Singo Abang
mondar-mandir di halaman klinik. Sesekali dia melihat ke arah pintu gerbang,
menanti kedatangan Haryo dan Enggar. Sudah sore begini belum muncul juga.
Jambul Abang
mondar-mandir tak jauh dari Singo Abang. Sengaja atau tidak sepertinya monyet menirukannya.
Orang-orang di pendopo klinik saling berbisik dan tersenyum melihat kedua
makluk itu.
“Apa kamu liat-liat?”
bentak Singo Abang pada si monyet yang mulai membuatnya senewen. “Tidak tahu
apa orang sedang pusing?”
“Nakmas Barata.” Pak
Susatra memanggil Singo Abang. “Mbah So sudah tiba. Mari saya antar
menemuinya.”
“Beliau sudah datang?”
Singo Abang ragu sesaat, mau menunggu Enggar pulang dulu atau menemui Mpu Soma.
Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Pak Susatra ke belakang.
Mereka berjalan
melewati semua kompleks bangunan, menuju ke hutan kecil setelah kebun buah. Di
hutan kecil itu ada sebuah pondok yang sering dipakai Mpu Soma untuk menyendiri
bila sedang tidak ingin diganggu oleh kegiatan di kediamannya. Biasanya juga
beliau meracik obat-obat baru di situ. Pak Susatra meninggalkan Singo Abang
setelah mempersilahkannya masuk.
Hal pertama yang dilihat
oleh Singo Abang begitu memasuki pondok adalah sebuah meja besar berukuran
hampir dua setengah meter kali satu setengah meter yang ada di tengah ruangan.
Di atas meja itu ada berbagai macam botol, cawan, mangkok, kendi, guci dari
keramik, perak maupun dari gerabah. Benda-benda gerabah dari tanah liat
didapatkan dari sekitar sini saja, dibuat sendiri oleh beberapa penduduk desa,
sedangkan benda-benda dari keramik dibeli dari pedagang dari Cina di kota.
Singo Abang melihat
keranjang-keranjang kecil berisi berbagai macam biji-bijian, daun-daunan, kulit
dan akar kering. Ada juga beberapa macam serbuk berwarna yang ditempatkan di
wadah seperti toples. Semua tertata rapi.
Di dinding sebelah
kanan meja terdapat rak-rak berisi lembaran-lembaran daun kajang yang disusun
sedemikian rupa. Daun kajang merupakan media untuk menulis, seperti halnya
kertas. Hanya saja menulisnya tidak menggunakan tinta tapi dengan pisau tajam
sebagai pena. Jadi rak itu berfungsi sebagai rak buku. Selain daun kajang, ada
juga lembaran kulit hewan yang digulung, yang juga digunakan untuk media
menulis atau menggambar.
Ada beberapa alat yang
diletakkan di sisi kiri meja. Sebagian besar terbuat dari logam, berupa
penjepit, pisau, gunting, kaki untuk meletakkan wadah, penyaring, sesuatu berbentuk
seperti penggorengan dan peralatan lain. Beberapa lampu minyak ada di meja itu
pula.
“Sudah berapa tahun
kamu tidak main ke sini, Barata? Kupikir kamu sudah lupa menengok orang tua
ini.” Seseorang keluar dari ruangan di belakang ruang kerja itu. Singo Abang
langsung mendekati orang tersebut dan memeluknya erat seperti cucu kepada
kakeknya yang sudah lama tidak bertemu.
Mpu Soma masih seperti
dulu meskipun rambutnya sekarang benar-benar putih semua. Rambutnya panjang
sebahu diikat dengan rapi dan jenggotnya bahkan lebih panjang. Ikat kepala yang
digunakan juga berwarna putih, sebagaimana pakainannya.
“Mpu Soma sehat?”
“Ya, beginilah. Harus
sering jalan-jalan ke gunung biar tetap segar. Bagaimana keadaanmu? Masih belum
selesai menghadapi badaimu?” tanya Mpu Soma dengan senyum penuh arti. “Ketika
kamu memutuskan untuk keluar dari rumah, aku senang. Meski mungkin sebelumnya
tujuanmu untuk melupakan sesuatu, tapi banyak hal terjadi di luar, yang aku
yakin sedikit demi sedikit telah mengubahmu. Kalau tidak, kamu tidak akan
berada disini.” Mpu Soma mengeluarkan sebuah tas yang terbuat dari kulit
kambing. Di dalamnya ada berbagai macam dedaunan, akar, buah, bunga, kulit
pohon, getah, bahkan tanah.
“Mpu, saya membutuhkan
bantuan Mpu.”
“Hahaha. Kamu masih
seperti dulu, tidak pakai basa-basi. Kalau begitu kita jalan-jalan dulu
sebentar di sekitar sini, sambil mencari madu. Ayo.”
Mpu Soma mengajak Singo
Abang keluar dari pondok dan mereka berjalan di hutan itu. Sambil jalan Singo
Abang menceritakan tentang kejadian di Mertabumi, keadaan Puteri Anggoro dan
“munculnya” Enggar dari negeri antah berantah. Mpu Soma mendengarkan dengan
penuh perhatian.
“Jadi, bagaimana
menurut Mpu?” tanya Singo Abang.
“Menurutku, kamu harus
membantuku mengambilkan madu di atas pohon itu. Cukup berbahaya, tapi itu madu
terbaik. Hati-hati dengan sengatan lebahnya. Aku tunggu di sini. Naiklah ke
atas sana.”
Kita tinggalkan dulu Singo
Abang dengan tugasnya. Di depan sana, tampak dua orang memasuki gerbang. Haryo
dan Enggar. Mereka tadi keluar tanpa membawa kuda, karena kuda Haryo menolak
siapapun kecuali si empunya. Dan Enggar belum bisa naik kuda sendiri.
Jambul Abang menyambut.
Tatapan matanya mengarah ke Enggar, begitu menurut perasaan Enggar. Setiap
Enggar melangkah maju, si Jambul juga begitu. Enggar ke kanan, dia menghadang.
Enggar ke kiri, dia menghalangi.
“Hush...sana! Jauh-jauh
sana!” Enggar mengusir-usir Jambul Abang, tapi si monyet cuek saja. “Kenapa sih
sama si Jambul nih? Naksir aku ya? Sori, aku sudah ada yang punya tuh!” seru Enggar.
“Siapa?” tanya Haryo.
“Siapa apanya?” tanya
Enggar. Tadi dia hanya asal bicara.
“Kekasihmu. Katamu kamu
sudah ada yang punya.”
Enggar menoleh. “Mas
Haryo, usirin Jambul dong. Dia mau menggigitku deh kayaknya.” Enggar tidak mau
menjawab.
“Ayo, kukawal.” Haryo
mengulurkan tangan, menanti sambutan Enggar.
“Pangeran Haryo.” Pak
Susatra keluar dari klinik dan menghampiri mereka. Jambul Abang menyingkir
begitu Pak Susatra datang. “Mbah So sudah turun dari gunung. Saat ini Nakmas
Barata sedang menemuinya.”
“Sudah datang? Betul?
Asyik. Aku bisa pulang dong. Di mana, Pak, mereka?” Enggar kelihatan
bersemangat sekali mendengar berita yang disampaikan Pak Susatra. Mpu Soma
sudah ada, berarti ada cara dia bisa kembali ke masa depan. “Di belakang ya?”
Enggar berlari meninggalkan Haryo begitu Pak Susatra menunjuk arah
belakang.
Dalam perjalanan menuju
hutan, Enggar melihat ada dua orang berjalan melewati bengkel kerja. Yang satu
berbaju putih, satunya lagi berbaju hitam. Si baju putih tampak terang
benderang karena dari ujung rambut ke ujung kaki putih semua. Bersih bersinar
deh. Sedangkan si baju hitam tampak aneh, mukanya bentol besar di beberapa
tempat. Tangannya juga. Merah ranum siap dipetik.
Mpu Soma memperlambat
jalannya ketika Enggar mendekat. Enggar menghentikan langkahnya saat melihat muka
Singo Abang yang jadi abstrak.
“Eh, kenapa, Bang,
bengkak-bengkak begitu, habis disengat tawon?” tanya Enggar, mengitari Singo
Abang dengan sedikit takjub. Sebanyak itu bentolnya.
“Bertanya apa memastikan?”
jawab Singo Abang. Enggar terkekeh, tapi segera terdiam karena wajah Singo
Abang jadi galak. “Dia yang aku bilang, Mpu. Namanya Enggar.” Singo Abang
memperkenalkan Enggar pada Mpu Soma.
Enggar mengulurkan
tangan, mengajak salaman. Mpu Soma menyambutnya. Ini nggak lazim, tapi mungkin
itu cara orang di masa depan menyampaikan salam.
“Selamat datang di
Majapahit,” kata Mpu Soma. Wajahnya yang damai membuat Enggar merasa untuk
pertama kalinya tidak merasa asing. “Sudah kutunggu kedatanganmu.”
“Oh ya? Sanip cerita
apa saja sama Mpu?” tanya Enggar.
“Aku sudah menunggumu
jauh sebelum Sanip kesini,” kata Mpu Soma penuh arti. Enggar nyengir tidak
mengerti. “Sedikit berbeda dari dugaanku, tapi ini memang kamu, Enggar. Hm, matahari
sudah hampir tenggelam. Kalian kembalilah dulu ke pondok masing-masing. Nanti
malam kita bertemu di pondokku.” Mpu Soma menepuk punggung Singo Abang. Itu
cowok mendesis. Yang ditepuk itu salah satu luka sengatannya.
Mpu Soma menganggukan
kepala ketika Haryo datang memberi salam. Mereka hanya saling menyapa kemudian
berpisah. Haryo hendak mendatangi Singo Abang, tapi orangnya keburu pergi
diikuti Enggar.
“Apa yang terjadi
padamu, Bar?” tanya Haryo. Dia menyusul Singo Abang dan Enggar. Singo Abang
diam saja. “Kenapa, kamu marah padaku? Karena membawa Enggar seharian?”
Singo Abang berhenti
mendadak, membuat Enggar yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.
“Aduh.” Singo Abang
berbalik. “Jangan menambah kejengkelanku ya. Bentol ini sudah cukup
menyebalkan, kamu lagi nambah perkara,” ujarnya.
“Memangnya apa
salahku?” tanya Enggar bingung.
“Aku yang membawa
Enggar, kamu jangan menyalahkannya. Marah saja padaku,” kata Haryo sebelum
Enggar disemprot sama Singo Abang.
“Kamu di sini untuk
bersembunyi, untuk mengamankan diri, bukannya plesir jalan-jalan kesana kemari.
Mata-mata Sukmo sudah menyebar, juga orang-orang Cakrawaja. Kamu mau mereka
mengetahui keberadaanmu? Kalau hanya latihan pedang-pedangan, nggak perlu
sampai ke desa. Di sini juga bisa. Kalau hanya mau makan ikan bakar, di
belakang juga ada. Mengerti?” Singo Abang melipat kedua tangannya di dada.
Kata-katanya serius, apalagi dengan kernyit kesakitan seperti itu. Enggar hanya
bisa menelan ludah.
“Hei, aku sudah bilang
jangan menyalahkannya,” bela Haryo. Singo Abang sama sekali tidak mempedulikan
Haryo, matanya hanya menatap Enggar saja. “Aku hanya ingin Enggar sedikit lebih
nyaman. Ini tempat asing...”
“Ini tempat asing, jadi
kamu harus lebih berhati-hati. Kamu kesini bukan untuk liburan,” potong Singo
Abang. Enggar menggangguk. “Lain kali kalau mau kemana-mana, bilang padaku. Aku
yang tentukan kamu boleh pergi atau tidak. Kamu itu tanggung jawabku. Mengerti?”
“Bar, aku juga peduli
akan keselamatannya.” Haryo maju lagi.
“Kembali ke pondokmu,”
perintah Singo Abang pada Enggar.
“Kau mau ke klinik ya,
Bang? Ikut dong,” kata Enggar, berniat menjelaskan yang dilakukannya tadi. Rasanya
tidak enak merasakan kemarahan Singo Abang.
“Tidak dengar barusan
aku bilang apa?” Singo Abang menahan geram.
“Tanganku agak melepuh setelah
latihan seharian, aku mau diobati juga. Mas Haryo, aku ke klinik dulu sama Bang
Singo ya. Dadah.” Enggar berjalan mendahului Singo Abang. Ketika dia menoleh ke
belakang dan melihat Singo Abang berjalan lambat, Enggar menggerakkan
tangannya, menyuruh laki-laki itu menambah kecepatan.
Haryo berkacak pinggang
sambil menggelengkan kepala. Sepertinya tidak akan semudah itu membawa Enggar
pergi dari Singo Abang. Tapi justru ini akan lebih seru.
“Sori, Bang. Maaf deh
kalo Bang Singo marah. Sudah dong jangan monyong begitu, tambah abstrak
mukanya. Aku kan ngikutin nasehat Abang untuk mulai berlatih pedang dan membela
diri. Aku tahu aku nggak boleh sembarangan pergi, tapi kan aku nggak sendiri.
Lagian tadi latihannya di tempat yang sepi kok, nggak menarik perhatian. Eh, tunggu
dulu. Kok Abang tau sih kami latihan pedang, makan ikan bakar? Bang Singo emang
tadi nyusul kesana? Di sebelah mana, kok aku nggak ngeliat?”
Dunia milik berdua
begitu mana bisa liat yang lain, batin Singo Abang. Kalau Enggar ada di istana
dia yakin gadis itu pasti bergabung menjadi anggota kelompok pemuja Haryo. Singo
Abang mempercepat jalannya, membuat Enggar harus berlari untuk mengejar. Tapi
langkah Enggar terhenti karena ada Jambul Abang di halaman pendopo.
“Mbul, kekasihmu datang,” kata Singo Abang pada
Jambul Abang. Dia naik di pendopo, sementara Enggar membatu di halaman. Jambul
Abang sudah mengunci jalannya.
Enggar menyeringai pada
Singo Abang, tapi laki-laki itu pura-pura tidak ngeliat. “Jambul, kita gencatan
senjata dulu ya. Peace deh, peace.” Enggar angkat kaki perlahan.
Jambul Abang tiba-tiba
menerjang. Enggar berteriak sambil menutup mukanya. Pasrah lah kalau nasibnya
harus dimakan monyet.
Lho, kok tidak terasa
ada cakaran atau gigitan di tubuhnya. Enggar membuka jari-jari tangannya dan
melihat ada seseorang berdiri di depannya. Dilihatnya ke arah bawah, Jambul
Abang terkulai di tanah. Masih hidup, tapi tampak lemas. Jangan-jangan Singo
Abang menotoknya.
“Lagi-lagi menutup mata
setiap ada yang menyerang. Kamu tidak belajar dari pengalaman. Kalau kamu tidak
membuka mata, mana bisa tahu dari arah mana dan kapan serangan akan datang?
Kecuali kalau indra pendengaranmu sudah terlatih. Diserang dengan pedang,
merem. Diserbu monyet, merem juga. Mana hasil latihanmu seharian?” Singo Abang
menurunkan kedua tangan Enggar dari mukanya. “Cepat ke pendopo, aku akan
membebaskannya.”
Tanpa dibilangin dua
kali Enggar lari ke pendopo. Singo Abang melepaskan totokannya dan monyet itu
langsung bergerak-gerak, berlari menjauh.
“Kenapa aku saja sih
yang diincarnya?” tanya Enggar setelah Singo Abang menyusul ke pendopo.
“Dia mungkin merasakan
ada yang tidak semestinya pada Den Enggar,” kata Pak Susatra yang sudah ada di
sebelah Enggar. “Jambul Abang ini monyet betina, tidak begitu suka dengan
keberadaan perempuan muda. Tapi Den Enggar kan laki-laki ya. Saya juga bingung.”
“Pak, bisa minta tolong
aku diberi obat untuk luka sengatan ini, lama-lama makin perih.” Singo Abang
mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Pak Susatra penasaran dengan Enggar
karena semakin sedikit yang tahu Enggar semakin baik.
Singo Abang mendapatkan
perawatan dari Pak Susatra sementara Enggar menungguinya. Tangannya diobati
kemudian.
“Masih marah kah, Bang?”
tanya Enggar saat mereka meninggalkan klinik. “Iya deh, aku janji kalau
kemana-mana bilang dulu sama Abang. Tadi itu spontan saja perginya. Di desa ini
keadaannya tenang banget, damai, jadi aku nggak kepikiran ada orang-orang jahat
yang mengincarku. Lagian ada Mas Haryo.”
“Kamu baru mengenalnya,
tapi sudah begitu dekat dengannya.” Terdengar nada protes dari suara Singo
Abang.
“Lho, dia kan teman
Abang. Dia juga pernah menyelamatkanku. Wajar lah.”
“Ketika baru
mengenalku, kamu mati-matian berusaha melarikan diri dariku. Sikapmu berbeda
sekali dengan saat bertemu Haryo pertama kali. Apa karena si Haryo bertampang
lelaki baik hati, bersih, rapi dan tampan, sedangkan tampangku yang seperti
perampok, beruang. Apa lagi julukan yang kamu berikan untukku? Pembantu?
Pengangguran?” Singo Abang mencoba mengingat-ingat daftar yang pernah diucapkan
Enggar.
“Ampun...ampun..”
Enggar mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala. “Maaf, Bang, maaf.
Bercanda itu. Nggak serius. Waktu itu aku mau lari dari Abang karena masih
syok. Terlempar ke jaman ini bikin depresi. Apalagi ketemu sama Abang yang
tampangnya...” Enggar segera menutup mulut.
“Jadi kalau wajahku
bersih, bajuku rapi, senyumku ramah seperti Haryo kamu tidak akan lari?” tanya
Singo Abang, penasaran.
“Nah, ngomongin senyum,
kenapa sih Bang Singo nggak pernah senyum?”
“Jawab dulu. Apa kalau
aku seganteng Haryo kamu tidak akan lari?”
***
No comments:
Post a Comment