“Bagaimana keadaanmu?”
Suara laki-laki itu
membuat Enggar geragapan. Dia celingukan seperti burung hantu. Yang dilihatnya
adalah dinding kayu dan atap dedaunan serta Singo Abang. Raut kecewa terlukis
di wajahnya yang masih pucat.
“Jangan lakukan seperti
itu lagi, mengerti? Kamu tidak tahu berbahanya hutan ini, apalagi malam hari?
Untung saja kamu ditemukan dalam keadaan hidup, bagaimana kalau kamu ditemukan
sudah berada di perut ular atau tinggal tulang belulang?” Singo Abang
mengatakannya dengan suara yang ditahan-tahan. Dia sangat kesal, tapi tidak
ingin membuat gadis di depannya makin terguncang.
Enggar beringsut untuk
duduk. Diliriknya sela-sela dinding kamar yang diterobos sinar matahari. Ini
sudah pagi. Dia tidak mempedulikan kata-kata Singo Abang tadi, pikirannya masih
mencari cara bagaimana melarikan diri.
“Permisi, Ketua. Ini
sarapan buat Puteri Anggoro.” Bogar muncul dari pintu dengan membawa mangkok
berisi makanan yang harumnya membuat perut Enggar perih. Setelah mangkok itu
diterima Singo Abang, Bogar pamit keluar.
“Makanlah dulu.” Singo Abang menyodorkan
mangkok dan langsung diambil Enggar dengan semangat.
Tanpa menunggu
komentar, Enggar mulai makan. Baru dua suap dia sudah terbatuk-batuk, tersedak
karena terburu-buru menelan. Singo Abang segera mengambilkan air minum.
“Rencana kita mundur.
Seharusnya kita keluar dari hutan pagi-pagi tadi, tapi karena keadaanmu saat
ini, kuputuskan untuk istirahat dulu. Siang nanti baru kita pergi,” kata Singo
Abang yang mau duduk di sebelah Enggar.
“Boleh minta tambah?”
Enggar menyerahkan mangkok yang sudah kosong itu. Singo Abang mengangguk, tidak
jadi duduk. Dia membawa mangkok itu keluar. Sanip terlihat sedang makan,
sementara Jandul dan Bogar membuat bekal perjalanan.
“Dia minta tambah,”
kata Singo Abang. Bogar tersenyum senang karena puteri menyukai masakannya. Singo
Abang masuk kembali ke dalam pondok untuk sarapan kedua Enggar dan hanya
menemukan tempat itu sudah kosong.
“Dasar! Dia kabur.
Jandul, bantu aku cari dia,” seru Singo Abang. Mijil yang baru kembali dari
sungai untuk mengisi kantong-kantong air tampak kebingungan melihat Singo Abang
dan Jandul berlari menembus hutan.
“Puteri kabur lagi?”
tanya dia pada Bogar. “Puteri kok jadi penuh semangat begitu ya? Seperti bukan
beliau saja,” lanjutnya heran.
Tidak begitu jauh dari
pondok, Enggar berusaha berlari kencang di antara pepohonan. Tetapi karena
kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat dan medan yang dihadapinya banyak
rintangan, dengan mudah dia tersusul. Baru saja dia mau bersembunyi sebentar di
semak-semak, Jandul sudah menangkapnya.
“Lepasiiiin. Aku mau
pulaaaaang,” teriaknya. Dipukulinya Jandul yang mencengkeram erat lengannya
kirinya.
“Jandul? Kamu temukan Puteri
Anggoro?” Singo Abang datang menyusul.
Jandul menarik tangan
Enggar untuk dibawa pergi, tapi Enggar terus berontak. “Kenapa sih kalian nggak
mau ngelepasin aku? Aku nggak mau ada di sini. Aku bukan Puteri Anggoro,”
teriak Enggar.
“Kamu merepotkan orang
saja. Aku harus bilang apa lagi untuk meyakinkan kamu kalau kami tidak
bermaksud jahat. Puteri, kalau aku ingin membunuhmu, sudah sejak tiga hari lalu,
tidak perlu membawamu kesini. Jangan kabur lagi! Ayo, kembali ke pondok,” kata
Singo Abang yang mendekat dengan kesal.
“Nggak mauuuuuuu..!”
Enggar menggigit tangan Jandul dan lari lagi. Tapi Singo Abang keburu
menangkapnya. Karena masih berontak juga, akhirnya dia digendong di pundak
Singo Abang. “Let me goooooo...!”
Tidak ada yang
menggubris.
Enggar yang semula
masih teriak-teriak, terpaksa bungkam karena dengan sengaja Singo Abang
melewatkannya menerobos semak dan dahan-dahan yang rendah, hingga kepala dan
wajah Enggar kena gampar tumbuh-tumbuhan itu.
Sesampainya di depan pondok,
Enggar dijatuhkan begitu saja di lantai hutan, seperti karung beras. Singo
Abang mondar-mandir di hadapannya, sementara anak buahnya mengawasi.
Laki-laki gondrong dan
berewokan itu terlihat amat kesal. Kedua tangannya terkepal dan pipinya sampai
menggembung, menahan banyak kata.
Tugasnya sederhana. Menculik Puteri Anggoro
lalu menyembunyikannya sehari atau dua hari, kemudian membawanya ke kotaraja
untuk dipertemukan dengan Pangeran Palawa dan hakim Jogoroso. Secara
perhitungan normal tidak akan ada masalah karena Puteri Anggoro itu seperti
mayat hidup, yang tidak akan berbuat aneh-aneh. Tapi sekarang mayat hidup itu
sudah dua kali melarikan diri. Bahkan Singo Abang menduga dia akan melakukannya
lagi.
“Hhh.. Puteri
Anggoro...” Suara Singo Abang mencoba tenang.
“Aku bukan Puteri
Anggoro, aku sudah bilang berapa kali sih, Bang? Namaku Enggar! Enggar Penggalih,”
potong Enggar yang sudah berdiri, membersihkan dedaunan yang menempel di
tubuhnya.
“Dengar...”
“Kamu yang dengar. Aku
bukan Puteri Anggoro. Aku nggak peduli kalian mau membawaku ke kotaraja atau
kemana, yang pasti aku nggak mau ikut kalian. Aku mau pergi sendiri, pulang ke
rumahku. Aku...” Enggar melotot. Telunjuk Singo Abang tiba-tiba menyentuh leher
Enggar dan dia kehilangan suara meskipun mulutnya tetep nyerocos.
Totok pita suara.
Anak buah Singo Abang
menutup mulut menahan tawa. Puteri itu seperti ikan kekurangan air, megap-megap
tanpa suara. Seekor ikan yang tampaknya marah sekali.
“Kita akan meninggalkan
hutan sesegera mungkin sebelum kamu berbuat nekat lagi. Mijil, kamu kembali ke Mertabumi.
Kita tidak bisa pergi dengan terlalu banyak orang. Aku akan mengirim pesan
kalau memerlukan tenaga kalian. Sanip, kamu pergi ke Mpu Soma, sampaikan aku
akan menemui beliau dalam waktu dekat. Aku akan pergi bersama Jandul dan Bogar
ke kotaraja. Sekarang bereskan semuanya, jangan sampai ada yang tahu kehadiran
kita.”
“Baik, Ketua.”
***
Lelaki berkepala plontos
dengan beberapa bekas luka itu mengangkat tangannya. Mereka sudah tiba di
pinggiran hutan, tapi nampaknya keadaan tidak terlalu aman. Jandul memberi
tanda agar mereka sembunyi.
Ada beberapa orang
mendekat. Mereka membawa bungkusan di punggungnya. Melihat tampangnya mereka
sepertinya bukan orang-orang yang ramah. Mereka berwajah sangar dan sepertinya
tidak pernah mandi bertahun-tahun.
“Mereka perampok yang
bermarkas di bagian timur hutan ini. Sepertinya baru dapat hasil lumayan,”
bisik Singo Abang pada Enggar. “Matahari sudah turun. Kalau bisa sebelum gelap
kita sudah tiba di desa untuk beristirahat sekalian nanti kita cari kuda. Setelah
mendapatkan kuda, kita berpisah arah. Mijil ke Mertabumi dan Sanip ke
Ketanggung,” lanjutnya.
Enggar membandingkan
wajah mereka dengan wajah Singo Abang di sebelahnya. Kok Singo Abang kelihatan
jauh lebih cakep ya. Tapi misalnya dia tidak mandi beberapa bulan dan tidak
mengurus mukanya pasti tidak jauh beda.
Setelah memastikan para
perampok itu sudah jauh, baru rombongan Singo Abang keluar dari persembunyian.
“Mereka tidak lagi
merampok malam-malam, siang hari pun mereka beraksi. Akhir-akhir ini semakin
banyak saja rampok yang berkeliaran, membuat penduduk resah,” kata Sanip sedih
mengingat keluarga, rumah dan harta benda sudah tidak ada karena perampokan dan
penjarahan di desanya.
Enam orang itu
meneruskan perjalanan. Enggar sudah tampak kelelahan. Singo Abang bilang mereka
sekitar lima hari perjalanan dari kotaraja. Lima hari jalan kaki? Bisa kekar
betisnya.
Langit sudah kemerahan
saat mereka tiba di desa pertama setelah keluar dari hutan Wonokawi. Karena ini
desa Wonorandu kecil dan sepi, tidak ada tempat penginapan. Salah satu penduduk
memperbolehkan mereka menggunakan pondok kecil di tepi sawah berbatasan dengan
kebun pisang setelah Singo Abang memberi beberapa keping uang gobog dari perunggu. Uang gobog adalah mata uang logam lokal yang
bahannya dari tembaga, timah, perunggu dan kuningan. Ada juga mata uang dari
Cina yang disebut kepeng, dari
campuran tembaga dan timah putih.
Enggar menarik lengan
baju Singo Abang dan menunjuk-nunjuk lehernya, meminta laki-laki itu melepaskan
totokannya.
“Janji tidak akan
teriak-teriak?” Singo Abang dua kali memijit lehernya.
“Bang, sudah bau nih,
ada kamar mandi nggak? Pengen mandi.” Enggar mencium badannya.
Singo Abang menujuk ke
arah kebun pisang. “Setelah kebun ada sungai kecil. Kamu mau kesana?” tanya
Singo Abang. Enggar mengangguk. Dia bersiap berangkat, tapi diurungkan karena
Singo Abang ikut.
“Aku mau mandi, jangan diikuti.”
Enggar menggerakkan tangan seperti mengusir kucing dari meja makan.
“Di hutan saja kamu
kabur, apalagi di sini. Aku ikut denganmu dan memastikanmu tidak melarikan diri
lagi,” tukas Singo Abang.
“Apaan sih? Siapa juga
yang mau kabur? Seharian jalan, badan lengket-lengket semua, pasti pengen mandi
lah.” Di mulut ngomong begitu, di dalam hati jelas ingin melarikan diri.
Mumpung sudah di desa, tidak perlu takut babi hutan, ular ataupun harimau.
“Mandi saja, tapi aku
akan tetap mengawasimu. Aku tidak mau repot lagi membuang waktu. Aku tahu kamu
masih punya niat untuk lari.”
“Oh ya? Aku bersama
orang-orang yang nggak kukenal, yang nggak kutahu apa maunya, wajar aku merasa
nggak aman dan pengen kabur. Kalau Bang Singo ada di posisiku sekarang, pasti
juga akan melakukan hal sama.”
Singo Abang menatap
Enggar dingin. “Kami bukan orang jahat, apa kamu tidak bisa membedakan?”
“Bukan orang jahat?
Hm...coba kita lihat dulu dari sudut pandangku. Satu, aku disembunyikan di
pondok di tengah hutan. Dua, ketika aku bangun mulut, tangan dan kakiku diikat.
Tiga, suaraku dihilangkan. Empat, aku akan dibawa ke tempat yang nggak aku
tahu, untuk bertemu orang yang nggak aku kenal. Lima, aku mau mandi sendiri
saja diawasi. Menurut Abang gimana tuh perasaanku?” Suara Enggar meninggi.
“Satu, kami
menyembunyikanmu di tengah hutan karena orang-orang Mertabumi mencarimu, untuk
membunuhmu. Dua, kamu histeris dan berontak seperti orang kesetanan, membahayakan
dirimu dan anak buahku. Tiga, kamu cerewet sekali tidak mau diam. Suaramu bisa membuat
para pemburu itu menemukan keberadaanmu, yang membawamu ke alasan satu. Empat,
kenapa aku harus susah payah membawamu pada seseorang kalau tidak untuk menyelamatkanmu?
Lima, kamu mau melarikan diri lagi, apa aku punya pilihan selain menemanimu?” Singo
Abang marah, tidak ditahan-tahan lagi.
“Uh!” Enggar manyun. Dia masuk ke pondok,
membanting pintu. Kata-kata Singo Abang membalikkan semua alasan yang diungkapkannya.
Pondok ini hanya
memiliki satu ruangan dan tidak ada balai-balai untuk tidur. Selain tikar,
hanya ada tumpukan kayu bakar di seberangnya dan beberapa kelapa kering. Sebuah
kendi diletakkan di pojokan.
Diambilnya kendi itu.
Masih ada isinya karena lumayan berat. Enggar ceingukan mencari gelas. Karena
tidak ada, dia langsung meneguknya saja. Lalu dibasahinya selendang, digunakan
untuk mengelap wajah, leher, tangan dan kaki serta rambutnya. Dalam keadaan
sedikit basah rambutnya digulung.
Dari dalam pondok
Enggar mendengar kedatangan Bogar dan Sanip. Mereka melaporkan karena tidak ada
kuda yang dijual.
“Puteri, buka
pintunya.” Singo Abang mengetuk pintu sekitar setengah jam sejak Enggar ada di
dalam. “Kamu tidak mau makan malam? Tadi siang kita tidak sempat makan. Bukalah
pintunya.” Suara Singo Abang kedengarannya sudah biasa lagi, tidak marah.
Enggar mendekatkan diri
ke pintu. Ada bau enak tercium. Kalau tidak salah menebak, itu harum pisang
bakar. Di tangan Singo Abang ada dua
buah pisang bakar yang masih mengepul dalam wadah dari daun pisang. Enggar
langsung menyambar dan membawanya masuk ke dalam. “Panas...panas...” desis Enggar. Lidahnya
terbakar karena buru-buru mengunyah.
Di luar angin bertiup
lumayan kencang, menerbangkan bara-bara kecil dari perapian. Kilat beberapa
kali menerangi langit dan suara geledek di kejauhan, menandakan hujan tidak
akan lama lagi.
Gerimis pada awalnya
kemudian jadi hujan yang lumayan lebat. Semuanya masuk ke dalam pondok.
Perapian pun dipindahkan. Ada kayu bakar di dalam, jadi tidak perlu susah-susah
cari kayu di luar sana.
Bogar meneruskan
membuat pisang bakar, bahkan dengan beberapa variasi rasa. Bumbu-bumbu instan
buatannya dikeluarkan dari dalam tas khususnya. Dia meramu beberapa jenis bumbu
dan membalutkannya ke pisang yang dibakar, menyemarakkan pondok dengan aroma
yang sangat menggoda.
Enggar dengan takjub
memperhatikan gerak-gerik Bogar. Dia mendekati lelaki gempal itu dan
membantunya. Membantu ngicipin. “Pak Bogar chef ya?” tanya Enggar, tidak
dijawab oleh Bogar. “Koki.” Enggar mengganti pilihan katanya. Bogar masih
bingung. “Tukang masak,” ujar Enggar.
“Ya, Tuan Puteri. Saya
dulu tukang masak di Sadeng.”
Meskipun malam ini
mereka hanya makan pisang, tapi rasanya puas. Enggar sampai malas bergerak
karena kekenyangan. “Pak Bogar, kalau mau bisnis pisang bakar dan pisang goreng
pasti kaya. Enak begitu buatannya,” puji Enggar.
“Pisang goreng?”
“Iya. Pisang goreng
dengan tepung gandum, bisa juga tepung beras, atau pakai tepung crispy. Atau bikin pisang bakar keju...wah...
nyam nyam deh.” Enggar nyengir, tapi kemudian mingkem. Bogar nampaknya tidak
begitu mengerti yang dia katakan karena dia hanya terbengong-bengong.
“Hamba belum pernah
mendengar pisang yang seperti itu. Bagaimana cara membuatnya?” tanya Bogar penasaran.
Keduanya kemudian membicarakan masalah kuliner itu berdua. Tapi hanya sebentar
karena Singo Abang meminta Bogar untuk membiarkan Enggar istirahat.
Seperti siang hari,
malam hari pun terasa panjang bagi Enggar, apalagi malam berhujan seperti ini. Dia
belum bisa tidur. Karena itu dia menggunakan waktunya untuk mengamati orang
yang ada di sekitarnya satu per satu. Mencari-cari petunjuk mengapa dia ada
bersama mereka. Memikirkan kata-kata Singo Abang tadi.
Jandul mengganti kayu
yang sudah habis terbakar dengan kayu bakar yang baru. Menjaga api tetap
menyala tapi tidak terlalu besar. Di pondok berukuran tiga kali empat meter ini
untuk lima orang cukup padat. Jandul kemudian duduk di dekat pintu pondok yang
sedikit dibuka. Dia mengeluarkan pedang dan mengasahnya. Sebentar kemudian dia
menyarungkan pedangnya kembali dan menutup mata. Lelaki gundul itu sama sekali
tidak terdengar suaranya selama ini.
Pandangan mata Enggar
beralih ke Sanip, si gigi hiu. Laki-laki muda bertubuh kurus itu sudah
meringkuk di pojokan dengan mulut menganga, tanda tidur nyenyak. Meskipun Sanip
membuatnya ketakutan setengah mati ketika pertama kali melihat, tapi sekarang
Enggar bisa merasakan bahwa Sanip tidak berbahaya.
Lalu Enggar melirik Bogar yang berbaring di sebelah
Sanip. Orang yang memasak seenak itu tidak mungkin berhati kejam. Terakhir
Enggar melihat Singo Abang. Laki-laki itu sibuk menyerut batang kayu dengan
pisaunya, seperti sedang membuat patung kecil. Alisnya yang berkerut menandakan
dia sedang memikirkan sesuatu.
Rasanya sudah sekian puluh
jam dia bersama orang-orang itu dan sepertinya tidak akan berakhir. Apa betul
dia nyata ada di sini? Apa benar dia berada di suatu waktu di masa lampau? Apa
kecelakaan itu menyebabkan ruhnya terkirim ke jaman Majapahit? Lalu bagaimana
caranya dia kembali? Apa di masa depan sana dia masih ada, atau jangan-jangan
sudah mati? Enggar ngeri membayangkannya.
Singo Abang berhenti
menyerut kayu di tangannya yang sudah berbentuk seperti kuda. Dia menolehkan
kepala ke arah Enggar. Dilihatnya gadis itu menelungkupkan kepala di lututnya
yang ditekuk. Pundaknya berguncang.
Perlahan Singo Abang
berdiri dan berjalan mendekat. Enggar yang merasakan kehadiran seseorang di
depannya, mendongakkan kepala dan menghapus air matanya. Mereka saling menatap,
seperti kepada orang yang baru kenal. Padahal Puteri Anggoro tidak asing bagi
Singo Abang. Setidaknya mereka pernah bertemu beberapa kali.
“Kenapa menangis, apa
ada yang sakit, Puteri?” tanya Singo Abang.
Enggar menggeleng. “Namaku
Enggar, Bang. Aku serius. Untuk apa sih aku bohong? Aku nggak seharusnya ada di
sini. Aku ingin pulang, tapi nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut terjebak
di sini selamanya.”
“Kalau kamu Enggar, lalu
Puteri Anggoro dimana? Secara fisik kamu adalah Puteri Anggoro, aku tidak
mungkin salah.” Singo Abang menghela napas. “Tapi kuakui sifatmu jauh berbeda.”
“Karena aku bukan dia,”
bisik Enggar tertahan.
“Bagaimana bisa itu
terjadi?” Singo Abang mengulurkan sehelai kain merah dari balik saku bajunya,
agar digunakan Enggar untuk menghapus air mata.
“Mana aku tahu? Aku
sadar tiba-tiba sudah ada di sini. Bagaimana aku tidak panik, Bang. Jaman
Majapahit itu tujuh ratus tahun lalu dari jamanku!” Enggar menerima kain merah
itu dan digunakannya untuk mengikat rambut.
“Tujuh ratus tahun.” Singo
Abang menggosok dahinya. “Kamu bukan dari jaman ini. Jiwamu datang dari masa tujuh
ratus tahun ke depan...” gumam Singo Abang. Enggar mengangguk, mengharap Singo
Abang mempercayainya dan mengerti kenapa dia terkadang paranoid.
“Ini kasus kepribadian
ganda pertama yang kutahu begitu jelas. Mungkin pembunuhan itu telah
memunculkan kepribadian lainmu yang selama ini tersembunyi. Kadang kejadian
yang mengguncang jiwa bisa memicu itu. Secara tidak sadar kamu menjadi orang
lain untuk melindungi diri. Mengacaukan pemikiran orang-orang di sekitarmu.
Kamu merencakan sesuatu? Terhadap orang-orang yang menjebakmu?” kata Singo
Abang.
Yah, mentah lagi. Si
berewok ini tetap saja belum percaya kalau dia dari masa depan. “Aku nggak
berkepribadian ganda, Bang,” ucap Enggar bete.
“Hm..sebelum ke
kotaraja mungkin kita terlebih dulu menemui Mpu Soma untuk membaca keadaanmu.
Selain mempunyai keahlian dalam membuat senjata, beliau juga menguasai ilmu
pengobatan. Siapa tahu beliau bisa memahamimu.” Singo Abang kelihatan bersimpati.
“Ini sudah larut, sebaiknya kamu istirahat.”
Singo Abang hendak
beranjak, tapi Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa bisa Mpu Soma
mengembalikanku ke masa depan?” tanya Enggar.
“Tidurlah.” Singo Abang
melepaskan tangan Enggar. Gadis itu belum juga berbaring, gelisah. Apa nanti
kalau dia tidur dan terbangun masih berada di sini?
Hujan belum ada
tanda-tanda untuk berhenti.
***