Enggar dibawa ke sebuah
warung paling besar di pasar. Di warung itu hanya ada prajurit kerajaan dan
pemimpinnya. Sesuai petunjuk Singo Abang, Enggar menundukkan kepala dalam-dalam
begitu dihadapkan pada Cakrawaja. Dia juga berlutut dan menghaturkan sembah.
“Kita bertemu lagi, Anak
gunung. Kau tidak menatapku seperti waktu itu, kakakmu sudah mengajarimu
bagaimana berhadapan dengan seorang bangsawan kerajaan ya? Bagus.” Cakrawaja
mendekati Enggar. Terlalu dekat. “Berdirilah. Ayo, berdiri. Aku yang
menyuruhmu. Tidak perlu ragu, justru kau harus mematuhinya. Angkat kepalamu,”
perintah Cakrawaja. Enggar menurut.
Cakrawaja tersenyum. “Kemana
tujuanmu? Kenapa bisa sampai kemari? Jawablah.” Mata Cakrawaja tak lepas memandang
wajah di hadapannya yang semakin lama semakin terlihat cantik.
“Berkunjung ke rumah
saudara, Tuanku,” jawab Enggar mengarang. Debaran jantungnya semakin tidak
beraturan. Dia menduga Cakrawaja sudah mencurigainya sebagai perempuan.
“Kau sudah pernah ke
kotaraja? Tentu saja belum, kau kan baru turun gunung. Kotaraja itu tempat yang
indah. Pasarnya jauh lebih ramai dan besar dibandingkan tempat ini. Kau bisa
membeli apa saja di sana. Semangka, manggis, durian, berbagai macam
buah-buahan. Kau bisa membeli pakaian yang lebih bagus, sandal yang lebih
bermutu, apapun kebutuhanmu tersedia. Kau berminat pergi ke sana?” pancing
Cakrawaja.
“Itu terserah kakak
hamba, Tuanku.” Enggar berusaha membuat suaranya terdengar lebih dalam.
Cakrawaja mengulurkan
tangan, memegang pundaknya. “Kau sudah besar, kau tidak perlu dia. Bagaimana
kalau kau ikut ke kotaraja, bekerja padaku. Kerajaan sedang membutuhkan tenaga
segar sebagai prajurit. Gajinya lumayan.”
Bulu kuduk Enggar berdiri. “Ampun, Tuanku,
hamba jadi petani saja.” Kepalanya ditundukkan. Badannya gemetaran.
“Jangan begitu. Menjadi
prajurit itu adalah tugas mulia. Mengabdi pada kerajaan. Kupikir kau cukup
memenuhi syarat. Orang gunung adalah pekerja keras. Otot mereka terbentuk sejak
kecil.” Cakrawaja mengambil pedang dari salah satu prajuritnya. Pedang itu
diberikan pada Enggar. “Coba pegang pedang ini. Pegang!” bentaknya.
Enggar terpaksa
memegangnya, dengan tangan bergetar.
Cakrawaja mengambil
satu pedang lagi. Dengan gerakan tiba-tiba dia mengayunkan perang ke Enggar.
Kalau Enggar adalah perempuan seperti dugaannya, dia akan menjerit dan
berjongkok atau mungkin malah pingsan.
Ting!!
Suara pedang beradu.
Tubuh Enggar seolah
membeku. Matanya terpejam pasrah.
Tidak ada rasa sakit di
tubuhnya, berarti dia tidak apa-apa. Lalu suara pedang beradu itu milik siapa?
Perlahan Enggar membuka matanya, meski pandangannya tetap ke arah ujung kakinya.
Ada seseorang berdiri di depannya.
“Jangan mempermalukan
diri dengan menakuti anak kecil, Cakrawaja.”
Itu suara Haryo! Sontak
Enggar langsung membuka mata lebar-lebar dan menengadahkan kepala. Raut
wajahnya terkejut dan tegang, matanya merem lagi karena gentar.
Ternyata ada banyak
ujung pedang terhunus ke arahnya dan Haryo. Prajurit-prajurit Cakrawaja sudah
mengepung, siap menyerang. Satu kode saja dari Cakrawaja pasti sudah terjadi
pertarungan. Untung kode yang diberikan adalah kode untuk menurunkan senjata.
“Pangeran Haryo, tidak
menyangka bertemu kau di sini.” Suara Cakrawaja terdengar menahan geram.
Mata Enggar terbuka
lagi, memandang Haryo dengan kagum.
Tampan, kaya, pangeran
pula. Kualitas yang tidak bisa dianggap remeh.
“Kebetulan saja aku lewat.
Kulihat panji-panjimu, jadi kuputuskan untuk mampir menyapa. Siapa bocah
laki-laki ini? Dia mengganggumu?” tanya Haryo sambil melirik Enggar. Senyum
maut Haryo hanya sedetik, tapi sudah mampu membuat perut Enggar melilit.
“Apa yang kau lakukan
di tempat ini?” tanya Cakrawaja gusar.
“Aku mencari buronan.”
Haryo merangkul Cakrawaja sembari membawanya menjauh dari Enggar. “Ini buronan
nomor satu. Kalau berhasil menangkapnya, namaku akan makin terkenal. Kecuali
kalau kamu yang menangkapnya dulu.”
“Buronan?”
“Iya.” Haryo membawa
Cakrawaja duduk. “Hei, apa kamu akan membiarkan bocah itu terus di sini? Suruh
pergi saja dia. Kalau dia mendengar informasi yang akan kusampaikan padamu,
akan banyak saingan nanti. Tidak seru lagi.”
Cakrawaja tidak segera
bertindak. Tampaknya dia keberatan dengan permintaan Haryo untuk mengusir “bocah”
itu. Tapi karena Haryo terus mendesaknya dengan sikap tubuhnya yang
mengintimidasi, akhirnya Cakrawaja memberi isyarat agar prajuritnya membawa
Enggar keluar.
“Aku mencurigai bocah
itu seorang perempuan. Aku rasa aku pernah melihat wajahnya,” kata Cakrawaja.
Matanya masih mengawasi Enggar.
Haryo menoleh ke arah
Enggar yang sudah digiring melewati pintu. “Dia perempuan? Jangan mengada-ada. Kalau
dia perempuan pasti sudah menjerit-jerit tidak karuan saat kamu mengayunkan
pedangmu.” Haryo menuangkan minuman untuk Cakrawaja.
“Garis wajahnya terlalu
lembut untuk ukuran laki-laki,” gumam Cakrawaja. “Mencurigakan. Tidakkah kau
lihat tangannya yang halus? Itu bukan tangan petani.”
“Astaga, untuk apa aku
memperhatikan tangan bocah laki-laki segala, seperti tidak ada urusan yang
penting saja. Cakrawaja, aku mau bicara serius. Lupakan dulu bocah itu. Soal
buronan yang kubilang tadi, ilmunya sangat tinggi. Dia bisa membawa kabur
narapidana hukuman mati tanpa seorangpun tahu wajahnya. Di dunia hitam pun
tidak ada yang mengenalinya sebagai anggota. Kupikir dia orang baru.”
Sementara Haryo
mengalihkan perhatian Cakrawaja, di luar Enggar didorong dengan kasar sampai
terjerembab ke tanah. Gadis itu buru-buru lari sebelum dapat masalah lagi.
Tanpa berani menoleh ke
arah belakang, Enggar berlari kencang ke arah jembatan. Suaranya terpekik saat sepasang
tangan tiba-tiba menyambarnya.
“Bang Si..!
Singo Abang membekap
mulutnya sebelum Enggar teriak. “Kita pergi sekarang. Disini sudah tidak aman.”
Singo Abang membawanya lari ke belakang, ke arah kebun. Sanip sudah menunggu di
sana dengan kuda Singo Abang.
Mereka mengambil jalan
lain yang jarang dilewati orang agar tidak terpantau anak buah Cakrawaja.
“Apa yang terjadi
barusan?” tanya Singo Abang. “Kamu ini memang tidak bisa ditinggal sendirian.
Baru menoleh sebentar kamu sudah hilang. Sepertinya memang kamu harus diikat.”
“Emangnya sayuran,
diikat?”
“Untung saja Haryo bisa
menyelamatkanmu tepat waktu.”
“Mas Haryo memang
keren.” Enggar tersenyum penuh arti, membuat Singo Abang mengernyitkan dahi.
“Aku yang menyuruhnya
menjemputmu. Kalau aku sendiri yang datang, dramanya akan kepanjangan. Aku
tidak mau menarik perhatian lebih besar. Kita harus tetap di bawah tanah sampai
kasus ini terang benderang” Singo Abang terlihat tidak terima melihat Enggar
terpesona oleh Haryo.
“Bang, sepertinya
Pangeran Cakrawaja curiga kalau aku ini cewek. Apa dia pernah bertemu Puteri
Anggoro?”
“Ya.” Singo Abang naik
ke punggung kuda dan menarik Enggar serta.
“Pantas lah.
Penyamaranku kurang canggih ya. Harusnya ditambah kumis palsu biar meyakinkan.”
Enggar mengelus wajahnya, membayangkan kalau dia harus pakai kumis atau
berewok.
“Jangan aneh-aneh,
tambah mencurigakan,” ujar Singo Abang.
“Kok Cakrawaja itu
tidak mengenalimu saat bertemu dulu, Bang? Atau karena penampilan Bang Singo
berubah total, jadi rimbun seperti beruang, eh, orangutan. Waaaa!” Enggar
berteriak kaget karena Singo Abang menggebrak kuda tanpa bilang-bilang. Hampir
saja gadis itu terjungkal ke belakang. “Mau membunuhku ya?” Enggar menjambak
rambut Singo Abang dengan sewot.
“Aduh!” Singo Abang
mengelus kepalanya. “Seenaknya saja kamu memanggilku perampok, pengangguran,
beruang, orangutan. Tidak sopan!”
“Habisnya mirip.”
“Mirip gimana? Asal tahu
saja, orang-orang menganggapku ganteng,” ucapnya kesal.
“Ganteng itu kayak Mas Haryo
tuh. Bersih, rapi, cakep,” kata Enggar memancing emosi Singo Abang. Agaknya
berhasil karena dia mendengar lelaki itu menggeram.
“Kau belum lihat saja
aku yang sebenarnya.”
“Aku sudah lihat, Bang,
kita kan bersama setiap hari. Ekspresi Bang Singo kebanyakan galak dan suram,
jadi nggak cakep. Banyakin senyum dong kayak Mas Haryo, biar aura gantengnya
keluar dari dalam. Eh, tunggu dulu, kenalan Bang Singo kok pangeran semua ya,
apa sebenarnya Bang Singo juga pangeran? Ah, nggak mungkin kayaknya,” ujar
Enggar sambil menggelengkan kepala. “Atau asistennya pangeran?”
“Berisik!”
***
Desa Ketanggung tempat
Mpu Soma tinggal, terletak di kaki Gunung Penanggungan. Memiliki klinik,
sekolah, dan memiliki bengkel kerja pembuatan barang-barang dari logam, Mpu
Soma sudah benar-benar mengabdikan dirinya untuk penduduk setempat.
Singo Abang dan Enggar
sampai di desa tersebut menjelang matahari tenggelam. Rumah Mpu Soma, atau
lebih dikenal sebagai Mbah So, agak terpisah dari rumah penduduk yang lain,
berada paling ujung dan paling tinggi lokasinya. Kebun buah-buahan dan tanaman
obat seluas hampir lima hektar mengelilingi kompleks rumahnya.
Rumah pertama setelah
pintu gerbang adalah klinik pengobatan gratis. Di belakangnya, berjarak hampir
tiga ratus meter adalah sekolah. Ini pun bagi siapa saja, dari anak-anak sampai
orang dewasa. Lebih jauh di belakang ada bangunan untuk bengkel kerja, mengolah
logam menjadi berbagai macam peralatan.
Tempat tinggal Mbah So
sendiri ada di samping sekolah, sedangkan orang-orang yang membantunya
mengelola tempat ini ada di sisi lainnya. Ada beberapa pondok kosong yang
disiapkan untuk para tamu. Yang datang ke kediamannya bukan hanya berasal dari
daerah sekitar, tapi dari tempat jauh. Bahkan orang-orang dari pulau seberang,
orang Cina dan Gujarat juga kadang
berkunjung.
“Gile bener, keren kali
tempat ini. Asyik buat wisata. Kita akan tinggal di sini ya sementara? Di mana
Mpu Soma-nya? Kok nggak ada yang menyambut kita sama sekali sih?” tanya Enggar.
Singo Abang turun dari
kuda tanpa menjawab pertanyaan Enggar. Mereka sudah memasuki halaman klinik.
Beberapa orang terlihat duduk-duduk di pendopo. Ada juga yang berbaring.
Seseorang memanggil nama mereka dan yang dipanggil masuk ke salah satu ruangan.
“Permisi, Mbah So ada,
Pak?” tanya Singo Abang pada seseorang berpakaian putih yang sedang menyapu
halaman.
“Mbah So masih di
gunung mencari tumbuh-tumbuhan obat, Nakmas. Mungkin besok malam baru kembali.
Ada keperluan apa ya? Kalau mau berobat silahkan ke pendopo.”
“Bapak mengenal Sanip?”
tanya Singo Abang.
“Sanip?” Si bapak
termangu sesaat. Dilihatnya baik-baik pemuda di hadapannya, lalu diingatnya
ciri-ciri pangeran yang akan datang kesini seperti yang disebutkan oleh Sanip. “Oh,
maafkan hamba tidak mengenali anda, Tuanku.” Lelaki setengah baya itu langsung jongkok
dan menghaturkan sembah. “Hamba, Susatra, akan mengantar Tuanku ke belakang untuk
beristirahat. Mbah So sudah berpesan pada kami untuk melayani semua kebutuhan
Tuanku.”
Singo Abang buru-buru
menarik bapak itu agar berdiri sebelum Enggar bertanya macam-macam. Untung saja
dia lagi sibuk mengamati seekor monyet yang duduk santai di atas pagar.
“Panggil nakmas saja
dan tidak perlu menyembah segala. Oh ya, itu adik saya, Enggar.” Singo Abang
menoleh ke arah Enggar. Pak Susatra tampak heran melihat Enggar yang lari karena
dilempari buah-buahan oleh monyet itu.
“Hus, Jambul Abang,
tidak boleh!” teriak Pak Susastra kepada monyet itu. “Maaf, biasanya Jambul
Abang tidak pernah nakal seperti itu, Nakmas... Siapa saya harus memanggil
Nakmas?” Pak Susastra menunggu Singo Abang menyebutkan namanya.
Singo Abang hendak
menyebut nama samarannya, tapi diurungkan. Dikira meniru nama Jambul Abang. “Barata.”
Singo Abang menyebutkan nama aslinya. “Pak Susatra, dimana aku harus menyimpan
kudaku?”
“Biar Markun yang akan
membawa kudanya ke belakang. Markun!” Pak Susatra memanggil seorang pemuda yang
sedang menyapu di bagian samping pendopo. Markun datang dan segera melaksanakan
tugas. “Pondok Nakmas yang nomor tiga, adik Nakmas di nomor empat.”
“Terima kasih, Pak
Susastra.” Singo Abang melambaikan tangan ke arah Enggar, memintanya mendekat.
“Monyetnya tidak suka
padaku,” bisik Enggar pada Singo Abang. “Ternyata nama yang ada ‘Abang’nya
memang tidak berjodoh denganku,” kata Enggar, terkekeh. Tawanya terhenti seketika
karena Singo Abang menyentil dahinya cukup keras.
“Ayo jalan,” perintah
Singo Abang yang sudah beberapa langkah di depannya.
Enggar berlari kecil
menyusul Singo Abang yang mengambil jalan setapak di samping kiri klinik. Sambil
berjalan beriringan, Enggar mengamati pemandangan di sekitarnya.
“Tempat Mpu Soma bisa
buat acara outbond nih, Bang. Asri
banget. Tinggal nambah restoran aja biar pengunjung makin betah. Pak Bogar bisa
jadi chef-nya,” ujarnya ceria.
“Sudah berapa kali
kubilang, jangan menggunakan kata-kata yang aneh, aku tidak mengerti. Apa itu outbond, apa itu chef. Kau ini ada di jaman Majapahit, berlakulah seperti orang
Majapahit. Banyak telinga di sekitar kita, hati-hati kalau bicara. Jangan membuat orang curiga,” kata Singo
Abang mengingatkan.
“Iya. Iya, sori. Eh,
maaf.”
Kemudian mereka
berjalan tanpa suara setelah Enggar meminta maaf.
“Lalu apa artinya?”
Singo Abang rupanya tidak betah dengan suasana hening itu.
“Arti apa?”
“Outbond dan chef.” Singo
Abang berdehem.
Enggar terkekeh. “Hehehe,
rupanya mau tahu juga. Rahasia.” Enggar tersenyum penuh kemenangan demi melihat
muka penasaran Singo Abang. Lelaki itu menyeringai sebal.
“Hei, kamu mau apa
mengikutiku terus? Pondokmu di sebelah sana.” Singo Abang menunjuk ke pondok
yang ada di sebelah pondoknya saat mereka sudah tiba di tujuan. “Jangan membuat
keributan ya. Jangan juga menggangguku, aku mau istirahat dengan damai. Sana!”
“Iya iya. Eh, Bang, ntar
kalo Mpu Soma pulang kasih tahu aku ya.”
Singo Abang hanya
menjawab dengan acungan tangan mengarah ke pondok, menandakan Enggar disuruh
buruan ke sana dan tidak mengganggunya.
***
Kabut masih menggantung
di udara ketika Enggar mendengar suara orang-orang berseru setelah pada
hitungan tertentu. Dibukanya pintu pondok dan dilongokkannya kepala keluar.
Hawa dingin menyergapnya, membuat Enggar mengigil. Digosok-gosokkannya kedua
tangannya, kemudian letakkan di wajah kemudian ke telinganya. Sehabis subuhan
tadi dia meringkuk lagi di balik selimut dan terbangun dengan suara-suara itu.
Ada sekitar dua puluh
orang laki-laki, sebagian besar masih remaja berada di lapangan di depan
sekolah. Di udara sedingin ini mereka bertelanjang dada dan berbaris sambil
melakukan gerakan-gerakan pencak silat. Pak Susatra yang ada di luar barisan
sesekali memperbaiki sikap tubuh anak-anak yang kurang tepat.
Enggar menggerak tubuh
dan pundaknya, meregangkan otot. Sesekali masih mengigil, tapi berusaha
dikurangi dengan meniup kedua tangannya. Dia sudah ada di tepi lapangan
sekolah, mengamati kegiatan mereka. Ternyata jaman ini tidak jauh beda sama
masa depan.
Berhari-hari berkuda
dan sering jatuh membuat badan Enggar terasa loyo. Dia perlu melancarkan aliran
darah dengan berolahraga, sekalian mengurangi hawa dingin. Enggar mulai
pemanasan untuk senam. Sesekali dia mengaduh, tapi diteruskan juga gerakannya.
Suara teriakan latihan
bela diri di tengah lapangan mulai tidak serempak karena sebagian dari mereka
memperhatikan apa yang dilakukan Enggar. Beberapa ada yang cekikikan setiap
kali Enggar mengaduh kesakitan.
Pemanasan selesai,
saatnya latihan inti. Mulailah Enggar melakukan senam kesegaran jasmani, sambil
mengumamkan musik pula. Latihan di lapangan sudah benar-benar buyar. Mereka berdiri
berjajar menonton Enggar yang gerakannya ganjil. Satu orang menirukan gerakan Enggar,
disusul yang lain.
Singo Abang membuka
matanya. Dia baru tidur beberapa jam karena semalam menunggu kedatangan Haryo
dan Sanip. Dini hari tadi Jandul dan Bogar juga sampai di situ. Baru
enak-enaknya merem, di luar ribut sekali.
Dipejamkan matanya
lagi. Terdengar suara tawa berderai. Apa yang dilakukan orang-orang itu? Singo
Abang mendengus kesal. Dia bangun dari balai-balai dan keluar dari pondok.
Terpampanglah
pemandangan ajaib itu. Enggar ada di depan, menari diikuti dua puluh orang
murid sekolah ini.
“Suaranya manaaa?” seru
Enggar.
“Haaaaa!” teriak mereka
kompak saat melakukan gerakan terakhir pendinginan, mengambil napas dalam-dalam
dan mengeluarkannya dengan kedua tangan terbentang lebar.
Singo Abang menepuk
jidatnya. Parah parah. Anak itu merusak tatanan.
Latihan pagi
dibubarkan. Semua kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugas
sehari-hari. Enggar mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung
tangan. Meskipun masih agak sakit, tapi tubuhnya sudah enakan rasanya sekarang.
“Kamu belajar ilmu
beladiri seperti tadi dari siapa?” tanya Singo Abang yang berdiri tak jauh
darinya, menyandar di batang pohon randu.
“Itu bukan ilmu
beladiri, itu senam. Olahraga untuk kesehatan badan. Berhari-hari di atas
punggung kuda, tubuhku kaku dan sakit. Aku perlu relaksasi, melemaskan otot.”
“Apa itu bisa
menolongmu saat menghadapi penjahat bersenjata?”
“Ya jelas nggak lah,
gimana sih,” celetuk Enggar santai.
“Jadi mungkin kamu
harus belajar bersama mereka berlatih ilmu beladiri, bukannya mengajari mereka
senam pagi,” ujar Singo Abang. Enggar menyeringai. Pagi-pagi sudah mengajak
bertengkar, mending ditinggal saja.
Baru tiga langkah Enggar
berjalan, tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di tanah, satu jengkal
dari kakinya. Enggar berteriak kaget sambil menutup mukanya.
“Di sini banyak orang
yang sedang memburumu. Mereka tidak mengenal kasihan. Apalagi kepalamu berharga
satu kantong uang emas. Aku tidak mungkin bisa berada di sampingmu sepanjang
waktu. Jadi mau tidak mau kamu harus belajar membela diri. Kalau kemampuanmu
hanya seperti itu, kamu pasti sudah mati dari tadi.” Singo Abang sudah ada di
hadapan Enggar.
“Jangan nyumpahin gitu
dong, Bang.”
“Kenapa tidak bilang
kalau Cakrawaja memaksamu mengunakan pedang?” Pedang yang tertancap di tanah
dicabut oleh Singo Abang. Tatapan matanya tajam menembus ke jantung hati
Enggar. Ada kemarahan, tetapi juga ada rasa peduli yang dirasakan Enggar dari
tatapan itu.
“Penting ya itu
diceritakan?” Enggar menggaruk kepala. Berusaha menetralkan percikan aneh yang
dirasakannya.
“Dia sudah
mencurigaimu, bukan sebagai perempuan saja, tapi juga sebagai Anggoro. Kalau
dia sudah curiga, semua orang akan curiga, karena dia tidak bisa menutup mulutnnya.”
Singo Abang mengitari Enggar
“Terus aku harus ganti
penyamaran gitu, Bang?” tanya Enggar polos.
“Kamu harus belajar
menggunakan senjata. Juga membela diri,” tukas Singo Abang.
“Tua di sini dong aku.
Belajar beladiri kan butuh waktu tahunan, Bang. Padahal aku nggak berencana di
sini lama-lama. Aku mau pulang.”
“Itu kalau kamu bisa
menemukan cara untuk pulang, dan kalau tidak mati duluan.” Kata-kata Singo
Abang mematahkan semangat saja. “Makanya belajar dari sekarang.” Diberikannya
pedang itu pada Enggar.
Haryo melihat mereka
dari kejauhan memperhatikan Singo Abang yang mengajari Enggar bagaimana teknik
menggunakan pedang. Mengajari pemula langsung memakai pedang sungguhan, itu
terlalu berat. Dia dan Singo Abang saja berlatih dengan pedang kayu sampai satu
semester.
“Bar, sarapan dulu.”
Haryo melambaikan tangan, mencoba menghentikan mata kuliah ilmu pedang itu
sebelum Enggar kepayahan.
Pedang yang ada di
tangan Enggar langsung lepas begitu mendengar kata sarapan. Dia sudah kelaparan
berat. Dengan suka cita dia pergi meninggalkan Singo Abang untuk bergabung
dengan Haryo.
“Hei hei hei, mau kemana?
Latihannya belum selesai!” seru Singo Abang. Lari Enggar makin kencang.
Haryo tersenyum saat
Enggar sudah ada di sebelahnya. “Gerakan-gerakan yang kamu ajarkan ke anak-anak
di sini tadi bukannya gerakan yang kamu lakukan waktu menghadapi perusuh di
desa?”
“Hehehe..iya. Itu
namanya senam kesegaran jasmani. Aku nggak punya jurus apa-apa, ya udah ngawur
saja. Yang penting bisa membuat penjahatnya bingung dulu, jadi aku bisa
melarikan diri,” kata Enggar santai.
“Boleh juga akalmu.
Tapi di situasi yang lain, senam itu mungkin tidak bisa membantu. Aku mengerti
kenapa Barata mengajarkanmu bagaimana menggunakan pedang. Semalam aku
menceritakan kejadian di warung tempo hari. Dia kelihatan gusar sekali. Kurasa
kamu memang perlu dibekali dasar-dasar beladiri. Hanya saja Barata agak
terburu-buru.”
“Aneh rasanya mendengar
nama Barata. Singo Abang aja deh nyebutnya, biar lebih menggemaskan,” kata
Enggar geli. “Soalnya di sini ada monyet yang namanya Jambul Abang. Singo
Abang, Jambul Abang, lucu kan?” lanjut Enggar.
Haryo tersenyum.
“Bagaimana kalau aku yang mengajarimu beladiri?” tawarnya. “Kita bisa
menggunakan pedang dari kayu dulu.”
“Harus hari ini ya? Lihat,
tanganku sudah agak melepuh karena latihan pedang tadi. Besok aja gimana?”
pinta Enggar.
“Kalau begitu kuajarkan
jurus tangan kosong saja, tidak perlu menggunakan senjata. Mpu Soma masih nanti
malam kembalinya. Kamu kan tidak ada kegiatan apa-apa. Daripada menganggur,
lebih baik belajar,” kata Haryo
“Tapi Mas Haryo nggak
akan segalak Bang Singo kan?”
“Memangnya aku ada
tampang galak?” tanya Haryo.
Enggar langsung
menggeleng dengan pasti. “Mas Haryo sih nggak galak, ganteng iya,” gumamnya
pelan.
***