Hari sudah malam saat mereka
tiba di Mertabumi. Perjalanan dua hari dengan hanya sedikit istirahat membuat
semua orang lelah. Enggar yang tidak bicara sama sekali setelah tertangkap
lagi, tampak kusut. Dia marah dan benci dengan Haryo. Orang itu tenyata
bersekongkol dengan Cakrawaja untuk membawanya kembali ke Mertabumi.
Enggar dibawa ke sebuah
rumah yang agak terpisah dengan rumah-rumah yang lain. Dia dikurung di kamar
dengan penjagaan ketat.
“Kamu akan baik-baik di
sini. Jangan melarikan diri karena sangat berbahaya. Aku akan segera kembali,”
bisik Haryo padanya sebelum pergi bersama Cakrawaja. Enggar melengos, sama
sekali tidak mau menatap mata Haryo. “Tidak seorangpun boleh mengganggunya,
mengerti?” kata dia pada para penjaga di situ.
Enggar mengelilingi
ruangan yang hanya berisikan satu balai-balai, satu meja dan satu kursi itu.
Dia benar-benar seperti dalam penjara. Tidak ada jendela di sini. Hanya ada
satu pintu untuk keluar. Tidak ada sendok untuk menggali. Hanya ada kendi
berisi air dan piring berisi makanan di
atas meja.
Gadis itu duduk di
kursi, mengamati makanan di meja. Dia sudah lapar, tapi ragu mau mengganyang
makanan itu. Siapa tahu beracun. Meski ditahannya, tangannya terulur menyentuh
makanan itu. Dibukanya bungkus dari daun pisang itu, kemudian disentuhnya isi di
dalamnya dengan jari telunjuk. Perlahan dijilatnya jari telunjuknya. Tidak
berasa aneh. Diendusnya beberapa kali, kemudian dijilat lagi. Enggar menunggu
reaksi. Setelah agak yakin makanan itu tidak diberi racun, dia memakannya.
Makanan di piring ludes
dalam waktu cepat dan setelahnya Enggar hanya bisa bersandar di kursi
kekenyangan. Lalu terasa reaksi yang aneh. Tubuh Enggar terguling dari atas
kursi dan tertelungkup di tanah. Nyenyak.
Di luar rumah tahanan
itu, Cakrawaja dan Haryo sedang berjalan menuju ke rumah Tumenggung Sukmo yang
ada di pusat Mertabumi, sekitar dua kilometer dari tempat mereka sekarang.
“Kau yakin dia tidak
akan kabur?” tanya Cakrawaja.
“Dia sudah makan obat
tidurnya. Satu piring dihabiskannya, dia akan bangun besok malam. Itu akan menghemat
energi kita untuk tidak menguatirkannya,” ujar Haryo, menghela napas panjang.
“Kita tidak
mengkuatirkannya atau kau tidak
mengkuatirkannya?” tanya Cakrawaja dengan seringai aneh.
Haryo meliriknya. “Apa
maksudmu?”
“Kupikir kau tidak
pernah peduli dengan gadis manapun. Kau sudah berubah sekarang karena dia?
Hahaha. Kau memilih gadis yang salah, Haryo. Puteri Anggoro adalah kekasih
Pangeran Palawa dan dia akan kembali dari negeri seberang beberapa minggu
lagi.” Cakrawaja tampak senang.
“Cakrawaja, ingat
tujuan kita semula. Kamu akan dapat nama baik dan orang tuamu akan
mengembalikanmu ke daftar penerima warisan kalau kita bisa mengungkap misteri
pembunuhan Sukmana. Jadi, jangan merusaknya dengan mengusik urusan pribadiku
atau kubawa Eng...Anggoro pergi dan kamu tidak mendapat apa-apa.”
Cakrawaja tersenyum
sinis. Biarkan saja Haryo berpikir dia melakukannya untuk mendapatkan nama
baik. Haryo tidak tahu kalau Cakrawaja punya rencana lain. Sekali tepuk dua
nyamuk mati.
***
Mereka bertiga duduk
semeja. Dalam suasana formal, biasanya Tumenggung Sukmo akan berada di meja
lain karena kedudukan kedua orang di hadapannya lebih tinggi darinya. Tapi
untuk malam ini itu bukan masalah.
“Apa yang hamba bisa
bantu, Tuanku? Malam-malam begini Tuanku berdua datang ke rumah hamba pasti ada
hal yang penting,” kata Tumenggung Sukmo kepada Cakrawaja dan Haryo.
“Maaf mengganggu
tidurmu, Tumenggung Sukmo. Kami kebetulan saja lewat dan mampir. Sebenarnya
besok pagi kami ingin kesini, tapi nampaknya semakin cepat semakin baik. Istana
ingin mengetahui bagaimana kelanjutan dari kasus Puteri Anggoro,” kata Haryo.
Tumenggung Sukmo
mendongakkan wajah. “Maksud, Tuanku? Kasus itu sudah selesai, tidak ada
kelanjutan. Puteri Anggoro sempat melarikan diri saat hendak dihukum mati, tapi
dia sudah diketemukan.”
“Dalam keadaan
terbakar?” sahut Cakrawaja. “Bukannya itu sedikit aneh?”
“Kami tidak tahu apa
yang terjadi padanya, kami hanya menemukannya dalam keadaan seperti itu.
Mungkin dia dan orang yang menolongnya berurusan dengan pihak lain,” kata
Tumenggung Sukmo dengan senyum meyakinkan.
“Bagaimana kau yakin
itu Anggoro, Tumenggung?” Haryo meneguk minuman yang disuguhkan. “Bagaimana
kamu bisa mengenalinya dengan kondisi yang seperti itu?”
“Cincin yang dikenakan.
Ya. Dia mengenakan cincin yang tidak mungkin orang lain punya. Cincin dari
Pangeran Palawa. Puteri Anggoro pernah menceritakan soal cincin itu,” jawab
Tumenggung Sukmo sambil berdehem.
“Kamu menyimpannya?”
lanjut Haryo.
Tumenggung Sukmo
sedikit merubah posisi duduknya. “Tidak, kami menguburnya bersama dengan Puteri
Anggoro.”
“Jayengwangsa sudah
kembali ke Mertabumi?” tanya Haryo. Tumenggung Sukmo menggeleng. “Puteri
Anggoro sudah ditemukan, untuk apa kamu tetap meminta Jayengwangsa meneruskan
pencarian?” kejar Haryo.
Tumenggung Sukmo
menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Hamba menyuruhnya untuk menyelesaikan
tugas lain. Si penculik masih jadi buronan. Dia harus ditangkap untuk bisa
mengorek informasi siapa yang menyuruhnya. Hamba mencurigai penculikan Puteri
Anggoro bermuatan politis.”
Pinter juga nih
Tumenggung ngeles. Cakrawaja hendak bicara, tapi Haryo mencegahnya. “Tumenggung
Sukmo, kami ingin mengajakmu ke suatu tempat, menemui seseorang.”
“Sekarang, Tuanku?”
Tumenggung Sukmo menatap Haryo dan Cakrawaja bergantian. Ajakan Haryo nampaknya
mempunyai maksud lain dari hanya sekedar mengajak pergi. “Boleh saya mengajak
Jayengwira?” Pertanyaannya dijawab anggukan oleh Haryo. Tumenggung Sukmo pamit
ke belakang dan kembali bersama Jayengwira. Mereka berempat pergi dengan kuda
masing-masing, menuju tempat Enggar ditahan.
Mijil sedang keluar
dari rumahnya ketika melihat mereka lewat. Pangeran Haryo ada di Mertabumi
lagi, mencurigakan. Apalagi bersama-sama dengan Tumenggung Sukmo dan Pangeran
Cakrawaja. Mijil diam-diam mengikuti kemana rombongan itu pergi.
Tidak berapa lama
kemudian mereka tiba di rumah paling ujung di Mertabumi. Tumenggung Sukmo dan
Jayengwira saling melihat, menebak-nebak maksud dari dua pangeran itu membawa
mereka ke sana. Haryo dan Cakrawaja turun dari kuda, diikuti Tumenggung Sukmo
dan Jayengwira.
“Kau tahu rumah siapa
ini?” tanya Cakrawaja.
“Ini rumah Ki Waji.
Sudah sebulan kosong. Hamba tidak tahu Tuanku berdua menginap di sini. Kalau
Tuanku berkenan menginap di tempat hamba.”
“Itu tidak penting,”
kata Haryo. “Silahkan masuk.” Haryo mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
Mereka langsung menuju ke sebuah kamar dengan pintu terkunci. Haryo membuka
pintu itu.
Tumenggung Sukmo dan
Jayengwira tersentak ketika melihat sosok gadis yang terbaring di atas
balai-balai, tertidur lelap. Meskipun dandanannya berbeda, tetapi wajahnya amat
mereka kenal.
“Itu...Itu...”
Tumenggung Sukmo kesulitan untuk meneruskan kata-katanya.
“Puteri Anggoro.”
Cakrawaja yang menjawab. “Dia masih hidup.”
Muka keduanya pucat.
Haryo bisa melihat tangan mereka gemetaran. “Bagaimana mungkin Puteri Anggoro
masih hidup?” tanya Tumenggung Sukmo.
“Tumenggung Sukmo, ada
yang mau kamu ceritakan pada kami sebelum kami memberimu banyak pertanyaan?”
tanya Haryo yang mempersilahkan mereka keluar dari kamar itu.
“Jadi siapa yang
meninggal dalam keadaan terbakar itu, Jayengwira? Kau yang menemukannya kan?
Kalau ini Puteri Anggoro, jadi siapa yang kau temukan?” tanya Tumenggung Sukmo
pada Jayengwira.
“Kakang, aku juga tidak
tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin ada dua orang yang sama. Yang terbakar itu
benar-benar Puteri Anggoro. Cincin yang dikenakannya adalah milik Puteri
Anggoro.” Jayengwira nampak kebingunan. “Tuanku, dimana Tuanku menemukan Puteri
Anggoro ini?”
“Tidak penting
bagaimana kami menemukannya. Ada yang tidak beres dengan kasus ini sejak awal.
Aku membawa perintah dari istana untuk menyelidiki ulang kasus pembunuhan
Sukmana. Puteri Anggoro kemungkinan hanya dijebak. Aku akan membawanya ke
istana untuk mendapatkan pengadilan.” Haryo menatap Tumenggung Sukmo tajam.
“Tapi kejadiannya sudah
jelas. Puteri Anggoro membunuh anak hamba.”
“Itu akan kita lihat
lagi, Tumenggung Sukmo. Aku diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan
menyeluruh. Aku akan minta bantuanmu menghadirkan saksi-saksi untuk menemuiku.
Setelah kamu kembali ke rumah, buatlah daftar nama-nama siapa saja yang ada
pada hari pembunuhan itu, serahkan padaku dan aku akan memanggil mereka satu
per satu. Mengerti?” perintah Haryo.
“B..baik, Tuanku.”
Tumenggung Sukmo dan Jayengwira berpamitan pada Haryo dan Cakrawaja. Mereka
pergi dengan keresahan di wajah mereka.
“Kau diberi wewenang
istana untuk menyelidiki ulang kasus ini?” tanya Cakrawaja. “Kenapa tidak
memberitahuku sebelumnya?”
“Sekarang kamu sudah
tahu.” Haryo masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek keadaan Enggar. Sebentar
lagi mungkin dia akan sadar.
Cakrawaja mengepalkan
tangan, kesal pada Haryo Tindakan Haryo memaksanya untuk menemui seseorang agar
rencananya tidak terganggu.
***
Mata Enggar tidak
berkedip menatap Haryo. Bukan dengan pandangan penuh kekaguman seperti
biasanya, tapi pandangan sebal luar biasa. Orang yang selama ini dipikirnya
baik, ternyata punya udang di balik tepung.
“Apa kamu tidak akan
bicara padaku sama sekali? Aku tidak mendengar suaramu dua hari ini. Padahal
biasanya kamu...” Haryo tidak meneruskan kalimatnya karena Enggar melengos.
“Maafkan aku, Enggar, tapi aku harus melakukan ini untuk menyelesaikan tugasku.
Dan itu akan membantumu juga untuk terbebas dari masalah yang sebenarnya memang
tidak ada hubungannya denganmu sebagai Enggar, tapi terkait erat denganmu
sebagai Anggoro. Kehadiranmu di sini akan membongkar apapun yang direncanakan
oleh orang-orang tertentu pada kerajaan Majapahit. Rencana yang tidak baik.”
Haryo mendekat ke
balai-balai tempat Enggar duduk, tapi Enggar menggebrak balai-balai itu. Haryo
nggak jadi mendekat.
“Seharusnya aku
memberitahumu sebelum membawamu kemari. Tapi aku sudah pernah mencoba
mengajakmu kesini kan? Waktu kita makan ikan bakar di sungai?” Haryo tersenyum,
tiba-tiba saja teringat saat Enggar kejebur. “Seperti yang pernah kamu bilang,
membawamu ke istana untuk bertemu Pangeran Palawa dan Hakim Jogoroso akan
percuma saja, karena kamu bukan Puteri Anggoro. Dan tujuan Barata membawamu
menemui Mpu Soma untuk mendapatkan cara kembali ke masa depan juga tidak
membuahkan hasil. Daripada tidak ada hal yang bisa dilakukan, kamu lebih baik
kubawa kemari dan menuntaskan masalah utama yang terkait denganmu sebagai
Anggoro. Aku akan menanyai orang-orang yang ada di tempat kejadian dan
menyelidiki beberapa hal. Kehadiranmu di sini sudah menciptakan riak di danau
yang tenang. Tidak lama lagi suasana akan bergolak. Semakin cepat kasus ini
selesai, semakin baik, karena kamu akan bisa konsentrasi untuk mencari jalan
pulang, tanpa harus dikejar-kejar mereka lagi. Orang-orang yang ingin
mencelakaimu kemungkinan besar akan mendatangimu. Jangan takut, aku menempatkan
beberapa orang kepercayaanku untuk menjagamu di sini, kamu tidak perlu kuatir.”
Kata-kata Haryo sungguh
terdengar manis di telinga Enggar, tapi menyadari dia digunakan sebagai umpan,
Enggar emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan
mendatangi Haryo, lalu meninju dada laki-laki itu. Haryo spontan menghindar,
sehingga tangan Enggar mendarat di dinding. Enggar jongkok sambil meniupi
tangannya agar rasa panasnya berkurang.
“Maaf, aku tidak
sengaja.” Haryo meraih tangan Enggar dan mengelusnya lembut. “Sakit?” tanya
Haryo. Enggar mau menyemprot Haryo dengan banyak kata, tapi mata Haryo
menguncinya. Dia sepertinya sungguh-sungguh kuatir padanya. Sesaat Enggar
meleleh.
Enggar membuka pintu
kamarnya dan mendorong Haryo keluar sebelum dia luluh. Dibantingnya pintu itu
keras-keras saat Haryo sudah berada di luar. Enggar tidak mau berurusan
dengannya.
Gadis itu menuju pojok
ruangan, menempelkan tubuhnya ke dinding. berpikir keras kenapa harus terkirim
ke Majapahit, “menjadi” Puteri Anggoro yang terlibat pembunuhan, terkait dengan
sebuah “rencana” yang dia sama sekali tidak tahu.
Enggar membalikkan
badan lalu tubuhnya melorot hingga jongkok. Mau menangis, tapi air matanya
tidak keluar. Sudah mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan terisak-isak
palsu, masih saja tidak berhasil.
Rencana pada Majapahit.
Rencana yang tidak baik. Rencana apa? Singo Abang pernah menyebut hal itu juga,
jadi kemungkinan besar memang ada sebuah rencana. Enggar mengerutkan dahi,
mengingat-ingat apa yang sudah diketahuinya tentang sejarah Majapahit yang
terhubung dengan nama-nama seperti Anggoro, Sukmo, Cakrawaja, Jayengwira dan
sebagainya. Tidak, dia tidak tahu.
Pemberontakan
Ranggalawe, Sora, Nambi, Ra Kuti, Enggar menduga-duga kemungkinan yang disebut
rencana itu adalah rencana pemberontakan. Tapi pemberontakan yang dipikirkannya
sudah terjadi.
Suara guntur
menggelegar, mengagetkan Enggar. Dia buru-buru bangun dan naik ke atas
balai-balai. Udara dingin menyelusup masuk. Enggar duduk memeluk kakinya. Pintu
ruangan itu terbuka. Haryo datang membawa selimut. Dia tahu Enggar masih marah,
jadi Haryo hanya meletakkan selimut itu di balai-balai, lalu pergi lagi. Enggar
mengambil kain tebal itu dan membungkus dirinya.
Sesuatu terjatuh di
samping Enggar. Sebuah keris kecil, kemungkinan diselipkan di lipatan kain.
Enggar mengambilnya. Apa Haryo sengaja memberikan padanya untuk melindungi
diri? Enggar memandang pintu dan keris kecil itu bergantian. Dia akan
menyimpannya.
Kantuk tidak memberi
kesempatan pada Enggar untuk meneruskan usahanya mencari jawaban. Dia terlelap,
tepat saat seseorang meniupkan asap dari bambu kecil yang diselipkan ke lubang
dinding.
***
No comments:
Post a Comment