Di hadapan mereka
berdiri pepohonan tinggi besar, batas hutan Wonokawi. Dari informasi yang
didapatkan, dua hari lalu ada tiga orang yang menjual kudanya di pasar dengan ciri-ciri
salah seorang dari mereka berambut gondrong dan berewokan. Pangeran Haryo tahu
orang itu adalah Pangeran Barata. Dia menduga Pangeran Barata masuk ke hutan
untuk menghilangkan jejak.
Sebenarnya pengejaran
akan lebih efektif kalau dilanjutkan, tetapi orang-orang itu sudah lelah, jadi
diputuskan mereka beristirahat di pinggir hutan.
“Pangeran Haryo, anda
yakin mereka menuju ke sini?” tanya Jayengwangsa, kerabat Tumengung Sukmo.
Haryo mengangguk sekilas. Dia berjalan menuju dekat api unggun, merebahkan merebahkan
badan di rerumputan yang sudah diberi alas kain. Jayengwangsa mendekat. “Pangeran
Haryo, apakah...”
“Aku mau tidur, jadi
diamlah. Sepanjang hari kamu ngomong tidak ada habisnya. Kalau aku sudah
benar-benar kesal, kutinggal kalian. Sekarang jangan mengangguku!” bentak
Haryo. Jayengwangsa terpaksa mundur.
“Kalau saja kau bukan
kerabat istana, kutendang kau hingga alun-alun.”
“Lakukan saja kalau
berani,” sahut Haryo yang rupanya mendengar gerutuan laki-laki itu. Jayengwangsa
minta maaf dan meninggalkan Haryo sendiri.
Haryo tersenyum. Dia
tidak mendengar gumaman Jayengwangsa barusan, tapi kalau melihat ekspresinya,
orang itu pasti sedang mengutuknya atau mengancamnya. Jadi iseng saja ngomong
begitu.
Lelaki tampan itu
memejamkan mata, mencoba mengurai kejadian yang melatarbelakangi pengejarannya.
Barata menculik Puteri Anggoro yang akan dihukum mati. Dia memang sudah gila. Mertabumi
gempar dan beritanya sampai ke istana. Sekarang Haryo diutus membawa Barata
oleh para petinggi kerajaan, dan orang tua Barata. Sebenarnya meskipun tidak
ditugaskan pun Haryo akan tetap mengejar Barata. Mereka masih punya urusan yang
belum diselesaikan.
Malam berlalu dengan
cepat. Pagi-pagi sekali Haryo sudah bangun dan masuk hutan. Kudanya
ditinggalkan agar lebih leluasa memeriksa keadaan.
Ada jejak kaki. Lebih
dari seorang. Dia sudah menuju arah yang benar.
***
Desa Dadialas yang
berada di sebelah Desa Wonorandu sudah nampak. Sesuai rencana mereka berpencar
setelah mendapatkan kuda. Baru ada satu kuda yang bisa didapat saat itu, yang
diperuntukkan bagi Sanip yang akan pergi pertama kali. Jandul pergi setelah
Sanip. Pertama untuk mencarikan kuda di pasar dan kemudian mendahului ke
kotaraja. Dia akan memberi peringatan pada Singo Abang kalau ada apa-apa di
depan. Mereka sudah ada di dunia luar, kemungkinan untuk dikenali dan
diperhatikan lebih besar daripada saat mereka berada di hutan.
Bogar menemukan rumah
kosong tak jauh dari tempat mereka berpisah. Untuk alasan keamanan dan
kenyamanan dalam perjalanan, Enggar harus berubah penampilan.
“Kita akan berkuda
mulai sekarang. Dengan pakaianmu seperti itu akan menyulitkan, jadi kamu harus
menyamar menjadi laki-laki. Pakaialah yang ada di bungkusan ini.”
“Menyamar jadi cowok?”
tanya Enggar. “Baguslah. Kemben ini sudah bikin was was,” kata Enggar sedikit
lega.
Singo Abang keluar dari
rumah, menunggu Enggar ganti baju.
“Ketua, Puteri Anggoro
aneh ya? Selama saya bekerja di Mertabumi, saya beberapa kali pernah melihat Puteri
Anggoro. Beliau lemah lembut seperti bidadari. Berjalannya pelan, bicaranya
pelan. Tapi sekarang...” Bogar menggaruk pipinya.
“Puteri Anggoro harus
seperti ini biar tidak dikenali. Kamu tahu kita sekarang jadi buronan,
setidaknya oleh orang Tumenggung Sukmo.”
“Iya, Ketua.”
“Satu lagi, mulai
sekarang kamu akan memanggilnya Enggar. Tidak ada yang boleh tahu dia Puteri
Anggoro, mengerti?” perintah Singo Abang.
“Iya, Ketua.” Bogar
menganggukkan kepala.
“Selama perjalanan,
jangan membuat perhatian, jangan terlihat mencolok,” kata Singo Abang sambil
memperbaiki ikat kepala merahnya.
“Ketua memakai ikat
kepala begitu apa tidak mencolok?” tanya Bogar takut-takut.
Singo Abang meliriknya.
“Kamu benar.” dilepaskannya ikat kepala itu dengan agak berat hati, lalu
dibebatkan di pergelangan tangan.
“Berewoknya apa nggak
sekalian dicukur, Ketua?” usul Bogar lagi. Mata Singo Abang melotot. “M..maaf,
Ketua.”
“Aku tidak akan
mencukurnya.” Singo Abang mengetuk pintu. “Enggar, sudah selesai ganti
pakaiannya? Aku buka pintunya.” Singo Abang membuka pintu, dan mendapat
sambutan lemparan sandal. Singo Abang terpaksa menutup pintu lagi dan menunggu.
Enggar membuka pintu.
Singo Abang dan Bogar memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Dia
sudah terlihat lebih nyowok, hanya saja rambutnya masih terkuncir panjang.
“Bang, gimana? Gagah
nggak?” Enggar berpose bak binaraga. Bogar tertawa, membuat Enggar tertawa
juga. Cantik.
“Kamu selalu
memanggilku Bang, apa itu artinya?” tanya Singo Abang.
“Bang sama dengan
Kangmas,” jelas Enggar. “Oh ya, rambutku diapain ya, Bang, biar mirip laki-laki?”
“Sini.” Singo Abang
masuk ke dalam rumah diikuti Enggar.
Mereka berhadapan.
Singo Abang berpikir mau diapain rambut panjang Enggar. Dia berjalan dan
kemudian berdiri di belakang Enggar.
“Bagaimana kalau
dipotong saja rambutnya?” tanya Singo Abang.
“Lho, boleh? Kalau Puteri
Anggoronya marah gimana? Kalau di jamanku perempuan berambut cepak nggak aneh,
kalau jaman ini kan nggak lazim.”
“Rambut bisa tumbuh
lagi, tidak masalah. Yang penting sekarang tidak ada orang yang tahu
identitasmu sampai benar-benar masalahnya terpecahkan, baik tentang pembunuhan
itu maupun tentang kepastian kamu berkepribadian ganda atau benar-benar datang
dari masa depan.” Singo Abang mengeluarkan pedang.
“Kamu mau memotong
rambut apa memotong leher, Bang? Jangan nakutin dong.” Enggar bergidik.
“Sini,” kata Singo
Abang. Beberapa kali tebas, rambut Enggar sudah tinggal sebahu dalam waktu
singkat. Lalu laki-laki itu mengeluarkan kain dari kantong bajunya dan mengikatkannya
di kepala Enggar.
“Bang, berapa umurmu?”
tanya Enggar iseng. Tebakannya pasti sekitar dua puluh lima tahun atau lebih.
“Dua puluh dua,” jawab
Singo Abang singkat.
“Kok keliatannya udah
om-om? Orang jaman dulu lekas tua apa ya?” Enggar mengepaskan ikat kepalanya
yang sudah selesai dibuatkan Singo Abang. “Bagaimana penampilanku? Sudah
seperti cowok?”
Cowok imut, batin Singo
Abang. “Ya ya, sudah. Tidak ada yang mengira kamu perempuan, apalagi seorang Puteri.
Kamu sekarang kurus, tidak ada bentuk perempuan.” Kata-kata terakhir diucapkan
Singo Abang dengan pelan, tapi masih kedengaran di telinga Enggar dan
membuatnya geregetan. “Kita pergi sekarang.”
Mereka tiba di pasar
desa beberapa waktu kemudian. Enggar nggak berhenti meyakinkan dirinya bahwa
dia tidak bermimpi. Orang-orang yang menggelar dagangan berupa hasil bumi,
orang-orang yang membeli beraneka kebutuhan, yang berlalu lalang, yang menjual
hewan ternak, semuanya asli.
“Ini hari pasaran,
makanya ramai sekali. Di hari biasanya nggak seramai ini. Mereka datang dari
berbagai desa. Kebanyakan orang gunung yang turun karena ini pasar terdekat,”
kata Bogar.
Mereka segera menuju
tempat penjual kuda yang sudah ditandai oleh Jandul dengan coretan warna merah
di salah satu palang bambu pengikat tali kuda.
Hanya dua kuda yang
dibeli karena Enggar nggak bisa naik kuda. Baru ini kesamaan yang dimiliki
Anggoro dan Enggar. Setelah membayar kuda, mereka segera pergi dari tempat itu.
Enggar berkuda bersama Singo Abang, dia duduk di belakang.
“Kita akan ke Mpu Soma,
meminta bantuannya untuk mengembalikan ingatanmu. Itu sangat penting untuk
mengetahui kenapa kamu berada di tempat terjadinya pembunuhan dan apa yang kamu
alami selama dipenjara.”
“Yang penting bagiku,
aku bisa dikembalikan ke masa depan. Yang lainnya aku nggak peduli,” sahut
Enggar.
“Aku masih belum
percaya kalau kamu benar-benar bukan Puteri Anggoro. Apa yang bisa membuktikan
kalau kamu dari masa depan?”
“Aku tau beberapa hal
tentang apa yang terjadi di Majapahit di tahun-tahun ke depan,” kata Enggar. “Meskipun
itu aku tahunya dari buku sejarah dan pelajaran sekolah,” lanjutnya dalam hati.
“Orang-orang tertentu
yang berilmu tinggi di Majapahit bisa juga melihat apa yang terjadi di
tahun-tahun ke depan. Itu tidak bisa menjadi bukti,” tukas Singo Abang.
“Oke. Tapi aku tahu
lebih detil tentang apa saja yang ada di jamanku, yang nggak bakalan diketahui
orang berilmu tinggi di Majapahit,” ujar Enggar percaya diri. Pasti peramal di
Majapahit nggak tahu hebohnya media sosial.
“Seperti apa jamanmu?”
tanya Singo Abang ingin tahu.
Enggar belum sempat
menanggapi pertanyaan Singo Abang karena dari arah depan terdengar suara derap
rombongan berkuda dengan membawa panji-panji. Singo Abang memberi tanda agar
mereka turun dari kuda dan segera menyingkir dari jalan. Ketika rombongan itu
melewati mereka, sekilas Enggar bertatapan dengan salah seorang pengendara kuda
yang berpakaian paling indah. Orang itu juga membalas tatapannya.
“Berhenti!” teriak
orang itu seketika.
“Apa yang kamu
lakukan?” bisiknya pada Enggar.
“Nggak ngapa-ngapain,
hanya melihat mereka saja,” jawab Enggar polos.
“Kamu tidak tahu apa
kalau itu rombongan Pangeran Cakrawaja, orang paling congkak seluruh jagad.
Tidak ada orang yang boleh menatapnya, apalagi rakyat jelata. Kita harus
menundukkan kepala dalam-dalam kalau orang istana lewat, kecuali kita dapat
ijin untuk menegakkan kepala,” kata Singo Abang.
“Heh? Mana aku tahu ada
aturan begitu?” Enggar membela diri.
“Berlutut dan
menyembah. Tundukkan kepalamu, cepat!” Tangan Singo Abang menekan kepala Enggar
agar tertunduk.
Mereka mendengar suara
langkah kaki kuda mendekat. Salah satunya bahkan dekat sekali, hingga dengan
kepala tertunduk pun mereka bisa melihat kaki kuda itu bergerak-gerak.
“Kau, baju coklat, kau
tahu apa salahmu?” tanya seseorang yang kemungkinan besar adalah si Cakrawaja.
Enggar melirik ke kiri dan ke kanan. Baju Bogar berwarna putih kumal, baju
Singo Abang berwarna hitam, jadi yang dimaksud adalah dia.
“Maafkan kami, Tuanku.
Adik hamba ini baru pertama kali turun gunung, belum mengenal tata krama dan
mengenali Tuan. Mohon diampuni, Tuan.” Singo Abang mencoba menenangkan sebelum
Cakrawaja makin tersinggung.
“Siapa yang menyuruhmu
bicara? Kau, baju coklat, beraninya melihatku. Kau mau matamu kukeluarkan dari
tempatnya?” bentak Cakrawaja.
“Ampun, Tuanku. Hamba bersalah karena begitu
mengagumi Tuanku,” sahut Enggar cepat-cepat saat Singo Abang mau membuka mulut.
“Hamba baru pertama kali turun gunung, belum pernah melihat pasukan berkuda
sebanyak ini dan belum pernah melihat Tuanku yang tampak begitu gagah dan
hebat.”
Cakrawaja tersenyum.
“Meskipun kata-katamu manis, tapi aku tetap tidak suka dengan perbuatanmu tadi.
Tegakkan kepalamu. Akan kuputuskan hukuman apa yang akan kau terima. Tegakkan
kepalamu!” perintah Cakrawaja.
Perlahan Enggar menegakkan
kepalanya, tapi dia menatap lurus ke depan, hanya melihat kaki Cakrawaja di
atas kuda.
“Tatap mataku. Ayo,
tatap mataku!” Suara Cakrawaja makin garang.
Enggar menghela napas
baru kemudian mendongakkan kepala hingga kedua matanya bisa menatap mata Cakrawaja
secara langsung.
Laki-laki pendek
berbaju indah itu tertegun melihat wajah imut Enggar. “Kau didik adikmu
baik-baik, jangan sampai terulang karena aku bisa saja membuatnya dihukum
berat. Kali ini saja aku tidak punya waktu.”
“Terima kasih banyak,
Tuanku. Anda sungguh mulia,” kata Singo Abang.
“Kita pergi!” Cakrawaja
menggebrak kuda diikuti para prajuritnya. Bogar terduduk dengan lega seakan
lepas dari mulut buaya.
“Lain kali, jangan
menatap mata orang. Kecuali orang-orang yang kamu kenal, mengerti? Apalagi
kalau kita sudah sampai di kota raja nanti. Untung Cakrawaja tidak melakukan
apa-apa padamu. Heran,” ucap Singo Abang sambil naik ke atas kuda. Tangannya
terulur menarik Enggar ke belakangnya.
“Siapa orang itu tadi?”
Kepala Enggar ditelengkan ke arah Cakrawaja pergi.
“Anak salah satu
menteri. Kemampuan terbaiknya hanya menggertak dan sedikit memanah.” Singo
Abang melecut tali kudanya.
“Kamu sepertinya kenal
banget dengan orang-orang istana, kayaknya tahu betul pangeran ini dan pangeran
itu, padahal penampilanmu seperti perampok, ng, pengangguran.” Enggar menggigit
lidah, menunggu reaksi Singo Abang. “Apa pekerjaanmu dulu, Bang? Mantan
pembantu di istana ya?” tanya Enggar lugu.
Bogar tertawa geli. Puteri
Anggoro yang sekarang betul-betul berbeda. Dugaan Bogar kalau si Puteri
kehilangan ingatan dan menjadi orang lain mungkin benar. Dia sudah curiga sejak
ditugaskan menjaga puteri di hutan.
***
No comments:
Post a Comment