Enggar menguap lebar
dan langsung menutup mulutnya. Haryo sudah duduk di kursi di samping
balai-balai, menahan senyum sambil menatapnya.
“Selamat pagi,” sapa
Haryo. Suara kokok ayam nyaring di belakang rumah.
Enggar duduk, menyisir
rambut dengan tangan dan mengelap wajahnya dengan selimut. Dia melirik ke arah
meja. Meja itu hancur berantakan. Apa yang terjadi? Lalu ada dua orang masuk ke
ruangan itu untuk membereskan meja, menggantinya dengan yang baru.
“Orangnya sudah sadar,
Pangeran, kalau anda ingin bertemu dengannya,” kata salah seorang dari mereka.
Enggar menatap Haryo yang hanya mengangguk.
Haryo berdiri. “Kamu
mau ke belakang, cuci muka atau apa?” tanya dia pada Enggar. Gadis itu buru-buru
turun dari balai-balai dan mengikuti Haryo. Sebenarnya dia masih ingin mogok
bicara, tapi rasa penasaran membuat mulutnya gatal. Meja hancur dan kata-kata
anak buah Haryo barusan rasanya begitu mencurigakan. Apalagi dia juga melihat
sedikit bekas perkelahian di ruangannya.
“Apa yang terjadi
semalam?” tanya Enggar. Haryo tersenyum. Akhirnya mendengar suara gadis itu
lagi.
“Ada orang masuk ke
kamarmu. Kamu tidak mendengar apa-apa karena tertidur pulas,” katanya kalem.
“Aku pasti terbangun
kalau mendengar suara,” kata Enggar. “Kecuali kalau aku dibius. Ah!!” Enggar
berhenti jalan. Tangannya mengacung-acung ke arah ruangannya. Terbayang dia
tertidur plus tidak sadarkan diri dan ada orang yang ingin mengeliminasinya.
“Dia sudah diringkus. Sebentar
lagi aku kan bisa mengorek keterangan darinya, mau apa dia menyusup ke kamarmu,
meskipun aku sudah bisa menebak. Kamu tidak perlu kuatir, aku sudah memperketat
penjagaan. Kupastikan tidak ada lagi yang mengganggumu, jadi aku yang menjagamu
sampai kamu bangun tadi.”
Enggar megap-megap.
Antara dongkol karena dengan entengnya Haryo bilang dia nggak perlu kuatir
padahal sudah jelas nyawanya terancam, dan terharu karena Haryo menjaganya
semalaman. Oh, so sweet. Tapi dia
nggak boleh luluh. Haryo masih belum terbukti nggak berkhianat.
Enggar dibawa ke
belakang rumah. Di sana ada satu tempat yang didalamnya ada pancuran dan bak air
untuk keperluan MCK. Nampaknya masih baru beberapa hari dibangun.
Seseorang yang
bersembunyi tak jauh dari tempat MCK menatap heran. Puteri Anggoro seharusnya saat
ini ada di kediaman Mpu Soma atau di istana bersama Singo Abang, bukan di
Mertabumi bersama orang lain.
Enggar sudah kembali ke
kamar. Haryo tidak menemaninya lagi. Mumpung tidak ada orang, Enggar memeriksa
seisi ruangan. Mencari celah dan cara untuk bisa keluar, tapi tidak ketemu. Tadi
dia sudah mencoba meletakkan kursi di atas meja dan memanjatnya. Tangannya saja
yang baru bisa menyentuh galar di bagian atap. Berarti kurang tinggi untuk bisa
keluar lewat sana.
Gadis itu mendengar
kedatangan seseorang. Enggar segera duduk di atas balai-balai dan berlagak
nelangsa. Seorang laki-laki berbadan tegap membawa sepiring nasi, lauk pauk dan
satu kendi air baru.
“Selamat pagi, Puteri. Ini
sarapan untuk Tuan Puteri, silahkan menikmati.”
“Mau mencicipi?” tanya
Enggar pada lelaki itu. Dia masih agak-agak trauma dengan makanan yang diberi
obat tidur. “Aku sudah terlalu banyak tidur beberapa hari ini,” bisik Enggar.
Lelaki itu menatap
Enggar lurus. Enggar yang semula cuek, jadi agak waspada. “Kenapa melihatku
seperti itu?” tanya Enggar.
Laki-laki itu berjalan
ke arah pintu, memeriksa keadaan di luar, kemudian mengunci pintu. Sekarang
Enggar benar-benar waspada. Keris kecil yang disembunyikannya disiapkan bila
sewaktu-waktu diperlukan.
“Kau sudah mengatakan
apa saja pada Haryo?” tanya lelaki itu. Tangannya mengeluarkan sesuatu seperti
paku sepanjang jari telunjuk dari balik bajunya.
Enggar menggenggam
keris kecil erat-erat. “Kamu ternyata anak buahnya Cakrawaja? Kok...” Kata-kata
Enggar terputus karena paku besar di tangan si Taring Emas sudah ada di
lehernya. “Apa yang kamu maksud adalah rencana itu?” pancing Enggar. Walau jantungnya
sudah terasa meletus berkali-kali, dia memberanikan diri untuk mencari informasi.
Setidaknya dia dapat petunjuk sebenarnya dia terlibat perkara apa.
“Ya, rencana itu,” ujar
si Taring Emas gusar.
“Oh.” Hanya itu yang
Enggar bilang. Dia bingung mau bicara apa lagi.
“Aku tidak bisa
membahayakan masa depan Sadeng, jadi aku akan membunuhmu sekarang.” Si Taring
Emas sudah bersiap.
“Tunggu!” tahan Enggar,
sambil berpikir dimana dia pernah mendengar kata Sadeng. “Kamu bisa membunuhku
sekarang, tapi perlu kamu tahu ada mata-mata istana di antara kalian. Satu
lagi, rencana kalian sudah sampai di telinga Tuan Gajah Mada. Tahu apa itu
artinya? Tiada ampun buat kalian. Hm?” Enggar mengatakannya dengan penuh
percaya diri. Si Taring Emas ragu-ragu, terbukti paku di leher Enggar ditarik.
Tapi hanya sebentar, karena sekarang tangan kirinya mencekik Enggar.
Pintu digedor. Sesaat
Si Taring Emas lengah dan kesempatan itu digunakan Enggar untuk menendangnya,
menyambar selimut lalu menutupkannya ke kepala lelaki itu. Enggar melesat ke
pintu dan membukanya. Berharap itu Haryo.
Ternyata Cakrawaja.
“Mau kemana kau, Puteri?”
Cakrawaja menyeretnya ke balai-balai dan mulai mengikatnya. “Siung Loro, apa
yang kau lakukan dengan selimut itu?” bentak Cakrawaja pada Si Taring Emas yang
ternyata namanya Siung Loro. Siung Loro masih sibuk berusaha keluar dari
selimut. “Haryo sudah berhasil kukecoh. Dia sibuk dengan penyusup yang tidak
berguna itu. Kita bawa Anggoro segera.”
Enggar menendang dan
memukul Cakrawaja, membuat cowok itu naik darah. Enggar ditamparnya sangat
keras sampai jatuh ke tanah. Hampir saja Enggar pingsan karena pandangan matanya
tiba-tiba jadi gelap.
Cakrawaja mengikat
Enggar dan menggelandangnya keluar dengan kasar. Gadis itu lalu dimasukkan ke kereta kuda dan dibawa
pergi secepatnya.
Enggar merasakan
bibirnya perih dan sediki asin. Dia berdarah. Haryo tidak ada untuk
menolongnya, Singo Abang juga tidak tau ada dimana, sementara para kriminal
menguasainya sekarang. Dia hanya bisa minta bantuan pada Tuhan dan mengandalkan
diri sendiri. Untunglah keris kecil itu sempat dibawanya. Dia tidak akan
tumbang tanpa perlawanan, itu tekadnya.
***
Enggar diikat di sebuah
kursi. Dia tidak tahu berada di mana saat ini karena sepanjang perjalanan tadi
matanya ditutup, tapi rasanya jauh dari tempatnya semula ditahan. Tudung yang
menutupi kepala dan wajahnya mulai dibuka. Seorang laki-laki berkumis berdiri
di depannya. Seorang lagi, berbadan tinggi kurus, ada di samping Enggar,
memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala, nampak masih belum percaya.
Sementara itu Cakrawaja bersandar di dekat pintu.
Lelaki di depannya
berdehem sebelum mendekati Enggar. Mau diapain lagi nih? Menurut insting Enggar
lelaki inilah yang bos mafianya. Terlihat dari bahasa tubuh orang-orang ketika
berhadapan dengannya.
“Nyawamu banyak juga, Gadis
kecil. Padahal kata Sukmo kau sudah seperti sayuran.” Lelaki berkumis yang
memakai gelang berbentuk naga itu melirik ke orang yang ada di samping Enggar.
“Aku dengar dari Siung
Loro, kata Anggoro rencana itu sudah sampai ke telinga Gajah Mada, Adipati
Sadeng.” ujar Cakrawaja.
Lelaki bergelang naga itu
mendekatkan wajah ke Enggar. “Kau yakin?” tanya Adipati Sadeng pada Cakrawaja,
lalu mengalihkan pandangan ke Enggar lagi. “Kau memberitahu Gajah Mada? Jawab!”
“Tidak hanya Gajah
Mada. Aku memberi tahu banyak orang, jadi rencana rahasiamu sudah tidak rahasia
lagi. Maklum, aku susah tutup mulut,” jawab Enggar. “Anak buahmu juga.” Enggar
sembari melirik Tumenggung Sukmo.
“Maksudmu?” Tumenggung
Sukmo gusar. “Aku tidak akan berkhianat.”
“Menurut Tuan apa
tindakan Tumenggung Sukmo mencari Puteri Anggoro palsu, kemudian menghabisinya tidak
masuk dalam kategori ‘rencana dalam rencana’? Tumenggung Sukmo tidak mau Tuan
tahu kalau aku masih hidup. Dia cuci tangan ketika orang-orang istana akan
meringkus Tuan,” kata Enggar pada Si Gelang Naga. Nekat.
“Heh, Gadis gila!”
Tumenggung Sukmo mencengkeram lengan Enggar.
“Orang yang panik
biasanya orang yang bersalah.” Enggar menambahkan.
“Mulut dan otakmu tajam
juga untuk ukuran seorang gadis kecil yang hanya menyukai karya sastra. Kau
pikir semudah itu kau mengadu domba kami?” Si Gelang Naga tersenyum. Dia sudah
membaca strategi Enggar. “Kau tahu kan nyawamu ada hanya tinggal satu kedipan
mata untuk pergi?”
“Semua pemberontakan di
Majapahit bisa dipadamkan oleh Gajah Mada. Hingga Hayam Wuruk nanti memimpin
dan Majapahit menjadi jaya, menguasai tujuh daratan dan tujuh lautan, tidak ada
yang bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kalian.” Enggar menggeleng-gelengkan
kepala dan membentuk bibirnya sedemikian rupa, mengasihani sekaligus menghina.
“Hayam Wuruk? Siapa
dia?” tanya Cakrawaja penasaran.
“Kurasa kalian tidak
akan pernah tahu, keburu ditumpas Gajah Mada.” Mantap Enggar mengatakannya.
Mantap juga dia tidak tau apa yang dibicarakannya, karena dia belum tahu pasti
apa sebenarnya “rencana” itu.
“Apa dia kesurupan?”
bisik Tumenggung Sukmo pada Cakrawaja.
“Dia tidak tahu apa
yang dibicarakannya, hanya menggertak.” Cakrawaja mencibir. “Dia belum sampai
istana, dia di Ketanggung saat kubawa kesini.”
“Ketanggung?” Si Gelang
Naga berkacak pinggang. “Tempat Mpu Soma?”
“Mpu Soma tinggal di
Ketanggung?” tanya Cakrawaja balik.
“Wah, Mpu Soma ya.” Tumenggung
Sukmo nampak was-was.
“Kau bertemu Mpu Soma?”
tanya Si Gelang Naga pada Enggar. Bahaya kalau Mpu Soma tahu. Meskipun dia
tidak lagi di istana, tapi pengaruhnya di sana masih sangat besar. Orang-orang
masih datang padanya untuk konsultasi.
“Kenapa memangnya kalau
aku bertemu?” tantang Enggar.
“Kurang ajar!”
Cakrawaja menyerbu dan mencekiknya. Enggar tidak menunjukkan wajah ketakutan
walaupun susah bernapas. Matanya menatap Cakrawaja dengan menyala-nyala.
Cakrawaja yang melihat kedua mata itu tercekat. Itu bukan mata Anggoro. “Dia
bukan Anggoro.”
“Apa?” Tumenggung Sukmo
“Dia bukan Anggoro,”
tandas Cakrawaja.
“Jadi betul dia
kesurupan?” tanya Tumenggung Sukmo.
“Dia bukan Anggoro, dia
orang lain. Wajahnya saja sama, tapi tidak sifatnya,” jelas Cakrawaja, setengah
takjub dengan kesamaan fisik yang dimiliki gadis di depannya dengan Puteri
Anggoro.
“Tidak mungkin.”
Tumenggung Sukmo memperhatikan Enggar baik-baik.
“Mungkin ada orang
berilmu tinggi yang bisa mengaburkan pandangan kita sehingga kita melihat gadis
ini adalah Anggoro, padahal bukan. Aku tahu Anggoro dan dia tidak berkata atau
berbuat seperti yang dilakukannya. Mungkin Mpu Soma yang merapalkan mantra atau
suatu ajian padanya untuk mengacaukan kita,” ucap Cakrawaja yang kembali
mengamatinya. Enggar mendengus prihatin. “Siapa nama ibumu?” tanya Cakrawaja
tiba-tiba pada Enggar. Nama ibunya Sulastri, tapi nama ibu Anggoro? Singo Abang
maupun Haryo tidak pernah cerita juga tentang Anggoro. “Siapa?” ulang
Cakrawaja.
Enggar menelan ludah.
“Anggorowati,” ujarnya pelan.
Cakrawala tertawa. “Dia
palsu. Nama ibunya adalah Anggraeni.”
“Hei, tahu apa kamu
tentang ibuku? Nama kecilnya Anggorowati. Anggraeni itu namanya setelah
menikahi ayahku,” sahut Enggar sebelum Cakrawaja makin bertingkah.
“Lalu siapa nama dayang
yang pergi bersamamu ke Mertabumi? Yang ini tidak mungkin dia punya nama lain
kan? Dia belum menikah,” kejar Cakrawaja.
“Apa, memangnya kamu
mau tahu semua nama keluargaku, dayang-dayangku, teman-temanku? Apa kamu tidak
punya pertanyaan yang lebih penting? Kalian sudah susah payah menculikku,
menyiksaku, bahkan mau membunuhku, hanya untuk bertanya soal itu? Kenapa kita
kembali ke topik semula. Tentang ‘rencana’ kalian, biar kita tidak buang-buang
waktu?”
Adipati Sadeng menahan
Cakrawaja yang mau menghajar Enggar lagi. Dia berpikir Enggar ada benarnya.
“Jadi Gajah Mada sudah tahu tentang rencana ini?” tanyanya. Enggar menegakkan
kepala dengan rada angkuh sebagai jawaban. Niatnya menakuti orang itu. “Kalau
begitu kau memang tidak boleh dibiarkan hidup. Lakukan apa yang harus kau
lakukan.” Dengan dinginnya Adipati Sadeng bicara seperti itu pada Cakrawaja. Setelah
itu dia keluar. Enggar meriang tak
karuan dan Cakrawaja menyeringai penuh kemenangan.
“Bagus, kita hanya
berdua sekarang.” Cakrawaja mengeluarkan keris dari rangkanya. Untuk beberapa
lama dia mengamati keris tanpa lekuk itu, seperti memastikan ketajamannya. ”Aku
belum mencuci keris ini sejak terlepas dari tangan Anggoro. Kemungkinan masih
ada sisa-sisa darah Sukmana.”
Itu kerisnya! Dasar
penggelap alat bukti! Enggar menahan diri. Keris kecil di tangannya sudah
membuka ikatan tangannya. Untung kakinya tidak diikat, jadi bisa lebih cepat
lolos.
Cakrawaja mendekat ke
Enggar. Saat dia mengayunkan keris, tangan Enggar tiba-tiba menangkis dan
kemudian kakinya menendang kuat-kuat dan tepat ke tempat yang paling
menyakitkan bagi Cakrawaja. Cakrawaja roboh.
Enggar menyambar keris
yang terjatuh di tanah, setelah terlebih dahulu melepas ikat kepala Cakrawaja.
Keris itu dibungkus agar sidik jari Cakrawaja tidak hilang dan sidik jari
Enggar nggak menempel di sana. Tidak tahu apa itu penting di jaman Majapahit,
tapi di masa depan sangat penting sebagai alat bukti.
Seperti seorang anggota
pasukan elit, Enggar menyelinap keluar. Penjagaan di tempat ini minimum.
Tumenggung Sukmo dan Adipati tampaknya juga sedang ada di ruangan yang lain.
Enggar mengendap ke
pohon di samping rumah dan berhasil melepaskan seekor kuda yang ditambatkan di
sana. Dia mencoba naik ke atas punggung kuda. Melorot lagi melorot lagi. Setelah
lima kali percobaan baru dia bisa. Digerak-gerakkannya
tali kekang, kudanya belum bergerak sama sekali. “Hoi, lari dong. Ck ck
ck..herr! Apaan sih perintahnya? Husyah!” Saking gemesnya Enggar menarik tali
kekang kanannya keras, sehingga kuda itu menggerakkan tubuhnya ke kanan. Sekali
lagi Enggar menarik ke kanan. Kuda yang semula menghadap ke depan sudah
menghadap ke belakang.
“Puteri kabur!” Ada
suara teriakan dari dalam rumah itu. Lalu muncullah seseorang yang memapah
Cakrawaja. Wajahnya merah padam seperti gunung meletus. Pasti tingkat
kemarahannya sudah menembus level berbahaya.
“Kuda, lari dong!”
Tidak sengaja kedua kaki Enggar menepuk perut kuda itu dan si kuda langsung
lari. Hampir saja Enggar terpental ke belakang. Sambil melecut tali kekang,
Enggar mengingat-ingat bagaimana Singo Abang biasanya mengendalikan kuda.
“Itu dia. Kejaar!” Di
belakang Enggar ternyata sudah ada tiga orang yang mengejar. Tumenggung Sukmo
keluar dari rumah dan menyumpah-nyumpah. Puteri itu punya ilmu kebal atau lapisan
anti lengket apa kok selalu bisa lolos.
“Hwaaaa, gimana nanti
berhentinya?” Enggar memacu kuda, tanpa tahu kemana arahnya. Orang-orang di
belakangnya semakin dekat. Beberapa anak panah melayang melewati Enggar.
Cakrawaja mengejar, ada di paling depan dengan busur dan anak panah. Sekarang
Enggar benar-benar panik. Jurus tangan kosongnya yang tidak seberapa tidak ada
gunanya saat seperti ini. Dia menundukkan badan, menempel pada punggung kuda
dan terus berdoa.
Tiba-tiba kuda
meringkik dan Enggar nungsep di tanah. Kudanya terkena panah. Enggar bangun
secepatnya dan berlari. Sedikit terpincang-pincang.
Seekor kuda coklat
mengejar Enggar yang mulai kelelahan. Ketika Enggar hendak berbelok untuk
mengecoh, tangan orang itu berhasil menyambar dan menaikannya ke atas kuda,
menempatkan Enggar di depannya.
“Lepasin!” teriak
Enggar.
“Sudah kuduga kamu bisa
ngabur.” Orang itu menggebrak kudanya.
“Bang Singo!” seru
Enggar sambil menoleh ke belakang. Rasa senang menjalari seluruh tubuhnya. Dia
masih gemetaran tapi rasanya bisa bernapas lega.
“Jangan senang dulu,
mereka masih mengejar kita,” kata Singo Abang.
“Cepetan, Bang,
dikebut!” Enggar melongokkan kepala melewati lengan Singo Abang dan melihat
kuda-kuda mengejar di belakang.
“Awas, kepalamu nanti
bisa kena panah lagi.” Tangan kiri Singo Abang menarik kepala Enggar. “Apa yang
terjadi, apa kamu sengaja ikut Haryo kesini?”
“Aku? Sengaja ke sini?
Memangnya aku kurang kerjaan apa ke tempat dimana semua orang memburuku? Aku
diculik dari pondok!” seru Enggar.
“Oh, begitu, siapa tahu
saja kamu sukarela ikut dengan Haryo.”
“Aku lebih suka ikut
dengan Abang, tau!”
Ada rasa sejuk di hati
Singo Abang saat Enggar mengatakan itu. Beberapa hari ini tanpa Enggar, dia
jantungan terus. Berkali-kali dadanya nyeri tanpa sebab. Kuatir tidak habis-habis,
sampai tidak doyan makan.
Dengan lihai Singo
Abang mengecoh orang-orang yang mengejarnya, sehingga mereka kehilangan jejak.
Singo Abang dan Enggar bersembunyi untuk memastikan mereka menuju arah yang
berbeda, baru kemudian keluar dan pergi ke arah berlawanan.
***
Enggar membasuh
wajahnya. Mulutnya perih lagi. Pipinya juga masih merah. Belum lagi kaki dan
tangannya yang lecet-lecet. Saat Enggar mencuci kakinya, tak sengaja dia
menoleh ke Singo Abang. Cowok itu sedang mengeluarkan sesuatu dari kantung yang
ada di sisi kudanya.
Tanpa berkata apa-apa
dia mendekati Enggar. Menariknya lembut ke arahnya dan mulai mengobati
luka-luka Enggar. Sesekali dia menghela nafas, merasa kasihan puteri jadi-jadian
yang babak belur itu.
“Aduh aduh aduh,
sakit!” Enggar memukul lengan Singo Abang saat memegang pergelangan kakinya.
Nampaknya kesleo saat jatuh dari kuda tadi.
“Tahan sebentar,” kata
Singo Abang.
“Eh...eh... Mau diapain?”
Enggar meringis.
“Aku akan mengembalikan
posisinya. Kalau tidak, akan bengkak dan kamu makin kesakitan,” ujar Singo
Abang.
“Tunggu, tunggu,
tunggu. Biar aku siap-siap mental dulu. Huuf...huuf...” Enggar melakukan
pernapasan ala orang mau melahirkan. “Hitung sampai tiga baru dibalikin, ya?”
Singo Abang meletakkan
tangannya di kaki kiri Enggar. “Satu...”
Klekk!
“Aaaaaaaaa! Kenapa baru
hitungan satu udah diplintir?!” protes Enggar.
Singo Abang digebukin
dari segala penjuru.
“Menunggu tiga terlalu
lama,” kata Singo Abang setelah Enggar capek memukulinya. Dengan penuh kedongkolan
Enggar menjauh dari Singo Abang. Eh, tapi dia udah bisa jalan lebih nyaman lho,
nggak sepincang tadi.
“Kita harus segera
pergi dari sini.” Singo Abang membereskan obat-obatan itu dan mengembalikannya
ke dalam kantong. “Aku sudah meminta Mijil menyiapkan tempat untuk kita
sementara. Ayo, kita pergi sekarang. Kamu mau tetap di sini? Sendirian? Baik.”
Singo Abang naik ke kuda karena Enggar tidak juga beranjak.
Mulut Enggar monyong.
Dia berjalan menuju arah kuda, tapi terlebih dahulu mengambil sesuatu yang
tergeletak di bawah pohon. Kerisnya Cakrawaja. Singo Abang mengulurkan tangan,
Enggar terpaksa menerimanya karena dia tidak akan bisa naik ke atas kuda tanpa
bantuan. Dia membonceng di belakang.
“Hitungan ketiga baru
kupacu kudanya ya?” canda Singo Abang.
“Awas saja kalau
berani. Aku bawa keris, jangan macam-macam. Ini.” Enggar menyerahkan keris itu.
“Ini yang digunakan untuk membunuh Sukmana. Cakrawaja tadi mau menggunakannya
padaku. Ini bisa jadi barang bukti untuk di pengadilan kan?”
“Iya. Simpanlah di
kantong di dekat kaki kananmu.” Singo Abang menarik tali kekang kuda. “Kita
harus cepat. Pegangan.”
Mereka menuju ke
perbatasan Mertabumi untuk bertemu dengan Mijil. Semalam Mijil sudah bertemu
dengan Singo Abang dan memberitahu semua hal yang terjadi. Tempat Enggar
terakhir disekap tadi Singo Abang tahu dari salah satu anak buah Cakrawaja yang
berhasil dilumpuhkan, Siung Loro.
Hampir satu jam baru
mereka tiba di sebuah rumah di kaki bukit.
“Kenapa kita berhenti
di sini? Rumahnya di sebelah sana,” kata Enggar sambil menunjuk ke arah rumah
yang masih sekitar lima puluh meter di depan.
“Apapun yang terjadi, jangan
jauh-jauh dariku.” Suara Singo Abang berubah nadanya. Kewaspadaannya membuat
Enggar kuatir. Dari tempat mereka berada, terlihat orang-orang bersenjata
keluar bersama seseorang. Mijil.
Di belakang mereka ada
seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Cakrawaja. Disusul oleh
Jayengwangsa dan Jayengwira. Singo Abang dan Enggar berjalan mendekati mereka
setelah turun dari kuda.
“Barata. Kita bertemu
lagi.” Cakrawaja maju ke depan, salah satu kakinya menginjak punggung Mijil.
“Kuakui kalian punya nyali besar datang ke sini. Tempat ini dipenuhi
orang-orangku. Kalian sudah terkepung, jadi sebaiknya menyerah saja. Berikan
dia padaku dan aku akan mengampuni nyawamu.”
“Bagaimana kalau
sebaliknya. Kamu pergi dari sini baik-baik dan aku akan mengampuni nyawamu,”
sahut Singo Abang kalem.
Cakrawaja tertawa
mengejek. “Serang mereka!” serunya. Anak buahnya yang bersiaga serentak
menyerbu.
Teriakan orang dipadu dengan
denting senjata memenuhi telinga Enggar. Singo Abang bergerak kesana kemari
menangkis serangan dan melindungi Enggar. Hampir tidak masuk di akal Enggar
kalau mereka akan bisa bertahan, apalagi keluar dari pertempuran.
Tiba-tiba terdengar
seruan ketika Singo Abang, Enggar dan Mijil terdesak. Suara itu datang berasal
dari serombongan orang berkuda dengan seorang laki-laki tampan berkuda putih
memimpin di depan. Haryo.
“Kenapa lama sekali
baru datang?” seru Singo Abang pada Haryo. “Kalau tidak sedang repot begini,
aku akan menghajarmu karena mencuri Enggar dariku?”
“Bisa itu kita
bicarakan nanti, tidak lihat aku sedang sibuk?” Haryo tidak menggunakan panah
kali ini, dia memilih menggunakan pedang.
Pertarungan mulai tidak
seimbang setelah Haryo dan pasukannya datang. Cakrawaja dan dua orang
kepercayaannya mengeluarkan busur, menghujani arena dengan anak panah. Haryo
tidak mau tinggal diam, dia juga mengeluarkan busur dan mulai membidik.
Enggar berkali-kali
memejamkan mata melihat adegan aksi berdarah. Perutnya mulai mual. Ini terlalu
mengerikan untuknya.
“Awas!” Singo Abang
menarik Enggar yang hampir ditusuk tombak. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan
merem. Serangan datang dari mana-mana. Tetap siaga!”
Cakrawaja membubuhkan
sesuatu pada ujung anak panahnya. Cairan berwarna hijau dari botol kecil yang
dibawanya. Dibidikkannya anak itu dengan seluruh kemampuan, menyasarkannya pada
Enggar.
Singo Abang
membelakangi Enggar untuk menyingkirkan dua orang berpedang panjang. Adu pedang
mereka menciptakan bunyi yang membuat telinga Enggar semakin sakit dan hatinya
miris.
Sebuah anak panah
melesat. Ada suara di kepala Enggar yang menyuruhnya membalikan badan. Ketika
Enggar berbalik, dia melihat anak panah itu ke arahnya.
Jleb!!!
***