki tampan itu memejamkan mata, mencoba mengurai kejadian yang melatarbelakangi pengejarannya. Barata menculik Puteri Anggoro yang akan dihukum mati. Dia memang sudah gila. Mertabumi gempar dan beritanya sampai ke istana. Sekarang Haryo diutus membawa Barata oleh para petinggi kerajaan, dan orang tua Barata. Sebenarnya meskipun tidak ditugaskan pun Haryo akan tetap mengejar Barata. Mereka masih punya urusan yang belum diselesaikan.
Malam berlalu dengan cepat. Pagi-pagi sekali Haryo sudah bangun dan masuk hutan. Kudanya ditinggalkan agar lebih leluasa memeriksa keadaan.
Ada jejak kaki. Lebih dari seorang. Dia sudah menuju arah yang benar.

*** 
Desa Dadialas yang berada di sebelah Desa Wonorandu sudah nampak. Sesuai rencana mereka berpencar setelah mendapatkan kuda. Baru ada satu kuda yang bisa didapat saat itu, yang diperuntukkan bagi Sanip yang akan pergi pertama kali. Jandul pergi setelah Sanip. Pertama untuk mencarikan kuda di pasar dan kemudian mendahului ke kotaraja. Dia akan memberi peringatan pada Singo Abang kalau ada apa-apa di depan. Mereka sudah ada di dunia luar, kemungkinan untuk dikenali dan diperhatikan lebih besar daripada saat mereka berada di hutan.
Bogar menemukan rumah kosong tak jauh dari tempat mereka berpisah. Untuk alasan keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan, Enggar harus berubah penampilan.
“Kita akan berkuda mulai sekarang. Dengan pakaianmu seperti itu akan menyulitkan, jadi kamu harus menyamar menjadi laki-laki. Pakaialah yang ada di bungkusan ini.”
“Menyamar jadi cowok?” tanya Enggar. “Baguslah. Kemben ini sudah bikin was was,” kata Enggar sedikit lega.  
Singo Abang keluar dari rumah, menunggu Enggar ganti baju.
“Ketua, Puteri Anggoro aneh ya? Selama saya bekerja di Mertabumi, saya beberapa kali pernah melihat Puteri Anggoro. Beliau lemah lembut seperti bidadari. Berjalannya pelan, bicaranya pelan. Tapi sekarang...” Bogar menggaruk pipinya.
“Puteri Anggoro harus seperti ini biar tidak dikenali. Kamu tahu kita sekarang jadi buronan, setidaknya oleh orang Tumenggung Sukmo.”
“Iya, Ketua.”
“Satu lagi, mulai sekarang kamu akan memanggilnya Enggar. Tidak ada yang boleh tahu dia Puteri Anggoro, mengerti?” perintah Singo Abang.
“Iya, Ketua.” Bogar menganggukkan kepala.
“Selama perjalanan, jangan membuat perhatian, jangan terlihat mencolok,” kata Singo Abang sambil memperbaiki ikat kepala merahnya.
“Ketua memakai ikat kepala begitu apa tidak mencolok?” tanya Bogar takut-takut.
Singo Abang meliriknya. “Kamu benar.” dilepaskannya ikat kepala itu dengan agak berat hati, lalu dibebatkan di pergelangan tangan.
“Berewoknya apa nggak sekalian dicukur, Ketua?” usul Bogar lagi. Mata Singo Abang melotot. “M..maaf, Ketua.”
“Aku tidak akan mencukurnya.” Singo Abang mengetuk pintu. “Enggar, sudah selesai ganti pakaiannya? Aku buka pintunya.” Singo Abang membuka pintu, dan mendapat sambutan lemparan sandal. Singo Abang terpaksa menutup pintu lagi dan menunggu.
Enggar membuka pintu. Singo Abang dan Bogar memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Dia sudah terlihat lebih nyowok, hanya saja rambutnya masih terkuncir panjang.
“Bang, gimana? Gagah nggak?” Enggar berpose bak binaraga. Bogar tertawa, membuat Enggar tertawa juga. Cantik.
“Kamu selalu memanggilku Bang, apa itu artinya?” tanya Singo Abang.
“Bang sama dengan Kangmas,” jelas Enggar. “Oh ya, rambutku diapain ya, Bang, biar mirip laki-laki?”
“Sini.” Singo Abang masuk ke dalam rumah diikuti Enggar.
Mereka berhadapan. Singo Abang berpikir mau diapain rambut panjang Enggar. Dia berjalan dan kemudian berdiri di belakang Enggar.
“Bagaimana kalau dipotong saja rambutnya?” tanya Singo Abang.
“Lho, boleh? Kalau Puteri Anggoronya marah gimana? Kalau di jamanku perempuan berambut cepak nggak aneh, kalau jaman ini kan nggak lazim.”
“Rambut bisa tumbuh lagi, tidak masalah. Yang penting sekarang tidak ada orang yang tahu identitasmu sampai benar-benar masalahnya terpecahkan, baik tentang pembunuhan itu maupun tentang kepastian kamu berkepribadian ganda atau benar-benar datang dari masa depan.” Singo Abang mengeluarkan pedang.
“Kamu mau memotong rambut apa memotong leher, Bang? Jangan nakutin dong.” Enggar bergidik.
“Sini,” kata Singo Abang. Beberapa kali tebas, rambut Enggar sudah tinggal sebahu dalam waktu singkat. Lalu laki-laki itu mengeluarkan kain dari kantong bajunya dan mengikatkannya di kepala Enggar.
“Bang, berapa umurmu?” tanya Enggar iseng. Tebakannya pasti sekitar dua puluh lima tahun atau lebih.
“Dua puluh dua,” jawab Singo Abang singkat.
“Kok keliatannya udah om-om? Orang jaman dulu lekas tua apa ya?” Enggar mengepaskan ikat kepalanya yang sudah selesai dibuatkan Singo Abang. “Bagaimana penampilanku? Sudah seperti cowok?”
Cowok imut, batin Singo Abang. “Ya ya, sudah. Tidak ada yang mengira kamu perempuan, apalagi seorang Puteri. Kamu sekarang kurus, tidak ada bentuk perempuan.” Kata-kata terakhir diucapkan Singo Abang dengan pelan, tapi masih kedengaran di telinga Enggar dan membuatnya geregetan. “Kita pergi sekarang.”
Mereka tiba di pasar desa beberapa waktu kemudian. Enggar nggak berhenti meyakinkan dirinya bahwa dia tidak bermimpi. Orang-orang yang menggelar dagangan berupa hasil bumi, orang-orang yang membeli beraneka kebutuhan, yang berlalu lalang, yang menjual hewan ternak, semuanya asli.
“Ini hari pasaran, makanya ramai sekali. Di hari biasanya nggak seramai ini. Mereka datang dari berbagai desa. Kebanyakan orang gunung yang turun karena ini pasar terdekat,” kata Bogar.
Mereka segera menuju tempat penjual kuda yang sudah ditandai oleh Jandul dengan coretan warna merah di salah satu palang bambu pengikat tali kuda.
Hanya dua kuda yang dibeli karena Enggar nggak bisa naik kuda. Baru ini kesamaan yang dimiliki Anggoro dan Enggar. Setelah membayar kuda, mereka segera pergi dari tempat itu. Enggar berkuda bersama Singo Abang, dia duduk di belakang.
“Kita akan ke Mpu Soma, meminta bantuannya untuk mengembalikan ingatanmu. Itu sangat penting untuk mengetahui kenapa kamu berada di tempat terjadinya pembunuhan dan apa yang kamu alami selama dipenjara.”
“Yang penting bagiku, aku bisa dikembalikan ke masa depan. Yang lainnya aku nggak peduli,” sahut Enggar.
“Aku masih belum percaya kalau kamu benar-benar bukan Puteri Anggoro. Apa yang bisa membuktikan kalau kamu dari masa depan?”
“Aku tau beberapa hal tentang apa yang terjadi di Majapahit di tahun-tahun ke depan,” kata Enggar. “Meskipun itu aku tahunya dari buku sejarah dan pelajaran sekolah,” lanjutnya dalam hati.   
“Orang-orang tertentu yang berilmu tinggi di Majapahit bisa juga melihat apa yang terjadi di tahun-tahun ke depan. Itu tidak bisa menjadi bukti,” tukas Singo Abang.
“Oke. Tapi aku tahu lebih detil tentang apa saja yang ada di jamanku, yang nggak bakalan diketahui orang berilmu tinggi di Majapahit,” ujar Enggar percaya diri. Pasti peramal di Majapahit nggak tahu hebohnya media sosial.
“Seperti apa jamanmu?” tanya Singo Abang ingin tahu.
Enggar belum sempat menanggapi pertanyaan Singo Abang karena dari arah depan terdengar suara derap rombongan berkuda dengan membawa panji-panji. Singo Abang memberi tanda agar mereka turun dari kuda dan segera menyingkir dari jalan. Ketika rombongan itu melewati mereka, sekilas Enggar bertatapan dengan salah seorang pengendara kuda yang berpakaian paling indah. Orang itu juga membalas tatapannya.
“Berhenti!” teriak orang itu seketika.
“Apa yang kamu lakukan?” bisiknya pada Enggar.
“Nggak ngapa-ngapain, hanya melihat mereka saja,” jawab Enggar polos.
“Kamu tidak tahu apa kalau itu rombongan Pangeran Cakrawaja, orang paling congkak seluruh jagad. Tidak ada orang yang boleh menatapnya, apalagi rakyat jelata. Kita harus menundukkan kepala dalam-dalam kalau orang istana lewat, kecuali kita dapat ijin untuk menegakkan kepala,” kata Singo Abang.
“Heh? Mana aku tahu ada aturan begitu?” Enggar membela diri.
“Berlutut dan menyembah. Tundukkan kepalamu, cepat!” Tangan Singo Abang menekan kepala Enggar agar tertunduk.
Mereka mendengar suara langkah kaki kuda mendekat. Salah satunya bahkan dekat sekali, hingga dengan kepala tertunduk pun mereka bisa melihat kaki kuda itu bergerak-gerak.
“Kau, baju coklat, kau tahu apa salahmu?” tanya seseorang yang kemungkinan besar adalah si Cakrawaja. Enggar melirik ke kiri dan ke kanan. Baju Bogar berwarna putih kumal, baju Singo Abang berwarna hitam, jadi yang dimaksud adalah dia.
“Maafkan kami, Tuanku. Adik hamba ini baru pertama kali turun gunung, belum mengenal tata krama dan mengenali Tuan. Mohon diampuni, Tuan.” Singo Abang mencoba menenangkan sebelum Cakrawaja makin tersinggung. 
“Siapa yang menyuruhmu bicara? Kau, baju coklat, beraninya melihatku. Kau mau matamu kukeluarkan dari tempatnya?” bentak Cakrawaja.
 “Ampun, Tuanku. Hamba bersalah karena begitu mengagumi Tuanku,” sahut Enggar cepat-cepat saat Singo Abang mau membuka mulut. “Hamba baru pertama kali turun gunung, belum pernah melihat pasukan berkuda sebanyak ini dan belum pernah melihat Tuanku yang tampak begitu gagah dan hebat.”
Cakrawaja tersenyum. “Meskipun kata-katamu manis, tapi aku tetap tidak suka dengan perbuatanmu tadi. Tegakkan kepalamu. Akan kuputuskan hukuman apa yang akan kau terima. Tegakkan kepalamu!” perintah Cakrawaja.
Perlahan Enggar menegakkan kepalanya, tapi dia menatap lurus ke depan, hanya melihat kaki Cakrawaja di atas kuda.
“Tatap mataku. Ayo, tatap mataku!” Suara Cakrawaja makin garang.
Enggar menghela napas baru kemudian mendongakkan kepala hingga kedua matanya bisa menatap mata Cakrawaja secara langsung.  
Laki-laki pendek berbaju indah itu tertegun melihat wajah imut Enggar. “Kau didik adikmu baik-baik, jangan sampai terulang karena aku bisa saja membuatnya dihukum berat. Kali ini saja aku tidak punya waktu.”
“Terima kasih banyak, Tuanku. Anda sungguh mulia,” kata Singo Abang.
“Kita pergi!” Cakrawaja menggebrak kuda diikuti para prajuritnya. Bogar terduduk dengan lega seakan lepas dari mulut buaya.
“Lain kali, jangan menatap mata orang. Kecuali orang-orang yang kamu kenal, mengerti? Apalagi kalau kita sudah sampai di kota raja nanti. Untung Cakrawaja tidak melakukan apa-apa padamu. Heran,” ucap Singo Abang sambil naik ke atas kuda. Tangannya terulur menarik Enggar ke belakangnya.
“Siapa orang itu tadi?” Kepala Enggar ditelengkan ke arah Cakrawaja pergi.
“Anak salah satu menteri. Kemampuan terbaiknya hanya menggertak dan sedikit memanah.” Singo Abang melecut tali kudanya.
“Kamu sepertinya kenal banget dengan orang-orang istana, kayaknya tahu betul pangeran ini dan pangeran itu, padahal penampilanmu seperti perampok, ng, pengangguran.” Enggar menggigit lidah, menunggu reaksi Singo Abang. “Apa pekerjaanmu dulu, Bang? Mantan pembantu di istana ya?” tanya Enggar lugu.
Bogar tertawa geli. Puteri Anggoro yang sekarang betul-betul berbeda. Dugaan Bogar kalau si Puteri kehilangan ingatan dan menjadi orang lain mungkin benar. Dia sudah curiga sejak ditugaskan menjaga puteri di hutan.
*** 

Tuesday, October 11, 2016

Gandrung #4


 “Bagaimana keadaanmu?”
Suara laki-laki itu membuat Enggar geragapan. Dia celingukan seperti burung hantu. Yang dilihatnya adalah dinding kayu dan atap dedaunan serta Singo Abang. Raut kecewa terlukis di wajahnya yang masih pucat.
“Jangan lakukan seperti itu lagi, mengerti? Kamu tidak tahu berbahanya hutan ini, apalagi malam hari? Untung saja kamu ditemukan dalam keadaan hidup, bagaimana kalau kamu ditemukan sudah berada di perut ular atau tinggal tulang belulang?” Singo Abang mengatakannya dengan suara yang ditahan-tahan. Dia sangat kesal, tapi tidak ingin membuat gadis di depannya makin terguncang.
Enggar beringsut untuk duduk. Diliriknya sela-sela dinding kamar yang diterobos sinar matahari. Ini sudah pagi. Dia tidak mempedulikan kata-kata Singo Abang tadi, pikirannya masih mencari cara bagaimana melarikan diri.
“Permisi, Ketua. Ini sarapan buat Puteri Anggoro.” Bogar muncul dari pintu dengan membawa mangkok berisi makanan yang harumnya membuat perut Enggar perih. Setelah mangkok itu diterima Singo Abang, Bogar pamit keluar.
 “Makanlah dulu.” Singo Abang menyodorkan mangkok dan langsung diambil Enggar dengan semangat.
Tanpa menunggu komentar, Enggar mulai makan. Baru dua suap dia sudah terbatuk-batuk, tersedak karena terburu-buru menelan. Singo Abang segera mengambilkan air minum.
“Rencana kita mundur. Seharusnya kita keluar dari hutan pagi-pagi tadi, tapi karena keadaanmu saat ini, kuputuskan untuk istirahat dulu. Siang nanti baru kita pergi,” kata Singo Abang yang mau duduk di sebelah Enggar.
“Boleh minta tambah?” Enggar menyerahkan mangkok yang sudah kosong itu. Singo Abang mengangguk, tidak jadi duduk. Dia membawa mangkok itu keluar. Sanip terlihat sedang makan, sementara Jandul dan Bogar membuat bekal perjalanan.
“Dia minta tambah,” kata Singo Abang. Bogar tersenyum senang karena puteri menyukai masakannya. Singo Abang masuk kembali ke dalam pondok untuk sarapan kedua Enggar dan hanya menemukan tempat itu sudah kosong.
“Dasar! Dia kabur. Jandul, bantu aku cari dia,” seru Singo Abang. Mijil yang baru kembali dari sungai untuk mengisi kantong-kantong air tampak kebingungan melihat Singo Abang dan Jandul berlari menembus hutan.
“Puteri kabur lagi?” tanya dia pada Bogar. “Puteri kok jadi penuh semangat begitu ya? Seperti bukan beliau saja,” lanjutnya heran.
Tidak begitu jauh dari pondok, Enggar berusaha berlari kencang di antara pepohonan. Tetapi karena kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat dan medan yang dihadapinya banyak rintangan, dengan mudah dia tersusul. Baru saja dia mau bersembunyi sebentar di semak-semak, Jandul sudah menangkapnya.     
“Lepasiiiin. Aku mau pulaaaaang,” teriaknya. Dipukulinya Jandul yang mencengkeram erat lengannya kirinya.
“Jandul? Kamu temukan Puteri Anggoro?” Singo Abang datang menyusul.
Jandul menarik tangan Enggar untuk dibawa pergi, tapi Enggar terus berontak. “Kenapa sih kalian nggak mau ngelepasin aku? Aku nggak mau ada di sini. Aku bukan Puteri Anggoro,” teriak Enggar.
“Kamu merepotkan orang saja. Aku harus bilang apa lagi untuk meyakinkan kamu kalau kami tidak bermaksud jahat. Puteri, kalau aku ingin membunuhmu, sudah sejak tiga hari lalu, tidak perlu membawamu kesini. Jangan kabur lagi! Ayo, kembali ke pondok,” kata Singo Abang yang mendekat dengan kesal.
“Nggak mauuuuuuu..!” Enggar menggigit tangan Jandul dan lari lagi. Tapi Singo Abang keburu menangkapnya. Karena masih berontak juga, akhirnya dia digendong di pundak Singo Abang. “Let me goooooo...!”
Tidak ada yang menggubris.
Enggar yang semula masih teriak-teriak, terpaksa bungkam karena dengan sengaja Singo Abang melewatkannya menerobos semak dan dahan-dahan yang rendah, hingga kepala dan wajah Enggar kena gampar tumbuh-tumbuhan itu.
Sesampainya di depan pondok, Enggar dijatuhkan begitu saja di lantai hutan, seperti karung beras. Singo Abang mondar-mandir di hadapannya, sementara anak buahnya mengawasi.
Laki-laki gondrong dan berewokan itu terlihat amat kesal. Kedua tangannya terkepal dan pipinya sampai menggembung, menahan banyak kata.
 Tugasnya sederhana. Menculik Puteri Anggoro lalu menyembunyikannya sehari atau dua hari, kemudian membawanya ke kotaraja untuk dipertemukan dengan Pangeran Palawa dan hakim Jogoroso. Secara perhitungan normal tidak akan ada masalah karena Puteri Anggoro itu seperti mayat hidup, yang tidak akan berbuat aneh-aneh. Tapi sekarang mayat hidup itu sudah dua kali melarikan diri. Bahkan Singo Abang menduga dia akan melakukannya lagi.
“Hhh.. Puteri Anggoro...” Suara Singo Abang mencoba tenang.
“Aku bukan Puteri Anggoro, aku sudah bilang berapa kali sih, Bang? Namaku Enggar! Enggar Penggalih,” potong Enggar yang sudah berdiri, membersihkan dedaunan yang menempel di tubuhnya.
“Dengar...”
“Kamu yang dengar. Aku bukan Puteri Anggoro. Aku nggak peduli kalian mau membawaku ke kotaraja atau kemana, yang pasti aku nggak mau ikut kalian. Aku mau pergi sendiri, pulang ke rumahku. Aku...” Enggar melotot. Telunjuk Singo Abang tiba-tiba menyentuh leher Enggar dan dia kehilangan suara meskipun mulutnya tetep nyerocos.
Totok pita suara.
Anak buah Singo Abang menutup mulut menahan tawa. Puteri itu seperti ikan kekurangan air, megap-megap tanpa suara. Seekor ikan yang tampaknya marah sekali.
“Kita akan meninggalkan hutan sesegera mungkin sebelum kamu berbuat nekat lagi. Mijil, kamu kembali ke Mertabumi. Kita tidak bisa pergi dengan terlalu banyak orang. Aku akan mengirim pesan kalau memerlukan tenaga kalian. Sanip, kamu pergi ke Mpu Soma, sampaikan aku akan menemui beliau dalam waktu dekat. Aku akan pergi bersama Jandul dan Bogar ke kotaraja. Sekarang bereskan semuanya, jangan sampai ada yang tahu kehadiran kita.”
“Baik, Ketua.”

***
Lelaki berkepala plontos dengan beberapa bekas luka itu mengangkat tangannya. Mereka sudah tiba di pinggiran hutan, tapi nampaknya keadaan tidak terlalu aman. Jandul memberi tanda agar mereka sembunyi.
Ada beberapa orang mendekat. Mereka membawa bungkusan di punggungnya. Melihat tampangnya mereka sepertinya bukan orang-orang yang ramah. Mereka berwajah sangar dan sepertinya tidak pernah mandi bertahun-tahun.
“Mereka perampok yang bermarkas di bagian timur hutan ini. Sepertinya baru dapat hasil lumayan,” bisik Singo Abang pada Enggar. “Matahari sudah turun. Kalau bisa sebelum gelap kita sudah tiba di desa untuk beristirahat sekalian nanti kita cari kuda. Setelah mendapatkan kuda, kita berpisah arah. Mijil ke Mertabumi dan Sanip ke Ketanggung,” lanjutnya.
Enggar membandingkan wajah mereka dengan wajah Singo Abang di sebelahnya. Kok Singo Abang kelihatan jauh lebih cakep ya. Tapi misalnya dia tidak mandi beberapa bulan dan tidak mengurus mukanya pasti tidak jauh beda.
Setelah memastikan para perampok itu sudah jauh, baru rombongan Singo Abang keluar dari persembunyian.
“Mereka tidak lagi merampok malam-malam, siang hari pun mereka beraksi. Akhir-akhir ini semakin banyak saja rampok yang berkeliaran, membuat penduduk resah,” kata Sanip sedih mengingat keluarga, rumah dan harta benda sudah tidak ada karena perampokan dan penjarahan di desanya.
Enam orang itu meneruskan perjalanan. Enggar sudah tampak kelelahan. Singo Abang bilang mereka sekitar lima hari perjalanan dari kotaraja. Lima hari jalan kaki? Bisa kekar betisnya.
Langit sudah kemerahan saat mereka tiba di desa pertama setelah keluar dari hutan Wonokawi. Karena ini desa Wonorandu kecil dan sepi, tidak ada tempat penginapan. Salah satu penduduk memperbolehkan mereka menggunakan pondok kecil di tepi sawah berbatasan dengan kebun pisang setelah Singo Abang memberi beberapa keping uang gobog dari perunggu. Uang gobog adalah mata uang logam lokal yang bahannya dari tembaga, timah, perunggu dan kuningan. Ada juga mata uang dari Cina yang disebut kepeng, dari campuran tembaga dan timah putih.
Enggar menarik lengan baju Singo Abang dan menunjuk-nunjuk lehernya, meminta laki-laki itu melepaskan totokannya.
“Janji tidak akan teriak-teriak?” Singo Abang dua kali memijit lehernya.
“Bang, sudah bau nih, ada kamar mandi nggak? Pengen mandi.” Enggar mencium badannya.
Singo Abang menujuk ke arah kebun pisang. “Setelah kebun ada sungai kecil. Kamu mau kesana?” tanya Singo Abang. Enggar mengangguk. Dia bersiap berangkat, tapi diurungkan karena Singo Abang ikut.
“Aku mau mandi, jangan diikuti.” Enggar menggerakkan tangan seperti mengusir kucing dari meja makan.
“Di hutan saja kamu kabur, apalagi di sini. Aku ikut denganmu dan memastikanmu tidak melarikan diri lagi,” tukas Singo Abang.
“Apaan sih? Siapa juga yang mau kabur? Seharian jalan, badan lengket-lengket semua, pasti pengen mandi lah.” Di mulut ngomong begitu, di dalam hati jelas ingin melarikan diri. Mumpung sudah di desa, tidak perlu takut babi hutan, ular ataupun harimau.
“Mandi saja, tapi aku akan tetap mengawasimu. Aku tidak mau repot lagi membuang waktu. Aku tahu kamu masih punya niat untuk lari.”
“Oh ya? Aku bersama orang-orang yang nggak kukenal, yang nggak kutahu apa maunya, wajar aku merasa nggak aman dan pengen kabur. Kalau Bang Singo ada di posisiku sekarang, pasti juga akan melakukan hal sama.”
Singo Abang menatap Enggar dingin. “Kami bukan orang jahat, apa kamu tidak bisa membedakan?”
“Bukan orang jahat? Hm...coba kita lihat dulu dari sudut pandangku. Satu, aku disembunyikan di pondok di tengah hutan. Dua, ketika aku bangun mulut, tangan dan kakiku diikat. Tiga, suaraku dihilangkan. Empat, aku akan dibawa ke tempat yang nggak aku tahu, untuk bertemu orang yang nggak aku kenal. Lima, aku mau mandi sendiri saja diawasi. Menurut Abang gimana tuh perasaanku?” Suara Enggar meninggi.
“Satu, kami menyembunyikanmu di tengah hutan karena orang-orang Mertabumi mencarimu, untuk membunuhmu. Dua, kamu histeris dan berontak seperti orang kesetanan, membahayakan dirimu dan anak buahku. Tiga, kamu cerewet sekali tidak mau diam. Suaramu bisa membuat para pemburu itu menemukan keberadaanmu, yang membawamu ke alasan satu. Empat, kenapa aku harus susah payah membawamu pada seseorang kalau tidak untuk menyelamatkanmu? Lima, kamu mau melarikan diri lagi, apa aku punya pilihan selain menemanimu?” Singo Abang marah, tidak ditahan-tahan lagi.
 “Uh!” Enggar manyun. Dia masuk ke pondok, membanting pintu. Kata-kata Singo Abang membalikkan semua alasan yang diungkapkannya.
Pondok ini hanya memiliki satu ruangan dan tidak ada balai-balai untuk tidur. Selain tikar, hanya ada tumpukan kayu bakar di seberangnya dan beberapa kelapa kering. Sebuah kendi diletakkan di pojokan.
Diambilnya kendi itu. Masih ada isinya karena lumayan berat. Enggar ceingukan mencari gelas. Karena tidak ada, dia langsung meneguknya saja. Lalu dibasahinya selendang, digunakan untuk mengelap wajah, leher, tangan dan kaki serta rambutnya. Dalam keadaan sedikit basah rambutnya digulung.
Dari dalam pondok Enggar mendengar kedatangan Bogar dan Sanip. Mereka melaporkan karena tidak ada kuda yang dijual.
“Puteri, buka pintunya.” Singo Abang mengetuk pintu sekitar setengah jam sejak Enggar ada di dalam. “Kamu tidak mau makan malam? Tadi siang kita tidak sempat makan. Bukalah pintunya.” Suara Singo Abang kedengarannya sudah biasa lagi, tidak marah.  
Enggar mendekatkan diri ke pintu. Ada bau enak tercium. Kalau tidak salah menebak, itu harum pisang bakar.  Di tangan Singo Abang ada dua buah pisang bakar yang masih mengepul dalam wadah dari daun pisang. Enggar langsung menyambar dan membawanya masuk ke dalam.  “Panas...panas...” desis Enggar. Lidahnya terbakar karena buru-buru mengunyah.
Di luar angin bertiup lumayan kencang, menerbangkan bara-bara kecil dari perapian. Kilat beberapa kali menerangi langit dan suara geledek di kejauhan, menandakan hujan tidak akan lama lagi.
Gerimis pada awalnya kemudian jadi hujan yang lumayan lebat. Semuanya masuk ke dalam pondok. Perapian pun dipindahkan. Ada kayu bakar di dalam, jadi tidak perlu susah-susah cari kayu di luar sana.
Bogar meneruskan membuat pisang bakar, bahkan dengan beberapa variasi rasa. Bumbu-bumbu instan buatannya dikeluarkan dari dalam tas khususnya. Dia meramu beberapa jenis bumbu dan membalutkannya ke pisang yang dibakar, menyemarakkan pondok dengan aroma yang sangat menggoda.
Enggar dengan takjub memperhatikan gerak-gerik Bogar. Dia mendekati lelaki gempal itu dan membantunya. Membantu ngicipin. “Pak Bogar chef ya?” tanya Enggar, tidak dijawab oleh Bogar. “Koki.” Enggar mengganti pilihan katanya. Bogar masih bingung. “Tukang masak,” ujar Enggar.
“Ya, Tuan Puteri. Saya dulu tukang masak di Sadeng.”
Meskipun malam ini mereka hanya makan pisang, tapi rasanya puas. Enggar sampai malas bergerak karena kekenyangan. “Pak Bogar, kalau mau bisnis pisang bakar dan pisang goreng pasti kaya. Enak begitu buatannya,” puji Enggar.
“Pisang goreng?”
“Iya. Pisang goreng dengan tepung gandum, bisa juga tepung beras, atau pakai tepung crispy. Atau bikin pisang bakar keju...wah... nyam nyam deh.” Enggar nyengir, tapi kemudian mingkem. Bogar nampaknya tidak begitu mengerti yang dia katakan karena dia hanya terbengong-bengong.
“Hamba belum pernah mendengar pisang yang seperti itu. Bagaimana cara membuatnya?” tanya Bogar penasaran. Keduanya kemudian membicarakan masalah kuliner itu berdua. Tapi hanya sebentar karena Singo Abang meminta Bogar untuk membiarkan Enggar istirahat.
Seperti siang hari, malam hari pun terasa panjang bagi Enggar, apalagi malam berhujan seperti ini. Dia belum bisa tidur. Karena itu dia menggunakan waktunya untuk mengamati orang yang ada di sekitarnya satu per satu. Mencari-cari petunjuk mengapa dia ada bersama mereka. Memikirkan kata-kata Singo Abang tadi.
Jandul mengganti kayu yang sudah habis terbakar dengan kayu bakar yang baru. Menjaga api tetap menyala tapi tidak terlalu besar. Di pondok berukuran tiga kali empat meter ini untuk lima orang cukup padat. Jandul kemudian duduk di dekat pintu pondok yang sedikit dibuka. Dia mengeluarkan pedang dan mengasahnya. Sebentar kemudian dia menyarungkan pedangnya kembali dan menutup mata. Lelaki gundul itu sama sekali tidak terdengar suaranya selama ini.
Pandangan mata Enggar beralih ke Sanip, si gigi hiu. Laki-laki muda bertubuh kurus itu sudah meringkuk di pojokan dengan mulut menganga, tanda tidur nyenyak. Meskipun Sanip membuatnya ketakutan setengah mati ketika pertama kali melihat, tapi sekarang Enggar bisa merasakan bahwa Sanip tidak berbahaya.
Lalu  Enggar melirik Bogar yang berbaring di sebelah Sanip. Orang yang memasak seenak itu tidak mungkin berhati kejam. Terakhir Enggar melihat Singo Abang. Laki-laki itu sibuk menyerut batang kayu dengan pisaunya, seperti sedang membuat patung kecil. Alisnya yang berkerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.
Rasanya sudah sekian puluh jam dia bersama orang-orang itu dan sepertinya tidak akan berakhir. Apa betul dia nyata ada di sini? Apa benar dia berada di suatu waktu di masa lampau? Apa kecelakaan itu menyebabkan ruhnya terkirim ke jaman Majapahit? Lalu bagaimana caranya dia kembali? Apa di masa depan sana dia masih ada, atau jangan-jangan sudah mati? Enggar ngeri membayangkannya.
Singo Abang berhenti menyerut kayu di tangannya yang sudah berbentuk seperti kuda. Dia menolehkan kepala ke arah Enggar. Dilihatnya gadis itu menelungkupkan kepala di lututnya yang ditekuk. Pundaknya berguncang.
Perlahan Singo Abang berdiri dan berjalan mendekat. Enggar yang merasakan kehadiran seseorang di depannya, mendongakkan kepala dan menghapus air matanya. Mereka saling menatap, seperti kepada orang yang baru kenal. Padahal Puteri Anggoro tidak asing bagi Singo Abang. Setidaknya mereka pernah bertemu beberapa kali.
“Kenapa menangis, apa ada yang sakit, Puteri?” tanya Singo Abang.
Enggar menggeleng. “Namaku Enggar, Bang. Aku serius. Untuk apa sih aku bohong? Aku nggak seharusnya ada di sini. Aku ingin pulang, tapi nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut terjebak di sini selamanya.”
“Kalau kamu Enggar, lalu Puteri Anggoro dimana? Secara fisik kamu adalah Puteri Anggoro, aku tidak mungkin salah.” Singo Abang menghela napas. “Tapi kuakui sifatmu jauh berbeda.”
“Karena aku bukan dia,” bisik Enggar tertahan.
“Bagaimana bisa itu terjadi?” Singo Abang mengulurkan sehelai kain merah dari balik saku bajunya, agar digunakan Enggar untuk menghapus air mata.
“Mana aku tahu? Aku sadar tiba-tiba sudah ada di sini. Bagaimana aku tidak panik, Bang. Jaman Majapahit itu tujuh ratus tahun lalu dari jamanku!” Enggar menerima kain merah itu dan digunakannya untuk mengikat rambut.
“Tujuh ratus tahun.” Singo Abang menggosok dahinya. “Kamu bukan dari jaman ini. Jiwamu datang dari masa tujuh ratus tahun ke depan...” gumam Singo Abang. Enggar mengangguk, mengharap Singo Abang mempercayainya dan mengerti kenapa dia terkadang paranoid.
“Ini kasus kepribadian ganda pertama yang kutahu begitu jelas. Mungkin pembunuhan itu telah memunculkan kepribadian lainmu yang selama ini tersembunyi. Kadang kejadian yang mengguncang jiwa bisa memicu itu. Secara tidak sadar kamu menjadi orang lain untuk melindungi diri. Mengacaukan pemikiran orang-orang di sekitarmu. Kamu merencakan sesuatu? Terhadap orang-orang yang menjebakmu?” kata Singo Abang.
Yah, mentah lagi. Si berewok ini tetap saja belum percaya kalau dia dari masa depan. “Aku nggak berkepribadian ganda, Bang,” ucap Enggar bete.
“Hm..sebelum ke kotaraja mungkin kita terlebih dulu menemui Mpu Soma untuk membaca keadaanmu. Selain mempunyai keahlian dalam membuat senjata, beliau juga menguasai ilmu pengobatan. Siapa tahu beliau bisa memahamimu.” Singo Abang kelihatan bersimpati. “Ini sudah larut, sebaiknya kamu istirahat.”
Singo Abang hendak beranjak, tapi Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa bisa Mpu Soma mengembalikanku ke masa depan?” tanya Enggar.
“Tidurlah.” Singo Abang melepaskan tangan Enggar. Gadis itu belum juga berbaring, gelisah. Apa nanti kalau dia tidur dan terbangun masih berada di sini?
Hujan belum ada tanda-tanda untuk berhenti.
*** 

Monday, October 10, 2016

Dragonfly in Merapi Mountain #PhotoPick


Gandrung #3

Makanan di hadapannya dihabiskan dengan lahap. Satu, karena dia merasa sangat lapar. Dua, karena dia butuh tenaga untuk kabur dari tempat itu. Enggar sampai hampir tersedak saat menelan suapan terakhir. Diteguknya dengan bersemangat air di dalam mangkuk kecil yang terbuat dari tanah liat itu.
Setelah mengatur napas, dia mencoba bangkit dan berjalan. Kepalanya masih pusing, merasa dunia setengah berputar. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi tidak separah beberapa waktu tadi.
Pelan-pelan Enggar berjalan menuju pintu. Kedua tangannya berpegangan pada dinding pondok. “Bang Singo, aku mau ke sungai,” seru Enggar kepada lima orang yang sedang berkumpul tak jauh dari pondok. Singo Abang yang sedang makan itu segera meletakkan makanan dan berjalan ke arah Enggar. “Perutku sakit,” lanjut Enggar yang mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hatinya mulai diserang rasa takut ketika menyadari dia benar-benar berada di hutan yang lebat. Dan tidak ada tanda-tanda kegiatan syuting. “Aku mau ke sungai,” ulang Enggar pelan.
Singo Abang menghampiri dan membantu gadis itu berjalan, sembari memberikan kode kepada Sanip untuk menyiapkan pakaian ganti di pondok.
Singo Abang dan Enggar berjalan berdampingan. Lelaki itu memapahnya karena beberapa kali Enggar hampir terjatuh. Sesaat Enggar mencoba untuk melepaskan lengannya dari tangan Singo Abang, tapi tidak bisa. Lelaki itu memegang lengannya erat. Sesekali mereka bertatapan mata, namun seringkali Singo Abang menghindarinya.
Mereka tiba di sungai setelah berjalan kira-kira lima puluh meter.
Matahari belum benar-benar tenggelam, tapi hanya sedikit cahaya yang bisa menerobos hutan ini, apalagi dalam keadaan mendung. Dengan sedikit susah payah, Enggar duduk di sebuah batu di pinggir sungai.
“Bisa kau menyingkir dulu?” tanya Enggar saat dia mulai merendam salah satu kakinya ke dalam air.
“Aku harus mengawasimu,” kata Singo Abang.
“Mana bisa aku melakukan yang harus kulakukan kalau kamu di situ?”
Singo Abang tidak juga beranjak. “Aku tetap di sini, tapi aku tidak akan melihatmu. Kau bisa pegang kata-kataku. Cepatlah.”
“Kalau aku hanya cuci muka, kau tungguin di sebelahku pun aku nggak keberatan, Bang. Tapi ini memenuhi panggilan alam. Aku butuh privasi.”
“Kenapa butuh itu segala?” Singo Abang tidak bisa mengulangi kata asing yang baru saja diucapkan Enggar.
“Privasi. Aku butuh untuk  sendirian. Kuatir apa sih, aku nggak mungkin bisa lari. Mana berani aku kelayapan di hutan, sudah gelap begini. Masih ada harimaunya juga kan di sini?”
“Ya. Kadang mereka turun ke sungai juga.” Singo Abang tidak bermaksud menakut-nakuti Enggar, tapi wajah gadis itu sudah terlanjur pucat. “Aku akan membalikkan badan.”
 “Jangan mengintip.”
Enggar turun ke sungai dan membasuh wajahnya. Dia tadi memang kebelet, tapi sekarang nggak. Dia mencari jalur yang tercepat untuk ngabur. Menyeberang saja terus menembus gerumbul di sana.
Singo Abang mendesah. Ini sebenarnya bukan urusan dia sama sekali. Terlibat dengan masalah orang lain tidak masuk dalam agendanya. Dia sudah cukup kenyang menghadapi masalahnya sendiri. Tapi sejak peristiwa pembunuhan putra pertama Tumengung Sukmo, mau tak mau dia harus ikut campur. Pangeran Palawa, kekasih Puteri Anggoro, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya, meminta bantuan. Dia tidak mungkin menolak.
Menyembunyikan Puteri Anggoro membuatnya menjadi orang paling dicari. Tumenggung Sukmo pasti sudah menyebarkan anak buahnya, atau bahkan meminta para pendekar dunia persilatan untuk memburu Singo Abang. Satu orang yang sudah pasti mengejarnya adalah Pangeran Haryo. Rivalnya sejak kecil.
Kenapa Puteri Anggoro ada di kamar Raden Sukmana, anak Tumengung Sukmo, ketika dia dibunuh? Itu masih menjadi pertanyaan besar. Yang pasti tuduhan ada padanya, karena di tangan Puteri Anggoro ada sebilah keris penuh darah yang telah digunakan untuk membunuh Raden Sukmana.
Singo Abang bersama Jandul berhasil menculik Puteri Anggoro saat dia dibawa ke penjara Sadeng. Belum ada yang tahu pasti identitas mereka, kecuali Pangeran Haryo. Kecerobohan Singo Abang memberinya petunjuk. Ikat kepalanya terjatuh.
“Puteri, sudah selesai? Puteri.” Singo Abang tersadar dari lamunannya. Menyesal dia karena tidak berkonsentrasi terhadap keberadaan gadis itu. Apalagi suara riak sungai dan serangga mengaburkan suara yang lain. “Aku akan membalikkan badan, tidak peduli kau sedang apa.” Singo Abang menghitung sampai tiga baru membalikkan badan. Seringai gemas menarik wajahnya ke atas. Sial. Puteri itu hilang!
Sementara itu tak jauh dari sungai, Enggar berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli ke mana, yang penting dia bisa lepas dari orang-orang itu. Tubuhnya yang terasa sakit di sana sini tidak dipedulikannya. Keinginan yang kuat untuk melarikan diri ternyata memberikan tambahan energi yang cukup untuk membawanya pergi.
“Aaaaa...” Kaki Enggar terperosok. Tubuhnya tertarik ke bawah, bergulingan dan terhenti, menabrak batang pohon. Enggar tak bergerak lagi.
Suara guntur menggelegar dan hujan turun dengan derasnya.

***

“Hahh!” Enggar terbangun dengan kaget. Dedaunan dan tanah basah menempel di tubuhnya. Rambutnya yang panjang berantakan tidak karuan. Kepalanya berputar, melihat sekeliling. Semuanya gelap. Segumpal rasa kecewa menyesakkan dadanya, mengapa dia masih berada di tempat asing ini.
Mungkinkah semua hanya mimpi? Kenapa dia ada di Majapahit? Apa karena hal terakhir yang ada di kepalanya sebelum gempa adalah tentang Majapahit. Lalu memori itu terbawa dalam mimpi.
Enggar pernah tiga hari berturut-turut main tetris dan setiap malam mimpinya selalu mengatur balok-balok berbagai bentuk itu untuk mendapatkan poin tertinggi. Kali ini dia mimpi berada di Majapahit karena sebelumnya dia melihat dan melihat benda-benda yang berhubungan dengan Majapahit. Ya, pastinya begitu.
Kalau ini mimpi, maka yang harus dilakukannya sekarang adalah bangun dari tidur, lalu semua kembali normal. Begitu kan? Tapi dia sudah bangun, dan masih terjebak di sini.
Enggar bangkit, meraba-raba dalam gelap. Setelah beberapa saat, matanya mulai beradaptasi dengan pencahayaan yang minimal itu. Enggar mencari dahan yang terjatuh untuk digunakan sebagai tongkat. Itu akan membantunya untuk membuka jalan atau pegangan saat berpijak.
Ada suara menguik serak di sebelah kanannya. Kalau tidak salah menduga itu suara babi hutan. Enggar buru-buru menjauh sumber suara dengan tetap berusaha untuk tidak membuat keributan.
Lalu terdengar suara auman. Lutut Enggar gemetaran. Keringat dinginnya meluncur. Napasnya jadi pendek-pendek. Jangan bilang itu harimau....
Enggar sibuk membangun keberanian. Lambat laun dia mulai bisa menguasai diri. Hingga kemudian terdengar suara auman ditingkahi suara menguik panik. Apakah sedang terjadi mangsa diterkam pemangsa? Jantung Enggar rasanya sudah melompat keluar dari rongga dadanya dan terjatuh di tanah, takut bukan kepalang kalau hewan-hewan itu berlari ke arahnya. Dengan sisa kekuatan yang ada dia mengangkat kainnya dan memanjat pohon yang dahan pertamanya cukup pendek untuk bisa digapai. Doa tidak putus dari mulutnya. Semoga harimau itu hanya memangsa babi hutan dan bukan dirinya.
Detik demi detik yang menegangkan terasa lama. Dari suaranya, harimau itu nampaknya sudah dapat mangsa. Enggar masih gemetaran di dahan pohon, tak lepas dari doa. Hawa dingin semakin terasa, meskipun hujan sudah reda.
Sekarang dia agak menyesal telah melarikan diri. Seharusnya dia tinggal dulu bersama mereka di pondok itu. Setidaknya di sana relatif aman dari hewan-hewan, tidak dingin karena ada perapian.
Enggar tersedu pilu tanpa suara.
Sementara tak jauh dari tempat itu, Singo Abang menggeram. Obor yang ada di tangannya digerakkan ke beberapa arah. Sudah hampir dua jam mencari Puteri Anggoro tidak juga ketemu.  
Dimana dia? Singo Abang tidak berani membayangkan apa yang bisa terjadi pada Puteri itu di hutan seperti ini. Dia sama sekali tidak membawa senjata, tubuhnya sedang lemah dan tidak mempunyai kemampuan melindungi diri.
Seharusnya dia tidak meminta anak buahnya menyembunyikan Puteri Anggoro di hutan. Tapi siapa juga yang menyangka Puteri itu bakalan melarikan diri.
Tak jauh dari tempat itu, Enggar yang hampir tertidur di atas pohon itu terhenyak. Ada sesuatu yang bergerak melewati lehernya. Dingin, empuk dan agak berat. Instingnya bilang itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah dia betul-betul yakin apa yang melewatinya. Seekor ular, sebagian tubuhnya berada di leher Enggar, sementara kepala ular itu tak jauh dari wajahnya. 
“Innalillahi,” batinnya. Enggar berusaha untuk tidak bergerak. Bahkan dia berusaha tidak bernapas.
Ular itu terus menggeser tubuhnya. Enggar hanya bisa berdoa supaya ular tidak sedang lapar dan tidak tertarik padanya.
“Puteri! Puteri Anggoro!” Ada suara memanggil. Suara Singo Abang. Enggar nggak menyangka dia akan begitu bahagia mendengar suaranya. Secara reflek Enggar bergerak.  
“Aaaaaaa...!!!” Suara jeritan terdengar diikuti suara sesuatu yang berat terjatuh ke tanah. Ular itu telah membelit tubuh Enggar.
Singo Abang berlari ke arah datangnya suara. Obor yang dibawanya diarahnya ke bawah.
“Jangan bergerak. Kalau kamu bergerak dia akan semakin kencang membelitmu. Aku akan membebaskanmu.” Singo Abang mengeluarkan pedangnya.
Enggar tidak bisa melihat dengan jelas pergulatan antara Singo Abang dan ular yang ternyata berukuran besar itu. Melihat bentuk dan ukurannya, ini adalah jenis boa. Ular ini tidak berbisa, tapi membunuh dengan cara membelit hingga korbannya mati lemas dan remuk tulangnya.  
Bau anyir tercium. Enggar merasakan tubuhnya terlepas sepenuhnya dari ular itu. Tapi dia sudah tidak punya kekuatan untuk bergerak. Dari sinar obor yang tergeletak di tanah dan hampir mati, Enggar melihat ular itu sudah tidak berkepala. Cairan berwarna gelap mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong.
“Puteri, kamu tidak apa-apa?” Singo Abang menarik tangan Enggar, membantunya berdiri. Lelaki itu menyangka puteri akan berontak lagi dan menjauh, tetapi yang terjadi malah gadis itu memeluknya erat dan menangis sesenggukan. Untuk sesaat Singo Abang seperti kena sihir, hanya mematung. Tubuh Enggar yang gemetaran kemudian menjadi lunglai. Rupanya dia pingsan.
Diangkatnya tubuh Enggar dan dibawanya pergi.
***