“Enggar! Enggar!”
Enggar merasakan
tepukan di pipinya. Dia membukanya matanya. Ada Singo Abang yang menopangnya
dengan posisi setengah memeluk. Lalu Enggar menggerakkan kepalanya untuk
melihat tubuhnya. Ada noda darah di dada dan tangannya. Enggar gemetaran,
napasnya tersengal. Hawa dingin menjalari tubuhnya.
“Kita harus pergi dari
sini secepatnya. Ayo, bangunlah,” kata Singo Abang sambil membantunya bangun.
Sebuah anak panah
melesat ke arah Singo Abang dan Enggar. Sebelum mengenai mereka, ada satu anak
panah lain yang menerjang dan membelokkan arahnya. Haryo menarik napas lega,
tembakannya tepat sasaran.
“Cepat pergi, biar aku
yang menghadapi Cakrawaja!” seru Haryo pada Singo Abang. Dia memerintahkan
beberapa orangnya untuk melindungi kedua orang itu.
Singo Abang bersiul,
memanggil kudanya. Dengan sedikit terhuyung-huyung Singo Abang mengangkat
Enggar ke atas punggung kuda. Lalu dia menyusul naik, duduk di belakang Enggar. Kudanya dipacu
cepat-cepat.
Enggar sudah
benar-benar sadar saat tangannya menyentuh bajunya di bagian kiri yang basah
oleh darah. Tidak ada lubang di bagian itu. Enggar memeriksa bagian tubuhnya
yang lain. Tidak ada luka baru. Kemudian dia melihat ada darah di bawah pundak
kanan Singo Abang. Mata Enggar terbelalak seketika, mengetahui ada anak panah
tertancap di belakang pundak cowok itu.
“Bang, kamu kena
panah!” serunya histeris.
“Iya, aku tahu. Untung
kita sudah jauh dari mereka, kurasa kita aman. Kita akan cari tempat untuk
istirahat dan mengobati luka-luka.” Keringat mengalir di wajah Singo Abang. Dia
menahan sakit.
Singo Abang
menghentikan lari kudanya ketika mereka tiba di tepi sungai. Ada tempat yang
tersembunyi untuk mereka bisa istirahat sejenak. Laki-laki itu masih sempat
membantu Enggar turun. Kemudian dia mengambil tas yang berisi kantong obat dan
pakaian ganti. Singo Abang duduk di dekat sebuah batu tinggi.
Lutut Enggar lemas,
perutnya mulas, kepalanya pening. Dia hanya bisa mengikuti Singo Abang tanpa
bisa berkata apa-apa. Pikirannya dipenuhi kecemasan terhadap keadaan Singo
Abang.
Laki-laki itu berusaha
melepas pakaian atasnya. Singo Abang meringis saat menyobek sisi kanan
pakaiannya. Ada sebuah anak panah mengenai pundak kanan Singo Abang, menembus
bagian depan badannya. Enggar bisa melihat ujung anak panah sedikit mencuat
dari kulit Singo Abang.
“Aku butuh bantuanmu,”
kata Singo Abang. Mukanya mulai pucat. Enggar mengangguk gugup. “Kamu harus
melakukannya sekali saja. Dengar baik-baik. Patahkan bagian pangkalnya, bagian
yang ada sayap-sayap itu. Lalu dorong anak panahnya sampai ujungnya benar-benar
keluar dari tubuhku., kemudian tarik ujungnya dari depan sini. Mengerti?” Singo
Abang mengatakan itu sambil menunjukkan bagian yang dimaksud dan caranya.
Enggar melelehkan air
mata. Seharusnya dia yang kena anak panah itu kalau Singo Abang tidak
membentenginya. Perasaan Enggar bercampur aduk menyadari kenekatan Singo Abang.
“Menangisnya jangan
sekarang. Nanti saja. Saat ini kamu lakukan saja yang kukatakan tadi. Cepatlah
sebelum aku kehabisan darah. Ingat, sekali saja.” Singo Abang mengambil napas.
“Patahkan pangkal anak panahnya. Kamu pasti bisa melakukannya. Ayo. Aku tidak
akan apa-apa,” desisnya.
Sambil terisak dan
mengatupkan bibir serta giginya rapat-rapat, Enggar mematahkan pangkal anak
panah. Tangannya gemetaran luar biasa.
Singo Abang meringis
dan menundukkan kepala. “Bagus. Bagus. Sekarang dorong batang anak panahnya ke
depan,” kata Singo Abang dengan suara bergetar. Enggar menggelengkan kepala.
Dia tidak sanggup. “Enggar, hanya kamu yang bisa menolongku saat ini. Kumohon.”
Tatapan mata Singo Abang semakin membuat perut Enggar sakit.
“Pada hitungan ketiga?”
tanya Enggar hampir tak terdengar suaranya.
“Apa aku harus
siap-siap berteriak, siapa tahu dalam hitungan kesatu kamu sudah mendorong anak
panahnya. Balas dendam atas kakimu,” kata Singo Abang, sedikit tersenyum.
Mendengar kata-kata
Singo Abang itu Enggar tertawa, meskipun air matanya makin deras mengalir.
Tangan Singo Abang
terulur untuk menghapus air mata Enggar. “Aku tidak mau pingsan sebelum anak
panah ini keluar dari tubuhku. Jangan menangis lagi. Tolonglah.”
Enggar mengambil napas
dalam-dalam lalu menghitung satu, dua, tiga, dan mendorong anak panah itu. Dia
bisa mendengar suara Singo Abang menahan sakit. Tangan laki-laki itu
mencengkeram batu sampai batu itu pecah.
“Bang, sakit ya, Bang?”
tanya Enggar. Tangannya mengelus-elus lengan Singo Abang, berharap sedikit
mengurangi rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu.
“Sekarang bantu aku
menariknya dari depan,” kata Singo Abang sambil meletakkan tangannya ke
sebagian batang anak panah yang sudah tertembus.
Enggar merangkak ke
arah depan. Kakinya benar-benar lemas sampai tidak bisa berdiri. Singo Abang
yang menggeser tubuhnya menghadap Enggar. Mereka saling menatap untuk beberapa
lama. Ada perasaan yang tak terlukiskan di antara mereka.
“Pada hitungan ketiga,
cabut sekuat tenagamu.” Tangan Singo Abang terlurur, buru-buru meletakkan
tangan Enggar di batang anak panah itu sebelum dorongan hatinya untuk membelai
wajah gadis itu menguasainya. “Satu...dua...tiga!”
Dengan satu gerakan
cepat dan kuat, keduanya menarik anak panah itu. Singo Abang langsung oleng,
sedangkan Enggar yang memegang anak panah penuh darah itu muntah-muntah.
Dengan kekuatan yang
masih ada Singo Abang membasahi kain merahnya dan membersihkan lukanya. Dia
juga meminum pil dan membubuhkan obat di kedua lubang lukanya. Enggar segera
membantu setelah puas muntah.
“Bang, kenapa darahnya
menghitam begini?” tanya Enggar saat melihat darah yang masih keluar dari luka
Singo Abang.
Singo Abang memberi tanda
agar Enggar diam karena dia mendengar kedatangan seseorang. Tangan kiri Singo
Abang menggapai pedangnya, tapi keburu diambil alih Enggar. Meski kakinya masih
gemetaran, dia bangkit untuk menghadapi siapapun yang datang mendekati mereka.
“Jangan bergerak!”
teriak Enggar sambil mengacungkan pedang seperti mengacungkan pistol saat
seekor kuda dengan pengendaranya muncul dari balik pepohonan.
“Ini aku. Haryo.
Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka?” Yang datang
ternyata Haryo. Dia turun dari kudanya dan mendekati Enggar. Enggar mundur
menjauhinya. “Bagaimana keadaan Barata?” Haryo mengalihkan pandangan. Singo
Abang melambaikan tangan kirinya. Haryo buru-buru memeriksa Singo Abang.
“Panahnya dibubuhi racun. Obat biasa tidak akan bisa menyembuhkan. Dia harus
segera dibawa ke tabib,” ujar Haryo sembari membalut luka Singo Abang dengan
kain bersih yang dibawanya. Dia juga membantu Singo Abang memakai pakaian
ganti.
Pedang di tangan Enggar
terjatuh. “Panah beracun? Terus bagaimana dong Bang Singo? Sudah pucat begini.
Bang, kita ke tabib mana? Masih kuat jalan nggak?”
“Bagaimana dengan
Cakrawaja dan orang-orang Tumenggung Sukmo?” tanya Singo Abang. Dalam keadaan
terluka begitu masih memikirkan Cakrawaja.
“Cakrawaja sudah bisa
kulumpuhkan. Jayengwangsa dan Jayengwira juga. Tapi Tumenggung Sukmo dan
petinggi Sadeng itu belum kami temukan,” kata Haryo. “Enggar, aku ingin bicara
padamu mengenai mereka nanti,” lanjutnya.
“Aku nggak ada urusan
dengan mereka. Yang paling penting sekarang adalah Bang Singo bisa diobati dan
sembuh sebelum racun itu menyebar. Ayo, kita pergi sekarang, kenapa masih
ngobrol saja. Dimana ada tabib di dekat sini?” Enggar membangunkan Singo Abang.
“Apa tidak ada kereta kuda biar Bang Singo bisa membaringkan badan. Kalau berkuda
kan tambah sakit badannya.”
“Enggar, aku
benar-benar harus bicara padamu tentang rencana...” ucap Haryo.
“Mas Haryo, aku masih
sebel sama Mas Haryo. Egois banget. Enak saja menculikku dan memanfaatkanku
untuk pekerjaan Mas Haryo tanpa koordinasi dan konsolidasi. Mas nggak tahu apa
bahaya apa yang harus kuhadapi? Memangnya nyawaku nggak ada artinya? Begini ya,
aku nggak peduli dengan rencana mereka, dengan kasus Anggoro, dengan apapun
yang berhubungan dengan itu. Aku capek terlibat dengan urusan orang lain. Aku
mau mengurus urusanku sendiri. Dan sekarang urusanku adalah keselamatan Bang
Singo.” Enggar serius sekali mengatakan itu pada Haryo, membuat Haryo tidak
bisa berkata apa-apa. “Sampai hatiku jadi baik kembali, jangan sekali-kali
menggangguku, oke?” tegasnya sambil memapah Singo Abang ke kudanya.
Haryo buru-buru
membantu. “Sebaiknya kalian ke Ketanggung. Mpu Soma pasti bisa menyembuhkan
Barata. Tapi kalian harus cepat-cepat karena racun itu mulai bekerja. Aku akan
menyuruh orang istana untuk mengawal kalian.”
“Nggak deh, terima
kasih. Aku nggak percaya sama orang-orang di luar anak buah Bang Singo. Kami
akan pergi sendiri.” Enggar yang sekarang duduk di depan, menggerakkan tali
kekang kuda. Kudanya diam saja.
“Begini gerakannya
kalau menjalankan kuda.” Haryo menunjukkan caranya. Enggar mendengus.
“Aku masih kuat sampai
Ketanggung.” Tangan Singo Abang mengambil alih kendali dari belakang. “Enggar,
berikan keris yang kamu bawa pada Haryo.” Enggar mengambil keris yang
terbungkus kain itu dan mengulurkannya pada Haryo. “Ini keris yang digunakan
untuk membunuh Sukmana. Gunakan baik-baik untuk menyelesaikan kasusnya. Haryo,
kuserahkan urusan di sini padamu. Kita akan bicara nanti.”
Haryo menganggukkan
kepala. Yang dimaksud “bicara” oleh Barata tentu bukan sekedar bicara. Selama
ini Haryo mengejar-ngejar Barata untuk urusan yang belum terselesaikan,
sekarang nampaknya Barata sudah menunjukkan tanda kalau dia akan membereskan
apapun masalah di antara mereka.
Haryo masih tetap di
tempatnya walau kedua orang itu telah menghilang di belokan. Diembuskannya
napas panjang-panjang, tangannya mengelus dadanya yang terasa sesak. Singo
Abang yang terkena panah, kenapa dia yang merasa terluka. Bagaimana bisa
kata-kata Enggar membuatnya merasa seperti itu?
“Aku belum pernah
peduli pada gadis-gadis. Begitu sekarang aku mempedulikan seseorang, aku
melakukannya dengan cara yang salah,” gumamnya. “Menurutmu bagaimana agar aku
bisa memperbaiki kesalahanku ini?” Haryo bertanya pada kudanya.
Kuda itu tidak
menjawab.
***
No comments:
Post a Comment