Friday, October 07, 2016

Gandrung #2

Suara seresah terinjak-injak oleh kaki manusia membuat telinga rusa jantan itu berdiri. Sikap waspada ditunjukkannya. Rusa itu mengarahkan telinga ke arah suara itu berasal. Lalu dia lari, melompati gerumbulan semak dan menghilang di balik pepohonan.
Tiga orang berjalan terburu-buru. Pakaian mereka berwarna hitam dengan kain batik membalut bagian pinggang. Seorang dari mereka membawa bungkusan yang dipanggul di punggung, bertubuh gempal, dengan wajah bulat dan berambut lurus. Sebuah golok menggantung di pinggang kanannya. Seorang lagi bertubuh tinggi kurus, membawa pedang. Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Bisa terlihat jelas bekas luka di berjajar di kepala gundulnya itu.
Sang pemimpin, orang yang paling depan, bertubuh tinggi tegap, sedikit lebih tinggi dari si gundul. Rambut gondrong, diikat sembarangan. Wajahnya berewokan, tidak rapi. Ikat kepalanya berwarna merah.
“Dimana dia disembunyikan, Mijil?” tanya si pemimpin kepada si gempal.
“Di pondok di tengah hutan, dekat aliran sungai, Ketua,” jawab Mijil.
Mereka berjalan lagi. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Sang Ketua mengangkat tangannya, memberi tanda agar mereka berhenti. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Dua orang anak buahnya mencabut senjata. Mereka dalam posisi siap menyerang. Pendengaran ditajamkan, penglihatan dimaksimalkan. Desau angin menggoyang daun-daun dan suara satwa memekik di kejauhan. Menegangkan.
“Kalian tidak mendengar sesuatu?” bisik Sang Ketua.
“Tidak, Ketua,” bisik Mijil.
“Tetap waspada,” ujar Sang Ketua disambut anggukan oleh anak buahnya.
Sekitar lima belas menit kemudian mereka bertemu aliran sungai kecil. Mengikuti arah yang berlawanan dengan aliran air, mereka tiba di tempat yang dituju. Di balik semak tinggi ada sebuah pondok yang tersembunyi dari pandangan mata.
“Uhu huuu,” seru Mijil, menirukan suara burung. Ditunggu sesaat, tidak ada suara balasan seperti kesepakatan. Ketiga orang itu saling pandang. Singo Abang memberi kode agar Mijil mengulanginya. “Uhu huuu..”
Lagi-lagi sepi.
Tidak sabar lagi, Sang Ketua menebas semak dengan gusar dan bergegas menuju pondok. Pedang terhunus di tangannya.
“Pangeran.” Seorang pria tinggi besar, muncul dari dalam pondok, tergesa menyambut Sang Ketua. Dia bernama Bogar. Keahliannya memasak dan meramu obat-obatan. Bogar berjongkok, menyembah si Ikat Kepala Merah.
“Pangeran.” Datang lagi seorang pemuda kurus dari dalam pondok. Dia bernama Sanip, keahlian memanah dan berburu hewan.
“Apa gunanya membuat sandi kalau tidak dipakai?” ucap Sang Ketua berang. Kedua orang di depannya menunduk lebih dalam, tanda mereka merasa bersalah. “Berdiri berdiri! Sudah berapa kali aku katakan jangan menyebut pangeran, apalagi menyembahku. Ingat, namaku Singo Abang.” Singo Abang hendak masuk ke dalam pondok, tapi urung. “Kutinggal dua hari apa Puteri Anggoro sempat sadar?”
Keduanya saling pandang, mau mengatakan sesuatu tapi tidak berani. Singo Abang memelototkan mata, curiga kalau telah terjadi sesuatu.
“Am..Ampun, Ketua, itu... anu...” Sanip gelagapan. “Saat ini masih belum sadar lagi,” lanjutnya pelan.
“Belum sadar lagi? Jadi tadi sempat sadar?” tanya Singo Abang agak bersemangat. Buru-buru laki-laki itu masuk ke dalam pondok kecil itu. Saat pintu dibuka, dilihatnya ada sesosok gadis tergolek di atas balai-balai. Kaki, tangan dan mulutnya terikat kain. Rambut gadis itu terurai berantakan. Sisa lelehan air mata terlihat jelas di pipinya. Matanya tertutup rapat. “Bogar! Sanip! Kenapa tangan dan kakinya diikat? Kenapa mulutnya disumpal? Kalian apakan dia? Kan sudah kubilang jangan disakiti!” teriak Singo Abang dari dalam pondok.
Sanip dan Bogar tergopoh-gopoh menghadap Singo Abang yang sedang membuka ikatan pada tubuh Puteri Anggoro, disusul dua orang yang lain.
 “Ampun, Ketua. Saat Puteri Anggoro sadar dan berteriak-teriak tidak keruan, beliau juga mengamuk, Ketua. Kami dipukuli dan ditendangi, terpaksa kami ikat kaki dan tangannya. Saat saya mau menenangkannya, saya malah digigit, jadi saya tutup saja mulutnya dengan kain.” Wajah Sanip sudah pucat pasi. Bogar agak gemetaran di sebelahnya.
Tatapan mata Singo Abang setajam pedang yang bisa membelah pohon bambu dalam sekali tebas. Keringat dingin mengucur dari pelipis Sanip dan Bogar. Meskipun sudah beberapa waktu menjadi anak buat Singo Abang, mereka masih suka ngeri kalau melihat pemimpinnya marah. “Puteri Anggoro bisa berteriak dan memukul?” tanya Singo Abang pelan-pelan, memastikan dia tidak salah dengar ucapan Sanip tadi.
“I..iya, Ketua,” Bogar menjawab, Sanip menganggukkan kepala.
“Puteri Anggoro selama ini seperti mayat hidup karena racun. Kalaupun sadar, dia hanya bisa membuka mata saja, tidak bisa bergerak lebih dari itu. Kalau sekarang dia bisa berteriak dan memukul, maka ada kemungkinan pengaruh racunnya sudah mulai berkurang,” ucap Singo Abang sambil menoleh ke arah Jandul. Jandul menganggukkan kepala tanda dia memiliki pemikiran yang sama. “Hm, bagus. Kalau kesadarannya pulih, aku akan lebih mudah membantunya.”
“Kita harus lebih waspada, Ketua. Membawa Puteri Anggoro dalam keadaan sadar akan mengundang banyak perhatian kalau kita tidak berhati-hati,” kata Mijil.
“Kamu benar, Mijil. Apalagi Tumenggung Sukmo dari Mertabumi sudah mengirim orang untuk mencari kita. Bahkan Haryo juga ikut,” ujar Singo Abang.
“Tapi jarak kita masih aman, Ketua,” kata Mijil lagi.
 “Aku tidak yakin kita akan terus aman. Mereka punya orang-orang yang cekatan. Kalau kita tidak cepat, mereka bisa menghadang sebelum kita sampai tujuan.” Singo Abang menggelengkan kepala. “Aku akan mencoba menyadarkan Puteri Anggoro lagi. Kalian berjaga-jaga dan siapkan makanan,” perintahnya.
“Baik, Ketua.”
Singo Abang berjongkok di samping balai-balai. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari kantong bajunya, sebuah botol keramik kecil yang berisi cairan dengan bau menyengat untuk membuat siuman orang pingsan. Baru saja Singo Abang hendak mendekatkan botol itu ke hidung Puteri Anggoro, tiba-tiba mata sang puteri terbuka dan terbelalak lebar.
“Huaaaaa!!” Teriakan puteri itu membuat burung-burung yang sedang bertengger di dahan terbang. “Ini tempat apa?? Kenapa aku bicara dengan bahasa aneh ini?!”
“Puteri, tenanglah. Jangan teriak-teriak seperti itu.” Singo Abang berusaha menenangkan. Dia memeriksa dahi gadis itu, memastikan tidak sedang demam dan berhalusinasi karenanya.
“Siapa kau? Tolooong!” teriak sang puteri. Raut wajahnya terlihat panik, apalagi saat melihat pedang yang dibawa oleh laki-laki berewokan itu. Dia menepis tangan Singo Abang dan berlari keluar. Tapi baru dua langkah tubuhnya luruh. Beruntung Singo Abang menangkapnya terlebih dahulu sebelum dia jatuh ke lantai pondok. “Jangan bunuh akuuuu...” Gadis itu sesenggukan.
 “Puteri, badanmu masih lemas karena berhari-hari tidak kemasukan makanan. Harap beristirahat dulu di balai-balai. Hidangan sedang disiapkan, Puteri Anggoro bisa makan sebentar lagi.” Singo Abang yang menggendong puteri itu kembali ke tempat tidurnya nampak sedikit bingung. “Puteri Anggoro, aku akan mengingatkanmu tentang kejadian tiga hari lalu. Saat orang-orang Tumenggung Sukmo membawamu ke Sadeng, aku, Jandul dan Mijil menculikmu untuk menyelamatkanmu dari eksekusi. Tujuanku adalah membawamu ke kotaraja, menemui paduka Jogoroso, hakim istana, untuk mendapatkan keadilan. Kami berpikir Puteri telah dijebak,” kata Singo Abang. “Aku belum tahu kejadian sebenarnya, tetapi banyak kepentingan yang bermain di sini. Kalau Puteri mau menceritakan kepadaku, aku mungkin bisa membantu,” kata Singo Abang.
Gadis yang dipanggil Puteri Anggoro itu melongo sesaat sebelum akhirnya menangis lagi. “Huhuhu.. namaku Enggar, bukan Puteri Anggoro. Aku mau pulang. Jam berapa ini, kenapa gelap? Kenapa aku ada di sini?” tanya sang puteri. Matanya melihat kesana kemari. Ketakutan masih menguasainya. “Mas Ito, ini dimana? Mana Mas Ito?” tanyanya pada Singo Abang. “Bunda... Ayah...”
“Namamu Enggar?” tanya Singo Abang memastikan tidak salah dengar. Kenapa puteri menyebut namanya Enggar?
“Iya. Namaku Enggar Penggalih, mahasiswa semester tiga fakultas ekonomi manajemen UI. Aku tadi sama Mas Ito di Museum Nasional, lalu ada gempa, sepertinya kepalaku kejatuhan benda berat dan mungkin pingsan. Pas bangun, kenapa aku ada di sini? Ini tempat apa?” Enggar celingukan.  
Tidak ada satu kalimat pun yang bisa dicerna oleh Singo Abang. Entah Puteri Anggoro kesurupan apa sampai mengatakan hal yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Atau mungkin racun itu sudah merusak isi kepalanya.
Gadis cantik anak almarhum Adipati Rekso itu seperti zombi ketika diculiknya. Sorot matanya kosong. Orang-orang bahkan sudah menduganya nggak waras. Kalau melihat perkembangan sekarang, mungkin mereka benar. Puteri Anggoro sudah gila.
“Ketua, apa semua baik-baik saja? Kami mendengar teriakan.” Dari pintu muncullah Mijil dan Jandul. Senjata tajam sudah terhunus di tangan masing-masing.
Wajah Enggar makin pucat. Kenapa banyak sekali wajah asing yang dilihatnya, seram dan kotor seperti tidak pernah mandi berhari-hari. Terlalu tidak masuk akal, jadi pasti ini rekayasa.
“Ini reality show kan? Aku dikerjain ya? Kalian aktor semua, iya kan? Pasti ini juga rambut dan jenggot palsu.” Tanpa berpikir panjang Enggar menjambak rambut dan menarik jenggot Singo Abang sekuat tenaga. Laki-laki itu menyeringai kesakitan dan menggebrak balai-balai. Lambang kejantanannya dilecehkan begitu saja, dia jadi emosi. Wijil dan Mijil memejamkan mata. Kalau saja Puteri Anggoro tahu siapa sebenarnya laki-laki yang ada di hadapannya itu, pasti dia akan memohon ampun. “Kok asli?” gumam Enggar heran.
“Puteri Anggoro, sebaiknya sekarang istirahat dulu saja sambil menunggu makanan matang. Setelah makan dan tidur pikiran akan lebih tenang.” Singo Abang mencoba untuk bersabar lagi.
“Aku mau pulang saja, Pak. Tolong.” Enggar merajuk. Tangannya mengguncang-guncang lengan Singo Abang.
“Namaku Singo Abang, bukan Pak,” kata Singo Abang sembari melepaskan jari-jari tangan Enggar yang mulai mencengkeram lengannya.
“Bang Singo, aku mau pulang. Nggak diantar nggak apa-apa deh. Ini dimana sih kok sepertinya ada di hutan. Ini di Taman Safari ya?” tanya Enggar yang mengintip ke luar dari sela-sela dinding pondok. “Punya hape nggak, Bang, pinjam dong buat nelepon rumah.”
Singo Abang menggaruk kepala, semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan gadis itu. Sekali lagi Singo Abang meminta puteri untuk menenangkan diri sementara dia bersama anak buahnya keluar dari pondok.
“Ketua, Puteri Anggoro apa sudah tidak waras?” tanya Mijil hati-hati saat mereka sudah berkumpul di halaman pondok. Harum umbi bakar menyeruak, menggugah selera. Ikan yang dibawa oleh Mijil sudah dibumbui oleh Bogar dan siap dibakar.
“Aku kuatir begitu,” gumam Singo Abang. “Sanip, Bogar, kalian pasti melewatkan sesuatu. Ketika aku meminta kalian menyembunyikan Puteri Anggoro, dia tidak seperti ini. Apa terjadi sesuatu dengannya yang kalian belum ceritakan padaku? Apa kalian memberinya makanan atau ramuan yang aneh-aneh sampai dia jadi begitu?”
“Ampun, Ketua. Kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, kecuali yang sudah Ketua perintahkan. Memberinya ramuan obat sehari tiga kali,” kata Bogar, diiyakan oleh Sanip dengan anggukan kepala berkali-kali.
Singo Abang duduk di sebuah batang kayu yang tumbang. Otaknya berpikir keras mencari-cari penjelasan yang masuk akal mengenai keadaan Puteri Anggoro. Dia harus sekali lagi memastikan bahwa Puteri Anggoro dalam kondisi waras agar bisa diajak bekerja sama membongkar persekongkolan itu.
“Maaf, Ketua, ini makanannya sudah siap.” Bogar menyerahkan makanan kepada Singo Abang. Makanan itu kemudian dibawa Singo Abang sendiri untuk diberikan pada sang puteri. Dia mencoba berkomunikasi lagi dengan Puteri Anggoro.
Mata Enggar membuka ketika mendengar kedatangan seseorang. Si berewok itu lagi. Selama dia ditinggalkan sendiri, Enggar berpikir keras tentang apa yang terjadi. Dia masih hidup, itu hal yang pasti. Pertanyaannya adalah: dia ada di mana, siapa orang-orang itu, dan kenapa mereka memanggilnya Puteri Anggoro?
Dia sangat berharap sedang dikerjain oleh orang-orang usil, karena kalau ini kenyataan akan terlalu mengerikan. Dandanannya seperti sedang main ketoprak atau wayang orang, memakai kemben yang ditutup selendang dan kain untuk bawahannya. Rambutnya pun panjang asli, tidak ditambah hair extention. Dia bahkan bisa berbicara dengan bahasa kuno. Kalau tidak sedang dikerjain, dia pasti sedang bermimpi. Tapi melihat bekas cubitannya sendiri di tangan, ini bukanlah mimpi.
“Bagaimana keadaanmu, Puteri Anggoro?” Singo Abang muncul, mendekat ke arahnya. Harum makanan membuat perut Enggar melilit.
“Kita sebenarnya dimana sih, Bang?” tanya Enggar.
“Hutan Wonokawi, lima hari perjalanan menuju kotaraja Majapahit,” jawab Singo Abang yang sontak membuat Enggar nyengir.
“Hehehehe...Majapahit? Becanda nih, Abang.” Enggar mendorong Singo Abang yang meletakkan makanan di sampingnya. Singo Abang menahan napas, mencoba bersabar. “Mana mungkin aku ada di Majapahit. Majalengka kali,” tukas Enggar.
 “Ini memang Majapahit.”
“Majapahit asli? Berarti sekarang Raja Hayam Wuruk lagi nongkrong di istana dong. Boleh dong minta waktu ketemuan,” canda Enggar saking stresnya.
“Siapa Hayam Wuruk itu?” tanya Singo Abang.
“Ya raja Majapahit lah, masa raja hutan,” jawab Enggar dengan tampang culun. Singo Abang mengerutkan alis. Kelihatan bingung. “Masa nggak kenal Hayam Wuruk sih, Bang? Dia orang sini juga, cucunya Sri Kertarajasa Jayawardana,” ujar Enggar dengan gaya ibu-ibu gosip.
Ekspresi wajah Singo Abang semakin terlihat puyeng. “Tidak ada pangeran yang bernama Hayam Wuruk,” ujar Singo Abang.
 “Ah, Abang orang sini bukan sih? Ketahuan kan kalau ini Majapahit palsu. Kalau tidak ada yang bernama Hayam Wuruk, ini emang Majapahit tahun berapa?” tanya Enggar. Saat menyebutkan Majapahit tadi dia menggerakkan jari telunjuk dan tengah kedua tangannya untuk memberi “tanda petik”.
“1329,” jawab Singo Abang.
 “Kalau tahun 1329 Hayam Wuruk emang belum ada. Lima tahun lagi dia baru lahir,” guman Enggar. Karena belakangan dia dicekoki sejarah Majapahit oleh kakaknya, sedikit banyak dia tahu. “Jadi yang sekarang jadi raja...”
“Ratu. Ratu Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardani,” sahut Singo Abang, mulai penasaran dengan arah pembicaraan Enggar.
““Tahun segini Gajah Mada belum menjadi mahapatih ya,” celetuk Enggar.
“Kamu bilang apa tadi? Mahapatih Majapahit sekarang adalah Aryo Tadah. Apa nanti Gajah Mada yang akan menggantikannya menjadi mahapatih?” tanya Singo Abang dengan mata menatap lurus kepada gadis di hadapannya. “Kamu bisa meramal atau hanya mengacau, Puteri Anggoro?” Singo Abang masih belum melepas tatapan matanya dari Enggar.
 “Bang, namaku Enggar, bukan Puteri Anggoro. Enggar Penggalih.” Enggar mencoba tidak berkedip untuk meredakan jantungnya yang berdebar aneh.
“Kamu itu Puteri Anggoro, anak almarhum Adipati Rekso. Sekitar satu minggu lalu, kamu dinyatakan membunuh anak Tumenggung Sukmo dari Mertabumi yang bernama Sukmana. Orang-orang menemukanmu berada di sebelah mayatnya, dengan membawa keris penuh darah. Kamu terbukti bersalah dan akan dihukum mati.” Singo Abang mengembalikan pembicaraan ke topik semula. Informasi dari gadis itu mengenai Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada sangat dini untuk dapat dipercaya, jadi akan dianggapnya omong kosong.
“Mana mungkin aku membunuh orang. Mengarangnya jangan terlalu indah deh, Bang. Kuberitahu sekali lagi ya, Bang, tolong didengarkan baik-baik. Namaku Enggar Penggalih. Terakhir kali kuingat aku berada di Museum Nasional, sedang lari dari gedung saat gempa. Sesuatu menimpa kepalaku dan aku pingsan. Setelah sadar aku berada di sini dan sekarang aku mau pulang.” Enggar mengatakannya pelan-pelan, berharap Singo Abang percaya.
Lagi-lagi mereka bertatapan mata agak lama. Entah kenapa kali ini Singo Abang terlihat sedikit jengah dan dia memalingkan muka.
“Racun yang mereka berikan kemungkinan sudah merusak syarafmu. Aku tidak tahu apa Mpu Soma bisa menyembuhkanmu, Puteri.” Singo Abang membelakangi gadis itu. “Kita akan meninggalkan tempat ini besok pagi-pagi sekali. Pangeran Palawa akan menemui Puteri di perbatasan,” putus Singo Abang. Nampaknya dia harus segera mencari jawaban atas keanehan Puteri Anggoro dan itu bisa dilakukan kalau dia cepat-cepat menemui orang yang berkompeten untuk menjawab fenomena tersebut.
“Hah? Aku mau dibawa kemana? Siapa lagi itu Pangeran Palawa?” Enggar kelabakan. Gawat kalau dia dibawa pergi ke tempat yang lebih asing.

Enggar menelan ludah. Karena tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan apa maunya, maka hanya ada satu hal yang bisa dilakukan sebagai langkah pertama. Melarikan diri!
***

No comments: