Tuesday, October 11, 2016

Gandrung #4


 “Bagaimana keadaanmu?”
Suara laki-laki itu membuat Enggar geragapan. Dia celingukan seperti burung hantu. Yang dilihatnya adalah dinding kayu dan atap dedaunan serta Singo Abang. Raut kecewa terlukis di wajahnya yang masih pucat.
“Jangan lakukan seperti itu lagi, mengerti? Kamu tidak tahu berbahanya hutan ini, apalagi malam hari? Untung saja kamu ditemukan dalam keadaan hidup, bagaimana kalau kamu ditemukan sudah berada di perut ular atau tinggal tulang belulang?” Singo Abang mengatakannya dengan suara yang ditahan-tahan. Dia sangat kesal, tapi tidak ingin membuat gadis di depannya makin terguncang.
Enggar beringsut untuk duduk. Diliriknya sela-sela dinding kamar yang diterobos sinar matahari. Ini sudah pagi. Dia tidak mempedulikan kata-kata Singo Abang tadi, pikirannya masih mencari cara bagaimana melarikan diri.
“Permisi, Ketua. Ini sarapan buat Puteri Anggoro.” Bogar muncul dari pintu dengan membawa mangkok berisi makanan yang harumnya membuat perut Enggar perih. Setelah mangkok itu diterima Singo Abang, Bogar pamit keluar.
 “Makanlah dulu.” Singo Abang menyodorkan mangkok dan langsung diambil Enggar dengan semangat.
Tanpa menunggu komentar, Enggar mulai makan. Baru dua suap dia sudah terbatuk-batuk, tersedak karena terburu-buru menelan. Singo Abang segera mengambilkan air minum.
“Rencana kita mundur. Seharusnya kita keluar dari hutan pagi-pagi tadi, tapi karena keadaanmu saat ini, kuputuskan untuk istirahat dulu. Siang nanti baru kita pergi,” kata Singo Abang yang mau duduk di sebelah Enggar.
“Boleh minta tambah?” Enggar menyerahkan mangkok yang sudah kosong itu. Singo Abang mengangguk, tidak jadi duduk. Dia membawa mangkok itu keluar. Sanip terlihat sedang makan, sementara Jandul dan Bogar membuat bekal perjalanan.
“Dia minta tambah,” kata Singo Abang. Bogar tersenyum senang karena puteri menyukai masakannya. Singo Abang masuk kembali ke dalam pondok untuk sarapan kedua Enggar dan hanya menemukan tempat itu sudah kosong.
“Dasar! Dia kabur. Jandul, bantu aku cari dia,” seru Singo Abang. Mijil yang baru kembali dari sungai untuk mengisi kantong-kantong air tampak kebingungan melihat Singo Abang dan Jandul berlari menembus hutan.
“Puteri kabur lagi?” tanya dia pada Bogar. “Puteri kok jadi penuh semangat begitu ya? Seperti bukan beliau saja,” lanjutnya heran.
Tidak begitu jauh dari pondok, Enggar berusaha berlari kencang di antara pepohonan. Tetapi karena kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat dan medan yang dihadapinya banyak rintangan, dengan mudah dia tersusul. Baru saja dia mau bersembunyi sebentar di semak-semak, Jandul sudah menangkapnya.     
“Lepasiiiin. Aku mau pulaaaaang,” teriaknya. Dipukulinya Jandul yang mencengkeram erat lengannya kirinya.
“Jandul? Kamu temukan Puteri Anggoro?” Singo Abang datang menyusul.
Jandul menarik tangan Enggar untuk dibawa pergi, tapi Enggar terus berontak. “Kenapa sih kalian nggak mau ngelepasin aku? Aku nggak mau ada di sini. Aku bukan Puteri Anggoro,” teriak Enggar.
“Kamu merepotkan orang saja. Aku harus bilang apa lagi untuk meyakinkan kamu kalau kami tidak bermaksud jahat. Puteri, kalau aku ingin membunuhmu, sudah sejak tiga hari lalu, tidak perlu membawamu kesini. Jangan kabur lagi! Ayo, kembali ke pondok,” kata Singo Abang yang mendekat dengan kesal.
“Nggak mauuuuuuu..!” Enggar menggigit tangan Jandul dan lari lagi. Tapi Singo Abang keburu menangkapnya. Karena masih berontak juga, akhirnya dia digendong di pundak Singo Abang. “Let me goooooo...!”
Tidak ada yang menggubris.
Enggar yang semula masih teriak-teriak, terpaksa bungkam karena dengan sengaja Singo Abang melewatkannya menerobos semak dan dahan-dahan yang rendah, hingga kepala dan wajah Enggar kena gampar tumbuh-tumbuhan itu.
Sesampainya di depan pondok, Enggar dijatuhkan begitu saja di lantai hutan, seperti karung beras. Singo Abang mondar-mandir di hadapannya, sementara anak buahnya mengawasi.
Laki-laki gondrong dan berewokan itu terlihat amat kesal. Kedua tangannya terkepal dan pipinya sampai menggembung, menahan banyak kata.
 Tugasnya sederhana. Menculik Puteri Anggoro lalu menyembunyikannya sehari atau dua hari, kemudian membawanya ke kotaraja untuk dipertemukan dengan Pangeran Palawa dan hakim Jogoroso. Secara perhitungan normal tidak akan ada masalah karena Puteri Anggoro itu seperti mayat hidup, yang tidak akan berbuat aneh-aneh. Tapi sekarang mayat hidup itu sudah dua kali melarikan diri. Bahkan Singo Abang menduga dia akan melakukannya lagi.
“Hhh.. Puteri Anggoro...” Suara Singo Abang mencoba tenang.
“Aku bukan Puteri Anggoro, aku sudah bilang berapa kali sih, Bang? Namaku Enggar! Enggar Penggalih,” potong Enggar yang sudah berdiri, membersihkan dedaunan yang menempel di tubuhnya.
“Dengar...”
“Kamu yang dengar. Aku bukan Puteri Anggoro. Aku nggak peduli kalian mau membawaku ke kotaraja atau kemana, yang pasti aku nggak mau ikut kalian. Aku mau pergi sendiri, pulang ke rumahku. Aku...” Enggar melotot. Telunjuk Singo Abang tiba-tiba menyentuh leher Enggar dan dia kehilangan suara meskipun mulutnya tetep nyerocos.
Totok pita suara.
Anak buah Singo Abang menutup mulut menahan tawa. Puteri itu seperti ikan kekurangan air, megap-megap tanpa suara. Seekor ikan yang tampaknya marah sekali.
“Kita akan meninggalkan hutan sesegera mungkin sebelum kamu berbuat nekat lagi. Mijil, kamu kembali ke Mertabumi. Kita tidak bisa pergi dengan terlalu banyak orang. Aku akan mengirim pesan kalau memerlukan tenaga kalian. Sanip, kamu pergi ke Mpu Soma, sampaikan aku akan menemui beliau dalam waktu dekat. Aku akan pergi bersama Jandul dan Bogar ke kotaraja. Sekarang bereskan semuanya, jangan sampai ada yang tahu kehadiran kita.”
“Baik, Ketua.”

***
Lelaki berkepala plontos dengan beberapa bekas luka itu mengangkat tangannya. Mereka sudah tiba di pinggiran hutan, tapi nampaknya keadaan tidak terlalu aman. Jandul memberi tanda agar mereka sembunyi.
Ada beberapa orang mendekat. Mereka membawa bungkusan di punggungnya. Melihat tampangnya mereka sepertinya bukan orang-orang yang ramah. Mereka berwajah sangar dan sepertinya tidak pernah mandi bertahun-tahun.
“Mereka perampok yang bermarkas di bagian timur hutan ini. Sepertinya baru dapat hasil lumayan,” bisik Singo Abang pada Enggar. “Matahari sudah turun. Kalau bisa sebelum gelap kita sudah tiba di desa untuk beristirahat sekalian nanti kita cari kuda. Setelah mendapatkan kuda, kita berpisah arah. Mijil ke Mertabumi dan Sanip ke Ketanggung,” lanjutnya.
Enggar membandingkan wajah mereka dengan wajah Singo Abang di sebelahnya. Kok Singo Abang kelihatan jauh lebih cakep ya. Tapi misalnya dia tidak mandi beberapa bulan dan tidak mengurus mukanya pasti tidak jauh beda.
Setelah memastikan para perampok itu sudah jauh, baru rombongan Singo Abang keluar dari persembunyian.
“Mereka tidak lagi merampok malam-malam, siang hari pun mereka beraksi. Akhir-akhir ini semakin banyak saja rampok yang berkeliaran, membuat penduduk resah,” kata Sanip sedih mengingat keluarga, rumah dan harta benda sudah tidak ada karena perampokan dan penjarahan di desanya.
Enam orang itu meneruskan perjalanan. Enggar sudah tampak kelelahan. Singo Abang bilang mereka sekitar lima hari perjalanan dari kotaraja. Lima hari jalan kaki? Bisa kekar betisnya.
Langit sudah kemerahan saat mereka tiba di desa pertama setelah keluar dari hutan Wonokawi. Karena ini desa Wonorandu kecil dan sepi, tidak ada tempat penginapan. Salah satu penduduk memperbolehkan mereka menggunakan pondok kecil di tepi sawah berbatasan dengan kebun pisang setelah Singo Abang memberi beberapa keping uang gobog dari perunggu. Uang gobog adalah mata uang logam lokal yang bahannya dari tembaga, timah, perunggu dan kuningan. Ada juga mata uang dari Cina yang disebut kepeng, dari campuran tembaga dan timah putih.
Enggar menarik lengan baju Singo Abang dan menunjuk-nunjuk lehernya, meminta laki-laki itu melepaskan totokannya.
“Janji tidak akan teriak-teriak?” Singo Abang dua kali memijit lehernya.
“Bang, sudah bau nih, ada kamar mandi nggak? Pengen mandi.” Enggar mencium badannya.
Singo Abang menujuk ke arah kebun pisang. “Setelah kebun ada sungai kecil. Kamu mau kesana?” tanya Singo Abang. Enggar mengangguk. Dia bersiap berangkat, tapi diurungkan karena Singo Abang ikut.
“Aku mau mandi, jangan diikuti.” Enggar menggerakkan tangan seperti mengusir kucing dari meja makan.
“Di hutan saja kamu kabur, apalagi di sini. Aku ikut denganmu dan memastikanmu tidak melarikan diri lagi,” tukas Singo Abang.
“Apaan sih? Siapa juga yang mau kabur? Seharian jalan, badan lengket-lengket semua, pasti pengen mandi lah.” Di mulut ngomong begitu, di dalam hati jelas ingin melarikan diri. Mumpung sudah di desa, tidak perlu takut babi hutan, ular ataupun harimau.
“Mandi saja, tapi aku akan tetap mengawasimu. Aku tidak mau repot lagi membuang waktu. Aku tahu kamu masih punya niat untuk lari.”
“Oh ya? Aku bersama orang-orang yang nggak kukenal, yang nggak kutahu apa maunya, wajar aku merasa nggak aman dan pengen kabur. Kalau Bang Singo ada di posisiku sekarang, pasti juga akan melakukan hal sama.”
Singo Abang menatap Enggar dingin. “Kami bukan orang jahat, apa kamu tidak bisa membedakan?”
“Bukan orang jahat? Hm...coba kita lihat dulu dari sudut pandangku. Satu, aku disembunyikan di pondok di tengah hutan. Dua, ketika aku bangun mulut, tangan dan kakiku diikat. Tiga, suaraku dihilangkan. Empat, aku akan dibawa ke tempat yang nggak aku tahu, untuk bertemu orang yang nggak aku kenal. Lima, aku mau mandi sendiri saja diawasi. Menurut Abang gimana tuh perasaanku?” Suara Enggar meninggi.
“Satu, kami menyembunyikanmu di tengah hutan karena orang-orang Mertabumi mencarimu, untuk membunuhmu. Dua, kamu histeris dan berontak seperti orang kesetanan, membahayakan dirimu dan anak buahku. Tiga, kamu cerewet sekali tidak mau diam. Suaramu bisa membuat para pemburu itu menemukan keberadaanmu, yang membawamu ke alasan satu. Empat, kenapa aku harus susah payah membawamu pada seseorang kalau tidak untuk menyelamatkanmu? Lima, kamu mau melarikan diri lagi, apa aku punya pilihan selain menemanimu?” Singo Abang marah, tidak ditahan-tahan lagi.
 “Uh!” Enggar manyun. Dia masuk ke pondok, membanting pintu. Kata-kata Singo Abang membalikkan semua alasan yang diungkapkannya.
Pondok ini hanya memiliki satu ruangan dan tidak ada balai-balai untuk tidur. Selain tikar, hanya ada tumpukan kayu bakar di seberangnya dan beberapa kelapa kering. Sebuah kendi diletakkan di pojokan.
Diambilnya kendi itu. Masih ada isinya karena lumayan berat. Enggar ceingukan mencari gelas. Karena tidak ada, dia langsung meneguknya saja. Lalu dibasahinya selendang, digunakan untuk mengelap wajah, leher, tangan dan kaki serta rambutnya. Dalam keadaan sedikit basah rambutnya digulung.
Dari dalam pondok Enggar mendengar kedatangan Bogar dan Sanip. Mereka melaporkan karena tidak ada kuda yang dijual.
“Puteri, buka pintunya.” Singo Abang mengetuk pintu sekitar setengah jam sejak Enggar ada di dalam. “Kamu tidak mau makan malam? Tadi siang kita tidak sempat makan. Bukalah pintunya.” Suara Singo Abang kedengarannya sudah biasa lagi, tidak marah.  
Enggar mendekatkan diri ke pintu. Ada bau enak tercium. Kalau tidak salah menebak, itu harum pisang bakar.  Di tangan Singo Abang ada dua buah pisang bakar yang masih mengepul dalam wadah dari daun pisang. Enggar langsung menyambar dan membawanya masuk ke dalam.  “Panas...panas...” desis Enggar. Lidahnya terbakar karena buru-buru mengunyah.
Di luar angin bertiup lumayan kencang, menerbangkan bara-bara kecil dari perapian. Kilat beberapa kali menerangi langit dan suara geledek di kejauhan, menandakan hujan tidak akan lama lagi.
Gerimis pada awalnya kemudian jadi hujan yang lumayan lebat. Semuanya masuk ke dalam pondok. Perapian pun dipindahkan. Ada kayu bakar di dalam, jadi tidak perlu susah-susah cari kayu di luar sana.
Bogar meneruskan membuat pisang bakar, bahkan dengan beberapa variasi rasa. Bumbu-bumbu instan buatannya dikeluarkan dari dalam tas khususnya. Dia meramu beberapa jenis bumbu dan membalutkannya ke pisang yang dibakar, menyemarakkan pondok dengan aroma yang sangat menggoda.
Enggar dengan takjub memperhatikan gerak-gerik Bogar. Dia mendekati lelaki gempal itu dan membantunya. Membantu ngicipin. “Pak Bogar chef ya?” tanya Enggar, tidak dijawab oleh Bogar. “Koki.” Enggar mengganti pilihan katanya. Bogar masih bingung. “Tukang masak,” ujar Enggar.
“Ya, Tuan Puteri. Saya dulu tukang masak di Sadeng.”
Meskipun malam ini mereka hanya makan pisang, tapi rasanya puas. Enggar sampai malas bergerak karena kekenyangan. “Pak Bogar, kalau mau bisnis pisang bakar dan pisang goreng pasti kaya. Enak begitu buatannya,” puji Enggar.
“Pisang goreng?”
“Iya. Pisang goreng dengan tepung gandum, bisa juga tepung beras, atau pakai tepung crispy. Atau bikin pisang bakar keju...wah... nyam nyam deh.” Enggar nyengir, tapi kemudian mingkem. Bogar nampaknya tidak begitu mengerti yang dia katakan karena dia hanya terbengong-bengong.
“Hamba belum pernah mendengar pisang yang seperti itu. Bagaimana cara membuatnya?” tanya Bogar penasaran. Keduanya kemudian membicarakan masalah kuliner itu berdua. Tapi hanya sebentar karena Singo Abang meminta Bogar untuk membiarkan Enggar istirahat.
Seperti siang hari, malam hari pun terasa panjang bagi Enggar, apalagi malam berhujan seperti ini. Dia belum bisa tidur. Karena itu dia menggunakan waktunya untuk mengamati orang yang ada di sekitarnya satu per satu. Mencari-cari petunjuk mengapa dia ada bersama mereka. Memikirkan kata-kata Singo Abang tadi.
Jandul mengganti kayu yang sudah habis terbakar dengan kayu bakar yang baru. Menjaga api tetap menyala tapi tidak terlalu besar. Di pondok berukuran tiga kali empat meter ini untuk lima orang cukup padat. Jandul kemudian duduk di dekat pintu pondok yang sedikit dibuka. Dia mengeluarkan pedang dan mengasahnya. Sebentar kemudian dia menyarungkan pedangnya kembali dan menutup mata. Lelaki gundul itu sama sekali tidak terdengar suaranya selama ini.
Pandangan mata Enggar beralih ke Sanip, si gigi hiu. Laki-laki muda bertubuh kurus itu sudah meringkuk di pojokan dengan mulut menganga, tanda tidur nyenyak. Meskipun Sanip membuatnya ketakutan setengah mati ketika pertama kali melihat, tapi sekarang Enggar bisa merasakan bahwa Sanip tidak berbahaya.
Lalu  Enggar melirik Bogar yang berbaring di sebelah Sanip. Orang yang memasak seenak itu tidak mungkin berhati kejam. Terakhir Enggar melihat Singo Abang. Laki-laki itu sibuk menyerut batang kayu dengan pisaunya, seperti sedang membuat patung kecil. Alisnya yang berkerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.
Rasanya sudah sekian puluh jam dia bersama orang-orang itu dan sepertinya tidak akan berakhir. Apa betul dia nyata ada di sini? Apa benar dia berada di suatu waktu di masa lampau? Apa kecelakaan itu menyebabkan ruhnya terkirim ke jaman Majapahit? Lalu bagaimana caranya dia kembali? Apa di masa depan sana dia masih ada, atau jangan-jangan sudah mati? Enggar ngeri membayangkannya.
Singo Abang berhenti menyerut kayu di tangannya yang sudah berbentuk seperti kuda. Dia menolehkan kepala ke arah Enggar. Dilihatnya gadis itu menelungkupkan kepala di lututnya yang ditekuk. Pundaknya berguncang.
Perlahan Singo Abang berdiri dan berjalan mendekat. Enggar yang merasakan kehadiran seseorang di depannya, mendongakkan kepala dan menghapus air matanya. Mereka saling menatap, seperti kepada orang yang baru kenal. Padahal Puteri Anggoro tidak asing bagi Singo Abang. Setidaknya mereka pernah bertemu beberapa kali.
“Kenapa menangis, apa ada yang sakit, Puteri?” tanya Singo Abang.
Enggar menggeleng. “Namaku Enggar, Bang. Aku serius. Untuk apa sih aku bohong? Aku nggak seharusnya ada di sini. Aku ingin pulang, tapi nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut terjebak di sini selamanya.”
“Kalau kamu Enggar, lalu Puteri Anggoro dimana? Secara fisik kamu adalah Puteri Anggoro, aku tidak mungkin salah.” Singo Abang menghela napas. “Tapi kuakui sifatmu jauh berbeda.”
“Karena aku bukan dia,” bisik Enggar tertahan.
“Bagaimana bisa itu terjadi?” Singo Abang mengulurkan sehelai kain merah dari balik saku bajunya, agar digunakan Enggar untuk menghapus air mata.
“Mana aku tahu? Aku sadar tiba-tiba sudah ada di sini. Bagaimana aku tidak panik, Bang. Jaman Majapahit itu tujuh ratus tahun lalu dari jamanku!” Enggar menerima kain merah itu dan digunakannya untuk mengikat rambut.
“Tujuh ratus tahun.” Singo Abang menggosok dahinya. “Kamu bukan dari jaman ini. Jiwamu datang dari masa tujuh ratus tahun ke depan...” gumam Singo Abang. Enggar mengangguk, mengharap Singo Abang mempercayainya dan mengerti kenapa dia terkadang paranoid.
“Ini kasus kepribadian ganda pertama yang kutahu begitu jelas. Mungkin pembunuhan itu telah memunculkan kepribadian lainmu yang selama ini tersembunyi. Kadang kejadian yang mengguncang jiwa bisa memicu itu. Secara tidak sadar kamu menjadi orang lain untuk melindungi diri. Mengacaukan pemikiran orang-orang di sekitarmu. Kamu merencakan sesuatu? Terhadap orang-orang yang menjebakmu?” kata Singo Abang.
Yah, mentah lagi. Si berewok ini tetap saja belum percaya kalau dia dari masa depan. “Aku nggak berkepribadian ganda, Bang,” ucap Enggar bete.
“Hm..sebelum ke kotaraja mungkin kita terlebih dulu menemui Mpu Soma untuk membaca keadaanmu. Selain mempunyai keahlian dalam membuat senjata, beliau juga menguasai ilmu pengobatan. Siapa tahu beliau bisa memahamimu.” Singo Abang kelihatan bersimpati. “Ini sudah larut, sebaiknya kamu istirahat.”
Singo Abang hendak beranjak, tapi Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa bisa Mpu Soma mengembalikanku ke masa depan?” tanya Enggar.
“Tidurlah.” Singo Abang melepaskan tangan Enggar. Gadis itu belum juga berbaring, gelisah. Apa nanti kalau dia tidur dan terbangun masih berada di sini?
Hujan belum ada tanda-tanda untuk berhenti.
*** 

No comments: