Thursday, October 13, 2016

Gandrung #5


Di hadapan mereka berdiri pepohonan tinggi besar, batas hutan Wonokawi. Dari informasi yang didapatkan, dua hari lalu ada tiga orang yang menjual kudanya di pasar dengan ciri-ciri salah seorang dari mereka berambut gondrong dan berewokan. Pangeran Haryo tahu orang itu adalah Pangeran Barata. Dia menduga Pangeran Barata masuk ke hutan untuk menghilangkan jejak.
Sebenarnya pengejaran akan lebih efektif kalau dilanjutkan, tetapi orang-orang itu sudah lelah, jadi diputuskan mereka beristirahat di pinggir hutan.
“Pangeran Haryo, anda yakin mereka menuju ke sini?” tanya Jayengwangsa, kerabat Tumengung Sukmo. Haryo mengangguk sekilas. Dia berjalan menuju dekat api unggun, merebahkan merebahkan badan di rerumputan yang sudah diberi alas kain. Jayengwangsa mendekat. “Pangeran Haryo, apakah...”
“Aku mau tidur, jadi diamlah. Sepanjang hari kamu ngomong tidak ada habisnya. Kalau aku sudah benar-benar kesal, kutinggal kalian. Sekarang jangan mengangguku!” bentak Haryo. Jayengwangsa terpaksa mundur.       
“Kalau saja kau bukan kerabat istana, kutendang kau hingga alun-alun.”
“Lakukan saja kalau berani,” sahut Haryo yang rupanya mendengar gerutuan laki-laki itu. Jayengwangsa minta maaf dan meninggalkan Haryo sendiri.
Haryo tersenyum. Dia tidak mendengar gumaman Jayengwangsa barusan, tapi kalau melihat ekspresinya, orang itu pasti sedang mengutuknya atau mengancamnya. Jadi iseng saja ngomong begitu.
Lelaki tampan itu memejamkan mata, mencoba mengurai kejadian yang melatarbelakangi pengejarannya. Barata menculik Puteri Anggoro yang akan dihukum mati. Dia memang sudah gila. Mertabumi gempar dan beritanya sampai ke istana. Sekarang Haryo diutus membawa Barata oleh para petinggi kerajaan, dan orang tua Barata. Sebenarnya meskipun tidak ditugaskan pun Haryo akan tetap mengejar Barata. Mereka masih punya urusan yang belum diselesaikan.
Malam berlalu dengan cepat. Pagi-pagi sekali Haryo sudah bangun dan masuk hutan. Kudanya ditinggalkan agar lebih leluasa memeriksa keadaan.
Ada jejak kaki. Lebih dari seorang. Dia sudah menuju arah yang benar.

*** 
Desa Dadialas yang berada di sebelah Desa Wonorandu sudah nampak. Sesuai rencana mereka berpencar setelah mendapatkan kuda. Baru ada satu kuda yang bisa didapat saat itu, yang diperuntukkan bagi Sanip yang akan pergi pertama kali. Jandul pergi setelah Sanip. Pertama untuk mencarikan kuda di pasar dan kemudian mendahului ke kotaraja. Dia akan memberi peringatan pada Singo Abang kalau ada apa-apa di depan. Mereka sudah ada di dunia luar, kemungkinan untuk dikenali dan diperhatikan lebih besar daripada saat mereka berada di hutan.
Bogar menemukan rumah kosong tak jauh dari tempat mereka berpisah. Untuk alasan keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan, Enggar harus berubah penampilan.
“Kita akan berkuda mulai sekarang. Dengan pakaianmu seperti itu akan menyulitkan, jadi kamu harus menyamar menjadi laki-laki. Pakaialah yang ada di bungkusan ini.”
“Menyamar jadi cowok?” tanya Enggar. “Baguslah. Kemben ini sudah bikin was was,” kata Enggar sedikit lega.  
Singo Abang keluar dari rumah, menunggu Enggar ganti baju.
“Ketua, Puteri Anggoro aneh ya? Selama saya bekerja di Mertabumi, saya beberapa kali pernah melihat Puteri Anggoro. Beliau lemah lembut seperti bidadari. Berjalannya pelan, bicaranya pelan. Tapi sekarang...” Bogar menggaruk pipinya.
“Puteri Anggoro harus seperti ini biar tidak dikenali. Kamu tahu kita sekarang jadi buronan, setidaknya oleh orang Tumenggung Sukmo.”
“Iya, Ketua.”
“Satu lagi, mulai sekarang kamu akan memanggilnya Enggar. Tidak ada yang boleh tahu dia Puteri Anggoro, mengerti?” perintah Singo Abang.
“Iya, Ketua.” Bogar menganggukkan kepala.
“Selama perjalanan, jangan membuat perhatian, jangan terlihat mencolok,” kata Singo Abang sambil memperbaiki ikat kepala merahnya.
“Ketua memakai ikat kepala begitu apa tidak mencolok?” tanya Bogar takut-takut.
Singo Abang meliriknya. “Kamu benar.” dilepaskannya ikat kepala itu dengan agak berat hati, lalu dibebatkan di pergelangan tangan.
“Berewoknya apa nggak sekalian dicukur, Ketua?” usul Bogar lagi. Mata Singo Abang melotot. “M..maaf, Ketua.”
“Aku tidak akan mencukurnya.” Singo Abang mengetuk pintu. “Enggar, sudah selesai ganti pakaiannya? Aku buka pintunya.” Singo Abang membuka pintu, dan mendapat sambutan lemparan sandal. Singo Abang terpaksa menutup pintu lagi dan menunggu.
Enggar membuka pintu. Singo Abang dan Bogar memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Dia sudah terlihat lebih nyowok, hanya saja rambutnya masih terkuncir panjang.
“Bang, gimana? Gagah nggak?” Enggar berpose bak binaraga. Bogar tertawa, membuat Enggar tertawa juga. Cantik.
“Kamu selalu memanggilku Bang, apa itu artinya?” tanya Singo Abang.
“Bang sama dengan Kangmas,” jelas Enggar. “Oh ya, rambutku diapain ya, Bang, biar mirip laki-laki?”
“Sini.” Singo Abang masuk ke dalam rumah diikuti Enggar.
Mereka berhadapan. Singo Abang berpikir mau diapain rambut panjang Enggar. Dia berjalan dan kemudian berdiri di belakang Enggar.
“Bagaimana kalau dipotong saja rambutnya?” tanya Singo Abang.
“Lho, boleh? Kalau Puteri Anggoronya marah gimana? Kalau di jamanku perempuan berambut cepak nggak aneh, kalau jaman ini kan nggak lazim.”
“Rambut bisa tumbuh lagi, tidak masalah. Yang penting sekarang tidak ada orang yang tahu identitasmu sampai benar-benar masalahnya terpecahkan, baik tentang pembunuhan itu maupun tentang kepastian kamu berkepribadian ganda atau benar-benar datang dari masa depan.” Singo Abang mengeluarkan pedang.
“Kamu mau memotong rambut apa memotong leher, Bang? Jangan nakutin dong.” Enggar bergidik.
“Sini,” kata Singo Abang. Beberapa kali tebas, rambut Enggar sudah tinggal sebahu dalam waktu singkat. Lalu laki-laki itu mengeluarkan kain dari kantong bajunya dan mengikatkannya di kepala Enggar.
“Bang, berapa umurmu?” tanya Enggar iseng. Tebakannya pasti sekitar dua puluh lima tahun atau lebih.
“Dua puluh dua,” jawab Singo Abang singkat.
“Kok keliatannya udah om-om? Orang jaman dulu lekas tua apa ya?” Enggar mengepaskan ikat kepalanya yang sudah selesai dibuatkan Singo Abang. “Bagaimana penampilanku? Sudah seperti cowok?”
Cowok imut, batin Singo Abang. “Ya ya, sudah. Tidak ada yang mengira kamu perempuan, apalagi seorang Puteri. Kamu sekarang kurus, tidak ada bentuk perempuan.” Kata-kata terakhir diucapkan Singo Abang dengan pelan, tapi masih kedengaran di telinga Enggar dan membuatnya geregetan. “Kita pergi sekarang.”
Mereka tiba di pasar desa beberapa waktu kemudian. Enggar nggak berhenti meyakinkan dirinya bahwa dia tidak bermimpi. Orang-orang yang menggelar dagangan berupa hasil bumi, orang-orang yang membeli beraneka kebutuhan, yang berlalu lalang, yang menjual hewan ternak, semuanya asli.
“Ini hari pasaran, makanya ramai sekali. Di hari biasanya nggak seramai ini. Mereka datang dari berbagai desa. Kebanyakan orang gunung yang turun karena ini pasar terdekat,” kata Bogar.
Mereka segera menuju tempat penjual kuda yang sudah ditandai oleh Jandul dengan coretan warna merah di salah satu palang bambu pengikat tali kuda.
Hanya dua kuda yang dibeli karena Enggar nggak bisa naik kuda. Baru ini kesamaan yang dimiliki Anggoro dan Enggar. Setelah membayar kuda, mereka segera pergi dari tempat itu. Enggar berkuda bersama Singo Abang, dia duduk di belakang.
“Kita akan ke Mpu Soma, meminta bantuannya untuk mengembalikan ingatanmu. Itu sangat penting untuk mengetahui kenapa kamu berada di tempat terjadinya pembunuhan dan apa yang kamu alami selama dipenjara.”
“Yang penting bagiku, aku bisa dikembalikan ke masa depan. Yang lainnya aku nggak peduli,” sahut Enggar.
“Aku masih belum percaya kalau kamu benar-benar bukan Puteri Anggoro. Apa yang bisa membuktikan kalau kamu dari masa depan?”
“Aku tau beberapa hal tentang apa yang terjadi di Majapahit di tahun-tahun ke depan,” kata Enggar. “Meskipun itu aku tahunya dari buku sejarah dan pelajaran sekolah,” lanjutnya dalam hati.   
“Orang-orang tertentu yang berilmu tinggi di Majapahit bisa juga melihat apa yang terjadi di tahun-tahun ke depan. Itu tidak bisa menjadi bukti,” tukas Singo Abang.
“Oke. Tapi aku tahu lebih detil tentang apa saja yang ada di jamanku, yang nggak bakalan diketahui orang berilmu tinggi di Majapahit,” ujar Enggar percaya diri. Pasti peramal di Majapahit nggak tahu hebohnya media sosial.
“Seperti apa jamanmu?” tanya Singo Abang ingin tahu.
Enggar belum sempat menanggapi pertanyaan Singo Abang karena dari arah depan terdengar suara derap rombongan berkuda dengan membawa panji-panji. Singo Abang memberi tanda agar mereka turun dari kuda dan segera menyingkir dari jalan. Ketika rombongan itu melewati mereka, sekilas Enggar bertatapan dengan salah seorang pengendara kuda yang berpakaian paling indah. Orang itu juga membalas tatapannya.
“Berhenti!” teriak orang itu seketika.
“Apa yang kamu lakukan?” bisiknya pada Enggar.
“Nggak ngapa-ngapain, hanya melihat mereka saja,” jawab Enggar polos.
“Kamu tidak tahu apa kalau itu rombongan Pangeran Cakrawaja, orang paling congkak seluruh jagad. Tidak ada orang yang boleh menatapnya, apalagi rakyat jelata. Kita harus menundukkan kepala dalam-dalam kalau orang istana lewat, kecuali kita dapat ijin untuk menegakkan kepala,” kata Singo Abang.
“Heh? Mana aku tahu ada aturan begitu?” Enggar membela diri.
“Berlutut dan menyembah. Tundukkan kepalamu, cepat!” Tangan Singo Abang menekan kepala Enggar agar tertunduk.
Mereka mendengar suara langkah kaki kuda mendekat. Salah satunya bahkan dekat sekali, hingga dengan kepala tertunduk pun mereka bisa melihat kaki kuda itu bergerak-gerak.
“Kau, baju coklat, kau tahu apa salahmu?” tanya seseorang yang kemungkinan besar adalah si Cakrawaja. Enggar melirik ke kiri dan ke kanan. Baju Bogar berwarna putih kumal, baju Singo Abang berwarna hitam, jadi yang dimaksud adalah dia.
“Maafkan kami, Tuanku. Adik hamba ini baru pertama kali turun gunung, belum mengenal tata krama dan mengenali Tuan. Mohon diampuni, Tuan.” Singo Abang mencoba menenangkan sebelum Cakrawaja makin tersinggung. 
“Siapa yang menyuruhmu bicara? Kau, baju coklat, beraninya melihatku. Kau mau matamu kukeluarkan dari tempatnya?” bentak Cakrawaja.
 “Ampun, Tuanku. Hamba bersalah karena begitu mengagumi Tuanku,” sahut Enggar cepat-cepat saat Singo Abang mau membuka mulut. “Hamba baru pertama kali turun gunung, belum pernah melihat pasukan berkuda sebanyak ini dan belum pernah melihat Tuanku yang tampak begitu gagah dan hebat.”
Cakrawaja tersenyum. “Meskipun kata-katamu manis, tapi aku tetap tidak suka dengan perbuatanmu tadi. Tegakkan kepalamu. Akan kuputuskan hukuman apa yang akan kau terima. Tegakkan kepalamu!” perintah Cakrawaja.
Perlahan Enggar menegakkan kepalanya, tapi dia menatap lurus ke depan, hanya melihat kaki Cakrawaja di atas kuda.
“Tatap mataku. Ayo, tatap mataku!” Suara Cakrawaja makin garang.
Enggar menghela napas baru kemudian mendongakkan kepala hingga kedua matanya bisa menatap mata Cakrawaja secara langsung.  
Laki-laki pendek berbaju indah itu tertegun melihat wajah imut Enggar. “Kau didik adikmu baik-baik, jangan sampai terulang karena aku bisa saja membuatnya dihukum berat. Kali ini saja aku tidak punya waktu.”
“Terima kasih banyak, Tuanku. Anda sungguh mulia,” kata Singo Abang.
“Kita pergi!” Cakrawaja menggebrak kuda diikuti para prajuritnya. Bogar terduduk dengan lega seakan lepas dari mulut buaya.
“Lain kali, jangan menatap mata orang. Kecuali orang-orang yang kamu kenal, mengerti? Apalagi kalau kita sudah sampai di kota raja nanti. Untung Cakrawaja tidak melakukan apa-apa padamu. Heran,” ucap Singo Abang sambil naik ke atas kuda. Tangannya terulur menarik Enggar ke belakangnya.
“Siapa orang itu tadi?” Kepala Enggar ditelengkan ke arah Cakrawaja pergi.
“Anak salah satu menteri. Kemampuan terbaiknya hanya menggertak dan sedikit memanah.” Singo Abang melecut tali kudanya.
“Kamu sepertinya kenal banget dengan orang-orang istana, kayaknya tahu betul pangeran ini dan pangeran itu, padahal penampilanmu seperti perampok, ng, pengangguran.” Enggar menggigit lidah, menunggu reaksi Singo Abang. “Apa pekerjaanmu dulu, Bang? Mantan pembantu di istana ya?” tanya Enggar lugu.
Bogar tertawa geli. Puteri Anggoro yang sekarang betul-betul berbeda. Dugaan Bogar kalau si Puteri kehilangan ingatan dan menjadi orang lain mungkin benar. Dia sudah curiga sejak ditugaskan menjaga puteri di hutan.
*** 

No comments: