Wednesday, November 16, 2016

Gandrung #10

Jandul, Bogar dan Sanip ada di pondok Singo Abang. Mereka sedang di-briefing oleh Singo Abang. Barusan tadi ada pesan dari Mijil tentang kondisi terakhir di Mertabumi. Tersiar berita Puteri Anggoro telah ditangkap dan dibunuh, lebih tepatnya dibakar. Anehnya Tumenggung Sukmo tidak menarik Jayengwangsa dari pencarian Puteri Anggoro dan bahkan mengirimkan pasukan bayangan untuk memburu Singo Abang dan Puteri Anggoro.
Sementara ini Singo Abang dan Enggar akan aman berada di desa Ketanggung, tapi mereka juga tidak bisa lama-lama di situ. Siapa pembunuh Raden Sukmana dan misteri di baliknya harus segera diungkap.
Di istana keadaan juga sedang bergejolak. Ada gelagat beberapa daerah tidak mau menurut kebijakan kerajaan. Mereka keberatan atas kenaikan upeti yang ditetapkan kerajaan. Sanip, Bogar dan Jandul akan dikirim ke kotaraja untuk mengumpulkan informasi. Mereka akan berangkat besok pagi.
Setelah briefing selesai, mereka dibubarkan. Singo Abang keluar dari pondok untuk mencari Enggar, mau melanjutkan untuk memberi pelajaran menggunakan pedang dan jurus-jurus dasar.
Di sekitar sekolah tidak ada, di klinik tidak ada, di kebun tidak ada. Singo Abang sampai ke bengkel kerja tapi tidak juga ada tanda keberadaan Enggar.
“Mencari siapa, Nakmas?” tanya Pak Susatra.
“Enggar, Pak.”
“Den Enggar pergi dengan Pangeran Haryo ke desa,” jawab Pak Susastra.
“Apa? Terima kasih, Pak Susatra.” Singo Abang bergegas pergi ke kandang kuda. “Mau apa Haryo membawa Enggar keluar dari sini?” Setelah mendapatkan kudanya, Singo Abang pergi dari kediaman Mpu Soma dan turun ke desa.
Sementara itu di pinggir desa, di sebuah tanah kosong yang dibatasi rumpun bambu, ada  dua orang yang sedang berhadapan dengan tongkat kayu sepanjang pedang di tangan masing-masing. Sudah sejak tadi mereka berlatih beberapa gerakan. Berkali kali salah seorang di antaranya kehilangan tongkat kayu karena terlepas kena pukulan tongkat kayu yang lain.
“Waspada, Enggar, kuncinya adalah waspada. Jangan menutup matamu kalau ada serangan datang. Dengarkan suara di sekitarmu. Jangan kaku, tubuhmu harus dalam keadaan santai, tapi tetap siaga. Perhatikan kuda-kuda. Tanpa kuda-kuda yang kuat, kamu akan goyah.” Haryo menyerang Enggar sesekali sambil memberi arahan. “Kamu sudah lebih baik. Awas! Bagus. Gerakan yang bagus.” Sesekali juga Haryo memuji, membuat Enggar tetap semangat.
Pagi hari mereka sudah belajar beberapa jurus tangan kosong, siangnya Enggar minta dilatih menggunakan pedang dari kayu.
“Baik, kita istirahat dulu.” Haryo meletakkan dua pedang kayu di bawah rumpun bambu setelah dua jam mereka berlatih. Lalu dia mengulurkan sebuah kain semacam sapu tangan dari sutera hijau untuk Enggar menyeka keringat.
Enggar menghela napas lega. “Nggak ada camilan penambah tenaga?”
“Ayo kita cari ikan di sungai.”
Di balik rumpun bambu itu ada sungai. Tidak perlu pakai komando, Enggar sudah duluan menuju sungai. Habis latihan kayaknya segar banget merendam kaki di sana. Sementara Enggar ngadem, Haryo mencari dahan yang agak panjang kemudian dibuat runcing ujungnya, seperti tombak, untuk berburu ikan.
“Kenapa pangeran sepertimu tidak tinggal di istana, malah keluyuran sampai kesini? Emangnya pangeran tidak punya kerjaan?” tanya Enggar. “Sudah kebanyakan duit ya?” Enggar mengulurkan sapu tangan. Haryo menolak, dia menunjukkan sapu tangan lain miliknya yang berwarna biru. 
“Iya,” jawab Haryo enteng. Dia lalu tertawa. “Aku keluar dari istana untuk mencari Barata. Tidak ada dia istana, suasana jadi membosankan.”
“Memangnya Bang Singo tinggal di istana juga? Jadi pembantu di sana?”
“Hahahaha. Barata tidak pernah ketawa bersamamu?” tanya Haryo dijawab gelengan kepala. “Dia memang tidak normal. Padahal kamu ini lucu sekali.”
“Terima kasih.” Enggar tersipu. “Eh, tapi kudengar Mas Haryo tidak normal juga. Tidak suka sama perempuan. Bener ya?”
Haryo melemparkan tombak buatannya ke dalam air. Satu ikan gemuk tertancap di ujungnya. “Dapat!” Haryo membawa tombak plus ikannya kepada Enggar. “Aku belum ketemu gadis yang membuatku mabuk kepayang, itu saja.”
“Mabuk kepayang? Macam lagu dangdut saja.” Enggar menggunakan telunjuknya untuk memeriksa ikan di ujung tombak itu masih hidup apa nggak.
“Kita bakar ikannya.” Haryo melompat ke tepi sungai dan mengumpulkan ranting kering. Dikeluarkannya batu api dari sakunya dan dibuatlah api unggun.
Enggar mengambil tombak yang digeletakkan begitu saja di atas bebatuan. Sementara Haryo membersihkan ikan, Enggar mencoba berburu. Tancap sana tancap sini, lempar sono lempar situ, tidak dapat ikan seekorpun. Bahkan yang terakhir melempar tombak, Enggar malah terpeleset dan jatuh ke sungai. Haryo pun melesat untuk menolongnya.
“Betul kata Barata. Kamu memang banyak tingkah. Kamu tidak apa-apa?” Haryo mengangkat tubuh Enggar dan membantunya kembali ke tepi sungai.
“Huk..huk... Minum segentong air rasanya kenyang.” Enggar terbatuk-batuk. Air menetes-netes dari ujung rambutnya. Dalam terpaan sinar matahari dan angin sepoi-sepoi, wajah Enggar terlihat seperti buah apel yang habis disiram.
Haryo tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
“Gosong tuh, gosong.” Enggar menunjuk-nunjuk ikan di panggangan. “Uihii, kayaknya enak nih.”
“Kamu mau bagian kepala?” canda Haryo.
“Enak aja. Yang banyak dagingnya lah. Atau lebih baik yang ini untukku semua, Mas Haryo cari ikan lagi. Gimana?”
Haryo terkekeh. Dia kembali ke sungai untuk berburu ikan lagi. Ikan yang didapatnya sekarang jauh lebih besar. Dengan wajah penuh kemenangan Haryo menyandingkan ikannya dengan ikan milik Enggar.
“Tukeran yuk.” Enggar ngarep.
Mereka makan ikan sambil bercanda. Akrab banget. Tidak menyadari kalau tak jauh dari situ ada seseorang yang mengamati mereka. Orang itu hendak mendekati mereka, tapi ragu. Akhirnya dia pergi meninggalkan tempat itu.
Haryo tersenyum. Dia tahu Barata melihat mereka. Dia sengaja bercanda dengan Enggar untuk melihat reaksinya. Rencana selanjutnya sekarang bisa dijalankan.
“Enggar, kamu tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan Puteri Anggoro?”
“Maksudnya?”
“Kamu pasti sudah mendengar ceritanya dari Barata. Semua orang tahu Puteri dibawa kabur dari penjara saat akan dihukum mati. Tapi apa kamu sudah dengar berita terbaru? Puteri ditemukan di sebuah tempat tak jauh dari Mertabumi, dalam keadaan meninggal. Terbakar.”
“Heh? Kalau Puteri Anggoro sudah meninggal, terus aku siapa dong?”
“Yang meninggal adalah Puteri Anggoro palsu, karena kamulah yang asli. Kamu yang dibawa oleh Barata dari penjara kan?” kata Haryo.
“Iya,” kata Enggar sambil mengangguk. ”Kali,” sambungnya ragu.
“Ada yang terancam bila Puteri Anggoro tetap hidup, makanya sampai menggunakan orang lain untuk dijadikan korban. Sekarang posisi dalang pembunuhan Raden Sukmana aman untuk sementara, selama dia bisa meyakinkan semua orang Puteri Anggoro sudah meninggal. Tapi bagaimana kalau kamu kemudian muncul?” Haryo tersenyum, memancing komentar Enggar.
“Dikirain hantu penasaran membalas dendam?” Kebanyakan nonton film horor kayaknya si Enggar.
Haryo tertawa. “Hampir betul. Ya, mungkin ada yang bereaksi seperti itu. Tapi yang lebih seru lagi, orang-orang yang terlibat pembunuhan Raden Sukmana, akan kebakaran jenggot. Kita bisa memanfaatkan itu untuk mengungkap kebenaran.”
“Maksudnya apa nih?”
“Kita cari dalang pembunuhan Raden Sukmana. Kamu dan aku. Kita ke Mertabumi. Bagaimana?”   

***

Monday, November 14, 2016

Mom Series









Gandrung #9

Enggar dibawa ke sebuah warung paling besar di pasar. Di warung itu hanya ada prajurit kerajaan dan pemimpinnya. Sesuai petunjuk Singo Abang, Enggar menundukkan kepala dalam-dalam begitu dihadapkan pada Cakrawaja. Dia juga berlutut dan menghaturkan sembah.
“Kita bertemu lagi, Anak gunung. Kau tidak menatapku seperti waktu itu, kakakmu sudah mengajarimu bagaimana berhadapan dengan seorang bangsawan kerajaan ya? Bagus.” Cakrawaja mendekati Enggar. Terlalu dekat. “Berdirilah. Ayo, berdiri. Aku yang menyuruhmu. Tidak perlu ragu, justru kau harus mematuhinya. Angkat kepalamu,” perintah Cakrawaja. Enggar menurut.
Cakrawaja tersenyum. “Kemana tujuanmu? Kenapa bisa sampai kemari? Jawablah.” Mata Cakrawaja tak lepas memandang wajah di hadapannya yang semakin lama semakin terlihat cantik.
“Berkunjung ke rumah saudara, Tuanku,” jawab Enggar mengarang. Debaran jantungnya semakin tidak beraturan. Dia menduga Cakrawaja sudah mencurigainya sebagai perempuan.
“Kau sudah pernah ke kotaraja? Tentu saja belum, kau kan baru turun gunung. Kotaraja itu tempat yang indah. Pasarnya jauh lebih ramai dan besar dibandingkan tempat ini. Kau bisa membeli apa saja di sana. Semangka, manggis, durian, berbagai macam buah-buahan. Kau bisa membeli pakaian yang lebih bagus, sandal yang lebih bermutu, apapun kebutuhanmu tersedia. Kau berminat pergi ke sana?” pancing Cakrawaja.
“Itu terserah kakak hamba, Tuanku.” Enggar berusaha membuat suaranya terdengar lebih dalam.
Cakrawaja mengulurkan tangan, memegang pundaknya. “Kau sudah besar, kau tidak perlu dia. Bagaimana kalau kau ikut ke kotaraja, bekerja padaku. Kerajaan sedang membutuhkan tenaga segar sebagai prajurit. Gajinya lumayan.”
 Bulu kuduk Enggar berdiri. “Ampun, Tuanku, hamba jadi petani saja.” Kepalanya ditundukkan. Badannya gemetaran.
“Jangan begitu. Menjadi prajurit itu adalah tugas mulia. Mengabdi pada kerajaan. Kupikir kau cukup memenuhi syarat. Orang gunung adalah pekerja keras. Otot mereka terbentuk sejak kecil.” Cakrawaja mengambil pedang dari salah satu prajuritnya. Pedang itu diberikan pada Enggar. “Coba pegang pedang ini. Pegang!” bentaknya.
Enggar terpaksa memegangnya, dengan tangan bergetar.
Cakrawaja mengambil satu pedang lagi. Dengan gerakan tiba-tiba dia mengayunkan perang ke Enggar. Kalau Enggar adalah perempuan seperti dugaannya, dia akan menjerit dan berjongkok atau mungkin malah pingsan.
Ting!! Suara pedang beradu.
Tubuh Enggar seolah membeku. Matanya terpejam pasrah.
Tidak ada rasa sakit di tubuhnya, berarti dia tidak apa-apa. Lalu suara pedang beradu itu milik siapa? Perlahan Enggar membuka matanya, meski pandangannya tetap ke arah ujung kakinya. Ada seseorang berdiri di depannya.
“Jangan mempermalukan diri dengan menakuti anak kecil, Cakrawaja.”
Itu suara Haryo! Sontak Enggar langsung membuka mata lebar-lebar dan menengadahkan kepala. Raut wajahnya terkejut dan tegang, matanya merem lagi karena gentar.
Ternyata ada banyak ujung pedang terhunus ke arahnya dan Haryo. Prajurit-prajurit Cakrawaja sudah mengepung, siap menyerang. Satu kode saja dari Cakrawaja pasti sudah terjadi pertarungan. Untung kode yang diberikan adalah kode untuk menurunkan senjata.
“Pangeran Haryo, tidak menyangka bertemu kau di sini.” Suara Cakrawaja terdengar menahan geram.
Mata Enggar terbuka lagi, memandang Haryo dengan kagum.
Tampan, kaya, pangeran pula. Kualitas yang tidak bisa dianggap remeh.
“Kebetulan saja aku lewat. Kulihat panji-panjimu, jadi kuputuskan untuk mampir menyapa. Siapa bocah laki-laki ini? Dia mengganggumu?” tanya Haryo sambil melirik Enggar. Senyum maut Haryo hanya sedetik, tapi sudah mampu membuat perut Enggar melilit.
“Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya Cakrawaja gusar.
“Aku mencari buronan.” Haryo merangkul Cakrawaja sembari membawanya menjauh dari Enggar. “Ini buronan nomor satu. Kalau berhasil menangkapnya, namaku akan makin terkenal. Kecuali kalau kamu yang menangkapnya dulu.”
“Buronan?”
“Iya.” Haryo membawa Cakrawaja duduk. “Hei, apa kamu akan membiarkan bocah itu terus di sini? Suruh pergi saja dia. Kalau dia mendengar informasi yang akan kusampaikan padamu, akan banyak saingan nanti. Tidak seru lagi.”
Cakrawaja tidak segera bertindak. Tampaknya dia keberatan dengan permintaan Haryo untuk mengusir “bocah” itu. Tapi karena Haryo terus mendesaknya dengan sikap tubuhnya yang mengintimidasi, akhirnya Cakrawaja memberi isyarat agar prajuritnya membawa Enggar keluar.
“Aku mencurigai bocah itu seorang perempuan. Aku rasa aku pernah melihat wajahnya,” kata Cakrawaja. Matanya masih mengawasi Enggar.
Haryo menoleh ke arah Enggar yang sudah digiring melewati pintu. “Dia perempuan? Jangan mengada-ada. Kalau dia perempuan pasti sudah menjerit-jerit tidak karuan saat kamu mengayunkan pedangmu.” Haryo menuangkan minuman untuk Cakrawaja.
“Garis wajahnya terlalu lembut untuk ukuran laki-laki,” gumam Cakrawaja. “Mencurigakan. Tidakkah kau lihat tangannya yang halus? Itu bukan tangan petani.”
“Astaga, untuk apa aku memperhatikan tangan bocah laki-laki segala, seperti tidak ada urusan yang penting saja. Cakrawaja, aku mau bicara serius. Lupakan dulu bocah itu. Soal buronan yang kubilang tadi, ilmunya sangat tinggi. Dia bisa membawa kabur narapidana hukuman mati tanpa seorangpun tahu wajahnya. Di dunia hitam pun tidak ada yang mengenalinya sebagai anggota. Kupikir dia orang baru.”
Sementara Haryo mengalihkan perhatian Cakrawaja, di luar Enggar didorong dengan kasar sampai terjerembab ke tanah. Gadis itu buru-buru lari sebelum dapat masalah lagi.
Tanpa berani menoleh ke arah belakang, Enggar berlari kencang ke arah jembatan. Suaranya terpekik saat sepasang tangan tiba-tiba menyambarnya.
“Bang Si..!
Singo Abang membekap mulutnya sebelum Enggar teriak. “Kita pergi sekarang. Disini sudah tidak aman.” Singo Abang membawanya lari ke belakang, ke arah kebun. Sanip sudah menunggu di sana dengan kuda Singo Abang.
Mereka mengambil jalan lain yang jarang dilewati orang agar tidak terpantau anak buah Cakrawaja.
“Apa yang terjadi barusan?” tanya Singo Abang. “Kamu ini memang tidak bisa ditinggal sendirian. Baru menoleh sebentar kamu sudah hilang. Sepertinya memang kamu harus diikat.”
“Emangnya sayuran, diikat?”
“Untung saja Haryo bisa menyelamatkanmu tepat waktu.”
“Mas Haryo memang keren.” Enggar tersenyum penuh arti, membuat Singo Abang mengernyitkan dahi.
“Aku yang menyuruhnya menjemputmu. Kalau aku sendiri yang datang, dramanya akan kepanjangan. Aku tidak mau menarik perhatian lebih besar. Kita harus tetap di bawah tanah sampai kasus ini terang benderang” Singo Abang terlihat tidak terima melihat Enggar terpesona oleh Haryo.
“Bang, sepertinya Pangeran Cakrawaja curiga kalau aku ini cewek. Apa dia pernah bertemu Puteri Anggoro?”
“Ya.” Singo Abang naik ke punggung kuda dan menarik Enggar serta.
“Pantas lah. Penyamaranku kurang canggih ya. Harusnya ditambah kumis palsu biar meyakinkan.” Enggar mengelus wajahnya, membayangkan kalau dia harus pakai kumis atau berewok.
“Jangan aneh-aneh, tambah mencurigakan,” ujar Singo Abang.
“Kok Cakrawaja itu tidak mengenalimu saat bertemu dulu, Bang? Atau karena penampilan Bang Singo berubah total, jadi rimbun seperti beruang, eh, orangutan. Waaaa!” Enggar berteriak kaget karena Singo Abang menggebrak kuda tanpa bilang-bilang. Hampir saja gadis itu terjungkal ke belakang. “Mau membunuhku ya?” Enggar menjambak rambut Singo Abang dengan sewot.
“Aduh!” Singo Abang mengelus kepalanya. “Seenaknya saja kamu memanggilku perampok, pengangguran, beruang, orangutan. Tidak sopan!”
“Habisnya mirip.”
“Mirip gimana? Asal tahu saja, orang-orang menganggapku ganteng,” ucapnya kesal.
“Ganteng itu kayak Mas Haryo tuh. Bersih, rapi, cakep,” kata Enggar memancing emosi Singo Abang. Agaknya berhasil karena dia mendengar lelaki itu menggeram.
“Kau belum lihat saja aku yang sebenarnya.”
“Aku sudah lihat, Bang, kita kan bersama setiap hari. Ekspresi Bang Singo kebanyakan galak dan suram, jadi nggak cakep. Banyakin senyum dong kayak Mas Haryo, biar aura gantengnya keluar dari dalam. Eh, tunggu dulu, kenalan Bang Singo kok pangeran semua ya, apa sebenarnya Bang Singo juga pangeran? Ah, nggak mungkin kayaknya,” ujar Enggar sambil menggelengkan kepala. “Atau asistennya pangeran?”
“Berisik!”
***

Desa Ketanggung tempat Mpu Soma tinggal, terletak di kaki Gunung Penanggungan. Memiliki klinik, sekolah, dan memiliki bengkel kerja pembuatan barang-barang dari logam, Mpu Soma sudah benar-benar mengabdikan dirinya untuk penduduk setempat.
Singo Abang dan Enggar sampai di desa tersebut menjelang matahari tenggelam. Rumah Mpu Soma, atau lebih dikenal sebagai Mbah So, agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, berada paling ujung dan paling tinggi lokasinya. Kebun buah-buahan dan tanaman obat seluas hampir lima hektar mengelilingi kompleks rumahnya.
Rumah pertama setelah pintu gerbang adalah klinik pengobatan gratis. Di belakangnya, berjarak hampir tiga ratus meter adalah sekolah. Ini pun bagi siapa saja, dari anak-anak sampai orang dewasa. Lebih jauh di belakang ada bangunan untuk bengkel kerja, mengolah logam menjadi berbagai macam peralatan.
Tempat tinggal Mbah So sendiri ada di samping sekolah, sedangkan orang-orang yang membantunya mengelola tempat ini ada di sisi lainnya. Ada beberapa pondok kosong yang disiapkan untuk para tamu. Yang datang ke kediamannya bukan hanya berasal dari daerah sekitar, tapi dari tempat jauh. Bahkan orang-orang dari pulau seberang, orang Cina dan Gujarat  juga kadang berkunjung.
“Gile bener, keren kali tempat ini. Asyik buat wisata. Kita akan tinggal di sini ya sementara? Di mana Mpu Soma-nya? Kok nggak ada yang menyambut kita sama sekali sih?” tanya Enggar.
Singo Abang turun dari kuda tanpa menjawab pertanyaan Enggar. Mereka sudah memasuki halaman klinik. Beberapa orang terlihat duduk-duduk di pendopo. Ada juga yang berbaring. Seseorang memanggil nama mereka dan yang dipanggil masuk ke salah satu ruangan.
“Permisi, Mbah So ada, Pak?” tanya Singo Abang pada seseorang berpakaian putih yang sedang menyapu halaman.
“Mbah So masih di gunung mencari tumbuh-tumbuhan obat, Nakmas. Mungkin besok malam baru kembali. Ada keperluan apa ya? Kalau mau berobat silahkan ke pendopo.”
“Bapak mengenal Sanip?” tanya Singo Abang.
“Sanip?” Si bapak termangu sesaat. Dilihatnya baik-baik pemuda di hadapannya, lalu diingatnya ciri-ciri pangeran yang akan datang kesini seperti yang disebutkan oleh Sanip. “Oh, maafkan hamba tidak mengenali anda, Tuanku.” Lelaki setengah baya itu langsung jongkok dan menghaturkan sembah. “Hamba, Susatra,  akan mengantar Tuanku ke belakang untuk beristirahat. Mbah So sudah berpesan pada kami untuk melayani semua kebutuhan Tuanku.”
Singo Abang buru-buru menarik bapak itu agar berdiri sebelum Enggar bertanya macam-macam. Untung saja dia lagi sibuk mengamati seekor monyet yang duduk santai di atas pagar.  
“Panggil nakmas saja dan tidak perlu menyembah segala. Oh ya, itu adik saya, Enggar.” Singo Abang menoleh ke arah Enggar. Pak Susatra tampak heran melihat Enggar yang lari karena dilempari buah-buahan oleh monyet itu.
“Hus, Jambul Abang, tidak boleh!” teriak Pak Susastra kepada monyet itu. “Maaf, biasanya Jambul Abang tidak pernah nakal seperti itu, Nakmas... Siapa saya harus memanggil Nakmas?” Pak Susastra menunggu Singo Abang menyebutkan namanya.
Singo Abang hendak menyebut nama samarannya, tapi diurungkan. Dikira meniru nama Jambul Abang. “Barata.” Singo Abang menyebutkan nama aslinya. “Pak Susatra, dimana aku harus menyimpan kudaku?”
“Biar Markun yang akan membawa kudanya ke belakang. Markun!” Pak Susatra memanggil seorang pemuda yang sedang menyapu di bagian samping pendopo. Markun datang dan segera melaksanakan tugas. “Pondok Nakmas yang nomor tiga, adik Nakmas di nomor empat.”
“Terima kasih, Pak Susastra.” Singo Abang melambaikan tangan ke arah Enggar, memintanya mendekat.
“Monyetnya tidak suka padaku,” bisik Enggar pada Singo Abang. “Ternyata nama yang ada ‘Abang’nya memang tidak berjodoh denganku,” kata Enggar, terkekeh. Tawanya terhenti seketika karena Singo Abang menyentil dahinya cukup keras.
“Ayo jalan,” perintah Singo Abang yang sudah beberapa langkah di depannya.
Enggar berlari kecil menyusul Singo Abang yang mengambil jalan setapak di samping kiri klinik. Sambil berjalan beriringan, Enggar mengamati pemandangan di sekitarnya.
“Tempat Mpu Soma bisa buat acara outbond nih, Bang. Asri banget. Tinggal nambah restoran aja biar pengunjung makin betah. Pak Bogar bisa jadi chef-nya,” ujarnya ceria.
“Sudah berapa kali kubilang, jangan menggunakan kata-kata yang aneh, aku tidak mengerti. Apa itu outbond, apa itu chef. Kau ini ada di jaman Majapahit, berlakulah seperti orang Majapahit. Banyak telinga di sekitar kita, hati-hati kalau bicara.  Jangan membuat orang curiga,” kata Singo Abang mengingatkan.
“Iya. Iya, sori. Eh, maaf.”
Kemudian mereka berjalan tanpa suara setelah Enggar meminta maaf.
“Lalu apa artinya?” Singo Abang rupanya tidak betah dengan suasana hening itu.
“Arti apa?”
Outbond dan chef.” Singo Abang berdehem.
Enggar terkekeh. “Hehehe, rupanya mau tahu juga. Rahasia.” Enggar tersenyum penuh kemenangan demi melihat muka penasaran Singo Abang. Lelaki itu menyeringai sebal.
“Hei, kamu mau apa mengikutiku terus? Pondokmu di sebelah sana.” Singo Abang menunjuk ke pondok yang ada di sebelah pondoknya saat mereka sudah tiba di tujuan. “Jangan membuat keributan ya. Jangan juga menggangguku, aku mau istirahat dengan damai. Sana!”
“Iya iya. Eh, Bang, ntar kalo Mpu Soma pulang kasih tahu aku ya.”
Singo Abang hanya menjawab dengan acungan tangan mengarah ke pondok, menandakan Enggar disuruh buruan ke sana dan tidak mengganggunya. 
***

Kabut masih menggantung di udara ketika Enggar mendengar suara orang-orang berseru setelah pada hitungan tertentu. Dibukanya pintu pondok dan dilongokkannya kepala keluar. Hawa dingin menyergapnya, membuat Enggar mengigil. Digosok-gosokkannya kedua tangannya, kemudian letakkan di wajah kemudian ke telinganya. Sehabis subuhan tadi dia meringkuk lagi di balik selimut dan terbangun dengan suara-suara itu.
Ada sekitar dua puluh orang laki-laki, sebagian besar masih remaja berada di lapangan di depan sekolah. Di udara sedingin ini mereka bertelanjang dada dan berbaris sambil melakukan gerakan-gerakan pencak silat. Pak Susatra yang ada di luar barisan sesekali memperbaiki sikap tubuh anak-anak yang kurang tepat.
Enggar menggerak tubuh dan pundaknya, meregangkan otot. Sesekali masih mengigil, tapi berusaha dikurangi dengan meniup kedua tangannya. Dia sudah ada di tepi lapangan sekolah, mengamati kegiatan mereka. Ternyata jaman ini tidak jauh beda sama masa depan.
Berhari-hari berkuda dan sering jatuh membuat badan Enggar terasa loyo. Dia perlu melancarkan aliran darah dengan berolahraga, sekalian mengurangi hawa dingin. Enggar mulai pemanasan untuk senam. Sesekali dia mengaduh, tapi diteruskan juga gerakannya.
Suara teriakan latihan bela diri di tengah lapangan mulai tidak serempak karena sebagian dari mereka memperhatikan apa yang dilakukan Enggar. Beberapa ada yang cekikikan setiap kali Enggar mengaduh kesakitan.
Pemanasan selesai, saatnya latihan inti. Mulailah Enggar melakukan senam kesegaran jasmani, sambil mengumamkan musik pula. Latihan di lapangan sudah benar-benar buyar. Mereka berdiri berjajar menonton Enggar yang gerakannya ganjil. Satu orang menirukan gerakan Enggar, disusul yang lain.
Singo Abang membuka matanya. Dia baru tidur beberapa jam karena semalam menunggu kedatangan Haryo dan Sanip. Dini hari tadi Jandul dan Bogar juga sampai di situ. Baru enak-enaknya merem, di luar ribut sekali.
Dipejamkan matanya lagi. Terdengar suara tawa berderai. Apa yang dilakukan orang-orang itu? Singo Abang mendengus kesal. Dia bangun dari balai-balai dan keluar dari pondok.
Terpampanglah pemandangan ajaib itu. Enggar ada di depan, menari diikuti dua puluh orang murid sekolah ini.
“Suaranya manaaa?” seru Enggar.
“Haaaaa!” teriak mereka kompak saat melakukan gerakan terakhir pendinginan, mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kedua tangan terbentang lebar.
Singo Abang menepuk jidatnya. Parah parah. Anak itu merusak tatanan.
Latihan pagi dibubarkan. Semua kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Enggar mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung tangan. Meskipun masih agak sakit, tapi tubuhnya sudah enakan rasanya sekarang.   
“Kamu belajar ilmu beladiri seperti tadi dari siapa?” tanya Singo Abang yang berdiri tak jauh darinya, menyandar di batang pohon randu.
“Itu bukan ilmu beladiri, itu senam. Olahraga untuk kesehatan badan. Berhari-hari di atas punggung kuda, tubuhku kaku dan sakit. Aku perlu relaksasi, melemaskan otot.”
“Apa itu bisa menolongmu saat menghadapi penjahat bersenjata?”
“Ya jelas nggak lah, gimana sih,” celetuk Enggar santai.
“Jadi mungkin kamu harus belajar bersama mereka berlatih ilmu beladiri, bukannya mengajari mereka senam pagi,” ujar Singo Abang. Enggar menyeringai. Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar, mending ditinggal saja.
Baru tiga langkah Enggar berjalan, tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di tanah, satu jengkal dari kakinya. Enggar berteriak kaget sambil menutup mukanya.
“Di sini banyak orang yang sedang memburumu. Mereka tidak mengenal kasihan. Apalagi kepalamu berharga satu kantong uang emas. Aku tidak mungkin bisa berada di sampingmu sepanjang waktu. Jadi mau tidak mau kamu harus belajar membela diri. Kalau kemampuanmu hanya seperti itu, kamu pasti sudah mati dari tadi.” Singo Abang sudah ada di hadapan Enggar.
“Jangan nyumpahin gitu dong, Bang.”
“Kenapa tidak bilang kalau Cakrawaja memaksamu mengunakan pedang?” Pedang yang tertancap di tanah dicabut oleh Singo Abang. Tatapan matanya tajam menembus ke jantung hati Enggar. Ada kemarahan, tetapi juga ada rasa peduli yang dirasakan Enggar dari tatapan itu.
“Penting ya itu diceritakan?” Enggar menggaruk kepala. Berusaha menetralkan percikan aneh yang dirasakannya.
“Dia sudah mencurigaimu, bukan sebagai perempuan saja, tapi juga sebagai Anggoro. Kalau dia sudah curiga, semua orang akan curiga, karena dia tidak bisa menutup mulutnnya.” Singo Abang mengitari Enggar
“Terus aku harus ganti penyamaran gitu, Bang?” tanya Enggar polos.
“Kamu harus belajar menggunakan senjata. Juga membela diri,” tukas Singo Abang.
“Tua di sini dong aku. Belajar beladiri kan butuh waktu tahunan, Bang. Padahal aku nggak berencana di sini lama-lama. Aku mau pulang.”
“Itu kalau kamu bisa menemukan cara untuk pulang, dan kalau tidak mati duluan.” Kata-kata Singo Abang mematahkan semangat saja. “Makanya belajar dari sekarang.” Diberikannya pedang itu pada Enggar.
Haryo melihat mereka dari kejauhan memperhatikan Singo Abang yang mengajari Enggar bagaimana teknik menggunakan pedang. Mengajari pemula langsung memakai pedang sungguhan, itu terlalu berat. Dia dan Singo Abang saja berlatih dengan pedang kayu sampai satu semester.
“Bar, sarapan dulu.” Haryo melambaikan tangan, mencoba menghentikan mata kuliah ilmu pedang itu sebelum Enggar kepayahan.
Pedang yang ada di tangan Enggar langsung lepas begitu mendengar kata sarapan. Dia sudah kelaparan berat. Dengan suka cita dia pergi meninggalkan Singo Abang untuk bergabung dengan Haryo.
“Hei hei hei, mau kemana? Latihannya belum selesai!” seru Singo Abang. Lari Enggar makin kencang.
Haryo tersenyum saat Enggar sudah ada di sebelahnya. “Gerakan-gerakan yang kamu ajarkan ke anak-anak di sini tadi bukannya gerakan yang kamu lakukan waktu menghadapi perusuh di desa?”
“Hehehe..iya. Itu namanya senam kesegaran jasmani. Aku nggak punya jurus apa-apa, ya udah ngawur saja. Yang penting bisa membuat penjahatnya bingung dulu, jadi aku bisa melarikan diri,” kata Enggar santai.
“Boleh juga akalmu. Tapi di situasi yang lain, senam itu mungkin tidak bisa membantu. Aku mengerti kenapa Barata mengajarkanmu bagaimana menggunakan pedang. Semalam aku menceritakan kejadian di warung tempo hari. Dia kelihatan gusar sekali. Kurasa kamu memang perlu dibekali dasar-dasar beladiri. Hanya saja Barata agak terburu-buru.”
“Aneh rasanya mendengar nama Barata. Singo Abang aja deh nyebutnya, biar lebih menggemaskan,” kata Enggar geli. “Soalnya di sini ada monyet yang namanya Jambul Abang. Singo Abang, Jambul Abang, lucu kan?” lanjut Enggar.
Haryo tersenyum. “Bagaimana kalau aku yang mengajarimu beladiri?” tawarnya. “Kita bisa menggunakan pedang dari kayu dulu.”
“Harus hari ini ya? Lihat, tanganku sudah agak melepuh karena latihan pedang tadi. Besok aja gimana?” pinta Enggar.
“Kalau begitu kuajarkan jurus tangan kosong saja, tidak perlu menggunakan senjata. Mpu Soma masih nanti malam kembalinya. Kamu kan tidak ada kegiatan apa-apa. Daripada menganggur, lebih baik belajar,” kata Haryo
“Tapi Mas Haryo nggak akan segalak Bang Singo kan?”
“Memangnya aku ada tampang galak?” tanya Haryo.
Enggar langsung menggeleng dengan pasti. “Mas Haryo sih nggak galak, ganteng iya,” gumamnya pelan.
*** 

Friday, November 04, 2016

Gandrung #8

Desa di bawah bukit itu nampak damai. Sawah terbentang menghijau. Pohon-pohon kelapa berjajar rapi. Hewan ternak merumput, dijaga oleh anak-anak berkepala kuncung. Ada yang menunggu sambil bermain dengan temannya, ada yang terlelungkup tiduran di atas punggung kerbau. Para perempuan menumbuk gabah. Ada pula yang duduk memanjang, saling mencari kutu rambut.
Masih ada satu desa lagi sebelum sampai di tempat tinggal Mpu Soma.
Hari ini terik bukan main, Enggar sampai berkunang-kunang karena lapar dan haus.  “Minum es pasti seger banget nih. Huuhh...dehidrasi... Panas...panas..,” keluhnya.
“Mengeluh saja. Tadi malam kedinginan, sekarang kepanasan. Apalagi? Pasar masih agak jauh. Sabar sedikit,” ujar Singo Abang.
“Nggak ada sungai di sekitar sini kah? Pengen nyebur aja deh. Udah bener-bener kegerahan. Lagian tadi pagi nggak mandi kan? Eh eh, tuh ada sungai. Turun situ bentar ya. Please...” Enggar menepuk-nepuk pundak Singo Abang.
“Kudaku juga butuh minum,” kata Haryo iba melihat Enggar sudah bercucuran keringat.. “Kita istirathat dulu, Bar.”
Singo Abang terpaksa menurut.
Mereka berhenti tak jauh dari sungai, sebelum jembatan kayu. Sungai di bawah itu dihiasi batu-batu besar dan airnya terlihat begitu segar. Enggar turun dari kuda, menyambar buntelan kain yang biasa dibawanya lalu lari ke sungai. Beberapa kali dia terpeleset, tapi buru-buru bangun.
Kedua kaki Enggar masuk ke dalam air. Kesegarannya terasa hingga ke hati. Enggar sejenak lupa diri, asyik bermain air. Ikat kepalanya dilepas. Dibasahinya rambut dan kepalanya yang terasa kotor. Enam hari tidak keramas.
Haryo menarik tali kekang kudanya untuk diajaknya turun. Singo Abang menyusul kemudian. Mereka duduk di bebatuan, tak jauh dari sungai, memperhatikan Enggar yang sudah melompat kesana ke mari dari batu satu ke batu lainnya sementara kuda-kuda mereka minum.
“Apa di jamanmu anak perempuannya sepertimu semua?” tanya Singo Abang. “Banyak tingkah,” lanjutnya. Haryo terkekeh.
“Maksudnya apa banyak tingkah?” Enggar menangkup air di kedua telapak tangannya lalu memercikkan air ke arah Singo Abang yang sedang mengunyah pisang.
“Hei! Jangan macam-macam!” seru Singo Abang, menghindari percikan air. Lengan bajunya basah. “Anak perempuan itu menundukkan pandangan, bicaranya sopan, tidak jumpalitan...”
“Eh eh eh.” Enggar memercikkan air lagi. “Kenapa harus menunduk? Kalau diajak berbicara ya ngeliat mata dong, masa ngeliat jempol kaki. Entar malah dikirain nyari duit jatuh,” protesnya.
“Diberitahu tentang adab kesopanan malah ngelunjak.”
“Memangnya selama ini aku nggak sopan, Bang? Aku nggak pernah menyumpah atau bicara kasar. Nada bicaraku saja yang nggak bisa selembut sutera. Dari sononya udah begitu. Entar kalau aku tiba-tiba mendayu, Bang Singo ngirain aku kesambet.”
Haryo tertawa melihat tampang Singo Abang yang geregetan. Dia menikmati konflik kecil antara Enggar dan Singo Abang itu.
“Aku baru bicara satu kalimat, dia sudah lima belas baris. Pening kepalaku,” ujar Singo Abang pada Haryo. Singo Abang berdiri, hendak menuju kudanya. Tapi cipratan air dari Enggar mengenainya lagi.
“Bang Singo senewen melulu hari ini, kenapa sih?”
“Ya karena kamu, kok masih bertanya. Kamu itu merusak semua rencana yang sudah kususun rapi.” Singo Abang berkacak pinggang. “Masalah Puteri Anggoro seharusnya sudah kelar, tidak berlarut-larut seperti ini.”
Byur! Singo Abang diguyur lagi.   
“Siapa juga sih yang minta kesasar di Majapahit? Apalagi ketemu sama Bang Singo yang darah tinggian. Banyakin senyum kek, biar indah pemandangannya.” Enggar membalas berkacak pinggang.
Singo Abang yang sudah kesal itu secepat kilat turun ke sungai, menangkup air sebanyak mungkin lalu menumpahkannya ke kepada Enggar tanpa sempat gadis itu melarikan diri.
Enggar yang nggak menyangka dapat serangan mendadak begitu hanya bisa berdiri membatu dengan mulut terbuka. Basah kuyub.
Singo Abang menyeringai puas, kemudian pergi mengambil kudanya yang sudah kenyang minum untuk diikatkan ke pohon, di sebelah kuda Haryo.
Kuda-kuda itu dibiarkan merumput.
Singo Abang sekarang duduk di bawah pohon, menjauh dari jangkauan serangan air Enggar. Sambil mengelap wajahnya yang basah, dia menghela napas berat. Pandangan matanya tak lepas dari Enggar.
“Dia mengingatkanmu pada Shiao Lan kan?” tanya Haryo yang sudah duduk di samping Singo Abang.
“Apa yang kau bicarakan?” Singo Abang memalingkan muka.
“Sifat gadis itu. Sinar matanya yang ceria. Cara dia menghadapimu.”  Senyum Haryo menghilang. “Aku masih ingat betul pertemuan pertama kalian di arena panahan. Shiao Lan membidik tepat di semua sasaran tanpa sisa. Mempecundangimu di hadapan para ksatria di keraton.”
Tidak ada tanggapan dari Singo Abang.
“Jayengwangsa membawa berapa orang?” Singo Abang mengalihkan pembicaraan.
“Dia hanya membawa lima orang, tapi Tumengung Sukmo tidak hanya mengirimnya untuk mengejarmu. Dia juga menyebar telik sandi. Belum lagi para pemburu bayaran,” kata Haryo.
“Kita mampir ke pasar sebentar, sekalian beli persediaan. Setelah itu kita tidak usah mampir-mampir lagi, langsung menemui Mpu Soma,” ucap Singo Abang sambil melempar pandangan kembali ke sungai.
Tidak tampak Enggar di tempatnya semula.
Singo Abang berdiri. “Hei, Enggar, kita pergi sekarang,” seru Singo Abang. Matanya mencari sosok gadis itu. Begitu tidak melihat tanda-tanda kemunculan Enggar, Singo Abang berdiri. “Kemana dia? Jangan-jangan kabur lagi. Ah, sial!”
Singo Abang berlari turun. Haryo menyusulnya. Mereka mencari Enggar di sepanjang sungai, mengambil arah yang berbeda.
Enggar keluar dari celah batu besar, agak jauh dari tempatnya bermain air. Dari bawah dia melihat kuda-kuda Singo Abang dan Haryo di atas, tapi kedua lelaki itu tidak ada. Dengan hati deg deg an Enggar naik ke atas, mencari keberadaaan mereka, walau tidak berani terlalu jauh.
Suara derap kaki kuda terdengar mendekati jembatan. Enggar segera bersembunyi di balik semak, mengintip siapa yang lewat. Panji-panji itu dikenalnya. Rombongan yang lewat sepertinya rombongan yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Enggar tetap bersembunyi sampai rombongan itu menjauh. Setelah dirasa aman, dia keluar. Enggar berdiri menempel pada batang pohon tempat kuda-kuda itu ditambatkan, setengah bersembunyi. Dia masih mewaspadai kemungkinan rombongan tadi kembali.
Kuda milik Haryo yang dinamai Bintang mendengus. Ekornya bergerak-gerak gelisah. Enggar menatapnya penasaran. Setelah beberapa saat berpikir, dia memutuskan untuk mencoba menaikinya. Tetapi saat kuda itu didekati, sang kuda makin gusar, jadi Enggar mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Kuda Singo Abang lebih tenang. Mungkin dia bisa coba menaikinya, toh dia sudah beberapa hari membonceng di kuda itu.
“Kamu darimana? Tiba-tiba hilang, membuat panik saja. Sekarang malah mau melarikan diri naik kuda?” seru Singo Abang mengagetkan Enggar. Hampir gadis itu terjatuh dari pelana yang baru sebagian ditumpangi kakinya. Jantung Singo Abang masih berdetak kencang karena kehilangan Enggar barusan. 
“Jangan sewot mulu dong, Bang. Tolongin kek, nyangkut,” pinta Enggar. Singo Abang melepaskan kaki Enggar yang tersangkut tali pelana. “Yang panik itu aku, Bang. Balik kesini hanya ketemu kuda, nggak ada orangnya. Siapa yangg nggak sport jantung? Apalagi rombongan yang tempo hari itu lewat barusan.” Enggar mengibaskan rerumputan kering yang menempel di bajunya.
“Rombongan Cakrawaja maksudmu?” tanya Singo Abang yang melepaskan tali kekang kudanya dari batang pohon. Enggar menganggukkan kepala. “Untung mereka tidak melihatmu. Kamu darimana saja?”
“Memenuhi panggilan alam. Nggak sempat bilang tadi, sudah mendesak,” jawab Enggar diplomatis. Singo Abang menatapnya tidak mengerti. “Ih, masak harus dijelasin panggilan alam yang mana. Udah deh, ayo ke pasar, aku lapar. Buruan naik.”
Singo Abang naik ke atas kuda, kemudian dia membantu Enggar naik dengan menarik tangannya.
“Mulai sekarang, mau kemana pun, kamu harus bilang dulu padaku. Jangan suka menghilang-hilang seperti itu lagi. Pergerakan kita sudah semakin sempit karena makin banyak orang yang tahu keberadaan kita,” kata Singo Abang sambil melirik Haryo. Haryo hanya membalasnya dengan gelengan kepala.
“Sori, sori, Bang.”
Perjalanan mereka dilanjutkan. Pasar yang dituju sudah tidak begitu ramai karena hari sudah siang. Yang masih ada hanya penjual buah, peralatan rumah tangga yang sebagian besar terbuat dari tanah liat dan warung-warung makanan.
Mereka masuk ke salah satu warung. Ada satu atau dua orang memperhatikan mereka. Singo Abang bisa merasakan itu. Mereka makan dengan cepat, tapi tidak segera meninggalkan warung. Menjaring informasi di tempat ini lebih mudah dibandingkan di tempat lain.
“Boleh nggak aku beli buah?” tanya Enggar pada Singo Abang. Semangka yang dijual di seberang sana betul-betul menggoda. “Uangnya?”
“Ini. Aku yang traktir.” Haryo mengeluarkan tiga keping uang perak. Ini berbeda dengan uang yang dibawa Singo Abang.
“Ini harganya lebih tinggi daripada uang Bang Singo ya? Uang Bang Singo lebih jelek soalnya,” celetuk Enggar tanpa bermaksud merendahkan.
“Kamu ini, sudah mending kita punya uang.” Singo Abang mulai sewot.
“Ini derham perak. Satu kepingnya sama dengan 400 gobog,” jelas Haryo.  
“Wah, bisa belanja banyak nih. Terima kasih.” Enggar mengambil uang itu dan bergegas keluar. Tambah satu nilai Haryo. Sudah ganteng, kaya pula.
Gadis itu nampaknya senang sekali berada di pasar. Benda-benda yang dijual unik, sederhana, nyeni, kuno, beberapa tidak pernah dilihat di masanya. Enggar berhenti lama di penjual semangka. Haryo tersenyum melihat gaya Enggar memilih buah itu. Sepertinya dia membuat penjualnya kesal dengan menawar harga semaunya dan minta mencicipi semua semangka.
“Kamu terlalu banyak tertawa dan tersenyum,” sindir Singo Abang tanpa menoleh ke arah Haryo. Haryo hanya tersenyum saja dan mengamati gerak-gerik Enggar yang sedang menikmati semangka.
Tak jauh dari warung tempat Singo Abang dan Haryo berada, Cakrawaja memicingkan matanya, meyakinkan dia tidak salah lihat. Pemuda yang tadi membeli semangka dan sekarang sedang membeli manggis seperti pemuda imut yang ditemuinya beberapa hari lalu. Si imut yang tidak bisa dilupakannya. Si imut yang dicurigainya sebagai seorang gadis yang menyamar.
“Bawa dia kemari,” perintahnya pada anak buahnya.
Dua orang itu mendatangi Enggar dan memaksanya ikut. Manggis di tangan Enggar jatuh menggelinding. Dia mengenali seragam mereka. Mata Enggar nanar menatap ke arah warung tempat Haryo dan Singo Abang, di dalam hatinya dia berteriak meminta pertolongan.
***