Gadis itu itu mengurung
diri di dalam pondok. Tidak bernafsu makan, tidak mau latihan beladiri, tidak
mau berbincang-bincang. Singo Abang sampai mendatangkan bala bantuan untuk
menghiburnya. Anak buahnya dan anak-anak didik Mpu Soma menyambangi Enggar bergantian.
Bogar membawa makanan-makanan enak. Sanip membawa celengan atau terakota yang
lucu-lucu. Jandul yang tidak pernah bicara itu pun rela datang menemui Enggar
untuk menunjukkan beberapa jurus pedang. Mpu Soma bahkan beberapa kali
berkunjung untuk membesarkan semangatnya.
Perhatian orang-orang
padanya sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan Enggar. Apalagi Singo
Abang berjanji mencari cara lain untuk membantunya. Selama ini Singo Abang bisa
dipercaya, jadi Enggar yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Malam ini tidak seperti
biasanya Enggar melihat Singo Abang agak lain. Sesorean tadi laki-laki itu
murung. Sekarang saja Singo Abang duduk menyendiri di luar pendopo, sementara
orang-orang berkumpul di dalam mendengarkan Mpu Soma membacakan kitab. Enggar
mendatangi Singo Abang karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ada apa, Bang?” tanya
Enggar sambil duduk di sebelah Singo Abang. “Kulihat hari ini galau banget.
Terlalu lama hidup damai di sini, jadi kangen berantem ya?”
Gurauan Enggar hanya
mendapatkan sedikit senyuman dari Singo Abang. “Aku mendapat berita dari Haryo
kalau ibuku sakit keras. Keluargaku memintaku pulang.”
“Lhah, kenapa Abang
masih di sini? Pulanglah, temui ibumu. Pasti beliau senang kalau Abang datang. Siapa
tahu sakitnya karena merindukan Bang Singo. Abang sebenarnya juga rindu sama
ibumu kan? Aku baru beberapa minggu di sini sudah kangen setengah mati sama Bunda,
apalagi Abang yang sudah bertahun-tahun,” tukas Enggar.
Singo Abang menghela
napas. Kepergiannya waktu itu penuh dengan cerita kepedihan dan kebencian. Meskipun
luka hatinya sudah mulai sembuh, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk
memulai komunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.
Tapi pengalaman demi
pengalaman selama berpetualang di luar istana memberinya pelajaran, bahwa kesedihan,
kemarahan, kebencian dan egoisme yang tinggi tidak akan membawanya kemana-mana
kecuali kerusakan pada diri sendiri.
Selain masih adanya
rasa enggan dan canggung untuk pulang, Singo Abang juga kepikiran Enggar. Kalau
dia pulang, apa dia harus meninggalkan Enggar? Atau membawa Enggar serta ke
istana dimana ada sebagian orang mengenalinya sebagai Putri Anggoro?
Pasti akan muncul
masalah, apalagi Cakrawaja saat ini berada di penjara istana. Meskipun tubuhnya
terkurung di balik tahanan, orang-orang Cakrawaja masih bebas berkeliaran dan
Singo Abang sangat yakin keselamatan Enggar tidak bisa dijamin. Apalagi jika
nanti Singo Abang harus fokus pada rekonsiliasi hubungannya dengan keluarganya.
“Oh ya, rumah Bang
Singo dimana? Kotaraja?” tebak Enggar.
“Iya. Kamu ikut
denganku kalau aku pulang?” tanya Singo Abang.
“Ya iya lah. Di seluruh
Majapahit orang yang kukenal baik dan kupercaya hanya Abang saja. Kemanapun
Abang pergi aku pasti ikut,” jawab Enggar enteng.
Gadis itu tidak tahu
betapa senangnya Singo Abang mendengar kata-katanya. Mati-matian laki-laki itu
menahan senyum bahagia.
“Kalau kau mau ikut
denganku, sebaiknya kukatakan keadaan yang sebenarnya di tempat tinggalku. Jangan
sampai kau kaget dan merasa tidak enak, apalagi tidak betah. Ini juga untuk mengantisipasi
masalah yang bisa saja terjadi di rumahku nanti.”
“Bikin penasaran banget.
Memangnya kenapa sih, Bang? Rumahnya tidak punya kamar tamu?” sela Enggar.
Singo Abang melirik sebal.
“Sebenarnya aku tidak
hanya tinggal di kotaraja, tetapi aku tinggal di komplek istana.” Singo Abang
menunggu komentar Enggar. Karena tidak ada komentar, Singo Abang meneruskan.
“Orang tuaku adalah salah satu menteri di kerajaan Majapahit.”
Enggar belum juga
komentar. Mungkin karena gadis itu tidak begitu saja percaya akan pengakuan
Singo Abang dan perlu waktu untuk mencerna informasi penting barusan.
“Tapi itu bukan hal
yang bisa menimbulkan masalah. Ada hal yang lebih serius yang akan kamu hadapi.
Di sana nanti kamu pasti dianggap sebagai Putri Anggoro, sebagian orang sudah
mengenalnya karena Putri Anggoro kekasih Pangeran Palawa. Mereka akan menikah
setelah Pangeran Palawa pulang dari negeri seberang dan itu tidak akan lama
lagi. Dalam beberapa hari ke depan Pangeran Palawa akan datang,” ujar Singo
Abang hati-hati.
Mata Enggar melebar. Napasnya
mulai tak beraturan.
“P..Pangeran Palawa
calon suami Puteri Anggoro? Oooohh....” Enggar memegang lengan Singo Abang,
merasa tekanan darahnya tiba-tiba turun. Memikirkan dia akan bertemu Pangeran
Palawa dan menjadi kekasihnya membuat kepala Enggar pusing. “Ada yang bawa air
minum?” tanya Enggar.
“Jadi bagaimana,
menurutmu aku harus pulang?” Singo Abang meminta pertimbangan Enggar.
“Beri aku waktu untuk
berpikir. Otakku kekurangan oksigen.” Enggar mengambil napas dalam-dalam untuk
mengurangi pening.
“Aku bisa saja
menitipkanmu di salah satu rumah kerabatku di kotaraja agar kamu terhindar dari
masalah Anggoro, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku tidak mau
kehilanganmu lagi,” kata Singo Abang, tak sadar menatap Enggar dengan penuh
arti.
“Hah?” Enggar terkejut
mendengar kata-kata Singo Abang.
“Oh, eh, maksudku kamu
kan suka kabur kalau aku lengah, apalagi kalau kutinggal pergi. Tersesat di
kotaraja lebih mengerikan dibanding tersesat di hutan atau di gunung. Begitu,”
ralat Singo Abang sebelum keadaan makin membuatnya kikuk karena wajah Enggar
jadi merah merona.
Enggar menundukkan
kepala yang terasa mengeluarkan uap panas. Seluruh tubuhnya diselimuti sensasi
aneh yang menghangatkan. Mungkin Singo Abang merasakan hal yang sama, terbukti sikap
tubuhnya menjadi sedikit kaku dan canggung.
“Bagaimana? Aku akan
sangat senang sekali kalau kamu mau ikut aku ke istana,” kata Singo Abang
sambil berdehem keras untuk menghilangkan atmosfer aneh yang mengelilingi
mereka.
“Coba kuhitung-hitung
resikonya. Di Ketanggung sudah tipis harapanku untuk bisa dipulangkan ke masa
depan. Tetap berada di sini juga tidak menjamin keamananku. Cepat atau lambat masalah Puteri
Anggoro palsu akan terungkap. Mumpung ada di Majapahit, apa salahnya aku datang
ke istana? Siapa tahu di istana nanti malah ada titik cerah. Istana berisi
banyak orang pintar dan berilmu, mungkin ada yang bisa membantu.”
“Aku senang kamu penuh
harapan.”
“Apa hal terburuk yang
bisa kualami di istana? Pangeran Palawa tentu bukan orang yang sempit pikiran dan
tetap memaksakan menikahiku kalau tahu aku bukan Anggoro. Tentang Cakrawaja,
dia ada di penjara yang penjagaannya tentu lebih ketat. Tentang orang-orang
yang mengenalku sebagai Anggoro terkait dengan rencana apapun yang sedang
disusun orang Mertabumi dan Sadeng, ada Bang Singo dan Mas Haryo yang mau
membantuku.”
Singo Abang menghela
napas pendek, tidak sepakat Haryo dibawa-bawa.
“Baik, aku akan ikut
Bang Singo ke istana!” putus Enggar dengan senyuman lebar. Betapa banyak hal
yang akan disaksikannya nanti di pusat kerajaan Majapahit. Itu akan menjadi
pengalaman yang tak akan terulang lagi di hidupnya.
***