“Jadi kita ngapain di
Museum Nasional ini, Mas?” tanya Enggar pada kakak laki-lakinya, Ito. Gadis manis berambut bob itu terlihat malas
mengikuti Ito yang sedang sibuk memotret sebuah prasasti. Laki-laki muda
berkaca mata berambut cepak di depannya membalikkan badan, bola matanya berputar. Ini
pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya dilontarkan Enggar.
“Satu, membantuku
melengkapi data untuk skripsi dan novel fiksiku tentang Majapahit. Dua, kita
ada janji ketemuan dengan seniorku yang menemukan benda bersejarah dari jaman
Majapahit beberapa minggu lalu saat penggalian situs di Trowulan,” jawab Ito,
masih mencoba bersabar. “Seru sekali ya melakukan penggalian dan menemukan
benda tak ternilai. Seniorku menemukan sebuah kotak besi berisi sebuah gelang
emas dan perkamen. Gosip yang beredar di grup arkeolog, perkamen itu memberi
petunjuk adanya manusia dari masa depan yang datang ke Majapahit. Tapi ada juga
yang bilang perkamen itu sebenarnya surat cinta. Nah, mumpung seniorku itu ada
di sini, aku mau tahu cerita yang sebenarnya.”
“Bisa nggak utangku
dibayar dengan melakukan hal lain? Yang tidak berhubungan dengan kerjaan Mas
Ito. Terus terang aku agak bosan dengan semua hal berbau Majapahit. Sudah
hampir sebulan Mas Ito mempekerjakan aku secara paksa untuk baca literatur, apa
masih perlu lagi mengajakku kemari?” tanya Enggar, sama sekali tidak berminat
dengan apa yang disampaikan kakaknya. “Aku punya kesibukan lain, Mas,” lanjut
Enggar mencari-cari alasan.
Ito menyentil hidung
adiknya. “Ini libur semesteran. Kamu juga nggak punya pacar, memangnya mau
sibuk apa? Daripada kesana kemari dengan teman-temanmu hanya menghasilkan
gosip, mending bantuin aku. Nanti kalau skripsiku beres dan novelku
diterbitkan, ada bonus untukmu.” Ito tersenyum optimis.
“Semangat betul untuk
bikin novel lagi. Yakin kali ini bisa diselesaikan tulisannya? Yang kemaren
menulis tentang alien itu apa kabarnya? Terus yang tentang mesin waktu?” sindir
Enggar. Sudut bibir Ito terangkat sebelah, raut mukanya terlihat jengkel. “Makanya
fokus saja dulu menyelesaikan skripsi, Mas. Menulis fiksinya nanti aja kalau sudah
beres skripsinya. Deadline dari ayah
tinggal satu semester lagi lho,” Enggar memperingatkan.
“Berisik ah!” Ito
menarik ujung hidung adik perempuannya lagi. “Kamu juga dikasih deadline ngenalin pacar, mana sampai
sekarang belum ada. Cowok sebanyak itu di kampus apa nggak ada yang nyangkut salah satu?”
“Nggak,” jawab Enggar
enteng. Sebenarnya sudah ada beberapa cowok yang menyatakan suka, tapi belum
ada yang mampu menakhlukkan hatinya.
“Mau nggak kujodohin
sama Mas Bara, seniorku yang nanti mau kita temui? Kayaknya dia masih jomblo
juga. Keasyikan berkutat penelitian bidang arkeologi, sampai lupa nyari pacar.”
“Dijodohin sama Indiana
Jones? Tidak, terima kasih deh. Cukup Mas Ito saja di keluarga kita yang
antik,” tukas Enggar seenaknya.
“Manusia itu harus
menghargai sejarah agar bisa memetik pelajaran tentang peradaban. Jaman boleh
berlalu, tapi esensi kehidupan itu tetap sama dari waktu ke waktu. Sifat
manusia pada dasarnya sama dari masa ke masa.” Ito sok bijak.
Enggar menghela napas
panjang. “Hadeh, Mas, sudah cukup aku disuruh bantuin Mas terlibat dengan
proyek sejarah ini, nggak perlu Mas tambahin dengan ceramah. Bisa vertigo aku
nanti,” seloroh Enggar. “Sekarang bagaimana kalau kita berpencar saja. Kita
ketemu nanti jam satu di kantin museum sama senior Mas Ito sekalian. Bagaimana?
Sepakat?” tawar Enggar.
Ito berpikir sejenak.
Ada baiknya juga dia konsentrasi cari bahan untuk menulis daripada mendengar
adiknya menggerutu seperti dengungan lebah di dekatnya. “Oke. Tapi kamu jangan
lupa dengan tugasmu untuk mendokumentasikan apa saja yang berkaitan dengan
Majapahit. Jangan hanya mojok terus browsing
atau update sosial media ya. Mumpung
di museum ini, manfaatkan sumber pengetahuan ini dengan sebaik-baiknya. Oke?”
“Ya, ya, ya, sudah
sana.” Enggar mendorong kakaknya pergi. Setelah memastikan Ito tidak kelihatan,
dia melakukan persis apa yang diperingatkan Ito tadi. Mojok, browsing internet dan update sosial media.
Serombongan turis asing
melewati Enggar. Sang pemandu wisata bersemangat menceritakan sejarah dari
benda-benda yang mereka lewati, sementara turis-turis asing itu
manggut-manggut, hikmat mendengarkan. Sejenak Enggar tak enak hati. Orang luar
negeri saja begitu antusias dengan kebudayaan Indonesia, dia yang asli lokal
malah cuek saja.
Dengan enggan Enggar
berdiri dari duduknya. Demi membayar pinjaman uang kakaknya untuk beli tiket
pertunjukan musik K-Pop beberapa waktu lalu, dia harus memenuhi janjinya
membantu proyek kakaknya. Dimulainya tugas itu dari Gedung Arca untuk mulai
melihat dan mencatat benda-benda yang berkaitan dengan Majapahit.
Baru sekitar tiga puluh
menit berada di lantai dua, ponsel Enggar berbunyi. Dari Ito. Di-reject-nya panggilan masuk itu, dia
sedang sibuk mengambil gambar, tapi lagi-lagi Ito menelepon. “Halo, Mas, apa?
Gempa apa, nggak ada. Nggak ada. Aku nggak ngerasain getaran apa-apa.” Enggar
berjalan ke arah tangga menuju lantai ketiga. Lagi-lagi ponselnya berbunyi. Saat
dijawabnya panggilan itu, terdengar Ito memintanya segera turun. Dengan kesal
Enggar menuruni tangga untuk kembali ke Gedung Gajah tempat kakaknya beredar.
Baru saja dia dia mau
keluar, langkahnya terganggu oleh gerakan yang mengguncang tubuhnya. Rasa
pusing menyerang dan dunia seolah bergetar.
“Gempa! Gempa!”
Lalu terdengar teriakan
bersahutan dilanjutkan dengan orang-orang yang berlari keluar dari gedung, berebutan.
Hati Enggar mencelos, mulai diserang panik karena melihat benda-benda yang
mulai berjatuhan. Dia harus pandai-pandai berlari menyelamatkan diri tanpa
terluka.
Buggg!
Sesuatu menimpa kepalanya. Lalu semuanya gelap.
***
Samar-samar Enggar
melihat batang-batang kayu berjajar. Lalu dia mendengar suara orang berbicara
di balik batang-batang kayu itu. Mereka bicara dengan bahasa yang kedengarannya
agak asing, tapi anehnya Enggar mengerti. Kalau tidak salah mereka berbahasa
jawa, tapi bukan bahasa jawa yang biasa Enggar dengar.
Matanya masih agak
susah dibuka. Denyutan keras dan berkali-kali di kepalanya membuat Enggar tidak
sanggup bergerak dulu. Sekali lagi Enggar mengamati sekitarnya. Dimana dia
sekarang? Sepertinya dia ada di sebuah kamar.
Kalau menurut ingatan terakhirnya
dia berada di Museum Nasional, sedang lari keluar dari gedung untuk
menyelamatkan diri dari gempa bumi, lalu sesuatu menimpa kepalanya. Jadi
seumpama dia tersadar, seharusnya ada di rumah sakit atau di puskesmas, atau
setidaknya mobil ambulance.
Tapi ini sepertinya di
kamar di sebuah gubuk atau pondok.
“Puteri sudah sadar
lagi.”
Tiba-tiba ada seraut
wajah muncul di muka Enggar. Giginya banyak, berantakan dan berebutan ingin
keluar. Sumpah Enggar kaget banget. Di film horor yang sering dia liat, ada
banyak penampakan yang mengerikan, tapi yang satu ini benar-benar bikin copot
jantung.
Enggar hendak membaca
ayat kursi keras-keras, tapi tidak ada suara yang keluar karena ternyata
mulutnya ditutup dengan kain. Makin paniklah dia. Apalagi tangan dan kakinya
terikat. Gadis itu meronta-ronta kalap sementara manusia bergigi banyak itu
mengulurkan tangan ke arahnya. Enggar menjerit sekuat tenaga dan seketika dunia
menjadi gulita.
***
1 comment:
I am baaackk.. blog-walking-ing...hahaha *meaning, I have some serious stuffs I have to do, but I don't want to do it until I am forced to do it....
.
.
.
.
How's life?
Post a Comment