“Kamu kecebur saat
mancing ikan?” tanya Mpu Soma sekali lagi pada Singo Abang. Singo Abang
mengangguk. “Kamu cukup pintar untuk tahu lukamu ini harus dijaga tetap kering
selama beberapa hari.”
Singo Abang dan Enggar
saling lirik. “Aku ingin makan ikan bakar,” kata Singo Abang menambah-nambah
alasan.
“Kalau hanya ikan
bakar, Ketua kan bisa minta ke dapur. Tidak perlu nyebur danau,” kata Bogar.
Dia orang pertama yang menemukan mereka berdua di tepi danau. Yang satu
pingsan, yang satunya heboh menyadarkan, tapi tidak bisa-bisa. “Nanti malam
saya masakkan ikan bakar, Ketua,” lanjut Bogar. Singo Abang mengangguk saja.
“Aku sudah membersihkan
lukamu agar kuman-kuman tidak masuk. Jaga agar tetap kering.” Mpu Soma
menyelesaikan bebatan luka Singo Abang. “Enggar, kita akan menemui kakak
seperguruanku pekan depan terkait keinginanmu untuk pulang. Sementara menunggu,
kamu bantu aku merawat Barata. Besok aku harus ke gunung selama dua atau tiga
hari.”
“Baik, Mpu,” jawab
Enggar.
“Pastikan Barata tidak
melakukan hal-hal yang seperti dilakukannya hari ini kalau mau cepat sembuh.”
Mpu Soma tersenyum geli. “Sebaliknya pesanku juga sama untukmu, Barata.
Pastikan Enggar tidak membuatmu mancing ikan lagi. Hm?”
Mpu Soma dan Bogar
keluar dari pondok Singo Abang. “Kamu bisa pergi beristirahat sekarang,” kata
Singo Abang.
“Bang, tadi itu
sepertinya ada orang yang mau menenggelamkanku,” kata Enggar. “Apa tempat ini
sudah tidak aman lagi?”
“Jandul sudah memeriksa
sekitar danau dan tidak menemukan tanda mencurigakan. Mungkin ada hewan yang
mengiramu makanan. Atau mungkin kakimu tersangkut tanaman.” Singo Abang tidak
terlihat yakin.
“Ah, jangan menakutiku,
Bang. Di danau itu serius ada monsternya?” tanya Enggar dijawab gelengan kepala
oleh Singo Abang. “Tapi tahu tidak, Bang. Saat sadar tadi aku sempat berharap
sudah kembali ke masa depan, tapi ternyata lagi-lagi gagal. Aku jadi tidak
yakin kalau akan bisa pulang.” Enggar menyandarkan kepala di dinding.
“Minggu depan mungkin
kamu akan tahu. Sudah, jangan sedih begitu.”
“Masih ada satu
harapan.” Enggar memaksakan diri untuk tersenyum. “Eh, Bang, aku belum sempat
bertanya. Setelah Abang mengeluarkanku dari danau, Bang Singo langsung pingsan
gitu ya?”
Singo Abang mengangguk.
Apa yang dilakukannya untuk menyadarkan Enggar tadi akan disimpannya sendiri.
Toh dia tidak begitu yakin apa benar terjadi. Sudah setengah gelap.
“Mulai sekarang
sepertinya aku memang harus lebih berhati-hati. Kalau selalu mengandalkan Bang
Singo, nanti bisa jadi kebiasaan buruk. Baiklah, aku mau istirahat sebentar,
terus nanti mau latihan pedang. Aku pergi dulu ya.” Enggar berjalan keluar.
“Jauhi masalah untuk
sementara. Aku masih belum sehat,” pesan Singo Abang.
Enggar menutup pintu
sementara Singo Abang merebahkan diri ke balai-balai. “Bang, aku masih
penasaran. Waktu Pak Bogar menemukanku, katanya aku sudah sadar, sedangkan Bang
Singo pingsan. Padahal terakhir kuingat adalah aku di dalam air. Betul aku
sadar sendiri?” tanya Enggar yang melongokkan kepala.
“Tutup pintunya, aku
mau tidur.” Singo Abang langsung merem, tidak menjawab pertanyaan sama sekali.
Dadanya bergemuruh dilanda gempa.
***
Sanip membentuk mulut
guci dari tanah liat dengan hati-hati. Tangannya yang basah, belepotan air dan
tanah itu, memberikan sentuhan akhir, sementara kakinya terus memutar alas
pembuat tembikar. Dia ada di bengkel, sedang menunjukkan kemampuannya membuat
tembikar pada beberapa orang di situ. Desanya dulu adalah salah satu desa
penghasil tembikar yang terkenal.
“Kang Sanip, nggak
bikin celengan?” tanya Enggar. Selama ini yang dia lihat gerabah atau tembikar
yang ada berbentuk guci, tempayan, kendi dan sebagainya yang sebagian besar
untuk keperluan yang berhubungan dengan air atau peralatan dapur.
“Apa itu celengan?”
tanya Sanip.
“Celengan, tempat untuk
menyimpan uang. Memangnya kalian menyimpan uang di mana?” tanya Enggar.
“Kantong atau batang
bambu,” jawab salah seorang.
“Jadi nggak ada
celengan semar, ayam, kodok, babi.”
“Saya tidak mengerti
maksud Den Enggar,” kata Sanip.
Enggar memberi
penjelasan singkat tentang celengan. Suatu tempat yang dibuat tertutup tapi
berongga, hanya ada satu lubang cukup untuk memasukkan keping uang. Dinamakan
celengan karena berbentuk celeng atau babi hutan.
Mereka masih bingung.
Jadi terpaksa Enggar memberi contoh penampakannya. Dia meminta tanah liat dan
mulai dibentuknya menjadi celengan. Di kepalanya sih menciptakan celengan babi,
tapi hasilnya jauh dari itu.
“Ini apa?” tanya Sanip.
“Babi,” jawab Enggar.
“Dikasih lubang di sini, atau di sini untuk memasukkan uangnya. Nih.” Enggar
memipihkan sejumput tanah liat hingga berbentuk keping, lalu memasukkan ke
lubang celengan.
“Babi bentuknya tidak
seperti ini, Den. Ini sih cecurut.” Sanip tidak bermaksud menghina, tapi telak
mengena. Enggar meringis. Emang bentuknya lebih mirip cecurut, yang gagal
dikloning. “Kalau babi atau celeng itu seperti ini.” Sanip pun beraksi.
Tangannya lincah dan cekatan bekerja membuat celengan.
Enggar bertepuk tangan
ketika celengan itu sudah jadi. Itu adalah celengan babi tergemuk dan paling
menggemaskan yang pernah dilihatnya. Perutnya hampir menyentuh tanah. Mukanya
bulat, matanya seperti tersenyum, pipinya tembem, kakinya kecil dan pantatnya
seksi. Ukurannya pun lumayan besar, jadi siapapun yang bisa mengisi celengan
ini sampai penuh, pasti kaya raya.
“Bagus sekali, Sanip.”
Sanip terkekeh malu.
“Belum pernah terpikir sebelumnya untuk membuat celengan dari tanah liat.
Dengan bambu tidak bisa dibentuk macam-macam, tapi dengan tanah liat, kita bisa
bikin yang kita mau. Ya. Ini pasti laku keras kalau dijual.”
Mereka terlihat gembira
dengan gagasan mengenai celengan. Enggar ikut senang melihat mereka bersemangat
begitu.
“Permisi, Den Enggar.
Ada yang mencari Den Enggar.” Markun datang menghampiri Enggar. “Pangeran
Haryo. Beliau menunggu di pondok Den Barata.”
“Mas Haryo?” Enggar
sampai lupa pamitan pada Sanip dan teman-temannya karena buru-buru pergi. Haryo
ke sini, apa permasalahan di Mertabumi sudah beres?
Kedua laki-laki itu
sedang berbincang ketika Enggar tiba. Haryo menyambutnya dengan senyuman
hangat. Dia mempersilahkan Enggar duduk, menanyakan bagaimana kabarnya dan
meminta maaf atas kejadian selama di Mertabumi.
“Apa hatimu sudah baik
untuk bisa memaafkanku?” tanya Haryo.
“Apa yang terjadi
dengan mereka? Cakrawaja dan anak buahnya? Tumenggung Sukmo dan orang bergelang
naga itu?” tanya Enggar. Dia tidak begitu kepikiran lagi tentang rasa sebelnya
pada Haryo.
“Mereka sudah
ditangkap. Tapi kasus yang bisa diangkat baru tentang pembunuhan Sukmana dan
upaya pembunuhan terhadapmu. Kami belum mendapatkan bukti-bukti kuat tentang
adanya rencana lain. Orang-orang yang mengetahui tentang itu hanya orang-orang
tertentu dan mereka mengunci rapat-rapat. Tanpa saksi dan bukti kami tidak bisa
begitu saja memperkarakan mereka. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini.
Penyelidikan terus berlanjut,” ujar Haryo. “Sebenarnya Putri Anggoro bisa
menjadi saksi, tapi kamu tahu sendiri keadaannya.”
Enggar nyengir. “Jadi
siapa yang membunuh Sukmana?”
“Cakrawaja. Dia
sebenarnya sudah pergi dari Mertabumi hari itu juga. Mengira segala sesuatu
sudah beres, sampai muncul berita kamu diculik oleh Kepala Merah.”
“Apa Sukmana tahu
tentang rencana mereka sebagaimana Putri Anggoro?”
“Aku yakin begitu. Tapi
Cakrawaja membuat pengakuan dia melakukan itu karena Sukmana membuatnya kesal,”
jawab Haryo yang tidak lepas memandang Enggar. “Cakrawaja bisa menyakiti orang
hanya karena orang itu tersenyum padanya. Orangnya memang seperti itu.”
“Terus kelanjutannya
bagaimana, Mas?”
“Untuk itulah aku
datang kesini menemuimu. Kamu mungkin akan dipanggil ke istana untuk dimintai
keterangan. Aku masih belum bisa menemukan jalan keluar mengenai dirimu. Orang
istana tahunya kamu adalah Putri Anggoro, padahal kamu bukan. Aku tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi kalau mereka tahu sebenarnya, bahwa kamu dari
masa depan. Sampai sekarang pun aku masih belum sepenuhnya percaya.”
“Aku ke istana? Waduh,
nggak deh, terima kasih. Aku ada agenda yang jauh lebih penting. Pulang ke
rumah.” Enggar tersenyum.
“Hm. Mpu Soma sudah
menemukan caranya?”
“Beliau harus menemukan
cara, aku sudah kehabisan ide,” keluh Enggar.
“Jujur aku berharap
kamu tetap ada di sini, agar aku bisa melihatmu setiap hari,” ucap Haryo
merayu.
“Haryo, kamu kesini bukannya mau menyelesaikan
urusan denganku juga?” sela Singo Abang sebelum Haryo semakin mencari
kesempatan menarik hati Enggar. Haryo menoleh ke Singo Abang.
“Kamu masih terluka begitu
apa mau bertanding, Barata? Itu tidak adil untukmu.”
“Kalau mau aku cepat
sembuh, kalian jangan mengganggu istirahatku. Sana, keluar sana, aku mau
tidur,” tukas Singo Abang.
“Kok jadi galak begitu
sih, Bang? Tunggu, memang selalu galak ding. Yuk, Mas Haryo, kita keluar saja,”
ajak Enggar. Dia keluar duluan dari pondok, diikuti Haryo. Singo Abang kesal
bukan main.
Di luar, Haryo
mengikuti Enggar ke arah bengkel di belakang. Semula mereka berjalan
berdampingan, tapi Haryo kemudian mendahului Enggar dan memintanya untuk
berhenti dulu.
“Enggar, aku masih
merasa tidak enak padamu tentang penculikan waktu itu. Aku hanya berpikir
semakin cepat kuselesaikan kasusnya, kamu akan semakin cepat terbebas. Aku
tidak tega kamu jadi buronan terus. Tapi aku kurang memperhitungkan
keselamatanmu. Kupikir aku bisa selalu melindungimu, ternyata tidak. Aku merasa
bersalah sekali.”
“Sudah kumaafkan kok.
Lagipula aku sdah mau pulang, nggak baik kan menyimpan dendam. Semua urusan
harus beres sebelum aku balik.”
“Apa tidak ada yang
bisa menahanmu di sini? Aku misalnya,” kata Haryo, membuat Enggar demam
dadakan.
“Mak..maksudnya?”
“Den Enggar, sini!”
Bogar melambaikan tangan di seberang, di depan dapur. “Pisang goreng kerispi.”
Enggar menoleh ke arah
Bogar dan menganggukkan kepala. Saat dia kembali memandang Haryo, laki-laki itu
masih manatapnya. “Aku mau lihat pisang goreng crispy dulu.” Enggar beranjak. Haryo menahan dengan menarik
tangannya.
“Den Enggar, sini!”
Bogar memanggilnya lagi. Enggar melepaskan tangannya dan berlari menuju dapur,
meninggalkan Haryo yang termangu.
Senyum sumringah Bogar
menyurut karena Enggar melewatinya dan malah masuk dapur, kemudian jongkok di
depan tungku sambil menepuk-nepuk pipinya.
“Panas...panas...”
gumam Enggar.
“Jongkok di depan
tungku ya panas, Den,” celetuk Bogar. Dia ikut berjongkok di sebelah Enggar.
“Apa jangan-jangan Den Enggar jadi demam karena kecebur di danau? Eh, waktu
kejadian kemaren, saya betul-betul takut kalau Den Enggar sudah meninggal saat
dibawa naik oleh Ketua.”
“Lho, memangnya Pak
Bogar sudah ada di sana waktu aku dibawa naik?”
“Iya. Sebenarnya saya
sudah mau lari mendekat untuk membantu, tapi tidak jadi waktu Ketua memberi
napas buatan pada Den Enggar. Tapi begitu Ketua pingsan setelahnya, saya
buru-buru datang.”
Enggar gelagepan.
“Ap...apa?” Makin panas saja pipinya, seperti bakpau keluar dari kukusan. Tidak
sadar dia menutup mulutnya. Singo Abang memberinya napas buatan? Apa itu
berarti Singo Abang menciumnya? Waduuuuh...
“Den. Den Enggar. Den!”
seru Bogar. “Ini saya sudah buat tepung kerispinya. Mau dicoba rasanya?” Bogar
menyodorkan pisang goreng yang dibuatnya.
“He? Oh iya...iya.”
Enggar mencomot satu pisang goreng dan menghabiskannya sekali telan.
Dikunyah-kunyah secepatnya kemudian ditelan sambil matanya mendelik. “Enak.
Hebat. Aku pergi dulu ya, Pak.” Enggar ngeloyor pergi.
***
Anak-anak dan remaja
murid sekolahan Mpu Soma berbaris duduk mengelilingi lapangan. Sore ini ada
acara ujian beladiri untuk kenaikan tingkat, sekaligus unjuk kebolehan secara
berkelompok. Enggar tak ketinggalan ikut menonton. Dia duduk di bangku yang
disediakan Pak Markun, bersebelahan dengan Haryo. Sanip, Jandul dan Bogar duduk
di rerumputan, di depan mereka.
Satu kelompok maju ke
tengah lapangan. Mereka mempraktekkan beberapa jurus bersamaan. Kekompakan,
hafalan gerakan dan keindahan formasi yang dinilai oleh ketua juri, Pak
Susatra.
“Jurus apa itu namanya,
Kang Sanip?” tanya Enggar pada Sanip.
“Jurus Bangau.”
“Masa’ nama jurusnya
cuma Bangau? Di dunia persilatan itu nama jurusnya keren-keren lho, misalnya
jurus Tendangan Maut, Dewa Mabuk, Tendangan Tanpa Bayangan, Naga Membelah
Angkasa...”
“Memangnya jurus diberi
nama sepanjang itu?” tanya Markun.
“Iya dong, biar
dramatis. Kalau nama jurusnya hebat kan musuh bisa keder duluan,” kata Enggar
memancing orang-orang di sekitar situ untuk berpikir. Haryo tersenyum. Dia suka
gaya Enggar yang seperti itu.
“Kalau yang mereka
peragakan sekarang pantasnya diberi nama jurus apa ya?” tanya Sanip. “Bagaimana
kalau nama jurunya Katak dalam Tempurung?”
“Hehehehe... itu
peribahasa, Kang.”
Mereka mulai ramai
membahas nama-nama jurus. Setiap ganti giliran beraksi di tengah lapangan sana,
terjadilah nama-nama jurus baru. Jurus yang diusulkan Sanip di antaranya: Pungguk Merindukan Bulan, Serigala Berbulu
Domba, Anak Ayam Kehilangan Induknya. Patut dicurigai nih. Jangan-jangan
peribahasa di masa depan itu Sanip pencipta aslinya.
Lain Sanip lain pula
Bogar. Karena dia seorang koki, nama jurus karangannya tidak beda jauh sama
dunianya: Udang Goreng Tepung, Cumi Asam
Manis, Bebek Cabe Hijau.
Haryo puas tertawa.
Seseorang datang
menghampiri bangku tempat Enggar dan Haryo duduk. Singo Abang. Dari jauh dia
melihat mereka kok jadi migren, ya sudah, bergabung saja. Bertiga mereka duduk,
Enggar ada di tengah. Mati gaya. Daripada kaku dan beku karena salah tingkah,
Enggar turun dan ikut lesehan di rerumputan dengan yang lain.
Markun minta ijin
bicara pada Haryo. Ada seseorang membawa pesan untuk Haryo agar dia harus
segera balik ke istana. Dilema. Dengan berat hati Haryo pergi dulu menemui si
pembawa pesan. Enggar bertanya-tanya dalam hati ada apa lagi. Haryo tidak
tampak hingga makan malam. Enggar jadi tambah penasaran.
“Dia dipanggil ke
istana,” kata Singo Abang kepada Enggar. Tidak tahan melihat cewek itu
celingukan dari tadi menunggu kemunculan Haryo.
Yang datang malah Mpu
Soma. Sebenarnya sudah datang sejak sore tadi sih, tapi baru menemui Enggar
sekarang. “Besok pagi-pagi sekali kita pergi. Siapkan semua keperluanmu.
Pastikan tidak ada yang ketinggalan.”
“Heh? Besok pagi saya
bisa pulang?” Senyum Enggar mekar.
“Mungkin saja.”
“Terima kasih, Mpu.”
Enggar menyenggol Singo Abang. “Bang, besok aku bisa pulang. Senangnya.”
“Siapa yang pulang?”
Haryo datang. Enggar mengacungkan tangan. “Kamu pulang kemana? Kamu benar tidak
ingin tinggal di Majapahit bersamaku?”
Ada yang tersedak
makanan mendengar kata-kata Haryo barusan.
“Ini bukan tempatku.
Meskipun Majapahit tidak sepahit yang kukira, tapi aku lebih memilih untuk
berada di tempat yang semestinya.” Enggar menggeser duduknya dekat Haryo. “Aku
sekalian pamit aja deh sama Mas Haryo, maafkan aku kalau aku ada salah. Harap
semua utangku dianggap lunas, semua pinjaman dianggap impas.”
“Aku baru menemukanmu,
masa kamu sudah mau pergi?” Tatapan mata Haryo seperti bius, membuat Enggar
lemas.
Singo Abang meletakkan
kendi agak keras. Kecurigaannya kalau Haryo menyukai Enggar terbukti.
Sepertinya ini saat yang tepat untuk adu pedang dan panah.
Enggar melirik Singo
Abang yang sok cool meneruskan makan. Orang itu diam saja meskipun tahu dia
akan pergi. Tidak keberatan atau setidaknya bilang apa gitu yang membuat Enggar
merasa penting untuknya.
“Enggar, aku dipanggil
ke istana malam ini juga dan aku masih ingin bisa melihatmu. Bagaimana kalau
kamu ikut aku saja dan tidak usah pulang?” pinta Haryo.
“Tidak menyangka kamu
jadi normal karena dia, Har. Kupikir yang akan bisa menakhlukkanmu adalah putri
dari seberang lautan yang kecantikannya terkenal hingga tujuh daratan dan
lautan,” sindir Singo Abang.
“Eh, Bang Singo, nggak
perlu bikin keki orang deh kalau di dalam hati sebenarnya Abang juga ingin aku
tinggal. Iya, aku tahu Bang Singo pasti lega banget kalau aku pulang, jadi
nggak perlu susah payah menjagaku. Maaf kalau aku sudah merepotkan.“ Enggar
mengulurkan tangan ke Haryo dan menyalaminya. “Doakan aku berhasil ya, Mas. Dan
hati-hati di perjalanan ke istana. Aku balik ke pondok dulu ya. Mau persiapan
mental.”
Enggar pergi dengan
tanpa menoleh lagi.
“Apa setelah Enggar
pulang kamu akan pulang ke istana?” tanya Haryo ketika mereka tinggal berdua
saja.
“Aku tidak berminat
pulang ke istana. Di luar sini menyenangkan.”
“Bar, orang tuamu
menginginkanmu bekerja untuk istana. Tenagamu sangat diperlukan. Masalah Shiao
Lan sudah lama berlalu, apa kau tidak bisa melupakannya?”
“Mereka membuat Shiao
Lan dan keluarganya tewas, Haryo.”
“Tapi mereka orang
tuamu. Dan tenggelamnya kapal keluarga Shiao Lan itu oleh badai, bukan oleh
orang tuamu. Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil, Barata. Orang tuamu
tidak menyetujui hubungan kalian, kamu bisa melawannya dan sudah kau buktikan.
Tapi maut sudah menjadi garisan takdir. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa.
Meskipun orang tuamu setuju pun, nasib tetap akan membawa Shiao Lan dan
keluarganya dalam badai itu. Berhentilah menghukum mereka.”
“Orangmu sudah
menunggumu di sana, kamu harus segera pergi.” Singo Abang seperti tidak peduli
omongan Haryo.
“Pikirkan apa yang
kukatakan. Aku pergi dulu.”
***