Dua hari berikutnya
Enggar, Singo Abang dan Jandul pergi meninggalkan Ketanggung. Untuk sementara
Sanip dan Bogar tetap di sana. Tenaga keduanya dibutuhkan untuk melatih
orang-orang mengenai seni tembikar dan seni kuliner. Seperti dugaan Sanip,
celengan yang dibuatnya atas ide Enggar waktu itu banyak peminatnya, jadi dia
harus memberi pelatihan di beberapa tempat.
Mereka duduk di atas
kuda masing-masing. Enggar sudah berlatih naik kuda dan semakin meningkat
kemampuannya, meski tetap dalam pengawasan ketat Singo Abang. Perjalanan ke
kotaraja membawa sensasi tersendiri bagi Enggar. Dia penasaran seperti apa
pusat ibukota Majapahit itu.
“Bang Singo anak
menteri, berarti semacam pangeran begitu?” tanya Enggar.
“Tidak usah
dibicarakan,” tolak Singo Abang, merasa tidak nyaman.
“Jadi betul Bang Singo
itu pangeran? Ah, rasanya mustahil. Apa nama panggilan Abang di sana? Pangeran
Barata? Di sana nanti harus memakai tata krama, menyembah-nyembah begitu? Harus
berbahasa halus dan lembut?”
Sepanjang perjalanan
kemudian Singo Abang mesti menahan asam lambung karena mendengar Enggar yang
tak kunjung padam bertanya. Baru saat mereka memasuki kotaraja, Enggar
kehabisan kata-kata. Dia sibuk mengagumi rumah-rumah beratap genteng, tertata
apik dan rapi. Orang Majapahit sudah membuat sistem pembuangan air dengan
membangun selokan-selokan di sisi kaki bangunan. Selokan itu dibangun dari
satuan-satuan bata untuk memperkuat strukturnya dan memudahkan air mengalir
lebih cepat. Halaman-halaman rumah mereka dihiasi jambangan air dan kendi
berhias di antara tanaman-tanaman menghijau. Enggar juga sempat melihat
beberapa candi selama perjalanan.
Orang-orang ibukota
memang selalu berbeda dengan orang-orang di perkampungan. Di kotaraja ini
orang-orang berpakaian lebih indah dan lebih mahal. Selain orang Majapahit,
Enggar juga melihat orang-orang Cina dan Gujarat. Sebagian ada yang hanya
berkunjung untuk keperluan berdagang, tetapi ada juga yang menetap di kotaraja.
Para pedagang Cina mengenakan jubah panjang menutup seluruh tubuh dengan
kancing baju terletak di bagian tengah depan, ditandai garis lurus vertikal
atau kadang polos, serta topi bulat di kepala. Beberapa orang Gujarat juga ada
di sini, dikenali dengan tutup kepalanya yang berbentuk kopiah atau sorban,
selain mata besar, hidung mancung besar dan bibir tebalnya.
“Kita sudah ada di
gerbang istana,” kata Singo Abang. Di hadapan mereka terdapat sebuah gerbang
tinggi yang dijaga oleh prajurit kerajaan bersenjatakan tombak dan tameng.
Singo Abang mengeluarkan sebuah lempengan berwarna keemasan, tanda bahwa dia
anggota kerajaan, untuk ditunjukkan kepada prajurit penjaga. Mereka bertiga
dipersilahkan masuk setelah pengecekan.
Di dalam komplek istana
ini rumah-rumahnya jauh lebih bagus dan besar daripada yang di luar sana.
Enggar sampai berkali-kali berdecak kagum. Inikah jantung kerajaan Majapahit?
Apa dia akan mengenali bila berpapasan dengan orang-orang yang dibacanya di
buku sejarah? Perlukah dia minta tanda tangan sama orang-orang bersejarah itu?
Jantung Enggar berdebar-debar memikirkannya.
“Itu rumahku.” Singo
Abang menunjukkan sebuah gerbang yang dijaga dua orang prajurit. Dua orang itu
buru-buru memberi hormat dan mempersilahkan mereka masuk. Kedatangan mereka
langsung disambut seorang pria bertubuh tambun yang langsung mengingatkan
Enggar pada Semar.
“Pangeran Barata,
syukurlah Pangeran pulang. Kanjeng Puteri pasti senang sekali. Mari, Pangeran,
hamba antar ke dalam,” kata pria bertubuh tambun itu.
“Pak Samar, masih ingat
dengan Jandul kan?” tanya Singo Abang. Pak Samar mengangguk. “Ini Puteri
Enggar, tolong suruh Mbok Sorjan melayaninya baik-baik. Dia tamu pentingku.”
“Baik, Pangeran.”
“Enggar, kita berpisah
dulu. Aku harus menemui ibu, baru kemudian aku menemuimu. Tidak apa-apa, tidak
usah takut atau sungkan. Kamu akan dilayani dengan baik. Nanti sore kita
bertemu lagi. Aku akan menyuruh orang mengantarkan pesan untukmu.”
“Aku tidak bisa ikut
Bang Singo ya?” bisik Enggar agak kuatir.
“Di istana aturannya
cukup ketat, tidak seperti di luar sana. Aku akan jelaskan padamu nanti. Pak
Samar, tolong panggil Mbok Sorjan kemari sekarang,” pinta Singo Abang.
“Baik, Pangeran.”
Pak Samar bergegas
pergi dan kembali sebentar kemudian dengan Mbok Sorjan. Perempuan setengah tua
berbadan tak kalah tambun dari Pak Samar tampak senang sekali tuan mudanya
pulang. Mbok Sorjan ibaratnya ibu kedua dari Singo Abang. Dia yang merawatnya
sejak kecil. Semenjak Singo Abang keluar dari rumah setiap hari doanya agar
tuan mudanya itu pulang.
“Mbok, memeluknya nanti
saja kalau tidak ada orang,“ bisik Singo Abang ketika Mbok Sorjan mau
memeluknya. Enggar tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Mbok, ini Puteri
Enggar. Kuserahkan dia sepenuhnya pada Mbok Sorjan. Awas kalau sampai dia
lecet-lecet. Nanti Mbok tidak kuajarin nulis surat cinta pada Pak Samar.”
“Ih, Pangeran ini masih
saja suka menggoda. Mbok sudah menikah dengan Pak Samar sembilan bulan lalu,
jadi tidak perlu surat cinta,” kata Mbok Sorjan malu-malu. Singo Abang tertawa.
Enggar sampai mencubit tangannya, mengira itu mimpi. Ini pertama kalinya dia
melihat Singo Abang tertawa. Kok cakep...
Singo Abang mendekati
Enggar. “Enggar, ikut Mbok Sorjan ya. Dia sudah seperti ibuku, jadi kamu akan
aman bersamanya. Jandul, ikut aku.”
Mereka pun berpisah.
Mbok Sorjan menatap
Enggar dengan sinar matanya yang ramah. Dia bisa merasakan kalau gadis kucel di
hadapannya ini istimewa bagi Barata-nya. Pangeran Barata bisa tertawa lagi, itu
baru luar biasa.
“Mari ikut hamba,
Puteri. Kita perawatan tubuh dulu agar badan Putri yang lelah selama perjalanan
bisa segar kembali.”
Kedengarannya
menyenangkan.
***
Seumur-umur Enggar
tidak pernah spa di salon, jadi ketika dia mendapatkan perawatan kecantikan
secara lengkap begitu dari Mbok Sorjan dan para asistennya, dia hanya bisa
ketiduran. Habisnya enak banget dipijat, dilulur, mandi air wangi, dikeramas
dan disuguhi camilan. Surga dunia.
Penat, pegal, daki dan debu
dari perjalanan penuh petualangan dan bahaya selama berminggu-minggu ini lenyap
sudah. Begitu selesai diberi perawatan oleh para dayang, Enggar merasa begitu
bersih, harum, rileks dan cantik. Apalagi setelah itu dia beristirahat di
ranjang empuk dan lebar. Wah, nikmatnya.
Setelah sekitar dua jam
tidur, Enggar terbangun dengan senyuman tersungging di bibir. Tiap hari begini
bisa betah di Majapahit. Enggar berjalan ke sebuah meja di sudut ruangan. Ada
tempat berisi air dan kain di sisinya untuk cuci muka.
Pintu kamar diketuk.
Muncul seorang dayang muda, seusia Enggar. Dia bertanya apa Enggar siap dirias
karena Pangeran Barata hendak bertemu. Enggar mengangguk. Dia dipersilahkan
duduk di kursi di meja rias. Dayang itu menata rambutnya, membedakinya dan memasang
beberapa perhiasan. Untuk yang terakhir itu Enggar menolak, dia nggak mau
memakai perhiasan orang, takut nanti kalau terjadi apa-apa. Dia kan tidak punya
uang untuk mengganti bila perhiasan itu rusak atau hilang.
Setelah selesai
berdandan, Enggar mengikuti dayang itu menuju taman.
Taman samping dipenuhi
dengan berbagai bunga dan tanaman beraneka warna. Lantai taman terbuat dari
bebatuan bundar yang disusun sedemikian rupa dan dibingkai oleh bata, membentuk
segi empat yang saling terhubung dengan yang lain. Ada beberapa kandang yang
berisi burung-burung berbulu indah. Pohon buah-buahan ditempatkan di beberapa
titik. Ada kolam berair jernih dengan pancuran di tengahnya, menambah keasrian
taman itu. Rupanya keluarga Singo Abang memang kaya.
Tapi dimana laki-laki
itu? Katanya menunggu di taman, kok tidak tampak batang hidungnya.
Enggar berjalan menuju
tepi kolam. Ada sebentuk bangku panjang yang dipayungi tanaman merambat di
atasnya. Dia duduk di situ, menanti kedatangan Singo Abang sambil mengagumi pemandangan
di sekitarnya.
Ada seseorang datang.
Seorang pemuda tampan dengan seekor burung elang di pergelangan tangan kirinya.
Enggar segera berdiri, bersiap untuk menyapa. Dia mungkin salah satu pangeran
yang tinggal di sini. Sepupu Singo Abang atau saudaranya. Semoga dia sekedar
lewat saja dan tidak menanyainya macam-macam. Dia belum berkoordinasi dengan
Singo Abang, harus ngomong apa pada siapa, menjawab ini bila ditanya itu.
Enggar siap tersenyum.
Pemuda itu menghentikan langkahnya dan tertegun melihatnya. Enggar jadi kikuk.
Apa ada yang salah dengannya? Apa dandanannya mencurigakan?
Keduanya akhirnya hanya
saling menatap. Enggar grogi. Dia bahkan berusaha untuk tidak menelan ludah,
agar tidak semakin salah tingkah.
“Ehem.” Laki-laki muda
itu berdehem sambil mengalihkan pandangan ke burung elang di pergelangan
tangannya. Bukannya berjalan menjauh, dia malah menghampiri Enggar dan duduk di
bangku panjang itu.
Enggar buru-buru
berdiri dan menundukkan kepala. Tidak berani menyapa duluan, takut ditanyai
macam-macam.
“Kenapa berdiri terus.
Duduklah,” kata pemuda yang mengelus sayap elangnya dan menyuruhnya terbang.
“Ahh!!” Enggar berseru
kaget sambil tangannya menunjuk muka laki-laki di dekatnya. Itu kan suara Singo
Abang! Enggar spontan membungkukkan badan untuk mengamati lebih dekat. “Bang.
Betul kamu Bang Singo?” tanya dia tidak percaya.
***
2 comments:
Loveeeeeeeeeeeeee, keep spirit mbak👍
Fast update plis mbakkkkkk, gak sabar tau lanjutannya :')
Post a Comment