Wednesday, November 16, 2016

Gandrung #10

Jandul, Bogar dan Sanip ada di pondok Singo Abang. Mereka sedang di-briefing oleh Singo Abang. Barusan tadi ada pesan dari Mijil tentang kondisi terakhir di Mertabumi. Tersiar berita Puteri Anggoro telah ditangkap dan dibunuh, lebih tepatnya dibakar. Anehnya Tumenggung Sukmo tidak menarik Jayengwangsa dari pencarian Puteri Anggoro dan bahkan mengirimkan pasukan bayangan untuk memburu Singo Abang dan Puteri Anggoro.
Sementara ini Singo Abang dan Enggar akan aman berada di desa Ketanggung, tapi mereka juga tidak bisa lama-lama di situ. Siapa pembunuh Raden Sukmana dan misteri di baliknya harus segera diungkap.
Di istana keadaan juga sedang bergejolak. Ada gelagat beberapa daerah tidak mau menurut kebijakan kerajaan. Mereka keberatan atas kenaikan upeti yang ditetapkan kerajaan. Sanip, Bogar dan Jandul akan dikirim ke kotaraja untuk mengumpulkan informasi. Mereka akan berangkat besok pagi.
Setelah briefing selesai, mereka dibubarkan. Singo Abang keluar dari pondok untuk mencari Enggar, mau melanjutkan untuk memberi pelajaran menggunakan pedang dan jurus-jurus dasar.
Di sekitar sekolah tidak ada, di klinik tidak ada, di kebun tidak ada. Singo Abang sampai ke bengkel kerja tapi tidak juga ada tanda keberadaan Enggar.
“Mencari siapa, Nakmas?” tanya Pak Susatra.
“Enggar, Pak.”
“Den Enggar pergi dengan Pangeran Haryo ke desa,” jawab Pak Susastra.
“Apa? Terima kasih, Pak Susatra.” Singo Abang bergegas pergi ke kandang kuda. “Mau apa Haryo membawa Enggar keluar dari sini?” Setelah mendapatkan kudanya, Singo Abang pergi dari kediaman Mpu Soma dan turun ke desa.
Sementara itu di pinggir desa, di sebuah tanah kosong yang dibatasi rumpun bambu, ada  dua orang yang sedang berhadapan dengan tongkat kayu sepanjang pedang di tangan masing-masing. Sudah sejak tadi mereka berlatih beberapa gerakan. Berkali kali salah seorang di antaranya kehilangan tongkat kayu karena terlepas kena pukulan tongkat kayu yang lain.
“Waspada, Enggar, kuncinya adalah waspada. Jangan menutup matamu kalau ada serangan datang. Dengarkan suara di sekitarmu. Jangan kaku, tubuhmu harus dalam keadaan santai, tapi tetap siaga. Perhatikan kuda-kuda. Tanpa kuda-kuda yang kuat, kamu akan goyah.” Haryo menyerang Enggar sesekali sambil memberi arahan. “Kamu sudah lebih baik. Awas! Bagus. Gerakan yang bagus.” Sesekali juga Haryo memuji, membuat Enggar tetap semangat.
Pagi hari mereka sudah belajar beberapa jurus tangan kosong, siangnya Enggar minta dilatih menggunakan pedang dari kayu.
“Baik, kita istirahat dulu.” Haryo meletakkan dua pedang kayu di bawah rumpun bambu setelah dua jam mereka berlatih. Lalu dia mengulurkan sebuah kain semacam sapu tangan dari sutera hijau untuk Enggar menyeka keringat.
Enggar menghela napas lega. “Nggak ada camilan penambah tenaga?”
“Ayo kita cari ikan di sungai.”
Di balik rumpun bambu itu ada sungai. Tidak perlu pakai komando, Enggar sudah duluan menuju sungai. Habis latihan kayaknya segar banget merendam kaki di sana. Sementara Enggar ngadem, Haryo mencari dahan yang agak panjang kemudian dibuat runcing ujungnya, seperti tombak, untuk berburu ikan.
“Kenapa pangeran sepertimu tidak tinggal di istana, malah keluyuran sampai kesini? Emangnya pangeran tidak punya kerjaan?” tanya Enggar. “Sudah kebanyakan duit ya?” Enggar mengulurkan sapu tangan. Haryo menolak, dia menunjukkan sapu tangan lain miliknya yang berwarna biru. 
“Iya,” jawab Haryo enteng. Dia lalu tertawa. “Aku keluar dari istana untuk mencari Barata. Tidak ada dia istana, suasana jadi membosankan.”
“Memangnya Bang Singo tinggal di istana juga? Jadi pembantu di sana?”
“Hahahaha. Barata tidak pernah ketawa bersamamu?” tanya Haryo dijawab gelengan kepala. “Dia memang tidak normal. Padahal kamu ini lucu sekali.”
“Terima kasih.” Enggar tersipu. “Eh, tapi kudengar Mas Haryo tidak normal juga. Tidak suka sama perempuan. Bener ya?”
Haryo melemparkan tombak buatannya ke dalam air. Satu ikan gemuk tertancap di ujungnya. “Dapat!” Haryo membawa tombak plus ikannya kepada Enggar. “Aku belum ketemu gadis yang membuatku mabuk kepayang, itu saja.”
“Mabuk kepayang? Macam lagu dangdut saja.” Enggar menggunakan telunjuknya untuk memeriksa ikan di ujung tombak itu masih hidup apa nggak.
“Kita bakar ikannya.” Haryo melompat ke tepi sungai dan mengumpulkan ranting kering. Dikeluarkannya batu api dari sakunya dan dibuatlah api unggun.
Enggar mengambil tombak yang digeletakkan begitu saja di atas bebatuan. Sementara Haryo membersihkan ikan, Enggar mencoba berburu. Tancap sana tancap sini, lempar sono lempar situ, tidak dapat ikan seekorpun. Bahkan yang terakhir melempar tombak, Enggar malah terpeleset dan jatuh ke sungai. Haryo pun melesat untuk menolongnya.
“Betul kata Barata. Kamu memang banyak tingkah. Kamu tidak apa-apa?” Haryo mengangkat tubuh Enggar dan membantunya kembali ke tepi sungai.
“Huk..huk... Minum segentong air rasanya kenyang.” Enggar terbatuk-batuk. Air menetes-netes dari ujung rambutnya. Dalam terpaan sinar matahari dan angin sepoi-sepoi, wajah Enggar terlihat seperti buah apel yang habis disiram.
Haryo tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
“Gosong tuh, gosong.” Enggar menunjuk-nunjuk ikan di panggangan. “Uihii, kayaknya enak nih.”
“Kamu mau bagian kepala?” canda Haryo.
“Enak aja. Yang banyak dagingnya lah. Atau lebih baik yang ini untukku semua, Mas Haryo cari ikan lagi. Gimana?”
Haryo terkekeh. Dia kembali ke sungai untuk berburu ikan lagi. Ikan yang didapatnya sekarang jauh lebih besar. Dengan wajah penuh kemenangan Haryo menyandingkan ikannya dengan ikan milik Enggar.
“Tukeran yuk.” Enggar ngarep.
Mereka makan ikan sambil bercanda. Akrab banget. Tidak menyadari kalau tak jauh dari situ ada seseorang yang mengamati mereka. Orang itu hendak mendekati mereka, tapi ragu. Akhirnya dia pergi meninggalkan tempat itu.
Haryo tersenyum. Dia tahu Barata melihat mereka. Dia sengaja bercanda dengan Enggar untuk melihat reaksinya. Rencana selanjutnya sekarang bisa dijalankan.
“Enggar, kamu tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan Puteri Anggoro?”
“Maksudnya?”
“Kamu pasti sudah mendengar ceritanya dari Barata. Semua orang tahu Puteri dibawa kabur dari penjara saat akan dihukum mati. Tapi apa kamu sudah dengar berita terbaru? Puteri ditemukan di sebuah tempat tak jauh dari Mertabumi, dalam keadaan meninggal. Terbakar.”
“Heh? Kalau Puteri Anggoro sudah meninggal, terus aku siapa dong?”
“Yang meninggal adalah Puteri Anggoro palsu, karena kamulah yang asli. Kamu yang dibawa oleh Barata dari penjara kan?” kata Haryo.
“Iya,” kata Enggar sambil mengangguk. ”Kali,” sambungnya ragu.
“Ada yang terancam bila Puteri Anggoro tetap hidup, makanya sampai menggunakan orang lain untuk dijadikan korban. Sekarang posisi dalang pembunuhan Raden Sukmana aman untuk sementara, selama dia bisa meyakinkan semua orang Puteri Anggoro sudah meninggal. Tapi bagaimana kalau kamu kemudian muncul?” Haryo tersenyum, memancing komentar Enggar.
“Dikirain hantu penasaran membalas dendam?” Kebanyakan nonton film horor kayaknya si Enggar.
Haryo tertawa. “Hampir betul. Ya, mungkin ada yang bereaksi seperti itu. Tapi yang lebih seru lagi, orang-orang yang terlibat pembunuhan Raden Sukmana, akan kebakaran jenggot. Kita bisa memanfaatkan itu untuk mengungkap kebenaran.”
“Maksudnya apa nih?”
“Kita cari dalang pembunuhan Raden Sukmana. Kamu dan aku. Kita ke Mertabumi. Bagaimana?”   

***

No comments: