Wednesday, January 25, 2017

Gandrung #15

“Enggar! Enggar!”
Enggar merasakan tepukan di pipinya. Dia membukanya matanya. Ada Singo Abang yang menopangnya dengan posisi setengah memeluk. Lalu Enggar menggerakkan kepalanya untuk melihat tubuhnya. Ada noda darah di dada dan tangannya. Enggar gemetaran, napasnya tersengal. Hawa dingin menjalari tubuhnya.
“Kita harus pergi dari sini secepatnya. Ayo, bangunlah,” kata Singo Abang sambil membantunya bangun.
Sebuah anak panah melesat ke arah Singo Abang dan Enggar. Sebelum mengenai mereka, ada satu anak panah lain yang menerjang dan membelokkan arahnya. Haryo menarik napas lega, tembakannya tepat sasaran.
“Cepat pergi, biar aku yang menghadapi Cakrawaja!” seru Haryo pada Singo Abang. Dia memerintahkan beberapa orangnya untuk melindungi kedua orang itu.
Singo Abang bersiul, memanggil kudanya. Dengan sedikit terhuyung-huyung Singo Abang mengangkat Enggar ke atas punggung kuda. Lalu dia menyusul naik,  duduk di belakang Enggar. Kudanya dipacu cepat-cepat.
Enggar sudah benar-benar sadar saat tangannya menyentuh bajunya di bagian kiri yang basah oleh darah. Tidak ada lubang di bagian itu. Enggar memeriksa bagian tubuhnya yang lain. Tidak ada luka baru. Kemudian dia melihat ada darah di bawah pundak kanan Singo Abang. Mata Enggar terbelalak seketika, mengetahui ada anak panah tertancap di belakang pundak cowok itu. 
“Bang, kamu kena panah!” serunya histeris.
“Iya, aku tahu. Untung kita sudah jauh dari mereka, kurasa kita aman. Kita akan cari tempat untuk istirahat dan mengobati luka-luka.” Keringat mengalir di wajah Singo Abang. Dia menahan sakit.
Singo Abang menghentikan lari kudanya ketika mereka tiba di tepi sungai. Ada tempat yang tersembunyi untuk mereka bisa istirahat sejenak. Laki-laki itu masih sempat membantu Enggar turun. Kemudian dia mengambil tas yang berisi kantong obat dan pakaian ganti. Singo Abang duduk di dekat sebuah batu tinggi.
Lutut Enggar lemas, perutnya mulas, kepalanya pening. Dia hanya bisa mengikuti Singo Abang tanpa bisa berkata apa-apa. Pikirannya dipenuhi kecemasan terhadap keadaan Singo Abang.
Laki-laki itu berusaha melepas pakaian atasnya. Singo Abang meringis saat menyobek sisi kanan pakaiannya. Ada sebuah anak panah mengenai pundak kanan Singo Abang, menembus bagian depan badannya. Enggar bisa melihat ujung anak panah sedikit mencuat dari kulit Singo Abang.
“Aku butuh bantuanmu,” kata Singo Abang. Mukanya mulai pucat. Enggar mengangguk gugup. “Kamu harus melakukannya sekali saja. Dengar baik-baik. Patahkan bagian pangkalnya, bagian yang ada sayap-sayap itu. Lalu dorong anak panahnya sampai ujungnya benar-benar keluar dari tubuhku., kemudian tarik ujungnya dari depan sini. Mengerti?” Singo Abang mengatakan itu sambil menunjukkan bagian yang dimaksud dan caranya.
Enggar melelehkan air mata. Seharusnya dia yang kena anak panah itu kalau Singo Abang tidak membentenginya. Perasaan Enggar bercampur aduk menyadari kenekatan Singo Abang.
“Menangisnya jangan sekarang. Nanti saja. Saat ini kamu lakukan saja yang kukatakan tadi. Cepatlah sebelum aku kehabisan darah. Ingat, sekali saja.” Singo Abang mengambil napas. “Patahkan pangkal anak panahnya. Kamu pasti bisa melakukannya. Ayo. Aku tidak akan apa-apa,” desisnya.
Sambil terisak dan mengatupkan bibir serta giginya rapat-rapat, Enggar mematahkan pangkal anak panah. Tangannya gemetaran luar biasa.
Singo Abang meringis dan menundukkan kepala. “Bagus. Bagus. Sekarang dorong batang anak panahnya ke depan,” kata Singo Abang dengan suara bergetar. Enggar menggelengkan kepala. Dia tidak sanggup. “Enggar, hanya kamu yang bisa menolongku saat ini. Kumohon.” Tatapan mata Singo Abang semakin membuat perut Enggar sakit.
“Pada hitungan ketiga?” tanya Enggar hampir tak terdengar suaranya.
“Apa aku harus siap-siap berteriak, siapa tahu dalam hitungan kesatu kamu sudah mendorong anak panahnya. Balas dendam atas kakimu,” kata Singo Abang, sedikit tersenyum.
Mendengar kata-kata Singo Abang itu Enggar tertawa, meskipun air matanya makin deras mengalir.
Tangan Singo Abang terulur untuk menghapus air mata Enggar. “Aku tidak mau pingsan sebelum anak panah ini keluar dari tubuhku. Jangan menangis lagi. Tolonglah.”
Enggar mengambil napas dalam-dalam lalu menghitung satu, dua, tiga, dan mendorong anak panah itu. Dia bisa mendengar suara Singo Abang menahan sakit. Tangan laki-laki itu mencengkeram batu sampai batu itu pecah.
“Bang, sakit ya, Bang?” tanya Enggar. Tangannya mengelus-elus lengan Singo Abang, berharap sedikit mengurangi rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu.
“Sekarang bantu aku menariknya dari depan,” kata Singo Abang sambil meletakkan tangannya ke sebagian batang anak panah yang sudah tertembus.
Enggar merangkak ke arah depan. Kakinya benar-benar lemas sampai tidak bisa berdiri. Singo Abang yang menggeser tubuhnya menghadap Enggar. Mereka saling menatap untuk beberapa lama. Ada perasaan yang tak terlukiskan di antara mereka.
“Pada hitungan ketiga, cabut sekuat tenagamu.” Tangan Singo Abang terlurur, buru-buru meletakkan tangan Enggar di batang anak panah itu sebelum dorongan hatinya untuk membelai wajah gadis itu menguasainya. “Satu...dua...tiga!”
Dengan satu gerakan cepat dan kuat, keduanya menarik anak panah itu. Singo Abang langsung oleng, sedangkan Enggar yang memegang anak panah penuh darah itu muntah-muntah.
Dengan kekuatan yang masih ada Singo Abang membasahi kain merahnya dan membersihkan lukanya. Dia juga meminum pil dan membubuhkan obat di kedua lubang lukanya. Enggar segera membantu setelah puas muntah.
“Bang, kenapa darahnya menghitam begini?” tanya Enggar saat melihat darah yang masih keluar dari luka Singo Abang.
Singo Abang memberi tanda agar Enggar diam karena dia mendengar kedatangan seseorang. Tangan kiri Singo Abang menggapai pedangnya, tapi keburu diambil alih Enggar. Meski kakinya masih gemetaran, dia bangkit untuk menghadapi siapapun yang datang mendekati mereka.
“Jangan bergerak!” teriak Enggar sambil mengacungkan pedang seperti mengacungkan pistol saat seekor kuda dengan pengendaranya muncul dari balik pepohonan.
“Ini aku. Haryo. Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka?” Yang datang ternyata Haryo. Dia turun dari kudanya dan mendekati Enggar. Enggar mundur menjauhinya. “Bagaimana keadaan Barata?” Haryo mengalihkan pandangan. Singo Abang melambaikan tangan kirinya. Haryo buru-buru memeriksa Singo Abang. “Panahnya dibubuhi racun. Obat biasa tidak akan bisa menyembuhkan. Dia harus segera dibawa ke tabib,” ujar Haryo sembari membalut luka Singo Abang dengan kain bersih yang dibawanya. Dia juga membantu Singo Abang memakai pakaian ganti.
Pedang di tangan Enggar terjatuh. “Panah beracun? Terus bagaimana dong Bang Singo? Sudah pucat begini. Bang, kita ke tabib mana? Masih kuat jalan nggak?”
“Bagaimana dengan Cakrawaja dan orang-orang Tumenggung Sukmo?” tanya Singo Abang. Dalam keadaan terluka begitu masih memikirkan Cakrawaja.
“Cakrawaja sudah bisa kulumpuhkan. Jayengwangsa dan Jayengwira juga. Tapi Tumenggung Sukmo dan petinggi Sadeng itu belum kami temukan,” kata Haryo. “Enggar, aku ingin bicara padamu mengenai mereka nanti,” lanjutnya.
“Aku nggak ada urusan dengan mereka. Yang paling penting sekarang adalah Bang Singo bisa diobati dan sembuh sebelum racun itu menyebar. Ayo, kita pergi sekarang, kenapa masih ngobrol saja. Dimana ada tabib di dekat sini?” Enggar membangunkan Singo Abang. “Apa tidak ada kereta kuda biar Bang Singo bisa membaringkan badan. Kalau berkuda kan tambah sakit badannya.”
“Enggar, aku benar-benar harus bicara padamu tentang rencana...” ucap Haryo.
“Mas Haryo, aku masih sebel sama Mas Haryo. Egois banget. Enak saja menculikku dan memanfaatkanku untuk pekerjaan Mas Haryo tanpa koordinasi dan konsolidasi. Mas nggak tahu apa bahaya apa yang harus kuhadapi? Memangnya nyawaku nggak ada artinya? Begini ya, aku nggak peduli dengan rencana mereka, dengan kasus Anggoro, dengan apapun yang berhubungan dengan itu. Aku capek terlibat dengan urusan orang lain. Aku mau mengurus urusanku sendiri. Dan sekarang urusanku adalah keselamatan Bang Singo.” Enggar serius sekali mengatakan itu pada Haryo, membuat Haryo tidak bisa berkata apa-apa. “Sampai hatiku jadi baik kembali, jangan sekali-kali menggangguku, oke?” tegasnya sambil memapah Singo Abang ke kudanya.
Haryo buru-buru membantu. “Sebaiknya kalian ke Ketanggung. Mpu Soma pasti bisa menyembuhkan Barata. Tapi kalian harus cepat-cepat karena racun itu mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang istana untuk mengawal kalian.”
“Nggak deh, terima kasih. Aku nggak percaya sama orang-orang di luar anak buah Bang Singo. Kami akan pergi sendiri.” Enggar yang sekarang duduk di depan, menggerakkan tali kekang kuda. Kudanya diam saja.
“Begini gerakannya kalau menjalankan kuda.” Haryo menunjukkan caranya. Enggar mendengus.
“Aku masih kuat sampai Ketanggung.” Tangan Singo Abang mengambil alih kendali dari belakang. “Enggar, berikan keris yang kamu bawa pada Haryo.” Enggar mengambil keris yang terbungkus kain itu dan mengulurkannya pada Haryo. “Ini keris yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Gunakan baik-baik untuk menyelesaikan kasusnya. Haryo, kuserahkan urusan di sini padamu. Kita akan bicara nanti.”
Haryo menganggukkan kepala. Yang dimaksud “bicara” oleh Barata tentu bukan sekedar bicara. Selama ini Haryo mengejar-ngejar Barata untuk urusan yang belum terselesaikan, sekarang nampaknya Barata sudah menunjukkan tanda kalau dia akan membereskan apapun masalah di antara mereka.
Haryo masih tetap di tempatnya walau kedua orang itu telah menghilang di belokan. Diembuskannya napas panjang-panjang, tangannya mengelus dadanya yang terasa sesak. Singo Abang yang terkena panah, kenapa dia yang merasa terluka. Bagaimana bisa kata-kata Enggar membuatnya merasa seperti itu?
“Aku belum pernah peduli pada gadis-gadis. Begitu sekarang aku mempedulikan seseorang, aku melakukannya dengan cara yang salah,” gumamnya. “Menurutmu bagaimana agar aku bisa memperbaiki kesalahanku ini?” Haryo bertanya pada kudanya.
Kuda itu tidak menjawab.

*** 

No comments: