Enggar stres. Biasanya
dia hanya menjadi pengikut saja dalam perjalanan, sekarang dia yang memimpin
perjalanan. Meskipun masih Singo Abang yang mengendalikan kuda, tapi Enggar
yang membuat keputusan kapan mereka istirahat atau melanjutkan perjalanan. Dia
juga harus merawat Singo Abang, menyiapkan makan, mengurus kuda dan lain
sebagainya. Bukannya dia keberatan, justru dia merasa kuatir kalau apa yang
dilakukannya kurang maksimal.
Singo Abang merasa
kasihan pada Enggar. Dia tahu Enggar lelah, walau gadis itu berusaha untuk
selalu tegar dan ceria. Setiap hari dia hanya tidur tidak lebih dari empat atau
lima jam. Dengan sabar dia mengurusi Singo Abang. Mengompresnya saat demam,
mengganti perban, membersihkan luka yang semakin tidak enak dilihat, bahkan
menyuapinya makan.
“Awas saja kalau Bang
Singo berani mati. Pokoknya Abang harus kuat. Kalau Abang meninggalkanku
sendirian di Majapahit, aku akan benci Abang seumur hidup,” ancam Enggar setiap
kali Singo Abang melemah. Lalu gadis itu memeluknya erat. “Jangan tinggalkan
aku ya, Bang.”
Pada hari ketiga mereka
sampai di Ketanggung. Enggar harus berlari ke pendopo dan memanggil bantuan
karena Singo Abang sudah keburu pingsan di atas kuda sebelum tiba di pintu
gerbang.
Untunglah Mpu Soma ada
di tempat. Dia meminta Pak Susatra untuk membawa Singo Abang ke pondok
pribadinya, sedangkan Enggar hanya bisa menunggu dengan gelisah di kamarnya.
Kantuk sudah sedari
tadi menyerangnya, tapi Enggar nggak bisa tidur sebelum tahu bagaimana keadaan
Singo Abang. Anak-anak yang bersekolah di sana mendatangi Enggar, menanyakan
keadaannya dan berusaha menghiburnya.
Selama dua hari Enggar
tidak diperbolehkan menengok Singo Abang, membuatnya makin penasaran dengan
keadaan laki-laki yang telah menyelamatkannya itu. Mpu Soma bilang Singo Abang
tidak boleh diganggu. Tapi bukan Enggar kalau tidak mencari cara. Entah
mengintip atau minta bocoran dari Pak Sukarsa mengenai perkembangan kesehatan
Singo Abang.
Malam ini, saat Enggar
sibuk melipat pakaian, ada orang mengetuk pintu pondoknya. Semoga ada yang
mengabarkan kalau dia boleh menengok Singo Abang.
“Puteri!” Tiga wajah
terpampang di depan Enggar. Jandul, Bogar dan Sanip rupanya sudah sampai ke
Ketanggung.
“Pak Bogar, Pak Jandul,
Kang Sanip!” Enggar menyalami mereka satu per satu. “Kapan datangnya? Sudah
tahu bagaimana keadaan Bang Singo? Aku belum dikasih ijin untuk menengok. Oh
ya, Bagaimana kabar kalian?”
“Kami buru-buru kemari begitu mendengar kabar
Putri menghilang. Sampai di sini malah diberitahu Ketua terluka. Tapi untunglah
Puteri selamat. Ketua orangnya kuat dan jagoan, pasti akan sembuh, Puteri
jangan kuatir,” kata Bogar.
“Permisi.” Pak Susatra
datang menghampiri mereka. “Maaf, Nakmas Barata ingin bertemu dengan Den Enggar
dan kalian. Silahkan, semuanya sudah ditunggu di pondok Mbah So.”
“Asyik!” Enggar
bersorak. “Ayo, Pak, buruan yuk!” Enggar lalu sibuk mendorong mereka keluar
dari pondoknya.
Mereka sampai di pondok
Mpu Soma, tempat Singo Abang dirawat. Enggar mau langsung menyerbu, tapi
ditahan oleh Pak Susatra karena diminta bergiliran masuknya. Urutannya adalah
Jandul, Bogar, Sanip, baru kemudian Enggar.
Satu persatu mereka
masuk dan keluar. Untung cuma sebentar-sebentar. Pada saat tiba gilirannya,
Enggar justru malah jadi ragu untuk masuk. Jantungnya deg deg an luar biasa dan
entah kenapa hatinya terasa tidak karuan. Dia sampai harus mengingatkan diri
sendiri untuk bisa menahan gejolak aneh yang merasukinya.
Setelah beberapa kali
mengambil napas panjang, Enggar masuk. Tapi ketika dia sudah tiba di tempat
Singo Abang berbaring, dilihatnya laki-laki itu sudah memejamkan mata. Apakah
dia tidur? Enggar pelan-pelan mendekatinya.
Napas Singo Abang naik
turun teratur, nampaknya memang tidur. Rupanya Enggar terlalu lama membuatnya
menunggu. Tapi tidak apa. Kesempatan itu digunakannya untuk memandang wajah
Singo Abang sampai puas. Tak sadar tangan gadis itu terulur, hendak menyentuh
luka di dada kanan Singo Abang.
“Barata. Minum obatnya
dulu.” Datanglah Mpu Soma dengan membawa cawan berisi cairan berwarna kehijauan
untuk diminum Singo Abang. Laki-laki itu membuka mata, agak kaget melihat
keberadaan Enggar. Mereka saling menatap, tapi hanya sekilas karena Enggar
terpaksa menyingkir, memberi tempat pada Mpu Soma untuk memberi obat. Enggar
duduk di kursi tak jauh dari balai-balai tempat Singo Abang berbaring miring.
Setelah obat habis
diminum, Mpu Soma memeriksa luka Singo Abang, sambil mengajaknya bicara cukup
lama. Mpu Soma keluar dari ruangan kira-kira lima belas menit kemudian, setelah
membaca bahasa tubuh Singo Abang yang sudah tidak sabar untuk berbicara dengan
Enggar.
“Aku tidak melihatmu
beberapa hari ini. Bagaimana keadaanmu?” tanya Singo Abang sambil mengalihkan
pandangan ke Enggar. “Hei. Enggar!” panggil Singo Abang. Enggar tidak menyahut,
rupanya ketiduran di kursi. Kepalanya tersandar di dinding dan kedua tangannya
terkulai di pangkuannya.
Singo Abang bangun dari
tempatnya berbaring. Pelan-pelan dia berjalan menuju lemari dan mengambil kain.
Diselimutkannya kain itu ke Enggar. Termangu Singo Abang di sampingnya. Menatap
wajah Enggar dengan penuh rasa rindu. Rasa hangat tiba-tiba menyebar di
wajahnya. Singo Abang mundur, menyadari keinginannya untuk mencium gadis itu
tidak boleh dilakukannya.
Singo Abang hendak
kembali ke balai-balai ketika tiba-tiba mendengar suara berdebum. Bukan benda,
tapi Enggar! Saking lelapnya, tubuhnya oleng ke samping, dan gaya gravitasi
langsung menariknya ke bumi.
Enggar geragapan dan
kontan berdiri. Ada dimana dia sekarang? Enggar menoleh ke kanan dan ke kiri.
Kaget dia setelah sadar bahwa dia meringkuk di tanah.
“Awas kalau ketawa!”
ancamnya ketika mendapati Singo Abang mematung di dekat balai-balai, menatapnya
lurus.
Enggar bergegas keluar
dari kamar itu sebelum mukanya terbakar karena malu. Sampai di luar Enggar
langsung berjongkok, mengacak-acak rambutnya. Duuuh, kenapa dia sampai
ketiduran? Sampai tumbang ke tanah segala, hancur sudah keanggunannya.
Eh, tadi dia melihat
kain tergeletak di tanah. Apa Singo Abang menyelimutinya?
Enggar bangun dan
kembali ke kamar Singo Abang. Laki-laki itu terbaring dengan mata terpejam,
seperti posisi ketika Enggar masuk pertama kali. Di kursi tempat dia ketiduran,
Enggar tidak melihat adanya selimut.
***