Wednesday, December 21, 2016

Gandrung #12

“Aku ingin bicara berdua saja dengan Enggar,” kata Mpu Soma ketika Singo Abang dan Haryo berdiri dari duduknya. Mpu Soma mengajak Enggar jalan-jalan di malam hari ini.
Udara pegunungan yang dingin memaksa Enggar menyelimuti tubuhnya dengan kain. Mereka berjalan pelan-pelan menuju danau yang berada di belakang petak tanaman obat. Enggar baru tahu di sana ada danau karena tertutup oleh jajaran pepohonan.
Sinar bulan yang mengantung di langit dipantulkan oleh permukaan danau. Airnya yang tenang seperti sebuah cermin raksasa. Bayangan pepohonan di pinggir danau juga nampak di sana. Enggar merasa sedang berada di dunia lain dengan keheningan yang membius itu.
Mpu Soma mempersilahkan Enggar duduk di sebuah batu besar, sementara dia duduk di batu yang berada tak jauh dari Enggar. Orang tua itu memejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam.
“Bagaimana menurutmu tempat ini?”
“Tenang dan indah. Tapi lumayan bikin seram kalau kesini sendirian. Takut tiba-tiba muncul monster dari dalam sana hehehe,” kata Enggar setengah bercanda setengah serius. Enggar menghela napas panjang sebelum bicara lagi. “Maaf, Mpu. Saya tidak tahu Bang Singo sudah cerita apa saja, tapi saya butuh bantuan Mpu untuk pulang ke jaman saya. Saya nggak mungkin berada di sini.”
“Benar. Apalagi dengan pengetahuanmu.”
“Maksudnya?” Enggar tidak mengerti.
“Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit.” Mpu Soma terdiam sejenak, memberi kesempatan pada Enggar untuk memahami arah pembicaraannya. “Kamu tahu itu?”
“Nggak juga...” Enggar nyengir malu.
“Kerajaan ini masih belum kuat. Banyak orang menginginkan apa yang bukan hak mereka. Apa yang seharusnya dilakukan, tidak dilakukan. Apa yang seharusnya tidak dilakukan malah dikerjakan. Semuanya berebut, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.” Mpu Soma memandang ke arah langit.
Enggar merapatkan kain yang menyelimutinya. Pembicaraan tingkat tinggi begini bukan yang diharapkannya. Pikirannya sederhana saja. Dia mau kembali ke masa depan, apa Mpu Soma bisa membantunya?
“Mpu, maaf nih, memotong. Bagaimana saya bisa pulang?”
“Sebelum membicarakan tentang hal itu, aku ingin kamu mengerti dulu posisimu saat ini, karena itu yang akan kamu hadapi nanti. Kedatanganmu bisa membawa kepada dua hal. Kesiapan dan bencana,” kata Mpu Soma, makin serius.
“Bencana? Jangan membuat saya takut, Mpu. Memangnya apa yang bisa saya lalukan sampai menimbulkan bencana?” tanya Enggar masih belum paham.
“Seperti yang kusampaikan tadi. Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit sangat berbahaya. Singo Abang memberitahuku tentang Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Itu salah satu contoh saja. Aku yakin kamu tahu lebih banyak dari sekedar itu.” Mpu Soma menatap Enggar dalam-dalam.
Enggar mengatupkan mulut. Dia memang tahu beberapa hal tentang Majapahit, mulai berdiri hingga keruntuhannya, dari buku dan pelajaran sejarah. Tapi pengetahuan itu  juga belum tentu semuanya benar seratus persen.  “Bagaimana itu bisa menjadi bencana, Mpu?”
“Pengetahuan adalah senjata. Kalau kamu membicarakan pengetahuanmu pada orang yang berambisi untuk berkuasa, mereka akan membuat langkah-langkah untuk memastikan pengetahuanmu sejalan dengan mereka.”
“Saya tidak memberitahu siapa-siapa kok, hanya ke Bang Singo. Hanya tentang Hayam Wuruk jadi raja dan Gajah Mada jadi Mahapatih. Itu saja.”
“Ada beberapa orang yang bisa membaca tanda masa depan, tapi hanya mampu memberi peringatan apa yang akan terjadi dengan Majapahit nantinya. Tetapi kamu, kamu sudah berada di masa depan, dimana segala sesuatu yang menimpa Majapahit adalah sebuah kepastian. Kamu tahu siapa, kapan, dimana, dan bagaimana itu terjadi.”
Makin runyam urusannya. Enggar tidak berpikir sampai kesitu. Lagipula dia tidak tahu detail tentang Majapahit. Guru sejarah mungkin lebih tau.
“Yang ingin kukatakan adalah kamu harus berhati-hati selama di sini. Identitasmu harus dijaga kerahasiannya. Apalagi saat ini kamu sedang diburu oleh orang-orang tertentu. Mungkin mereka memburumu untuk alasan pembunuhan di Mertabumi, tapi kalau mereka sampai tahu mengenai jati dirimu, mereka pasti menginginkan hal yang lebih dan itu sangat berbahaya bagi kerajaan ini nantinya. Sampai kamu menemukan cara untuk kembali, kamu harus mengunci rapat pengetahuanmu,” kata Mpu Soma.
“Lalu bagaimana caranya saya kembali?”
“Maaf, anakku. Saat ini aku benar-benar tidak tahu,” ucap Mpu Soma lirih.
“Terus bagaimana saya?” Bibir Enggar mulai bergetar menahan tangis. Dia menaruh harapan besar Mpu Soma bisa membantu.
“Tapi aku akan mencari cara untuk membantumu,” janji Mpu Soma. “Sementara tinggallah di sini dulu. Renungkanlah apa yang kusampaikan tadi.”
Enggar lemes. Dia pikir malam ini akan dapat berita bahagia, ternyata malah berita yang menambah kadar stres. Caranya begini dia harus berusaha sendiri untuk cari alternatif cara pulang. Salah satunya adalah dengan sugesti bahwa semua ini adalah mimpi dan dia ketika dia terbangun, semuanya kembali normal. Kesimpulannya, dia harus segera tidur.
Enggar kembali ke pondok setelah berpamitan. Mpu Soma hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Enggar hilang di balik pepohonan, Mpu Soma berjalan menembus kabut, menuju pondok  obatnya di belakang.
Haryo yang menyambut Enggar pertama kali terlihat sedikit cemas karena ekspresi wajah Enggar tidak menunjukkan kegembiraan. Singo Abang yang menunggu di depan pintu pondoknya mengepalkan tangan. Mpu Soma sepertinya belum bisa berbuat apa-apa. Harus kemana lagi mencari bantuan untuk Enggar.
***

Enggar terbangun dengan napas tersengal. Baru saja dia bermimpi buruk, diburu oleh Cakrawaja. “Aaaaaaa!” Enggar menjerit ketika melihat sesosok bayangan hitam  menjulang di hadapannya mengacungkan pedang. Spontan Enggar mengambil benda-benda di sekitarnya dan melemparkan ke arah sosok itu. Bayangan itu mundur, tampak kaget karena tidak menyangka Enggar akan bangun dan langsung berkelebat pergi, seperti angin.
Tergopoh-gopoh Enggar keluar dari pondok. Dia kebingungan hendak lari kemana. Kabut hanya memberinya jarak satu meter untuk melihat. Sambil meraba-raba Enggar berlari. Lalu dia menabrak seseorang.
“Jangan bunuh aku!” teriaknya sambil menutupi kepalanya.
“Enggar!” Orang itu menguncang badan Enggar ketika dia meronta-ronta seperti kesetanan. “Kamu kenapa? Berhenti memukuliku. Ini aku, Singo Abang.”
“Bang, ada yang mau membunuhku! Huhuhu, nggak sanggup lagi, aku mau pulang. Aku nggak mau mati di sini. Bunda...” Enggar jongkok dengan lutut gemetaran. Singo Abang dengan lembut menariknya berdiri.
 Nyala titik-titik api muncul dari balik kabut. Sebentar kemudian orang-orang mendekat, mengerumuni Singo Abang dan Enggar yang tampak ganjil. Dua orang laki-laki berpelukan begitu.
“Ada penyusup, dia menyerang adikku. Cepat periksa sekitar sini!” seru Singo Abang pada orang-orang itu sebelum mereka berpikir yang aneh-aneh. Mereka segera berpencar untuk memeriksa, sementara Singo Abang membawa Enggar kembali ke pondok.
“Bang, dia bawa pedang. Dia berdiri di sini,” Enggar yang masih gemetaran menunjukkan posisi sosok yang dilihat tadi. Dia terus-menerus berada di belakang Singo Abang sementara laki-laki itu memeriksa isi pondok.   
“Yakin bukan mimpi?” tanya Singo Abang yang sudah ada di teras pondok.
“Mimpiku dikejar Pangeran Cakrawaja, Bang. Yang berpedang itu aku melihatnya setelah bangun.” Enggar menyusul keluar.
“Kamu tidak mengenalinya?” tanya Singo Abang.
“Nggak, dia cepat-cepat pergi saat aku berteriak.”
“Bicara soal teriak, kalau kamu terlalu sering berteriak, orang-orang di sini akan mencurigaimu kalau kamu perempuan,” kata Singo Abang.
“Lho, bukannya mereka sudah tahu aku perempuan?” Enggar bertanya.
“Mereka hanya mengiramu bocah laki-laki yang gagal tumbuh,” jawab Singo Abang keceplosan. “Ng, maksudnya suara laki-lakimu belum terbentuk.”
“Tapi harusnya mereka tahu aku perempuan, cantik rupawan begini.”
Hidung Enggar menumbuk punggung Singo Abang yang berhenti mendadak. Laki-laki itu meliriknya sesaat lalu menggeleng-gelengkan kepala tanda kurang setuju. Singo Abang kemudian jongkok, mencari jejak.
“Apa yang terjadi?” Haryo muncul dari balik kabut.
“Ada penyusup masuk kesini,” kata Singo Abang. “Pintu pondok dibuka dengan paksa. Tempat ini sudah tidak aman.”
“Apa? Enggar, kamu baik-baik saja?” tanya Haryo kuatir.
Enggar mengangguk. “Untung aku terbangun waktu itu, Mas. Kalau nggak, aku pasti sudah mati,” kata Enggar. “Eh, tapi mungkin kalau itu terjadi aku bisa kembali ke masa depan ya?”
“Hus, jangan ngomong sembarangan. Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku akan berkeliling untuk mengecek sekali lagi.” Singo Abang menuju jalan setapak. “Haryo, kamu mau terus di sini?”
“Jangan kuatir Enggar, kami akan memastikan kamu aman.” Haryo menyusul Singo Abang keluar. “Kamu kembalilah tidur.”
“Aku nggak mau sendirian! Aku ikut kalian.” Enggar mengejar mereka.
Singo Abang dan Haryo saling berpandangan. Walaupun tanpa berkata-kata nampaknya mereka saling berkomunikasi dan bagi tugas. Setelah keduanya mengangguk, Haryo pergi, sedangkan Singo Abang tinggal.
“Aku akan berada di luar sini menjagamu. Kamu masuk saja. Jangan kuatir,” kata Singo Abang yang berdiri di luar pintu.
“Nggak ah, aku di sini saja, nggak mau tidur. Takut.” Enggar duduk di depan pintu, tak jauh dari tempat Singo Abang berdiri.
Orang-orang bermunculan lagi dari balik kegelapan, melaporkan kalau mereka tidak menemukan siapapun. Kemungkinan besar penyusup itu sudah pergi dari kediaman Mpu Soma. Singo Abang berterima kasih pada mereka dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Meskipun begitu Pak Susatra menugaskan beberapa orang untuk sekali lagi berkeliling dan menempatkan mereka di pos-pos tertentu untuk berjaga. Kejadian seperti ini belum pernah ada sebelumnya. 
 Ketika semua orang sudah pergi, Singo Abang duduk di sebelah Enggar. “Masuklah ke dalam. Udara di luar dingin, nanti kamu sakit.”
“Aku nggak ngantuk kok,” kata Enggar sambil menguap.
“Menguap terus bilangnya tidak ngantuk. Sudah, masuk saja, aku akan tetap di sini. Dia tidak akan berani kembali. Masuklah.”
Enggar sekali lagi menguap. “Abang tetep di sini kan?”
“Iya,” jawab Singo Abang. Rasa iba menguasai hatinya melihat wajah pucat gadis itu. Hampir saja tangannya bergerak untuk mengelus pipi Enggar, memberinya kepastian rasa aman, tapi buru-buru ditepisnya niat itu.
“Betul ya?” Enggar bangkit dan membuka pintu. “Jangan kemana-mana. Pokoknya kalau aku panggil Abang harus menjawab, jadi aku tahu Abang masih di luar,” lanjut Enggar yang hanya terlihat kepalanya saja.
“Iya, iya, berisik sekali. Cepat masuk.” Suara lembut Singo Abang berubah.
“Awas kalau Abang pergi dari situ.” Enggar masih juga belum masuk. Sring! Singo Abang mengeluarkan pedang. Sudah geregetan nampaknya. Enggar buru-buru masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu tersenyum samar. Dia bisa membuat Singo Abang geregetan, dia pasti akan bisa membuat Singo Abang tersenyum, bahkan tertawa suatu saat.  
Mata Enggar menjelajahi seluruh sudut ruangan. Darimana penyusup itu masuk? Singo Abang menduga dari atap, tapi Enggar tidak melihat keanehan pada atapnya. Atau karena dia orang awam, tidak tahu ilmu susup menyusup?
Enggar berjalan ke arah meja, mengambil lampu minyak. Dibawanya lampu minyak itu dan mulai memeriksa lagi ruangannya. Dijelajahi sudut per sudut, jengkal per jengkal. Siapa tau menemukan sesuatu yang bisa memberi informasi siapa penyusup tadi. Tapi kalau orang itu penyusup atau ninja profesional rasanya bakalan susah nyari jejaknya.
Singo Abang menggeleng-gelengkan kepala di luar sana. Beberapa kali dia mendengar suara sesuatu terantuk atau benda digeser.
Enggar menguap tertahan. Sudah capek begini tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia naik ke balai-balai, merebahkan diri. “Bang, masih di situ kah?”
“Tidur sana!” Terdengar suara Singo Abang.
Dikatupkannya matanya, berusaha untuk tidur. Posisi tidurnya beberapa kali berubah, tidak juga terasa nyaman. Enggar memandang ke arah luar. “Bang, masih di situ kan?” tanya dia, mengetes apakah Singo Abang masih ada.
“Sekali lagi kamu panggil-panggil, kubawakan Jambul untuk menemanimu, biar habis kamu dihajarnya,” ucap Singo Abang geram. Enggar terkekeh pelan.
Suara malam mulai meninabobokkan Enggar. Matanya semakin berat dan dunia mimpi mulai menyambutnya. Bayangan hitam berlari, melompati dinding, memanjat menuju atap. Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah ruangan seseorang pemuda tergeletak bersimbah darah. Gadis yang berada di sampingnya duduk mematung dengan sebilah keris di tangan. Gadis itu dia.  
Tubuh Enggar tersentak dan matanya membuka lebar. Malam ini mimpinya tidak ada yang beres. Enggar buru-buru turun dari balai-balai dan menuju pintu, mau melihat apa Singo Abang masih berada di luar. Betul, dia masih ada di depan pondok, duduk dan tampak mengantuk.
“Bang, nggak tidur semalaman ya? Sekarang Abang balik aja ke pondok, tidur. Aku sudah nggak takut lagi kok. Lagipula sudah mulai pagi ini.”
Singo Abang mengusap wajahnya. “Bagaimana tidurmu?”
“Mimpi buruk lagi. Tapi setidaknya hanya mimpi.”
“Mimpi apa?”
Enggar mau menceritakan, tapi melihat wajah Singo Abang yang seperti orang kurang darah dan kurang vitamin itu dia membatalkannya. “Nanti kuceritakan. Sekarang Abang tidur saja dulu.” Enggar mengayunkan tangannya untuk mengurangi hawa dingin. “Sebentar lagi anak-anak sini pada latihan? Aku mau jadi instruktur senam lagi ah. Nanti kutambah poco-poco biar lebih seru.”
Singo Abang memijit dahinya. Makin mengenal Enggar makin dia terheran-heran dengan sifatnya. Gadis itu bisa santai atau melakukan hal konyol sementara dia dalam bahaya. Satu waktu histeris, beberapa saat kemudian sudah tertawa. Apa itu cara dia untuk mempertahankan kewarasan? Menjaga keseimbangan emosi? Atau dia memang benar-benar berkepribadian ganda. 
“Aku mau ke pancuran.” Enggar ke belakang pondok diikuti Singo Abang. Setelah selesai membersihkan muka sekalian wudhu, Enggar balik ke pondok. Singo Abang hendak berjaga-jaga lagi, tapi Enggar berhasil membujuknya untuk kembali ke pondoknya sendiri untuk tidur.
Enggar duduk terpekur di lantai beralaskan kain. Kain yang digunakan untuk mukena darurat sudah dilipat di depannya. Saat ini Enggar masih merasa begitu buntu. Kenapa Tuhan mengirimnya ke sini? Untuk apa?
Dia selalu berdoa agar yang dialaminya adalah mimpi, tapi setiap kali terbangun dan membuka mata, dia tidak juga kembali ke masanya. Memikirkan kemungkinan dia akan benar-benar akan tinggal di Majapahit untuk selamanya membuat keringat dinginnya mengalir.
Menghela napas berat, itu yang dilakukan Enggar sebelum melipat kain pengganti sajadah. “Apa ini?” Tangan Enggar menyentuh sesuatu yang jatuh dari lipatan kain. Sebuah sapu tangan sutera warna biru.
Enggar bangkit dan mengangkat tangan kirinya yang memegang sapu tangan itu sejajar dengan matanya. Diamatinya baik-baik. Siapa yang punya?
Kuping Enggar menegang, dia mendengar ada suara halus di belakangnya. Baru Enggar akan berbalik untuk melihat, tiba-tiba mulutnya dibekap dan sebuah tepukan berat mendarat di tengkuknya. Enggar terkulai seketika dan bayangan itu memanggulnya di pundak. Kemudian menghilang.
*** 

No comments: