Wednesday, January 25, 2017

Gandrung #15

“Enggar! Enggar!”
Enggar merasakan tepukan di pipinya. Dia membukanya matanya. Ada Singo Abang yang menopangnya dengan posisi setengah memeluk. Lalu Enggar menggerakkan kepalanya untuk melihat tubuhnya. Ada noda darah di dada dan tangannya. Enggar gemetaran, napasnya tersengal. Hawa dingin menjalari tubuhnya.
“Kita harus pergi dari sini secepatnya. Ayo, bangunlah,” kata Singo Abang sambil membantunya bangun.
Sebuah anak panah melesat ke arah Singo Abang dan Enggar. Sebelum mengenai mereka, ada satu anak panah lain yang menerjang dan membelokkan arahnya. Haryo menarik napas lega, tembakannya tepat sasaran.
“Cepat pergi, biar aku yang menghadapi Cakrawaja!” seru Haryo pada Singo Abang. Dia memerintahkan beberapa orangnya untuk melindungi kedua orang itu.
Singo Abang bersiul, memanggil kudanya. Dengan sedikit terhuyung-huyung Singo Abang mengangkat Enggar ke atas punggung kuda. Lalu dia menyusul naik,  duduk di belakang Enggar. Kudanya dipacu cepat-cepat.
Enggar sudah benar-benar sadar saat tangannya menyentuh bajunya di bagian kiri yang basah oleh darah. Tidak ada lubang di bagian itu. Enggar memeriksa bagian tubuhnya yang lain. Tidak ada luka baru. Kemudian dia melihat ada darah di bawah pundak kanan Singo Abang. Mata Enggar terbelalak seketika, mengetahui ada anak panah tertancap di belakang pundak cowok itu. 
“Bang, kamu kena panah!” serunya histeris.
“Iya, aku tahu. Untung kita sudah jauh dari mereka, kurasa kita aman. Kita akan cari tempat untuk istirahat dan mengobati luka-luka.” Keringat mengalir di wajah Singo Abang. Dia menahan sakit.
Singo Abang menghentikan lari kudanya ketika mereka tiba di tepi sungai. Ada tempat yang tersembunyi untuk mereka bisa istirahat sejenak. Laki-laki itu masih sempat membantu Enggar turun. Kemudian dia mengambil tas yang berisi kantong obat dan pakaian ganti. Singo Abang duduk di dekat sebuah batu tinggi.
Lutut Enggar lemas, perutnya mulas, kepalanya pening. Dia hanya bisa mengikuti Singo Abang tanpa bisa berkata apa-apa. Pikirannya dipenuhi kecemasan terhadap keadaan Singo Abang.
Laki-laki itu berusaha melepas pakaian atasnya. Singo Abang meringis saat menyobek sisi kanan pakaiannya. Ada sebuah anak panah mengenai pundak kanan Singo Abang, menembus bagian depan badannya. Enggar bisa melihat ujung anak panah sedikit mencuat dari kulit Singo Abang.
“Aku butuh bantuanmu,” kata Singo Abang. Mukanya mulai pucat. Enggar mengangguk gugup. “Kamu harus melakukannya sekali saja. Dengar baik-baik. Patahkan bagian pangkalnya, bagian yang ada sayap-sayap itu. Lalu dorong anak panahnya sampai ujungnya benar-benar keluar dari tubuhku., kemudian tarik ujungnya dari depan sini. Mengerti?” Singo Abang mengatakan itu sambil menunjukkan bagian yang dimaksud dan caranya.
Enggar melelehkan air mata. Seharusnya dia yang kena anak panah itu kalau Singo Abang tidak membentenginya. Perasaan Enggar bercampur aduk menyadari kenekatan Singo Abang.
“Menangisnya jangan sekarang. Nanti saja. Saat ini kamu lakukan saja yang kukatakan tadi. Cepatlah sebelum aku kehabisan darah. Ingat, sekali saja.” Singo Abang mengambil napas. “Patahkan pangkal anak panahnya. Kamu pasti bisa melakukannya. Ayo. Aku tidak akan apa-apa,” desisnya.
Sambil terisak dan mengatupkan bibir serta giginya rapat-rapat, Enggar mematahkan pangkal anak panah. Tangannya gemetaran luar biasa.
Singo Abang meringis dan menundukkan kepala. “Bagus. Bagus. Sekarang dorong batang anak panahnya ke depan,” kata Singo Abang dengan suara bergetar. Enggar menggelengkan kepala. Dia tidak sanggup. “Enggar, hanya kamu yang bisa menolongku saat ini. Kumohon.” Tatapan mata Singo Abang semakin membuat perut Enggar sakit.
“Pada hitungan ketiga?” tanya Enggar hampir tak terdengar suaranya.
“Apa aku harus siap-siap berteriak, siapa tahu dalam hitungan kesatu kamu sudah mendorong anak panahnya. Balas dendam atas kakimu,” kata Singo Abang, sedikit tersenyum.
Mendengar kata-kata Singo Abang itu Enggar tertawa, meskipun air matanya makin deras mengalir.
Tangan Singo Abang terulur untuk menghapus air mata Enggar. “Aku tidak mau pingsan sebelum anak panah ini keluar dari tubuhku. Jangan menangis lagi. Tolonglah.”
Enggar mengambil napas dalam-dalam lalu menghitung satu, dua, tiga, dan mendorong anak panah itu. Dia bisa mendengar suara Singo Abang menahan sakit. Tangan laki-laki itu mencengkeram batu sampai batu itu pecah.
“Bang, sakit ya, Bang?” tanya Enggar. Tangannya mengelus-elus lengan Singo Abang, berharap sedikit mengurangi rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu.
“Sekarang bantu aku menariknya dari depan,” kata Singo Abang sambil meletakkan tangannya ke sebagian batang anak panah yang sudah tertembus.
Enggar merangkak ke arah depan. Kakinya benar-benar lemas sampai tidak bisa berdiri. Singo Abang yang menggeser tubuhnya menghadap Enggar. Mereka saling menatap untuk beberapa lama. Ada perasaan yang tak terlukiskan di antara mereka.
“Pada hitungan ketiga, cabut sekuat tenagamu.” Tangan Singo Abang terlurur, buru-buru meletakkan tangan Enggar di batang anak panah itu sebelum dorongan hatinya untuk membelai wajah gadis itu menguasainya. “Satu...dua...tiga!”
Dengan satu gerakan cepat dan kuat, keduanya menarik anak panah itu. Singo Abang langsung oleng, sedangkan Enggar yang memegang anak panah penuh darah itu muntah-muntah.
Dengan kekuatan yang masih ada Singo Abang membasahi kain merahnya dan membersihkan lukanya. Dia juga meminum pil dan membubuhkan obat di kedua lubang lukanya. Enggar segera membantu setelah puas muntah.
“Bang, kenapa darahnya menghitam begini?” tanya Enggar saat melihat darah yang masih keluar dari luka Singo Abang.
Singo Abang memberi tanda agar Enggar diam karena dia mendengar kedatangan seseorang. Tangan kiri Singo Abang menggapai pedangnya, tapi keburu diambil alih Enggar. Meski kakinya masih gemetaran, dia bangkit untuk menghadapi siapapun yang datang mendekati mereka.
“Jangan bergerak!” teriak Enggar sambil mengacungkan pedang seperti mengacungkan pistol saat seekor kuda dengan pengendaranya muncul dari balik pepohonan.
“Ini aku. Haryo. Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka?” Yang datang ternyata Haryo. Dia turun dari kudanya dan mendekati Enggar. Enggar mundur menjauhinya. “Bagaimana keadaan Barata?” Haryo mengalihkan pandangan. Singo Abang melambaikan tangan kirinya. Haryo buru-buru memeriksa Singo Abang. “Panahnya dibubuhi racun. Obat biasa tidak akan bisa menyembuhkan. Dia harus segera dibawa ke tabib,” ujar Haryo sembari membalut luka Singo Abang dengan kain bersih yang dibawanya. Dia juga membantu Singo Abang memakai pakaian ganti.
Pedang di tangan Enggar terjatuh. “Panah beracun? Terus bagaimana dong Bang Singo? Sudah pucat begini. Bang, kita ke tabib mana? Masih kuat jalan nggak?”
“Bagaimana dengan Cakrawaja dan orang-orang Tumenggung Sukmo?” tanya Singo Abang. Dalam keadaan terluka begitu masih memikirkan Cakrawaja.
“Cakrawaja sudah bisa kulumpuhkan. Jayengwangsa dan Jayengwira juga. Tapi Tumenggung Sukmo dan petinggi Sadeng itu belum kami temukan,” kata Haryo. “Enggar, aku ingin bicara padamu mengenai mereka nanti,” lanjutnya.
“Aku nggak ada urusan dengan mereka. Yang paling penting sekarang adalah Bang Singo bisa diobati dan sembuh sebelum racun itu menyebar. Ayo, kita pergi sekarang, kenapa masih ngobrol saja. Dimana ada tabib di dekat sini?” Enggar membangunkan Singo Abang. “Apa tidak ada kereta kuda biar Bang Singo bisa membaringkan badan. Kalau berkuda kan tambah sakit badannya.”
“Enggar, aku benar-benar harus bicara padamu tentang rencana...” ucap Haryo.
“Mas Haryo, aku masih sebel sama Mas Haryo. Egois banget. Enak saja menculikku dan memanfaatkanku untuk pekerjaan Mas Haryo tanpa koordinasi dan konsolidasi. Mas nggak tahu apa bahaya apa yang harus kuhadapi? Memangnya nyawaku nggak ada artinya? Begini ya, aku nggak peduli dengan rencana mereka, dengan kasus Anggoro, dengan apapun yang berhubungan dengan itu. Aku capek terlibat dengan urusan orang lain. Aku mau mengurus urusanku sendiri. Dan sekarang urusanku adalah keselamatan Bang Singo.” Enggar serius sekali mengatakan itu pada Haryo, membuat Haryo tidak bisa berkata apa-apa. “Sampai hatiku jadi baik kembali, jangan sekali-kali menggangguku, oke?” tegasnya sambil memapah Singo Abang ke kudanya.
Haryo buru-buru membantu. “Sebaiknya kalian ke Ketanggung. Mpu Soma pasti bisa menyembuhkan Barata. Tapi kalian harus cepat-cepat karena racun itu mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang istana untuk mengawal kalian.”
“Nggak deh, terima kasih. Aku nggak percaya sama orang-orang di luar anak buah Bang Singo. Kami akan pergi sendiri.” Enggar yang sekarang duduk di depan, menggerakkan tali kekang kuda. Kudanya diam saja.
“Begini gerakannya kalau menjalankan kuda.” Haryo menunjukkan caranya. Enggar mendengus.
“Aku masih kuat sampai Ketanggung.” Tangan Singo Abang mengambil alih kendali dari belakang. “Enggar, berikan keris yang kamu bawa pada Haryo.” Enggar mengambil keris yang terbungkus kain itu dan mengulurkannya pada Haryo. “Ini keris yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Gunakan baik-baik untuk menyelesaikan kasusnya. Haryo, kuserahkan urusan di sini padamu. Kita akan bicara nanti.”
Haryo menganggukkan kepala. Yang dimaksud “bicara” oleh Barata tentu bukan sekedar bicara. Selama ini Haryo mengejar-ngejar Barata untuk urusan yang belum terselesaikan, sekarang nampaknya Barata sudah menunjukkan tanda kalau dia akan membereskan apapun masalah di antara mereka.
Haryo masih tetap di tempatnya walau kedua orang itu telah menghilang di belokan. Diembuskannya napas panjang-panjang, tangannya mengelus dadanya yang terasa sesak. Singo Abang yang terkena panah, kenapa dia yang merasa terluka. Bagaimana bisa kata-kata Enggar membuatnya merasa seperti itu?
“Aku belum pernah peduli pada gadis-gadis. Begitu sekarang aku mempedulikan seseorang, aku melakukannya dengan cara yang salah,” gumamnya. “Menurutmu bagaimana agar aku bisa memperbaiki kesalahanku ini?” Haryo bertanya pada kudanya.
Kuda itu tidak menjawab.

*** 

Tuesday, January 03, 2017

Gandrung #14

Enggar menguap lebar dan langsung menutup mulutnya. Haryo sudah duduk di kursi di samping balai-balai, menahan senyum sambil menatapnya.
“Selamat pagi,” sapa Haryo. Suara kokok ayam nyaring di belakang rumah.
Enggar duduk, menyisir rambut dengan tangan dan mengelap wajahnya dengan selimut. Dia melirik ke arah meja. Meja itu hancur berantakan. Apa yang terjadi? Lalu ada dua orang masuk ke ruangan itu untuk membereskan meja, menggantinya dengan yang baru.
“Orangnya sudah sadar, Pangeran, kalau anda ingin bertemu dengannya,” kata salah seorang dari mereka. Enggar menatap Haryo yang hanya mengangguk.
Haryo berdiri. “Kamu mau ke belakang, cuci muka atau apa?” tanya dia pada Enggar. Gadis itu buru-buru turun dari balai-balai dan mengikuti Haryo. Sebenarnya dia masih ingin mogok bicara, tapi rasa penasaran membuat mulutnya gatal. Meja hancur dan kata-kata anak buah Haryo barusan rasanya begitu mencurigakan. Apalagi dia juga melihat sedikit bekas perkelahian di ruangannya.
“Apa yang terjadi semalam?” tanya Enggar. Haryo tersenyum. Akhirnya mendengar suara gadis itu lagi.
“Ada orang masuk ke kamarmu. Kamu tidak mendengar apa-apa karena tertidur pulas,” katanya kalem.
“Aku pasti terbangun kalau mendengar suara,” kata Enggar. “Kecuali kalau aku dibius. Ah!!” Enggar berhenti jalan. Tangannya mengacung-acung ke arah ruangannya. Terbayang dia tertidur plus tidak sadarkan diri dan ada orang yang ingin mengeliminasinya.   
“Dia sudah diringkus. Sebentar lagi aku kan bisa mengorek keterangan darinya, mau apa dia menyusup ke kamarmu, meskipun aku sudah bisa menebak. Kamu tidak perlu kuatir, aku sudah memperketat penjagaan. Kupastikan tidak ada lagi yang mengganggumu, jadi aku yang menjagamu sampai kamu bangun tadi.”
Enggar megap-megap. Antara dongkol karena dengan entengnya Haryo bilang dia nggak perlu kuatir padahal sudah jelas nyawanya terancam, dan terharu karena Haryo menjaganya semalaman. Oh, so sweet. Tapi dia nggak boleh luluh. Haryo masih belum terbukti nggak berkhianat.
Enggar dibawa ke belakang rumah. Di sana ada satu tempat yang didalamnya ada pancuran dan bak air untuk keperluan MCK. Nampaknya masih baru beberapa hari dibangun.
Seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat MCK menatap heran. Puteri Anggoro seharusnya saat ini ada di kediaman Mpu Soma atau di istana bersama Singo Abang, bukan di Mertabumi bersama orang lain.
Enggar sudah kembali ke kamar. Haryo tidak menemaninya lagi. Mumpung tidak ada orang, Enggar memeriksa seisi ruangan. Mencari celah dan cara untuk bisa keluar, tapi tidak ketemu. Tadi dia sudah mencoba meletakkan kursi di atas meja dan memanjatnya. Tangannya saja yang baru bisa menyentuh galar di bagian atap. Berarti kurang tinggi untuk bisa keluar lewat sana.
Gadis itu mendengar kedatangan seseorang. Enggar segera duduk di atas balai-balai dan berlagak nelangsa. Seorang laki-laki berbadan tegap membawa sepiring nasi, lauk pauk dan satu kendi air baru.
“Selamat pagi, Puteri. Ini sarapan untuk Tuan Puteri, silahkan menikmati.”
“Mau mencicipi?” tanya Enggar pada lelaki itu. Dia masih agak-agak trauma dengan makanan yang diberi obat tidur. “Aku sudah terlalu banyak tidur beberapa hari ini,” bisik Enggar.
Lelaki itu menatap Enggar lurus. Enggar yang semula cuek, jadi agak waspada. “Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Enggar.
Laki-laki itu berjalan ke arah pintu, memeriksa keadaan di luar, kemudian mengunci pintu. Sekarang Enggar benar-benar waspada. Keris kecil yang disembunyikannya disiapkan bila sewaktu-waktu diperlukan.
“Kau sudah mengatakan apa saja pada Haryo?” tanya lelaki itu. Tangannya mengeluarkan sesuatu seperti paku sepanjang jari telunjuk dari balik bajunya.
Enggar menggenggam keris kecil erat-erat. “Kamu ternyata anak buahnya Cakrawaja? Kok...” Kata-kata Enggar terputus karena paku besar di tangan si Taring Emas sudah ada di lehernya. “Apa yang kamu maksud adalah rencana itu?” pancing Enggar. Walau jantungnya sudah terasa meletus berkali-kali, dia memberanikan diri untuk mencari informasi. Setidaknya dia dapat petunjuk sebenarnya dia terlibat perkara apa.
“Ya, rencana itu,” ujar si Taring Emas gusar.
“Oh.” Hanya itu yang Enggar bilang. Dia bingung mau bicara apa lagi.
“Aku tidak bisa membahayakan masa depan Sadeng, jadi aku akan membunuhmu sekarang.” Si Taring Emas sudah bersiap.
“Tunggu!” tahan Enggar, sambil berpikir dimana dia pernah mendengar kata Sadeng. “Kamu bisa membunuhku sekarang, tapi perlu kamu tahu ada mata-mata istana di antara kalian. Satu lagi, rencana kalian sudah sampai di telinga Tuan Gajah Mada. Tahu apa itu artinya? Tiada ampun buat kalian. Hm?” Enggar mengatakannya dengan penuh percaya diri. Si Taring Emas ragu-ragu, terbukti paku di leher Enggar ditarik. Tapi hanya sebentar, karena sekarang tangan kirinya mencekik Enggar.
Pintu digedor. Sesaat Si Taring Emas lengah dan kesempatan itu digunakan Enggar untuk menendangnya, menyambar selimut lalu menutupkannya ke kepala lelaki itu. Enggar melesat ke pintu dan membukanya. Berharap itu Haryo.
Ternyata Cakrawaja.
“Mau kemana kau, Puteri?” Cakrawaja menyeretnya ke balai-balai dan mulai mengikatnya. “Siung Loro, apa yang kau lakukan dengan selimut itu?” bentak Cakrawaja pada Si Taring Emas yang ternyata namanya Siung Loro. Siung Loro masih sibuk berusaha keluar dari selimut. “Haryo sudah berhasil kukecoh. Dia sibuk dengan penyusup yang tidak berguna itu. Kita bawa Anggoro segera.”
Enggar menendang dan memukul Cakrawaja, membuat cowok itu naik darah. Enggar ditamparnya sangat keras sampai jatuh ke tanah. Hampir saja Enggar pingsan karena pandangan matanya tiba-tiba jadi gelap.
Cakrawaja mengikat Enggar dan menggelandangnya keluar dengan kasar. Gadis  itu lalu dimasukkan ke kereta kuda dan dibawa pergi secepatnya.
Enggar merasakan bibirnya perih dan sediki asin. Dia berdarah. Haryo tidak ada untuk menolongnya, Singo Abang juga tidak tau ada dimana, sementara para kriminal menguasainya sekarang. Dia hanya bisa minta bantuan pada Tuhan dan mengandalkan diri sendiri. Untunglah keris kecil itu sempat dibawanya. Dia tidak akan tumbang tanpa perlawanan, itu tekadnya.
*** 

Enggar diikat di sebuah kursi. Dia tidak tahu berada di mana saat ini karena sepanjang perjalanan tadi matanya ditutup, tapi rasanya jauh dari tempatnya semula ditahan. Tudung yang menutupi kepala dan wajahnya mulai dibuka. Seorang laki-laki berkumis berdiri di depannya. Seorang lagi, berbadan tinggi kurus, ada di samping Enggar, memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala, nampak masih belum percaya. Sementara itu Cakrawaja bersandar di dekat pintu.
Lelaki di depannya berdehem sebelum mendekati Enggar. Mau diapain lagi nih? Menurut insting Enggar lelaki inilah yang bos mafianya. Terlihat dari bahasa tubuh orang-orang ketika berhadapan dengannya.
“Nyawamu banyak juga, Gadis kecil. Padahal kata Sukmo kau sudah seperti sayuran.” Lelaki berkumis yang memakai gelang berbentuk naga itu melirik ke orang yang ada di samping Enggar.
“Aku dengar dari Siung Loro, kata Anggoro rencana itu sudah sampai ke telinga Gajah Mada, Adipati Sadeng.” ujar Cakrawaja.
Lelaki bergelang naga itu mendekatkan wajah ke Enggar. “Kau yakin?” tanya Adipati Sadeng pada Cakrawaja, lalu mengalihkan pandangan ke Enggar lagi. “Kau memberitahu Gajah Mada? Jawab!”
“Tidak hanya Gajah Mada. Aku memberi tahu banyak orang, jadi rencana rahasiamu sudah tidak rahasia lagi. Maklum, aku susah tutup mulut,” jawab Enggar. “Anak buahmu juga.” Enggar sembari melirik Tumenggung Sukmo.
“Maksudmu?” Tumenggung Sukmo gusar. “Aku tidak akan berkhianat.”
“Menurut Tuan apa tindakan Tumenggung Sukmo mencari Puteri Anggoro palsu, kemudian menghabisinya tidak masuk dalam kategori ‘rencana dalam rencana’? Tumenggung Sukmo tidak mau Tuan tahu kalau aku masih hidup. Dia cuci tangan ketika orang-orang istana akan meringkus Tuan,” kata Enggar pada Si Gelang Naga. Nekat.
“Heh, Gadis gila!” Tumenggung Sukmo mencengkeram lengan Enggar.
“Orang yang panik biasanya orang yang bersalah.” Enggar menambahkan.
“Mulut dan otakmu tajam juga untuk ukuran seorang gadis kecil yang hanya menyukai karya sastra. Kau pikir semudah itu kau mengadu domba kami?” Si Gelang Naga tersenyum. Dia sudah membaca strategi Enggar. “Kau tahu kan nyawamu ada hanya tinggal satu kedipan mata untuk pergi?”
“Semua pemberontakan di Majapahit bisa dipadamkan oleh Gajah Mada. Hingga Hayam Wuruk nanti memimpin dan Majapahit menjadi jaya, menguasai tujuh daratan dan tujuh lautan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kalian.” Enggar menggeleng-gelengkan kepala dan membentuk bibirnya sedemikian rupa, mengasihani sekaligus menghina.
“Hayam Wuruk? Siapa dia?” tanya Cakrawaja penasaran.
“Kurasa kalian tidak akan pernah tahu, keburu ditumpas Gajah Mada.” Mantap Enggar mengatakannya. Mantap juga dia tidak tau apa yang dibicarakannya, karena dia belum tahu pasti apa sebenarnya “rencana” itu.  
“Apa dia kesurupan?” bisik Tumenggung Sukmo pada Cakrawaja.        
“Dia tidak tahu apa yang dibicarakannya, hanya menggertak.” Cakrawaja mencibir. “Dia belum sampai istana, dia di Ketanggung saat kubawa kesini.”
“Ketanggung?” Si Gelang Naga berkacak pinggang. “Tempat Mpu Soma?”
“Mpu Soma tinggal di Ketanggung?” tanya Cakrawaja balik.
“Wah, Mpu Soma ya.” Tumenggung Sukmo nampak was-was.
“Kau bertemu Mpu Soma?” tanya Si Gelang Naga pada Enggar. Bahaya kalau Mpu Soma tahu. Meskipun dia tidak lagi di istana, tapi pengaruhnya di sana masih sangat besar. Orang-orang masih datang padanya untuk konsultasi.
“Kenapa memangnya kalau aku bertemu?” tantang Enggar.
“Kurang ajar!” Cakrawaja menyerbu dan mencekiknya. Enggar tidak menunjukkan wajah ketakutan walaupun susah bernapas. Matanya menatap Cakrawaja dengan menyala-nyala. Cakrawaja yang melihat kedua mata itu tercekat. Itu bukan mata Anggoro. “Dia bukan Anggoro.”
“Apa?” Tumenggung Sukmo
“Dia bukan Anggoro,” tandas Cakrawaja.
“Jadi betul dia kesurupan?” tanya Tumenggung Sukmo.
“Dia bukan Anggoro, dia orang lain. Wajahnya saja sama, tapi tidak sifatnya,” jelas Cakrawaja, setengah takjub dengan kesamaan fisik yang dimiliki gadis di depannya dengan Puteri Anggoro.
“Tidak mungkin.” Tumenggung Sukmo memperhatikan Enggar baik-baik.
“Mungkin ada orang berilmu tinggi yang bisa mengaburkan pandangan kita sehingga kita melihat gadis ini adalah Anggoro, padahal bukan. Aku tahu Anggoro dan dia tidak berkata atau berbuat seperti yang dilakukannya. Mungkin Mpu Soma yang merapalkan mantra atau suatu ajian padanya untuk mengacaukan kita,” ucap Cakrawaja yang kembali mengamatinya. Enggar mendengus prihatin. “Siapa nama ibumu?” tanya Cakrawaja tiba-tiba pada Enggar. Nama ibunya Sulastri, tapi nama ibu Anggoro? Singo Abang maupun Haryo tidak pernah cerita juga tentang Anggoro. “Siapa?” ulang Cakrawaja.
Enggar menelan ludah. “Anggorowati,” ujarnya pelan.
Cakrawala tertawa. “Dia palsu. Nama ibunya adalah Anggraeni.”
“Hei, tahu apa kamu tentang ibuku? Nama kecilnya Anggorowati. Anggraeni itu namanya setelah menikahi ayahku,” sahut Enggar sebelum Cakrawaja makin bertingkah.
“Lalu siapa nama dayang yang pergi bersamamu ke Mertabumi? Yang ini tidak mungkin dia punya nama lain kan? Dia belum menikah,” kejar Cakrawaja.
“Apa, memangnya kamu mau tahu semua nama keluargaku, dayang-dayangku, teman-temanku? Apa kamu tidak punya pertanyaan yang lebih penting? Kalian sudah susah payah menculikku, menyiksaku, bahkan mau membunuhku, hanya untuk bertanya soal itu? Kenapa kita kembali ke topik semula. Tentang ‘rencana’ kalian, biar kita tidak buang-buang waktu?”
Adipati Sadeng menahan Cakrawaja yang mau menghajar Enggar lagi. Dia berpikir Enggar ada benarnya. “Jadi Gajah Mada sudah tahu tentang rencana ini?” tanyanya. Enggar menegakkan kepala dengan rada angkuh sebagai jawaban. Niatnya menakuti orang itu. “Kalau begitu kau memang tidak boleh dibiarkan hidup. Lakukan apa yang harus kau lakukan.” Dengan dinginnya Adipati Sadeng bicara seperti itu pada Cakrawaja. Setelah  itu dia keluar. Enggar meriang tak karuan dan Cakrawaja menyeringai penuh kemenangan.
“Bagus, kita hanya berdua sekarang.” Cakrawaja mengeluarkan keris dari rangkanya. Untuk beberapa lama dia mengamati keris tanpa lekuk itu, seperti memastikan ketajamannya. ”Aku belum mencuci keris ini sejak terlepas dari tangan Anggoro. Kemungkinan masih ada sisa-sisa darah Sukmana.”
Itu kerisnya! Dasar penggelap alat bukti! Enggar menahan diri. Keris kecil di tangannya sudah membuka ikatan tangannya. Untung kakinya tidak diikat, jadi bisa lebih cepat lolos.
Cakrawaja mendekat ke Enggar. Saat dia mengayunkan keris, tangan Enggar tiba-tiba menangkis dan kemudian kakinya menendang kuat-kuat dan tepat ke tempat yang paling menyakitkan bagi Cakrawaja. Cakrawaja roboh.
Enggar menyambar keris yang terjatuh di tanah, setelah terlebih dahulu melepas ikat kepala Cakrawaja. Keris itu dibungkus agar sidik jari Cakrawaja tidak hilang dan sidik jari Enggar nggak menempel di sana. Tidak tahu apa itu penting di jaman Majapahit, tapi di masa depan sangat penting sebagai alat bukti.      
Seperti seorang anggota pasukan elit, Enggar menyelinap keluar. Penjagaan di tempat ini minimum. Tumenggung Sukmo dan Adipati tampaknya juga sedang ada di ruangan yang lain.
Enggar mengendap ke pohon di samping rumah dan berhasil melepaskan seekor kuda yang ditambatkan di sana. Dia mencoba naik ke atas punggung kuda. Melorot lagi melorot lagi. Setelah lima kali percobaan baru dia bisa.  Digerak-gerakkannya tali kekang, kudanya belum bergerak sama sekali. “Hoi, lari dong. Ck ck ck..herr! Apaan sih perintahnya? Husyah!” Saking gemesnya Enggar menarik tali kekang kanannya keras, sehingga kuda itu menggerakkan tubuhnya ke kanan. Sekali lagi Enggar menarik ke kanan. Kuda yang semula menghadap ke depan sudah menghadap ke belakang.
“Puteri kabur!” Ada suara teriakan dari dalam rumah itu. Lalu muncullah seseorang yang memapah Cakrawaja. Wajahnya merah padam seperti gunung meletus. Pasti tingkat kemarahannya sudah menembus level berbahaya.
“Kuda, lari dong!” Tidak sengaja kedua kaki Enggar menepuk perut kuda itu dan si kuda langsung lari. Hampir saja Enggar terpental ke belakang. Sambil melecut tali kekang, Enggar mengingat-ingat bagaimana Singo Abang biasanya mengendalikan kuda.
“Itu dia. Kejaar!” Di belakang Enggar ternyata sudah ada tiga orang yang mengejar. Tumenggung Sukmo keluar dari rumah dan menyumpah-nyumpah. Puteri itu punya ilmu kebal atau lapisan anti lengket apa kok selalu bisa lolos.
“Hwaaaa, gimana nanti berhentinya?” Enggar memacu kuda, tanpa tahu kemana arahnya. Orang-orang di belakangnya semakin dekat. Beberapa anak panah melayang melewati Enggar. Cakrawaja mengejar, ada di paling depan dengan busur dan anak panah. Sekarang Enggar benar-benar panik. Jurus tangan kosongnya yang tidak seberapa tidak ada gunanya saat seperti ini. Dia menundukkan badan, menempel pada punggung kuda dan terus berdoa.
Tiba-tiba kuda meringkik dan Enggar nungsep di tanah. Kudanya terkena panah. Enggar bangun secepatnya dan berlari. Sedikit terpincang-pincang.
Seekor kuda coklat mengejar Enggar yang mulai kelelahan. Ketika Enggar hendak berbelok untuk mengecoh, tangan orang itu berhasil menyambar dan menaikannya ke atas kuda, menempatkan Enggar di depannya.
“Lepasin!” teriak Enggar.
“Sudah kuduga kamu bisa ngabur.” Orang itu menggebrak kudanya.
“Bang Singo!” seru Enggar sambil menoleh ke belakang. Rasa senang menjalari seluruh tubuhnya. Dia masih gemetaran tapi rasanya bisa bernapas lega.
“Jangan senang dulu, mereka masih mengejar kita,” kata Singo Abang.
“Cepetan, Bang, dikebut!” Enggar melongokkan kepala melewati lengan Singo Abang dan melihat kuda-kuda mengejar di belakang.
“Awas, kepalamu nanti bisa kena panah lagi.” Tangan kiri Singo Abang menarik kepala Enggar. “Apa yang terjadi, apa kamu sengaja ikut Haryo kesini?”
“Aku? Sengaja ke sini? Memangnya aku kurang kerjaan apa ke tempat dimana semua orang memburuku? Aku diculik dari pondok!” seru Enggar.
“Oh, begitu, siapa tahu saja kamu sukarela ikut dengan Haryo.”
“Aku lebih suka ikut dengan Abang, tau!”
Ada rasa sejuk di hati Singo Abang saat Enggar mengatakan itu. Beberapa hari ini tanpa Enggar, dia jantungan terus. Berkali-kali dadanya nyeri tanpa sebab. Kuatir tidak habis-habis, sampai tidak doyan makan.  
Dengan lihai Singo Abang mengecoh orang-orang yang mengejarnya, sehingga mereka kehilangan jejak. Singo Abang dan Enggar bersembunyi untuk memastikan mereka menuju arah yang berbeda, baru kemudian keluar dan pergi ke arah berlawanan.
***
Enggar membasuh wajahnya. Mulutnya perih lagi. Pipinya juga masih merah. Belum lagi kaki dan tangannya yang lecet-lecet. Saat Enggar mencuci kakinya, tak sengaja dia menoleh ke Singo Abang. Cowok itu sedang mengeluarkan sesuatu dari kantung yang ada di sisi kudanya.
Tanpa berkata apa-apa dia mendekati Enggar. Menariknya lembut ke arahnya dan mulai mengobati luka-luka Enggar. Sesekali dia menghela nafas, merasa kasihan puteri jadi-jadian yang babak belur itu.
“Aduh aduh aduh, sakit!” Enggar memukul lengan Singo Abang saat memegang pergelangan kakinya. Nampaknya kesleo saat jatuh dari kuda tadi.
“Tahan sebentar,” kata Singo Abang.
“Eh...eh... Mau diapain?” Enggar meringis.
“Aku akan mengembalikan posisinya. Kalau tidak, akan bengkak dan kamu makin kesakitan,” ujar Singo Abang.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Biar aku siap-siap mental dulu. Huuf...huuf...” Enggar melakukan pernapasan ala orang mau melahirkan. “Hitung sampai tiga baru dibalikin, ya?”
Singo Abang meletakkan tangannya di kaki kiri Enggar. “Satu...”
Klekk!
“Aaaaaaaaa! Kenapa baru hitungan satu udah diplintir?!” protes Enggar.  
Singo Abang digebukin dari segala penjuru.
“Menunggu tiga terlalu lama,” kata Singo Abang setelah Enggar capek memukulinya. Dengan penuh kedongkolan Enggar menjauh dari Singo Abang. Eh, tapi dia udah bisa jalan lebih nyaman lho, nggak sepincang tadi.
“Kita harus segera pergi dari sini.” Singo Abang membereskan obat-obatan itu dan mengembalikannya ke dalam kantong. “Aku sudah meminta Mijil menyiapkan tempat untuk kita sementara. Ayo, kita pergi sekarang. Kamu mau tetap di sini? Sendirian? Baik.” Singo Abang naik ke kuda karena Enggar tidak juga beranjak.
Mulut Enggar monyong. Dia berjalan menuju arah kuda, tapi terlebih dahulu mengambil sesuatu yang tergeletak di bawah pohon. Kerisnya Cakrawaja. Singo Abang mengulurkan tangan, Enggar terpaksa menerimanya karena dia tidak akan bisa naik ke atas kuda tanpa bantuan. Dia membonceng di belakang.
“Hitungan ketiga baru kupacu kudanya ya?” canda Singo Abang.
“Awas saja kalau berani. Aku bawa keris, jangan macam-macam. Ini.” Enggar menyerahkan keris itu. “Ini yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Cakrawaja tadi mau menggunakannya padaku. Ini bisa jadi barang bukti untuk di pengadilan kan?”
“Iya. Simpanlah di kantong di dekat kaki kananmu.” Singo Abang menarik tali kekang kuda. “Kita harus cepat. Pegangan.”
Mereka menuju ke perbatasan Mertabumi untuk bertemu dengan Mijil. Semalam Mijil sudah bertemu dengan Singo Abang dan memberitahu semua hal yang terjadi. Tempat Enggar terakhir disekap tadi Singo Abang tahu dari salah satu anak buah Cakrawaja yang berhasil dilumpuhkan, Siung Loro.
Hampir satu jam baru mereka tiba di sebuah rumah di kaki bukit.
“Kenapa kita berhenti di sini? Rumahnya di sebelah sana,” kata Enggar sambil menunjuk ke arah rumah yang masih sekitar lima puluh meter di depan.
“Apapun yang terjadi, jangan jauh-jauh dariku.” Suara Singo Abang berubah nadanya. Kewaspadaannya membuat Enggar kuatir. Dari tempat mereka berada, terlihat orang-orang bersenjata keluar bersama seseorang. Mijil.
Di belakang mereka ada seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Cakrawaja. Disusul oleh Jayengwangsa dan Jayengwira. Singo Abang dan Enggar berjalan mendekati mereka setelah turun dari kuda.
“Barata. Kita bertemu lagi.” Cakrawaja maju ke depan, salah satu kakinya menginjak punggung Mijil. “Kuakui kalian punya nyali besar datang ke sini. Tempat ini dipenuhi orang-orangku. Kalian sudah terkepung, jadi sebaiknya menyerah saja. Berikan dia padaku dan aku akan mengampuni nyawamu.”
“Bagaimana kalau sebaliknya. Kamu pergi dari sini baik-baik dan aku akan mengampuni nyawamu,” sahut Singo Abang kalem.
Cakrawaja tertawa mengejek. “Serang mereka!” serunya. Anak buahnya yang bersiaga serentak menyerbu.
Teriakan orang dipadu dengan denting senjata memenuhi telinga Enggar. Singo Abang bergerak kesana kemari menangkis serangan dan melindungi Enggar. Hampir tidak masuk di akal Enggar kalau mereka akan bisa bertahan, apalagi keluar dari pertempuran.
Tiba-tiba terdengar seruan ketika Singo Abang, Enggar dan Mijil terdesak. Suara itu datang berasal dari serombongan orang berkuda dengan seorang laki-laki tampan berkuda putih memimpin di depan. Haryo.
“Kenapa lama sekali baru datang?” seru Singo Abang pada Haryo. “Kalau tidak sedang repot begini, aku akan menghajarmu karena mencuri Enggar dariku?”     
“Bisa itu kita bicarakan nanti, tidak lihat aku sedang sibuk?” Haryo tidak menggunakan panah kali ini, dia memilih menggunakan pedang.
Pertarungan mulai tidak seimbang setelah Haryo dan pasukannya datang. Cakrawaja dan dua orang kepercayaannya mengeluarkan busur, menghujani arena dengan anak panah. Haryo tidak mau tinggal diam, dia juga mengeluarkan busur dan mulai membidik.
Enggar berkali-kali memejamkan mata melihat adegan aksi berdarah. Perutnya mulai mual. Ini terlalu mengerikan untuknya.
“Awas!” Singo Abang menarik Enggar yang hampir ditusuk tombak. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan merem. Serangan datang dari mana-mana. Tetap siaga!”
Cakrawaja membubuhkan sesuatu pada ujung anak panahnya. Cairan berwarna hijau dari botol kecil yang dibawanya. Dibidikkannya anak itu dengan seluruh kemampuan, menyasarkannya pada Enggar.
Singo Abang membelakangi Enggar untuk menyingkirkan dua orang berpedang panjang. Adu pedang mereka menciptakan bunyi yang membuat telinga Enggar semakin sakit dan hatinya miris.
Sebuah anak panah melesat. Ada suara di kepala Enggar yang menyuruhnya membalikan badan. Ketika Enggar berbalik, dia melihat anak panah itu ke arahnya.
Jleb!!!
***