“Kenapa?” Singo Abang
menarik Enggar agar duduk di sebelahnya.
“Waaah.” Enggar masih
takjub. “Tidak ada berewok, tidak awut-awutan, tidak gondrong berantakan.”
Gadis itu menyentuh rambutnya, mengelus wajahnya, menggeleng-gelengkan kepala,
menatap kagum pada Singo Abang.
Ketika sadar apa yang
dilakukannya, terlebih lagi saat melihat tatapan mata Singo Abang yang
melelehkan jiwa itu lekat padanya, Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa, mau bilang aku
ganteng?” goda Singo Abang.
“He-eh.” Spontan Enggar
menjawab. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, pura-pura mencari kemana elang
itu terbang, karena malu. Dalam hati dia merutuk karena keceplosan mengatakan
isi hatinya.
Singo Abang tertawa bahagia
melihatnya. Duh, Enggar seperti cokelat di bawah terik mentari. Lumer oleh tawa
Singo Abang yang memesona.
“Kalau melihatku
sekarang ini, gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang iseng,
sekaligus penasaran. Sekian lama merasa tak dianggap, dia ingin pengakuan jujur
dari Enggar setelah melihatnya dalam sosok pangeran.
“Idih, Abang tanya yang
lain kenapa, kayak anak kecil.” Enggar beringsut menjauh, berusaha melarikan
diri. Tapi Singo Abang sudah keburu menangkap lengannya. Ditariknya kembali
gadis itu ke sisinya.
“Jawab saja, gantengan
mana aku sama Haryo?” desak Singo Abang.
Kalau saja Singo Abang
mendengar deburan ombak yang terasa di dalam dada Enggar, lelaki itu tidak
perlu lagi bertanya. Apalagi raut wajah Enggar sudah sedemikian bersemu merah
menahan jengah.
Getaran aneh menjalari
seluruh tubuh Enggar. Seolah ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya,
Enggar serasa melayang ketika jemari Singo Abang menyentuh lembut dagunya.
Keheningan sekaligus
ketegangan di antara mereka membuat keduanya kesulitan bernapas.
Oh,
Tuhan. Enggar memalingkan muka, menyadari keinginannya
untuk semakin dekat kepada lelaki di hadapannya semakin susah dikendalikan.
“Jadi gimana, apa yang harus kulakukan selama di sini? Aku tidak perlu bertemu
dengan orang tua Bang Singo kan?” hindarnya. Menghapus bayangan Singo Abang
mendekapnya hangat, sungguh terasa sayang.
Singo Abang menggeram
kalut. Sedikit lebih lama lagi mereka saling pandang seperti barusan, dia tidak
bisa menjamin dirinya untuk tidak mengecup bibir gadis di hadapannya.
“Selalu begitu kalau
ditanyain hal yang penting, tidak mau menjawab.” Singo Abang melipat tangannya
di depan dada. Meredakan gemuruh yang bergejolak.
Enggar mencibir. “Masa
penting bertanya gantengan mana?!” Singo Abang merusak momen indah.
“Penting buatku. Ayo,
gantengan mana?” kejar Singo Abang.
“Siapa yang lebih
ganteng dari siapa?”
Panjang umur. Pangeran
Haryo nongol dari belakang. Enggar yang posisinya memunggungi Haryo,
membalikkan badan dan berdiri. Agak terkejut juga dia melihat Haryo dengan
pakaian kebesaran seorang pangeran, tidak pakaian lapangan yang biasa dia
kenakan. Ketampanan lelaki itu naik lagi beberapa derajat.
Kalau tadi Singo Abang
tertegun saat melihat Enggar pertama kali dalam pakaian dinas seorang puteri,
Haryo membeku takjub.
“Enggar?” tanya dia
dengan wajah terpukau. Dia berjalan melewati Enggar dan berdiri tepat di
sebelah Singo Abang untuk melihat lebih jelas puteri jadi-jadian itu. “Kamu sungguh
jelita.”
“Mas Haryo bisa saja.
Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Enggar basa basi dan tersipu di waktu yang sama.
“Kamu benar-benar
membuatku pangling. Puteri-puteri di sini pasti pada ngiri melihatmu,” puji
Haryo tulus. “Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Singo Abang menyingkirkan
Haryo dari hadapan Enggar. Sifat kompetitif sekaligus kekanak-kanakannya muncul.
“Ganggu orang saja kamu, Yo. Aku sedang bicara serius dengan Enggar. Eh,
Enggar, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Gantengan mana aku sama Haryo?” tanya
Singo Abang, lebih gigih dari sebelumnya karena terbakar cemburu.
“Aku sama kamu
gantengan mana? Jelas aku,” sela Haryo terkekeh sombong. Singo Abang mendengus
kesal.
Enggar perlahan melipir,
menjauh dari mereka berdua agar tidak terperangkap antara dua pilihan. Bisa
terjadi perang bratayuda kalau dia bilang dua-duanya ganteng.
“Oh ya, Bar, aku ada
informasi terbaru. Di wilayah Keta ada laporan ada sejumlah pemuda pergi dari
rumah dalam waktu yang berdekatan, mirip seperti yang terjadi di Sadeng. Mereka
bilangnya pergi ke kota, tapi sepertinya tidak.” Haryo mengundur misi
perjuangan cintanya demi menyampaikan berita penting pada Singo Abang.
“Kau mencurigai ada
pergerakan di Keta?” Sesaat Singo Abang melupakan konflik pribadi dengan Haryo.
“Apa, Mas? Di mana
tadi?” tanya Enggar. Nama itu menggelitik kupingnya.
“Keta,” jawab Haryo.
“Kenapa?”
“Kamu teringat
sesuatu?” tanya Singo Abang.
“Aku belum yakin, tapi
nama itu tidak asing. Sadeng, Keta.” Enggar menggigit bibir bawahnya, berpikir
keras. Sementara itu kedua lelaki di hadapannya menatap penuh cinta. “Astaga!
Bang, aku ingat. Pada masa pemerintahan Tribuana Tunggadewi terjadi
pemberontakan Sadeng dan Keta, kalau tidak salah tahun 1331,” serunya.
Singo Abang dan Haryo
tampak kaget. Mereka sudah menduga ada gelagat pemberontakan, tapi semuanya
masih belum jelas.
Ketiganya lalu terdiam
sesaat, sambil saling pandang.
“Kamu yakin?” tanya
Singo Abang, memastikan Enggar tidak salah ingat.
“Di buku sejarah
begitu. Pada tahun 1331 Keta dan Sadeng hendak melepaskan diri dari Majapahit.
Tapi pemberontakan mereka berhasil ditumpas oleh...Gajah Mada.” Enggar menatap
mereka bergantian.
Haryo melirik Singo
Abang. “Menurutmu kita harus menemui Paman Gajah Mada, Bar?”
“Menemui Gajah Mada?”
Tenggorokan Enggar kering. Bertemu Gajah Mada secara langsung sama sekali tidak
ada dalam bayangannya. Enggar merasakan bulu-bulu berdiri. Dia tidak harus
menghadap Gajah Mada kan?
“Kamu tidak perlu
bertemu dengan Paman Gajah Mada dulu. Agak beresiko juga kalau kamu harus
membuka identitas dirimu. Semakin banyak orang tahu, kamu semakin nggak aman nanti.”
Sifat protektif Singo Abang muncul.
“Tapi tidak ada
salahnya juga Enggar bertemu Paman Gajah Mada. Beliau orang yang bijak. Kujamin
tidak akan membahayakan Enggar.”
“Kupikir untuk sementara
informasi ini kita simpan dulu saja, Har. Kamu mungkin bisa mengusulkan untuk
meningkatkan pengawasan di kedua wilayah itu, tapi untuk mengatakan langsung
kepada paman Gajah Mada, bukan ide bagus saat ini. Semua dinding istana bisa
mendengar, aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Enggar. Kamu pikir apa
yang akan terjadi jika ada seorang yang tahu benar tentang masa depan
Majapahit, di dalam istana ini?” Singo Abang memberi tekanan pada kata ‘di
dalam istana ini’. “Enggar akan jadi bulan-bulanan.”
“Kamu benar. Baiklah,
untuk sementara kita simpan informasi ini. Oh ya, satu lagi berita yang kubawa.
Berita yang ini tidak bagus. Cakrawaja dikeluarkan dari tahanan pagi tadi.”
“Apa?” Lutut Enggar
bergetar hebat.
“Untuk dua atau tiga
hari saja. Di rumah keluarganya sedang ada upacara dan orang tuanya memohon
Cakrawaja dihadirkan. Mereka menjamin Cakrawaja tidak akan melarikan diri,”
lanjut Haryo.
“Di hari pertamaku
pulang seharusnya kamu bawa berita yang menyenangkan, Har.”
“Maaf. Tapi lebih baik
kuberitahu, jadi kalian bisa waspada. Aku harus pergi dulu. Akan kutemui kalian
lagi.” Haryo tersenyum pada Enggar. “Oh ya, Barata, apa kau tahu Pangeran
Palawa sudah kembali dari negeri seberang?”
Deg! Enggar sekarang
benar-benar merasa ciut dan gemetaran.
Sisi tangan Singo Abang
menyentuh tangan Enggar. “Jangan kuatir, selama aku di sisimu, tidak akan ada
yang berani menyentuhmu.”
***