Jandul, Bogar dan Sanip
ada di pondok Singo Abang. Mereka sedang di-briefing
oleh Singo Abang. Barusan tadi ada pesan dari Mijil tentang kondisi terakhir di
Mertabumi. Tersiar berita Puteri Anggoro telah ditangkap dan dibunuh, lebih
tepatnya dibakar. Anehnya Tumenggung Sukmo tidak menarik Jayengwangsa dari
pencarian Puteri Anggoro dan bahkan mengirimkan pasukan bayangan untuk memburu
Singo Abang dan Puteri Anggoro.
Sementara ini Singo
Abang dan Enggar akan aman berada di desa Ketanggung, tapi mereka juga tidak
bisa lama-lama di situ. Siapa pembunuh Raden Sukmana dan misteri di baliknya
harus segera diungkap.
Di istana keadaan juga
sedang bergejolak. Ada gelagat beberapa daerah tidak mau menurut kebijakan
kerajaan. Mereka keberatan atas kenaikan upeti yang ditetapkan kerajaan. Sanip,
Bogar dan Jandul akan dikirim ke kotaraja untuk mengumpulkan informasi. Mereka
akan berangkat besok pagi.
Setelah briefing selesai, mereka dibubarkan.
Singo Abang keluar dari pondok untuk mencari Enggar, mau melanjutkan untuk
memberi pelajaran menggunakan pedang dan jurus-jurus dasar.
Di sekitar sekolah tidak
ada, di klinik tidak ada, di kebun tidak ada. Singo Abang sampai ke bengkel
kerja tapi tidak juga ada tanda keberadaan Enggar.
“Mencari siapa,
Nakmas?” tanya Pak Susatra.
“Enggar, Pak.”
“Den Enggar pergi
dengan Pangeran Haryo ke desa,” jawab Pak Susastra.
“Apa? Terima kasih, Pak
Susatra.” Singo Abang bergegas pergi ke kandang kuda. “Mau apa Haryo membawa
Enggar keluar dari sini?” Setelah mendapatkan kudanya, Singo Abang pergi dari
kediaman Mpu Soma dan turun ke desa.
Sementara itu di
pinggir desa, di sebuah tanah kosong yang dibatasi rumpun bambu, ada dua orang yang sedang berhadapan dengan
tongkat kayu sepanjang pedang di tangan masing-masing. Sudah sejak tadi mereka
berlatih beberapa gerakan. Berkali kali salah seorang di antaranya kehilangan
tongkat kayu karena terlepas kena pukulan tongkat kayu yang lain.
“Waspada, Enggar,
kuncinya adalah waspada. Jangan menutup matamu kalau ada serangan datang.
Dengarkan suara di sekitarmu. Jangan kaku, tubuhmu harus dalam keadaan santai,
tapi tetap siaga. Perhatikan kuda-kuda. Tanpa kuda-kuda yang kuat, kamu akan
goyah.” Haryo menyerang Enggar sesekali sambil memberi arahan. “Kamu sudah
lebih baik. Awas! Bagus. Gerakan yang bagus.” Sesekali juga Haryo memuji,
membuat Enggar tetap semangat.
Pagi hari mereka sudah
belajar beberapa jurus tangan kosong, siangnya Enggar minta dilatih menggunakan
pedang dari kayu.
“Baik, kita istirahat
dulu.” Haryo meletakkan dua pedang kayu di bawah rumpun bambu setelah dua jam
mereka berlatih. Lalu dia mengulurkan sebuah kain semacam sapu tangan dari
sutera hijau untuk Enggar menyeka keringat.
Enggar menghela napas
lega. “Nggak ada camilan penambah tenaga?”
“Ayo kita cari ikan di
sungai.”
Di balik rumpun bambu
itu ada sungai. Tidak perlu pakai komando, Enggar sudah duluan menuju sungai.
Habis latihan kayaknya segar banget merendam kaki di sana. Sementara Enggar
ngadem, Haryo mencari dahan yang agak panjang kemudian dibuat runcing ujungnya,
seperti tombak, untuk berburu ikan.
“Kenapa pangeran
sepertimu tidak tinggal di istana, malah keluyuran sampai kesini? Emangnya
pangeran tidak punya kerjaan?” tanya Enggar. “Sudah kebanyakan duit ya?” Enggar
mengulurkan sapu tangan. Haryo menolak, dia menunjukkan sapu tangan lain
miliknya yang berwarna biru.
“Iya,” jawab Haryo
enteng. Dia lalu tertawa. “Aku keluar dari istana untuk mencari Barata. Tidak
ada dia istana, suasana jadi membosankan.”
“Memangnya Bang Singo
tinggal di istana juga? Jadi pembantu di sana?”
“Hahahaha. Barata tidak
pernah ketawa bersamamu?” tanya Haryo dijawab gelengan kepala. “Dia memang tidak
normal. Padahal kamu ini lucu sekali.”
“Terima kasih.” Enggar tersipu.
“Eh, tapi kudengar Mas Haryo tidak normal juga. Tidak suka sama perempuan.
Bener ya?”
Haryo melemparkan
tombak buatannya ke dalam air. Satu ikan gemuk tertancap di ujungnya. “Dapat!”
Haryo membawa tombak plus ikannya kepada Enggar. “Aku belum ketemu gadis yang
membuatku mabuk kepayang, itu saja.”
“Mabuk kepayang? Macam
lagu dangdut saja.” Enggar menggunakan telunjuknya untuk memeriksa ikan di
ujung tombak itu masih hidup apa nggak.
“Kita bakar ikannya.”
Haryo melompat ke tepi sungai dan mengumpulkan ranting kering. Dikeluarkannya
batu api dari sakunya dan dibuatlah api unggun.
Enggar mengambil tombak
yang digeletakkan begitu saja di atas bebatuan. Sementara Haryo membersihkan
ikan, Enggar mencoba berburu. Tancap sana tancap sini, lempar sono lempar situ,
tidak dapat ikan seekorpun. Bahkan yang terakhir melempar tombak, Enggar malah
terpeleset dan jatuh ke sungai. Haryo pun melesat untuk menolongnya.
“Betul kata Barata.
Kamu memang banyak tingkah. Kamu tidak apa-apa?” Haryo mengangkat tubuh Enggar
dan membantunya kembali ke tepi sungai.
“Huk..huk... Minum
segentong air rasanya kenyang.” Enggar terbatuk-batuk. Air menetes-netes dari
ujung rambutnya. Dalam terpaan sinar matahari dan angin sepoi-sepoi, wajah
Enggar terlihat seperti buah apel yang habis disiram.
Haryo tidak bisa melepaskan
pandangan darinya.
“Gosong tuh, gosong.”
Enggar menunjuk-nunjuk ikan di panggangan. “Uihii, kayaknya enak nih.”
“Kamu mau bagian
kepala?” canda Haryo.
“Enak aja. Yang banyak
dagingnya lah. Atau lebih baik yang ini untukku semua, Mas Haryo cari ikan
lagi. Gimana?”
Haryo terkekeh. Dia
kembali ke sungai untuk berburu ikan lagi. Ikan yang didapatnya sekarang jauh
lebih besar. Dengan wajah penuh kemenangan Haryo menyandingkan ikannya dengan
ikan milik Enggar.
“Tukeran yuk.” Enggar
ngarep.
Mereka makan ikan
sambil bercanda. Akrab banget. Tidak menyadari kalau tak jauh dari situ ada
seseorang yang mengamati mereka. Orang itu hendak mendekati mereka, tapi ragu.
Akhirnya dia pergi meninggalkan tempat itu.
Haryo tersenyum. Dia
tahu Barata melihat mereka. Dia sengaja bercanda dengan Enggar untuk melihat
reaksinya. Rencana selanjutnya sekarang bisa dijalankan.
“Enggar, kamu tidak
ingin tahu apa yang terjadi dengan Puteri Anggoro?”
“Maksudnya?”
“Kamu pasti sudah
mendengar ceritanya dari Barata. Semua orang tahu Puteri dibawa kabur dari
penjara saat akan dihukum mati. Tapi apa kamu sudah dengar berita terbaru? Puteri
ditemukan di sebuah tempat tak jauh dari Mertabumi, dalam keadaan meninggal. Terbakar.”
“Heh? Kalau Puteri Anggoro
sudah meninggal, terus aku siapa dong?”
“Yang meninggal adalah Puteri
Anggoro palsu, karena kamulah yang asli. Kamu yang dibawa oleh Barata dari
penjara kan?” kata Haryo.
“Iya,” kata Enggar
sambil mengangguk. ”Kali,” sambungnya ragu.
“Ada yang terancam bila
Puteri Anggoro tetap hidup, makanya sampai menggunakan orang lain untuk
dijadikan korban. Sekarang posisi dalang pembunuhan Raden Sukmana aman untuk
sementara, selama dia bisa meyakinkan semua orang Puteri Anggoro sudah
meninggal. Tapi bagaimana kalau kamu kemudian muncul?” Haryo tersenyum,
memancing komentar Enggar.
“Dikirain hantu
penasaran membalas dendam?” Kebanyakan nonton film horor kayaknya si Enggar.
Haryo tertawa. “Hampir
betul. Ya, mungkin ada yang bereaksi seperti itu. Tapi yang lebih seru lagi,
orang-orang yang terlibat pembunuhan Raden Sukmana, akan kebakaran jenggot.
Kita bisa memanfaatkan itu untuk mengungkap kebenaran.”
“Maksudnya apa nih?”
“Kita cari dalang
pembunuhan Raden Sukmana. Kamu dan aku. Kita ke Mertabumi. Bagaimana?”
***
No comments:
Post a Comment