Friday, October 14, 2016

Gandrung #6


Haryo menyepak abu bekas perapian di depan pondok. Barata ada di kemarin malam. Dia barusan melihat isi pondok dan menemukan kain yang dari bentuknya digunakan untuk mengikat. Kemungkinan mengikat kaki dan tangan seseorang. Puteri Anggoro. Tapi kenapa? Kenapa dia harus diikat?
Diperiksanya sekitar pondok. Jejaknya mengarah ke sungai lalu menghilang. Haryo meraup air sungai dan membasuh wajahnya dengan air itu. Dia kemudian minum sedikit. Rambutnya yang tidak terlalu gondrong dibasahi, dari arah depan ke belakang. Otaknya berpikir, apa yang akan dia lakukan kalau dia adalah Barata.
Sudah jelas ada lebih dari empat orang yang menginap di tempat itu, meskipun jejaknya berusaha dihilangkan. Mereka berjalan ke sini, lalu menyusuri sungai. Haryo masuk ke dalam sungai dan mulai berjalan. Berjalan berombongan akan memperlambat sampai ke tempat tujuan, jadi kemungkinan mereka akan berpisah di suatu tempat.
Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa, apa Barata akan membawa dia kepadanya? Barata diduganya menuju kotaraja, padahal saat ini Pangeran Palawa sedang tidak ada di istana. Bukan pilihan yang bijak mengingat orang-orang mengenalnya. Seharusnya dia bersembunyi dahulu di suatu tempat sampai keadaan benar-benar aman.
Haryo berhenti. Tanah di pinggir sungai sebelah sana agak berbeda. Diseberanginya sungai dengan cepat. Mereka mencoba mengaburkankan jejak kaki itu, tapi Haryo terlalu pintar untuk diperdaya. Mungkin ini saatnya mencari Barata tanpa direcokin Jayengwangsa dan prajuritnya. Haryo bergegas kembali ke pondok. Sudah ada Jayengwangsa dan anak buahnya di situ.
“Mereka menginap di sini?” tanya Jayengwangsa.
“Iya.” Haryo mengangguk dan melewati orang itu, menuju kudanya. “Mereka menyeberangi sungai. Aku melihat jejaknya. Mereka pasti akan berpencar. Kurasa kita juga.” Haryo naik ke atas kuda. “Mereka ke arah timur dan utara. Kemungkinan Puteri Anggoro dan ketua penculik berpisah arah untuk mengecoh kita dan akan bertemu lagi di suatu tempat. Aku akan mengambil arah timur.”
“Tunggu, kami saja yang ke timur. Anda yang ke utara.”
Haryo tersenyum dalam hati, umpannya dengan mudah ditangkap Jayengwangsa. “Kenapa? Aku mengenal Kepala Merah, aku pernah ketemu dengannya, sedangkan kau belum.”
“Anak buahku pernah melihatnya. Biarkan kami yang ke timur.”
“Baiklah kalau kalian memaksa. Ayo, Bintang, jalan!” Haryo menepuk perut kudanya dengan kaki dan kuda itu bergerak. “Bodoh,” gumamnya setelah meninggalkan orang-orang itu. Dia tahu Jayengwangsa akan memilih arah yang dipilihnya. Orang seperti dia selalu ingin cari muka. Kalau dia bisa menangkap Barata, sesumbarnya pasti luar biasa. Kalau bisa.

***
 Awan bergerak lambat di angkasa. Angin kadang-kadang saja berembus. Siang  terasa panjang. Sudah lebih dari tiga hari sejak penculikan itu dan belum ada berita yang menggembirakan tentang keberadaan Puteri Anggoro. Telik sandi, atau istilah modernnya intel, yang disebar hanya bisa melaporkan kalau si penculik bukan orang sembarangan. Kemungkinan dia kerabat istana.
Tumengung Sukmo meneguk air dari kendi. Laki-laki tinggi kurus itu gelisah menunggu kedatangan seseorang.
“Kita sudah dua kali bertemu di sini, tempat ini tidak aman lagi. Lain kali cari tempat lain.” Orang yang ditunggunya sudah datang. Tumengung Sukmo berdiri menyambut laki-laki tinggi berkumis lebat itu. “Aku akan sebentar saja. Aku sangat kecewa padamu. Kalau pekerjaan kecil begini saja tidak bisa beres, bagaimana mungkin aku akan mengajakmu naik bersamaku? Puteri itu seharusnya sudah mati. Dia terlalu tahu banyak rencana kita.”
“Dia sayuran, Tuan. Tabib saya sudah memastikan dia tidak akan bicara.”
Sikap tubuh laki-laki berkumis itu makin kaku, tanda dia marah. “Kau bisa menjamin itu? Dia dibawa kabur. Dan apapun ramuan yang diberikan tabibmu padanya juga bisa dinetralkan oleh tabib lain. Kau membahayakan rencana kita. Aku sudah memperingatkanmu untuk membunuhnya langsung saat itu juga, tapi kau malah membuatnya dipenjara terlebih dahulu. Bodoh!”
“Itu juga untuk mengalihkan perhatian orang, Tuan. Hukum harus kelihatan berjalan, sehingga orang-orang tidak akan curiga. Pihak istana selalu saja memantau, apalagi Puteri Anggoro masih keluarga jauh menteri. Dengan pengadilan yang sesuai hukum, mereka tidak ada alasan lagi untuk menyelidiki lebih jauh.” Tumenggung Sukmo membela diri.
“Jangan mencari alasan, Sukmo. Aku mau semua tuntas sampai akarnya. Rencana ini tidak boleh bocor. Sebaiknya Puteri Anggoro ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, atau kau yang akan menggantikannya. Aku tidak peduli bagaimana caramu. Kuberi waktu dua hari. Nyawanya atau nyawamu.”
Orang itu pergi, meninggalkan Tumengung Sukmo yang terduduk lemas.
“Jayengwira, cari perempuan yang mirip Anggoro. Kita harus menjalankan rencana cadangan,” perintah Tumenggung Sukmo kepada bawahannya.
“Baik, Tuan.”     
***

3 comments:

Ela said...

can't wait to read the next chapter mbak ...
ini yang bakalan jd novel barunya ya mbak? :)

Indah said...

Mbak buat dong DIA part II penasaran sama kelanjutan Denia sama saka

Noni Eko Rahayu said...

Hai, Breliantina dan Indah.

Untuk novel Gandrung ini rencananya akan kuposting di blog sampai selesai, gratis tis tis hehehe.
Tentang DIA part II...hmm... ;)