Kabut sudah mulai
turun. Tipis mengambang. Matahari mengintip dari balik punggung gunung.
Kehangatannya hanya mampu sedikit menembus sejuknya titik-titik air di udara.
Sebentar lagi sore berakhir.
Singo Abang gelisah di
gerbang kediaman Mpu Soma. Ini hari ketiga semenjak Enggar dan Mpu Soma pergi.
Seharusnya dia menahan Enggar agar tidak pergi. Kalau gadis itu benar-benar
kembali ke jamannya, dia tidak akan bertemu lagi. Perpisahan mereka beberapa
hari lalu sangat tidak mengenakkan karena keduanya saling diam, jadi Singo
Abang akan sangat menyesal kalau Enggar benar-benar pergi.
Laki-laki itu mengguncang-guncang
pohon di sebelahnya dengan gemas. Beberapa daun dan ranting kecil menimpanya.
Seekor monyet melompat turun dari pohon karena terganggu oleh guncangan itu.
Rupanya Jambul Abang.
Singo Abang melirik
Jambul Abang. “Dia sudah pergi, jadi tidak ada yang bisa kamu kejar lagi, Mbul.
Si cerewet itu sudah balik ke alamnya,” kata Singo Abang. “Kamu tidak kangen
mengganggu Enggar lagi, Mbul?”
Laki-laki itu pun duduk di bawah pohon ditemani
Jambul Abang. Mereka berdua sesekali saling melihat.
“Kamu pernah mengalami hal aneh seperti ini, Mbul? Membiarkan,
tapi sebenarnya tidak rela. Mendukungnya pergi, tapi sangat mengharap dia
kembali. Tidak tahan dia ada di sekitarmu, tapi tidak sanggup juga kalau dia
tidak ada. Tahu apa itu artinya? Itu artinya kamu sudah gila,” simpul Singo
Abang. “Dan aku sudah gila bicara pada monyet.”
Matahari sudah
bersembunyi. Hanya bias cahayanya saja yang masih mewarnai langit. Singo Abang
mendengar suara derap kuda. Semakin mendekat semakin kuat debar jantungnya.
Ketika dia berdiri, dari belokan muncul Mpu Soma. Sendirian. Rasa kecewa
menguasainya. Jadi Enggar benar-benar pergi.
“Kamu menungguku,
Barata?” Mpu Soma turun dari kuda. Singo Abang belum beranjak dari tempatnya
berdiri. Dia melihat ke arah belakang Mpu Soma, berharap menemukan Enggar.
“Ap...apa Enggar sudah
kembali ke masanya?” tanya Singo Abang. Mpu Soma tidak menjawab. Hanya menepuk
pundak Singo Abang beberapa kali kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
Singo Abang masih
mematung beberapa waktu, seperti menunggu. Dia menggelengkan kepala dan menghela
napas panjang. “Dia sudah pergi, Mbul,” katanya pada Jambul Abang. Dengan
langkah lesu laki-laki itu berjalan meninggalkan gerbang dan Si Jambul. Rasanya
seperti kehilangan Shiao Lan untuk kedua kali.
Kalau yang dulu dia
memang tidak dapat kesempatan mengutarakan isi hatinya pada Shiao Lan. Singo
Abang tengah dikirim ke kerajaan tetangga untuk membantu Pangeran Palawa, dan
saat kembali ke istana dia mendapat kabar kapal yang membawa Shiao Lan dan
keluarganya karam dihajar badai. Tidak ada yang selamat. Kalau sekarang dia
punya kesempatan bicara tapi dirusak sendiri olehnya dengan menciptakan suasana
tidak nyaman di hari terakhir Enggar akan pergi, karena cemburu pada Haryo.
“Jandul, apa kau
baik-baik saja?” tanya Singo Abang yang bertemu Jandul di klinik bersama Pak
Susatra. Jandul kena sedikit luka bakar.
Jandul mengangguk tanda
dia baik-baik saja. Laki-laki itu menanyakan hal yang sama pada Singo Abang
yang dijawab dengan anggukkan kepala juga. Tapi saat Jandul memberi isyarat
mengenai Enggar, Singo Abang menggeleng.
Saat itu terdengar
Jambul Abang ribut di depan sana. Semula tidak diperhatikan oleh mereka, Monyet
itu memang suka berisik, tapi lama-lama tingkahnya menjadi.
Singo Abang membalikkan
badan. Dilihatnya monyet itu mondar-mandir dan berteriak tidak keruan, lalu
lari keluar komplek. Kalau kebiasaannya tidak berubah, dia pasti sedang
mengejar seseorang. Dan selama ini hanya satu orang saja yang dikejarnya.
Berharap dugaannya
benar, secepat kilat Singo Abang melesat mengikuti Si Jambul. Ada suara gemuruh
di telinganya yang berasal dari detak jantungnya.
“Aaaaahh!! Pergi!
Pergi! Pergiiiiiiiiiiiii...!” Seorang berteriak sambil menggerak-gerakkan
tongkat kayu, mengusir monyet yang hendak menyerangnya.
“Enggar!” seru Singo
Abang. Saat dia sudah berada di hadapan Enggar, serta merta dipeluknya gadis
itu erat-erat. Perasaan campur aduk meluap-luap, memenuhi seluruh aliran darah
lelaki itu. Seolah memastikan dia tidak bermimpi, Singo Abang tak ingin
melepaskan dekapannya dari Enggar.
“Kupikir aku tidak akan
bertemu kamu lagi,” bisik Singo Abang lega.
Ketakutan Enggar
terhadap Jambul Abang lumer seketika. Yang ada hanya rasa aman, hangat dan
bahagia.
Tatapan mata mereka
bertemu. Sekilas Enggar teringat peristiwa di danau bersama Singo Abang waktu
itu. Raut mukanya seketika memerah. Begitu juga dengan Singo Abang yang
tiba-tiba dilanda demam. Pelukan mereka terlepas, keduanya merasa canggung dan
salah tingkah.
“Aku senang bisa bertemu Bang Singo lagi, tapi
aku jadi tidak bisa pulang, Bang.” Suara Enggar serak hampir menangis.
Singo Abang mengulurkan
tangan, menghapus air mata gadis itu dengan lembut sambil berusaha keras untuk
tidak menaikkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. “Kita akan cari
jalan lagi, jangan menyerah. Sekarang kamu istirahat dulu di pondok,” kata
Singo Abang. Enggar mengangguk. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku. Jangan terlalu
bersedih. Pasti ada jalan untuk kamu pulang,” hiburnya.
Enggar tidak
berkomentar. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi itu
sama sekali tidak dipedulikan Singo Abang. Hatinya terlalu bahagia dengan
keberadaan Enggar di sisinya.
Enggar langsung masuk
ke pondoknya dan menutup pintu. Singo Abang mengangguk-anggukkan kepala.
Senyumnya nggak ditutup-tutupi lagi.
***