“Aku ingin bicara
berdua saja dengan Enggar,” kata Mpu Soma ketika Singo Abang dan Haryo berdiri
dari duduknya. Mpu Soma mengajak Enggar jalan-jalan di malam hari ini.
Udara pegunungan yang
dingin memaksa Enggar menyelimuti tubuhnya dengan kain. Mereka berjalan
pelan-pelan menuju danau yang berada di belakang petak tanaman obat. Enggar
baru tahu di sana ada danau karena tertutup oleh jajaran pepohonan.
Sinar bulan yang
mengantung di langit dipantulkan oleh permukaan danau. Airnya yang tenang
seperti sebuah cermin raksasa. Bayangan pepohonan di pinggir danau juga nampak
di sana. Enggar merasa sedang berada di dunia lain dengan keheningan yang
membius itu.
Mpu Soma mempersilahkan
Enggar duduk di sebuah batu besar, sementara dia duduk di batu yang berada tak
jauh dari Enggar. Orang tua itu memejamkan mata dan menghirup napas
dalam-dalam.
“Bagaimana menurutmu
tempat ini?”
“Tenang dan indah. Tapi
lumayan bikin seram kalau kesini sendirian. Takut tiba-tiba muncul monster dari
dalam sana hehehe,” kata Enggar setengah bercanda setengah serius. Enggar
menghela napas panjang sebelum bicara lagi. “Maaf, Mpu. Saya tidak tahu Bang
Singo sudah cerita apa saja, tapi saya butuh bantuan Mpu untuk pulang ke jaman
saya. Saya nggak mungkin berada di sini.”
“Benar. Apalagi dengan
pengetahuanmu.”
“Maksudnya?” Enggar
tidak mengerti.
“Pengetahuanmu akan
masa depan Majapahit.” Mpu Soma terdiam sejenak, memberi kesempatan pada Enggar
untuk memahami arah pembicaraannya. “Kamu tahu itu?”
“Nggak juga...” Enggar
nyengir malu.
“Kerajaan ini masih
belum kuat. Banyak orang menginginkan apa yang bukan hak mereka. Apa yang
seharusnya dilakukan, tidak dilakukan. Apa yang seharusnya tidak dilakukan
malah dikerjakan. Semuanya berebut, baik terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi.” Mpu Soma memandang ke arah langit.
Enggar merapatkan kain
yang menyelimutinya. Pembicaraan tingkat tinggi begini bukan yang diharapkannya.
Pikirannya sederhana saja. Dia mau kembali ke masa depan, apa Mpu Soma bisa
membantunya?
“Mpu, maaf nih,
memotong. Bagaimana saya bisa pulang?”
“Sebelum membicarakan
tentang hal itu, aku ingin kamu mengerti dulu posisimu saat ini, karena itu yang
akan kamu hadapi nanti. Kedatanganmu bisa membawa kepada dua hal. Kesiapan dan
bencana,” kata Mpu Soma, makin serius.
“Bencana? Jangan
membuat saya takut, Mpu. Memangnya apa yang bisa saya lalukan sampai
menimbulkan bencana?” tanya Enggar masih belum paham.
“Seperti yang
kusampaikan tadi. Pengetahuanmu akan masa depan Majapahit sangat berbahaya.
Singo Abang memberitahuku tentang Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Itu salah satu
contoh saja. Aku yakin kamu tahu lebih banyak dari sekedar itu.” Mpu Soma
menatap Enggar dalam-dalam.
Enggar mengatupkan
mulut. Dia memang tahu beberapa hal tentang Majapahit, mulai berdiri hingga
keruntuhannya, dari buku dan pelajaran sejarah. Tapi pengetahuan itu juga belum tentu semuanya benar seratus
persen. “Bagaimana itu bisa menjadi
bencana, Mpu?”
“Pengetahuan adalah
senjata. Kalau kamu membicarakan pengetahuanmu pada orang yang berambisi untuk
berkuasa, mereka akan membuat langkah-langkah untuk memastikan pengetahuanmu
sejalan dengan mereka.”
“Saya tidak memberitahu
siapa-siapa kok, hanya ke Bang Singo. Hanya tentang Hayam Wuruk jadi raja dan
Gajah Mada jadi Mahapatih. Itu saja.”
“Ada beberapa orang
yang bisa membaca tanda masa depan, tapi hanya mampu memberi peringatan apa
yang akan terjadi dengan Majapahit nantinya. Tetapi kamu, kamu sudah berada di
masa depan, dimana segala sesuatu yang menimpa Majapahit adalah sebuah
kepastian. Kamu tahu siapa, kapan, dimana, dan bagaimana itu terjadi.”
Makin runyam urusannya.
Enggar tidak berpikir sampai kesitu. Lagipula dia tidak tahu detail tentang
Majapahit. Guru sejarah mungkin lebih tau.
“Yang ingin kukatakan
adalah kamu harus berhati-hati selama di sini. Identitasmu harus dijaga
kerahasiannya. Apalagi saat ini kamu sedang diburu oleh orang-orang tertentu.
Mungkin mereka memburumu untuk alasan pembunuhan di Mertabumi, tapi kalau
mereka sampai tahu mengenai jati dirimu, mereka pasti menginginkan hal yang
lebih dan itu sangat berbahaya bagi kerajaan ini nantinya. Sampai kamu
menemukan cara untuk kembali, kamu harus mengunci rapat pengetahuanmu,” kata
Mpu Soma.
“Lalu bagaimana caranya
saya kembali?”
“Maaf, anakku. Saat ini
aku benar-benar tidak tahu,” ucap Mpu Soma lirih.
“Terus bagaimana saya?”
Bibir Enggar mulai bergetar menahan tangis. Dia menaruh harapan besar Mpu Soma
bisa membantu.
“Tapi aku akan mencari
cara untuk membantumu,” janji Mpu Soma. “Sementara tinggallah di sini dulu.
Renungkanlah apa yang kusampaikan tadi.”
Enggar lemes. Dia pikir
malam ini akan dapat berita bahagia, ternyata malah berita yang menambah kadar
stres. Caranya begini dia harus berusaha sendiri untuk cari alternatif cara
pulang. Salah satunya adalah dengan sugesti bahwa semua ini adalah mimpi dan
dia ketika dia terbangun, semuanya kembali normal. Kesimpulannya, dia harus
segera tidur.
Enggar kembali ke
pondok setelah berpamitan. Mpu Soma hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Setelah Enggar hilang di balik pepohonan, Mpu Soma berjalan menembus kabut,
menuju pondok obatnya di belakang.
Haryo yang menyambut
Enggar pertama kali terlihat sedikit cemas karena ekspresi wajah Enggar tidak
menunjukkan kegembiraan. Singo Abang yang menunggu di depan pintu pondoknya
mengepalkan tangan. Mpu Soma sepertinya belum bisa berbuat apa-apa. Harus
kemana lagi mencari bantuan untuk Enggar.
***
Enggar terbangun dengan
napas tersengal. Baru saja dia bermimpi buruk, diburu oleh Cakrawaja.
“Aaaaaaa!” Enggar menjerit ketika melihat sesosok bayangan hitam menjulang di hadapannya mengacungkan pedang.
Spontan Enggar mengambil benda-benda di sekitarnya dan melemparkan ke arah
sosok itu. Bayangan itu mundur, tampak kaget karena tidak menyangka Enggar akan
bangun dan langsung berkelebat pergi, seperti angin.
Tergopoh-gopoh Enggar
keluar dari pondok. Dia kebingungan hendak lari kemana. Kabut hanya memberinya
jarak satu meter untuk melihat. Sambil meraba-raba Enggar berlari. Lalu dia
menabrak seseorang.
“Jangan bunuh aku!”
teriaknya sambil menutupi kepalanya.
“Enggar!” Orang itu
menguncang badan Enggar ketika dia meronta-ronta seperti kesetanan. “Kamu
kenapa? Berhenti memukuliku. Ini aku, Singo Abang.”
“Bang, ada yang mau
membunuhku! Huhuhu, nggak sanggup lagi, aku mau pulang. Aku nggak mau mati di
sini. Bunda...” Enggar jongkok dengan lutut gemetaran. Singo Abang dengan
lembut menariknya berdiri.
Nyala titik-titik api muncul dari balik kabut.
Sebentar kemudian orang-orang mendekat, mengerumuni Singo Abang dan Enggar yang
tampak ganjil. Dua orang laki-laki berpelukan begitu.
“Ada penyusup, dia
menyerang adikku. Cepat periksa sekitar sini!” seru Singo Abang pada
orang-orang itu sebelum mereka berpikir yang aneh-aneh. Mereka segera berpencar
untuk memeriksa, sementara Singo Abang membawa Enggar kembali ke pondok.
“Bang, dia bawa pedang.
Dia berdiri di sini,” Enggar yang masih gemetaran menunjukkan posisi sosok yang
dilihat tadi. Dia terus-menerus berada di belakang Singo Abang sementara
laki-laki itu memeriksa isi pondok.
“Yakin bukan mimpi?”
tanya Singo Abang yang sudah ada di teras pondok.
“Mimpiku dikejar
Pangeran Cakrawaja, Bang. Yang berpedang itu aku melihatnya setelah bangun.”
Enggar menyusul keluar.
“Kamu tidak
mengenalinya?” tanya Singo Abang.
“Nggak, dia cepat-cepat
pergi saat aku berteriak.”
“Bicara soal teriak,
kalau kamu terlalu sering berteriak, orang-orang di sini akan mencurigaimu
kalau kamu perempuan,” kata Singo Abang.
“Lho, bukannya mereka
sudah tahu aku perempuan?” Enggar bertanya.
“Mereka hanya mengiramu
bocah laki-laki yang gagal tumbuh,” jawab Singo Abang keceplosan. “Ng,
maksudnya suara laki-lakimu belum terbentuk.”
“Tapi harusnya mereka
tahu aku perempuan, cantik rupawan begini.”
Hidung Enggar menumbuk
punggung Singo Abang yang berhenti mendadak. Laki-laki itu meliriknya sesaat
lalu menggeleng-gelengkan kepala tanda kurang setuju. Singo Abang kemudian
jongkok, mencari jejak.
“Apa yang terjadi?”
Haryo muncul dari balik kabut.
“Ada penyusup masuk
kesini,” kata Singo Abang. “Pintu pondok dibuka dengan paksa. Tempat ini sudah
tidak aman.”
“Apa? Enggar, kamu
baik-baik saja?” tanya Haryo kuatir.
Enggar mengangguk.
“Untung aku terbangun waktu itu, Mas. Kalau nggak, aku pasti sudah mati,” kata
Enggar. “Eh, tapi mungkin kalau itu terjadi aku bisa kembali ke masa depan ya?”
“Hus, jangan ngomong
sembarangan. Sekarang kamu istirahat saja dulu, aku akan berkeliling untuk
mengecek sekali lagi.” Singo Abang menuju jalan setapak. “Haryo, kamu mau terus
di sini?”
“Jangan kuatir Enggar,
kami akan memastikan kamu aman.” Haryo menyusul Singo Abang keluar. “Kamu
kembalilah tidur.”
“Aku nggak mau
sendirian! Aku ikut kalian.” Enggar mengejar mereka.
Singo Abang dan Haryo
saling berpandangan. Walaupun tanpa berkata-kata nampaknya mereka saling
berkomunikasi dan bagi tugas. Setelah keduanya mengangguk, Haryo pergi,
sedangkan Singo Abang tinggal.
“Aku akan berada di
luar sini menjagamu. Kamu masuk saja. Jangan kuatir,” kata Singo Abang yang
berdiri di luar pintu.
“Nggak ah, aku di sini
saja, nggak mau tidur. Takut.” Enggar duduk di depan pintu, tak jauh dari
tempat Singo Abang berdiri.
Orang-orang bermunculan
lagi dari balik kegelapan, melaporkan kalau mereka tidak menemukan siapapun.
Kemungkinan besar penyusup itu sudah pergi dari kediaman Mpu Soma. Singo Abang
berterima kasih pada mereka dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat
masing-masing. Meskipun begitu Pak Susatra menugaskan beberapa orang untuk
sekali lagi berkeliling dan menempatkan mereka di pos-pos tertentu untuk
berjaga. Kejadian seperti ini belum pernah ada sebelumnya.
Ketika semua orang sudah pergi, Singo Abang
duduk di sebelah Enggar. “Masuklah ke dalam. Udara di luar dingin, nanti kamu
sakit.”
“Aku nggak ngantuk
kok,” kata Enggar sambil menguap.
“Menguap terus
bilangnya tidak ngantuk. Sudah, masuk saja, aku akan tetap di sini. Dia tidak
akan berani kembali. Masuklah.”
Enggar sekali lagi
menguap. “Abang tetep di sini kan?”
“Iya,” jawab Singo
Abang. Rasa iba menguasai hatinya melihat wajah pucat gadis itu. Hampir saja
tangannya bergerak untuk mengelus pipi Enggar, memberinya kepastian rasa aman,
tapi buru-buru ditepisnya niat itu.
“Betul ya?” Enggar
bangkit dan membuka pintu. “Jangan kemana-mana. Pokoknya kalau aku panggil
Abang harus menjawab, jadi aku tahu Abang masih di luar,” lanjut Enggar yang
hanya terlihat kepalanya saja.
“Iya, iya, berisik
sekali. Cepat masuk.” Suara lembut Singo Abang berubah.
“Awas kalau Abang pergi dari situ.” Enggar
masih juga belum masuk. Sring! Singo
Abang mengeluarkan pedang. Sudah geregetan nampaknya. Enggar buru-buru masuk
dan menutup pintu rapat-rapat. Gadis itu tersenyum samar. Dia bisa membuat
Singo Abang geregetan, dia pasti akan bisa membuat Singo Abang tersenyum,
bahkan tertawa suatu saat.
Mata Enggar menjelajahi
seluruh sudut ruangan. Darimana penyusup itu masuk? Singo Abang menduga dari
atap, tapi Enggar tidak melihat keanehan pada atapnya. Atau karena dia orang
awam, tidak tahu ilmu susup menyusup?
Enggar berjalan ke arah
meja, mengambil lampu minyak. Dibawanya lampu minyak itu dan mulai memeriksa
lagi ruangannya. Dijelajahi sudut per sudut, jengkal per jengkal. Siapa tau
menemukan sesuatu yang bisa memberi informasi siapa penyusup tadi. Tapi kalau
orang itu penyusup atau ninja profesional rasanya bakalan susah nyari jejaknya.
Singo Abang
menggeleng-gelengkan kepala di luar sana. Beberapa kali dia mendengar suara
sesuatu terantuk atau benda digeser.
Enggar menguap
tertahan. Sudah capek begini tidak menemukan apa-apa. Akhirnya dia naik ke balai-balai,
merebahkan diri. “Bang, masih di situ kah?”
“Tidur sana!” Terdengar
suara Singo Abang.
Dikatupkannya matanya,
berusaha untuk tidur. Posisi tidurnya beberapa kali berubah, tidak juga terasa
nyaman. Enggar memandang ke arah luar. “Bang, masih di situ kan?” tanya dia,
mengetes apakah Singo Abang masih ada.
“Sekali lagi kamu
panggil-panggil, kubawakan Jambul untuk menemanimu, biar habis kamu
dihajarnya,” ucap Singo Abang geram. Enggar terkekeh pelan.
Suara malam mulai
meninabobokkan Enggar. Matanya semakin berat dan dunia mimpi mulai
menyambutnya. Bayangan hitam berlari, melompati dinding, memanjat menuju atap.
Seringainya membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah ruangan seseorang pemuda
tergeletak bersimbah darah. Gadis yang berada di sampingnya duduk mematung
dengan sebilah keris di tangan. Gadis itu dia.
Tubuh Enggar tersentak
dan matanya membuka lebar. Malam ini mimpinya tidak ada yang beres. Enggar
buru-buru turun dari balai-balai dan menuju pintu, mau melihat apa Singo Abang
masih berada di luar. Betul, dia masih ada di depan pondok, duduk dan tampak
mengantuk.
“Bang, nggak tidur
semalaman ya? Sekarang Abang balik aja ke pondok, tidur. Aku sudah nggak takut
lagi kok. Lagipula sudah mulai pagi ini.”
Singo Abang mengusap
wajahnya. “Bagaimana tidurmu?”
“Mimpi buruk lagi. Tapi
setidaknya hanya mimpi.”
“Mimpi apa?”
Enggar mau
menceritakan, tapi melihat wajah Singo Abang yang seperti orang kurang darah
dan kurang vitamin itu dia membatalkannya. “Nanti kuceritakan. Sekarang Abang
tidur saja dulu.” Enggar mengayunkan tangannya untuk mengurangi hawa dingin.
“Sebentar lagi anak-anak sini pada latihan? Aku mau jadi instruktur senam lagi
ah. Nanti kutambah poco-poco biar lebih seru.”
Singo Abang memijit
dahinya. Makin mengenal Enggar makin dia terheran-heran dengan sifatnya. Gadis
itu bisa santai atau melakukan hal konyol sementara dia dalam bahaya. Satu
waktu histeris, beberapa saat kemudian sudah tertawa. Apa itu cara dia untuk
mempertahankan kewarasan? Menjaga keseimbangan emosi? Atau dia memang benar-benar
berkepribadian ganda.
“Aku mau ke pancuran.”
Enggar ke belakang pondok diikuti Singo Abang. Setelah selesai membersihkan
muka sekalian wudhu, Enggar balik ke pondok. Singo Abang hendak berjaga-jaga
lagi, tapi Enggar berhasil membujuknya untuk kembali ke pondoknya sendiri untuk
tidur.
Enggar duduk terpekur
di lantai beralaskan kain. Kain yang digunakan untuk mukena darurat sudah
dilipat di depannya. Saat ini Enggar masih merasa begitu buntu. Kenapa Tuhan
mengirimnya ke sini? Untuk apa?
Dia selalu berdoa agar
yang dialaminya adalah mimpi, tapi setiap kali terbangun dan membuka mata, dia
tidak juga kembali ke masanya. Memikirkan kemungkinan dia akan benar-benar akan
tinggal di Majapahit untuk selamanya membuat keringat dinginnya mengalir.
Menghela napas berat,
itu yang dilakukan Enggar sebelum melipat kain pengganti sajadah. “Apa ini?”
Tangan Enggar menyentuh sesuatu yang jatuh dari lipatan kain. Sebuah sapu
tangan sutera warna biru.
Enggar bangkit dan
mengangkat tangan kirinya yang memegang sapu tangan itu sejajar dengan matanya.
Diamatinya baik-baik. Siapa yang punya?
Kuping Enggar menegang,
dia mendengar ada suara halus di belakangnya. Baru Enggar akan berbalik untuk
melihat, tiba-tiba mulutnya dibekap dan sebuah tepukan berat mendarat di
tengkuknya. Enggar terkulai seketika dan bayangan itu memanggulnya di pundak.
Kemudian menghilang.
***
No comments:
Post a Comment