Monday, October 10, 2016

Gandrung #3

Makanan di hadapannya dihabiskan dengan lahap. Satu, karena dia merasa sangat lapar. Dua, karena dia butuh tenaga untuk kabur dari tempat itu. Enggar sampai hampir tersedak saat menelan suapan terakhir. Diteguknya dengan bersemangat air di dalam mangkuk kecil yang terbuat dari tanah liat itu.
Setelah mengatur napas, dia mencoba bangkit dan berjalan. Kepalanya masih pusing, merasa dunia setengah berputar. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi tidak separah beberapa waktu tadi.
Pelan-pelan Enggar berjalan menuju pintu. Kedua tangannya berpegangan pada dinding pondok. “Bang Singo, aku mau ke sungai,” seru Enggar kepada lima orang yang sedang berkumpul tak jauh dari pondok. Singo Abang yang sedang makan itu segera meletakkan makanan dan berjalan ke arah Enggar. “Perutku sakit,” lanjut Enggar yang mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hatinya mulai diserang rasa takut ketika menyadari dia benar-benar berada di hutan yang lebat. Dan tidak ada tanda-tanda kegiatan syuting. “Aku mau ke sungai,” ulang Enggar pelan.
Singo Abang menghampiri dan membantu gadis itu berjalan, sembari memberikan kode kepada Sanip untuk menyiapkan pakaian ganti di pondok.
Singo Abang dan Enggar berjalan berdampingan. Lelaki itu memapahnya karena beberapa kali Enggar hampir terjatuh. Sesaat Enggar mencoba untuk melepaskan lengannya dari tangan Singo Abang, tapi tidak bisa. Lelaki itu memegang lengannya erat. Sesekali mereka bertatapan mata, namun seringkali Singo Abang menghindarinya.
Mereka tiba di sungai setelah berjalan kira-kira lima puluh meter.
Matahari belum benar-benar tenggelam, tapi hanya sedikit cahaya yang bisa menerobos hutan ini, apalagi dalam keadaan mendung. Dengan sedikit susah payah, Enggar duduk di sebuah batu di pinggir sungai.
“Bisa kau menyingkir dulu?” tanya Enggar saat dia mulai merendam salah satu kakinya ke dalam air.
“Aku harus mengawasimu,” kata Singo Abang.
“Mana bisa aku melakukan yang harus kulakukan kalau kamu di situ?”
Singo Abang tidak juga beranjak. “Aku tetap di sini, tapi aku tidak akan melihatmu. Kau bisa pegang kata-kataku. Cepatlah.”
“Kalau aku hanya cuci muka, kau tungguin di sebelahku pun aku nggak keberatan, Bang. Tapi ini memenuhi panggilan alam. Aku butuh privasi.”
“Kenapa butuh itu segala?” Singo Abang tidak bisa mengulangi kata asing yang baru saja diucapkan Enggar.
“Privasi. Aku butuh untuk  sendirian. Kuatir apa sih, aku nggak mungkin bisa lari. Mana berani aku kelayapan di hutan, sudah gelap begini. Masih ada harimaunya juga kan di sini?”
“Ya. Kadang mereka turun ke sungai juga.” Singo Abang tidak bermaksud menakut-nakuti Enggar, tapi wajah gadis itu sudah terlanjur pucat. “Aku akan membalikkan badan.”
 “Jangan mengintip.”
Enggar turun ke sungai dan membasuh wajahnya. Dia tadi memang kebelet, tapi sekarang nggak. Dia mencari jalur yang tercepat untuk ngabur. Menyeberang saja terus menembus gerumbul di sana.
Singo Abang mendesah. Ini sebenarnya bukan urusan dia sama sekali. Terlibat dengan masalah orang lain tidak masuk dalam agendanya. Dia sudah cukup kenyang menghadapi masalahnya sendiri. Tapi sejak peristiwa pembunuhan putra pertama Tumengung Sukmo, mau tak mau dia harus ikut campur. Pangeran Palawa, kekasih Puteri Anggoro, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya, meminta bantuan. Dia tidak mungkin menolak.
Menyembunyikan Puteri Anggoro membuatnya menjadi orang paling dicari. Tumenggung Sukmo pasti sudah menyebarkan anak buahnya, atau bahkan meminta para pendekar dunia persilatan untuk memburu Singo Abang. Satu orang yang sudah pasti mengejarnya adalah Pangeran Haryo. Rivalnya sejak kecil.
Kenapa Puteri Anggoro ada di kamar Raden Sukmana, anak Tumengung Sukmo, ketika dia dibunuh? Itu masih menjadi pertanyaan besar. Yang pasti tuduhan ada padanya, karena di tangan Puteri Anggoro ada sebilah keris penuh darah yang telah digunakan untuk membunuh Raden Sukmana.
Singo Abang bersama Jandul berhasil menculik Puteri Anggoro saat dia dibawa ke penjara Sadeng. Belum ada yang tahu pasti identitas mereka, kecuali Pangeran Haryo. Kecerobohan Singo Abang memberinya petunjuk. Ikat kepalanya terjatuh.
“Puteri, sudah selesai? Puteri.” Singo Abang tersadar dari lamunannya. Menyesal dia karena tidak berkonsentrasi terhadap keberadaan gadis itu. Apalagi suara riak sungai dan serangga mengaburkan suara yang lain. “Aku akan membalikkan badan, tidak peduli kau sedang apa.” Singo Abang menghitung sampai tiga baru membalikkan badan. Seringai gemas menarik wajahnya ke atas. Sial. Puteri itu hilang!
Sementara itu tak jauh dari sungai, Enggar berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli ke mana, yang penting dia bisa lepas dari orang-orang itu. Tubuhnya yang terasa sakit di sana sini tidak dipedulikannya. Keinginan yang kuat untuk melarikan diri ternyata memberikan tambahan energi yang cukup untuk membawanya pergi.
“Aaaaa...” Kaki Enggar terperosok. Tubuhnya tertarik ke bawah, bergulingan dan terhenti, menabrak batang pohon. Enggar tak bergerak lagi.
Suara guntur menggelegar dan hujan turun dengan derasnya.

***

“Hahh!” Enggar terbangun dengan kaget. Dedaunan dan tanah basah menempel di tubuhnya. Rambutnya yang panjang berantakan tidak karuan. Kepalanya berputar, melihat sekeliling. Semuanya gelap. Segumpal rasa kecewa menyesakkan dadanya, mengapa dia masih berada di tempat asing ini.
Mungkinkah semua hanya mimpi? Kenapa dia ada di Majapahit? Apa karena hal terakhir yang ada di kepalanya sebelum gempa adalah tentang Majapahit. Lalu memori itu terbawa dalam mimpi.
Enggar pernah tiga hari berturut-turut main tetris dan setiap malam mimpinya selalu mengatur balok-balok berbagai bentuk itu untuk mendapatkan poin tertinggi. Kali ini dia mimpi berada di Majapahit karena sebelumnya dia melihat dan melihat benda-benda yang berhubungan dengan Majapahit. Ya, pastinya begitu.
Kalau ini mimpi, maka yang harus dilakukannya sekarang adalah bangun dari tidur, lalu semua kembali normal. Begitu kan? Tapi dia sudah bangun, dan masih terjebak di sini.
Enggar bangkit, meraba-raba dalam gelap. Setelah beberapa saat, matanya mulai beradaptasi dengan pencahayaan yang minimal itu. Enggar mencari dahan yang terjatuh untuk digunakan sebagai tongkat. Itu akan membantunya untuk membuka jalan atau pegangan saat berpijak.
Ada suara menguik serak di sebelah kanannya. Kalau tidak salah menduga itu suara babi hutan. Enggar buru-buru menjauh sumber suara dengan tetap berusaha untuk tidak membuat keributan.
Lalu terdengar suara auman. Lutut Enggar gemetaran. Keringat dinginnya meluncur. Napasnya jadi pendek-pendek. Jangan bilang itu harimau....
Enggar sibuk membangun keberanian. Lambat laun dia mulai bisa menguasai diri. Hingga kemudian terdengar suara auman ditingkahi suara menguik panik. Apakah sedang terjadi mangsa diterkam pemangsa? Jantung Enggar rasanya sudah melompat keluar dari rongga dadanya dan terjatuh di tanah, takut bukan kepalang kalau hewan-hewan itu berlari ke arahnya. Dengan sisa kekuatan yang ada dia mengangkat kainnya dan memanjat pohon yang dahan pertamanya cukup pendek untuk bisa digapai. Doa tidak putus dari mulutnya. Semoga harimau itu hanya memangsa babi hutan dan bukan dirinya.
Detik demi detik yang menegangkan terasa lama. Dari suaranya, harimau itu nampaknya sudah dapat mangsa. Enggar masih gemetaran di dahan pohon, tak lepas dari doa. Hawa dingin semakin terasa, meskipun hujan sudah reda.
Sekarang dia agak menyesal telah melarikan diri. Seharusnya dia tinggal dulu bersama mereka di pondok itu. Setidaknya di sana relatif aman dari hewan-hewan, tidak dingin karena ada perapian.
Enggar tersedu pilu tanpa suara.
Sementara tak jauh dari tempat itu, Singo Abang menggeram. Obor yang ada di tangannya digerakkan ke beberapa arah. Sudah hampir dua jam mencari Puteri Anggoro tidak juga ketemu.  
Dimana dia? Singo Abang tidak berani membayangkan apa yang bisa terjadi pada Puteri itu di hutan seperti ini. Dia sama sekali tidak membawa senjata, tubuhnya sedang lemah dan tidak mempunyai kemampuan melindungi diri.
Seharusnya dia tidak meminta anak buahnya menyembunyikan Puteri Anggoro di hutan. Tapi siapa juga yang menyangka Puteri itu bakalan melarikan diri.
Tak jauh dari tempat itu, Enggar yang hampir tertidur di atas pohon itu terhenyak. Ada sesuatu yang bergerak melewati lehernya. Dingin, empuk dan agak berat. Instingnya bilang itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi setelah dia betul-betul yakin apa yang melewatinya. Seekor ular, sebagian tubuhnya berada di leher Enggar, sementara kepala ular itu tak jauh dari wajahnya. 
“Innalillahi,” batinnya. Enggar berusaha untuk tidak bergerak. Bahkan dia berusaha tidak bernapas.
Ular itu terus menggeser tubuhnya. Enggar hanya bisa berdoa supaya ular tidak sedang lapar dan tidak tertarik padanya.
“Puteri! Puteri Anggoro!” Ada suara memanggil. Suara Singo Abang. Enggar nggak menyangka dia akan begitu bahagia mendengar suaranya. Secara reflek Enggar bergerak.  
“Aaaaaaa...!!!” Suara jeritan terdengar diikuti suara sesuatu yang berat terjatuh ke tanah. Ular itu telah membelit tubuh Enggar.
Singo Abang berlari ke arah datangnya suara. Obor yang dibawanya diarahnya ke bawah.
“Jangan bergerak. Kalau kamu bergerak dia akan semakin kencang membelitmu. Aku akan membebaskanmu.” Singo Abang mengeluarkan pedangnya.
Enggar tidak bisa melihat dengan jelas pergulatan antara Singo Abang dan ular yang ternyata berukuran besar itu. Melihat bentuk dan ukurannya, ini adalah jenis boa. Ular ini tidak berbisa, tapi membunuh dengan cara membelit hingga korbannya mati lemas dan remuk tulangnya.  
Bau anyir tercium. Enggar merasakan tubuhnya terlepas sepenuhnya dari ular itu. Tapi dia sudah tidak punya kekuatan untuk bergerak. Dari sinar obor yang tergeletak di tanah dan hampir mati, Enggar melihat ular itu sudah tidak berkepala. Cairan berwarna gelap mengalir dari bagian tubuhnya yang terpotong.
“Puteri, kamu tidak apa-apa?” Singo Abang menarik tangan Enggar, membantunya berdiri. Lelaki itu menyangka puteri akan berontak lagi dan menjauh, tetapi yang terjadi malah gadis itu memeluknya erat dan menangis sesenggukan. Untuk sesaat Singo Abang seperti kena sihir, hanya mematung. Tubuh Enggar yang gemetaran kemudian menjadi lunglai. Rupanya dia pingsan.
Diangkatnya tubuh Enggar dan dibawanya pergi.
*** 

No comments: