Desa di bawah bukit itu
nampak damai. Sawah terbentang menghijau. Pohon-pohon kelapa berjajar rapi.
Hewan ternak merumput, dijaga oleh anak-anak berkepala kuncung. Ada yang
menunggu sambil bermain dengan temannya, ada yang terlelungkup tiduran di atas
punggung kerbau. Para perempuan menumbuk gabah. Ada pula yang duduk memanjang,
saling mencari kutu rambut.
Masih ada satu desa
lagi sebelum sampai di tempat tinggal Mpu Soma.
Hari ini terik bukan
main, Enggar sampai berkunang-kunang karena lapar dan haus. “Minum es pasti seger banget nih. Huuhh...dehidrasi...
Panas...panas..,” keluhnya.
“Mengeluh saja. Tadi
malam kedinginan, sekarang kepanasan. Apalagi? Pasar masih agak jauh. Sabar sedikit,”
ujar Singo Abang.
“Nggak ada sungai di
sekitar sini kah? Pengen nyebur aja deh. Udah bener-bener kegerahan. Lagian
tadi pagi nggak mandi kan? Eh eh, tuh ada sungai. Turun situ bentar ya. Please...” Enggar menepuk-nepuk pundak
Singo Abang.
“Kudaku juga butuh
minum,” kata Haryo iba melihat Enggar sudah bercucuran keringat.. “Kita
istirathat dulu, Bar.”
Singo Abang terpaksa
menurut.
Mereka berhenti tak
jauh dari sungai, sebelum jembatan kayu. Sungai di bawah itu dihiasi batu-batu besar
dan airnya terlihat begitu segar. Enggar turun dari kuda, menyambar buntelan kain yang biasa dibawanya lalu
lari ke sungai. Beberapa kali dia terpeleset, tapi buru-buru bangun.
Kedua kaki Enggar masuk
ke dalam air. Kesegarannya terasa hingga ke hati. Enggar sejenak lupa diri,
asyik bermain air. Ikat kepalanya dilepas. Dibasahinya rambut dan kepalanya
yang terasa kotor. Enam hari tidak keramas.
Haryo menarik tali
kekang kudanya untuk diajaknya turun. Singo Abang menyusul kemudian. Mereka duduk
di bebatuan, tak jauh dari sungai, memperhatikan Enggar yang sudah melompat
kesana ke mari dari batu satu ke batu lainnya sementara kuda-kuda mereka minum.
“Apa di jamanmu anak
perempuannya sepertimu semua?” tanya Singo Abang. “Banyak tingkah,” lanjutnya.
Haryo terkekeh.
“Maksudnya apa banyak
tingkah?” Enggar menangkup air di kedua telapak tangannya lalu memercikkan air
ke arah Singo Abang yang sedang mengunyah pisang.
“Hei! Jangan
macam-macam!” seru Singo Abang, menghindari percikan air. Lengan bajunya basah.
“Anak perempuan itu menundukkan pandangan, bicaranya sopan, tidak jumpalitan...”
“Eh eh eh.” Enggar memercikkan
air lagi. “Kenapa harus menunduk? Kalau diajak berbicara ya ngeliat mata dong,
masa ngeliat jempol kaki. Entar malah dikirain nyari duit jatuh,” protesnya.
“Diberitahu tentang adab
kesopanan malah ngelunjak.”
“Memangnya selama ini
aku nggak sopan, Bang? Aku nggak pernah menyumpah atau bicara kasar. Nada
bicaraku saja yang nggak bisa selembut sutera. Dari sononya udah begitu. Entar
kalau aku tiba-tiba mendayu, Bang Singo ngirain aku kesambet.”
Haryo tertawa melihat
tampang Singo Abang yang geregetan. Dia menikmati konflik kecil antara Enggar
dan Singo Abang itu.
“Aku baru bicara satu
kalimat, dia sudah lima belas baris. Pening kepalaku,” ujar Singo Abang pada
Haryo. Singo Abang berdiri, hendak menuju kudanya. Tapi cipratan air dari
Enggar mengenainya lagi.
“Bang Singo senewen
melulu hari ini, kenapa sih?”
“Ya karena kamu, kok
masih bertanya. Kamu itu merusak semua rencana yang sudah kususun rapi.” Singo
Abang berkacak pinggang. “Masalah Puteri Anggoro seharusnya sudah kelar, tidak
berlarut-larut seperti ini.”
Byur!
Singo Abang diguyur lagi.
“Siapa juga sih yang
minta kesasar di Majapahit? Apalagi ketemu sama Bang Singo yang darah tinggian.
Banyakin senyum kek, biar indah pemandangannya.” Enggar membalas berkacak
pinggang.
Singo Abang yang sudah
kesal itu secepat kilat turun ke sungai, menangkup air sebanyak mungkin lalu menumpahkannya
ke kepada Enggar tanpa sempat gadis itu melarikan diri.
Enggar yang nggak
menyangka dapat serangan mendadak begitu hanya bisa berdiri membatu dengan
mulut terbuka. Basah kuyub.
Singo Abang menyeringai
puas, kemudian pergi mengambil kudanya yang sudah kenyang minum untuk diikatkan
ke pohon, di sebelah kuda Haryo.
Kuda-kuda itu dibiarkan
merumput.
Singo Abang sekarang
duduk di bawah pohon, menjauh dari jangkauan serangan air Enggar. Sambil
mengelap wajahnya yang basah, dia menghela napas berat. Pandangan matanya tak
lepas dari Enggar.
“Dia mengingatkanmu
pada Shiao Lan kan?” tanya Haryo yang sudah duduk di samping Singo Abang.
“Apa yang kau
bicarakan?” Singo Abang memalingkan muka.
“Sifat gadis itu. Sinar
matanya yang ceria. Cara dia menghadapimu.” Senyum Haryo menghilang. “Aku masih ingat
betul pertemuan pertama kalian di arena panahan. Shiao Lan membidik tepat di
semua sasaran tanpa sisa. Mempecundangimu di hadapan para ksatria di keraton.”
Tidak ada tanggapan
dari Singo Abang.
“Jayengwangsa membawa
berapa orang?” Singo Abang mengalihkan pembicaraan.
“Dia hanya membawa lima
orang, tapi Tumengung Sukmo tidak hanya mengirimnya untuk mengejarmu. Dia juga
menyebar telik sandi. Belum lagi para pemburu bayaran,” kata Haryo.
“Kita mampir ke pasar
sebentar, sekalian beli persediaan. Setelah itu kita tidak usah mampir-mampir lagi,
langsung menemui Mpu Soma,” ucap Singo Abang sambil melempar pandangan kembali
ke sungai.
Tidak tampak Enggar di
tempatnya semula.
Singo Abang berdiri. “Hei,
Enggar, kita pergi sekarang,” seru Singo Abang. Matanya mencari sosok gadis
itu. Begitu tidak melihat tanda-tanda kemunculan Enggar, Singo Abang berdiri. “Kemana
dia? Jangan-jangan kabur lagi. Ah, sial!”
Singo Abang berlari
turun. Haryo menyusulnya. Mereka mencari Enggar di sepanjang sungai, mengambil
arah yang berbeda.
Enggar keluar dari
celah batu besar, agak jauh dari tempatnya bermain air. Dari bawah dia melihat
kuda-kuda Singo Abang dan Haryo di atas, tapi kedua lelaki itu tidak ada. Dengan
hati deg deg an Enggar naik ke atas, mencari keberadaaan mereka, walau tidak
berani terlalu jauh.
Suara derap kaki kuda terdengar
mendekati jembatan. Enggar segera bersembunyi di balik semak, mengintip siapa
yang lewat. Panji-panji itu dikenalnya. Rombongan yang lewat sepertinya
rombongan yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Enggar tetap
bersembunyi sampai rombongan itu menjauh. Setelah dirasa aman, dia keluar. Enggar
berdiri menempel pada batang pohon tempat kuda-kuda itu ditambatkan, setengah bersembunyi.
Dia masih mewaspadai kemungkinan rombongan tadi kembali.
Kuda milik Haryo yang
dinamai Bintang mendengus. Ekornya bergerak-gerak gelisah. Enggar menatapnya
penasaran. Setelah beberapa saat berpikir, dia memutuskan untuk mencoba
menaikinya. Tetapi saat kuda itu didekati, sang kuda makin gusar, jadi Enggar
mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Kuda Singo Abang lebih
tenang. Mungkin dia bisa coba menaikinya, toh dia sudah beberapa hari
membonceng di kuda itu.
“Kamu darimana?
Tiba-tiba hilang, membuat panik saja. Sekarang malah mau melarikan diri naik
kuda?” seru Singo Abang mengagetkan Enggar. Hampir gadis itu terjatuh dari
pelana yang baru sebagian ditumpangi kakinya. Jantung Singo Abang masih
berdetak kencang karena kehilangan Enggar barusan.
“Jangan sewot mulu
dong, Bang. Tolongin kek, nyangkut,” pinta Enggar. Singo Abang melepaskan kaki
Enggar yang tersangkut tali pelana. “Yang panik itu aku, Bang. Balik kesini
hanya ketemu kuda, nggak ada orangnya. Siapa yangg nggak sport jantung? Apalagi rombongan yang tempo hari itu lewat barusan.”
Enggar mengibaskan rerumputan kering yang menempel di bajunya.
“Rombongan Cakrawaja
maksudmu?” tanya Singo Abang yang melepaskan tali kekang kudanya dari batang
pohon. Enggar menganggukkan kepala. “Untung mereka tidak melihatmu. Kamu darimana
saja?”
“Memenuhi panggilan
alam. Nggak sempat bilang tadi, sudah mendesak,” jawab Enggar diplomatis. Singo
Abang menatapnya tidak mengerti. “Ih, masak harus dijelasin panggilan alam yang
mana. Udah deh, ayo ke pasar, aku lapar. Buruan naik.”
Singo Abang naik ke atas
kuda, kemudian dia membantu Enggar naik dengan menarik tangannya.
“Mulai sekarang, mau
kemana pun, kamu harus bilang dulu padaku. Jangan suka menghilang-hilang
seperti itu lagi. Pergerakan kita sudah semakin sempit karena makin banyak
orang yang tahu keberadaan kita,” kata Singo Abang sambil melirik Haryo. Haryo
hanya membalasnya dengan gelengan kepala.
“Sori, sori, Bang.”
Perjalanan mereka dilanjutkan.
Pasar yang dituju sudah tidak begitu ramai karena hari sudah siang. Yang masih
ada hanya penjual buah, peralatan rumah tangga yang sebagian besar terbuat dari
tanah liat dan warung-warung makanan.
Mereka masuk ke salah
satu warung. Ada satu atau dua orang memperhatikan mereka. Singo Abang bisa
merasakan itu. Mereka makan dengan cepat, tapi tidak segera meninggalkan
warung. Menjaring informasi di tempat ini lebih mudah dibandingkan di tempat
lain.
“Boleh nggak aku beli
buah?” tanya Enggar pada Singo Abang. Semangka yang dijual di seberang sana
betul-betul menggoda. “Uangnya?”
“Ini. Aku yang
traktir.” Haryo mengeluarkan tiga keping uang perak. Ini berbeda dengan uang
yang dibawa Singo Abang.
“Ini harganya lebih tinggi
daripada uang Bang Singo ya? Uang Bang Singo lebih jelek soalnya,” celetuk
Enggar tanpa bermaksud merendahkan.
“Kamu ini, sudah
mending kita punya uang.” Singo Abang mulai sewot.
“Ini derham perak. Satu
kepingnya sama dengan 400 gobog,”
jelas Haryo.
“Wah, bisa belanja
banyak nih. Terima kasih.” Enggar mengambil uang itu dan bergegas keluar.
Tambah satu nilai Haryo. Sudah ganteng, kaya pula.
Gadis itu nampaknya
senang sekali berada di pasar. Benda-benda yang dijual unik, sederhana, nyeni,
kuno, beberapa tidak pernah dilihat di masanya. Enggar berhenti lama di penjual
semangka. Haryo tersenyum melihat gaya Enggar memilih buah itu. Sepertinya dia
membuat penjualnya kesal dengan menawar harga semaunya dan minta mencicipi
semua semangka.
“Kamu terlalu banyak
tertawa dan tersenyum,” sindir Singo Abang tanpa menoleh ke arah Haryo. Haryo
hanya tersenyum saja dan mengamati gerak-gerik Enggar yang sedang menikmati
semangka.
Tak jauh dari warung
tempat Singo Abang dan Haryo berada, Cakrawaja memicingkan matanya, meyakinkan
dia tidak salah lihat. Pemuda yang tadi membeli semangka dan sekarang sedang
membeli manggis seperti pemuda imut yang ditemuinya beberapa hari lalu. Si imut
yang tidak bisa dilupakannya. Si imut yang dicurigainya sebagai seorang gadis
yang menyamar.
“Bawa dia kemari,”
perintahnya pada anak buahnya.
Dua orang itu mendatangi
Enggar dan memaksanya ikut. Manggis di tangan Enggar jatuh menggelinding. Dia
mengenali seragam mereka. Mata Enggar nanar menatap ke arah warung tempat Haryo dan Singo
Abang, di dalam hatinya dia berteriak meminta pertolongan.
***
No comments:
Post a Comment