Tuesday, December 27, 2016

Gandrung #13

Hari sudah malam saat mereka tiba di Mertabumi. Perjalanan dua hari dengan hanya sedikit istirahat membuat semua orang lelah. Enggar yang tidak bicara sama sekali setelah tertangkap lagi, tampak kusut. Dia marah dan benci dengan Haryo. Orang itu tenyata bersekongkol dengan Cakrawaja untuk membawanya kembali ke Mertabumi.
Enggar dibawa ke sebuah rumah yang agak terpisah dengan rumah-rumah yang lain. Dia dikurung di kamar dengan penjagaan ketat.
“Kamu akan baik-baik di sini. Jangan melarikan diri karena sangat berbahaya. Aku akan segera kembali,” bisik Haryo padanya sebelum pergi bersama Cakrawaja. Enggar melengos, sama sekali tidak mau menatap mata Haryo. “Tidak seorangpun boleh mengganggunya, mengerti?” kata dia pada para penjaga di situ.
Enggar mengelilingi ruangan yang hanya berisikan satu balai-balai, satu meja dan satu kursi itu. Dia benar-benar seperti dalam penjara. Tidak ada jendela di sini. Hanya ada satu pintu untuk keluar. Tidak ada sendok untuk menggali. Hanya ada kendi berisi air  dan piring berisi makanan di atas meja.
Gadis itu duduk di kursi, mengamati makanan di meja. Dia sudah lapar, tapi ragu mau mengganyang makanan itu. Siapa tahu beracun. Meski ditahannya, tangannya terulur menyentuh makanan itu. Dibukanya bungkus dari daun pisang itu, kemudian disentuhnya isi di dalamnya dengan jari telunjuk. Perlahan dijilatnya jari telunjuknya. Tidak berasa aneh. Diendusnya beberapa kali, kemudian dijilat lagi. Enggar menunggu reaksi. Setelah agak yakin makanan itu tidak diberi racun, dia memakannya.
Makanan di piring ludes dalam waktu cepat dan setelahnya Enggar hanya bisa bersandar di kursi kekenyangan. Lalu terasa reaksi yang aneh. Tubuh Enggar terguling dari atas kursi dan tertelungkup di tanah. Nyenyak.
Di luar rumah tahanan itu, Cakrawaja dan Haryo sedang berjalan menuju ke rumah Tumenggung Sukmo yang ada di pusat Mertabumi, sekitar dua kilometer dari tempat mereka sekarang.
“Kau yakin dia tidak akan kabur?” tanya Cakrawaja.
“Dia sudah makan obat tidurnya. Satu piring dihabiskannya, dia akan bangun besok malam. Itu akan menghemat energi kita untuk tidak menguatirkannya,” ujar Haryo, menghela napas panjang.
“Kita tidak mengkuatirkannya atau kau tidak mengkuatirkannya?” tanya Cakrawaja dengan seringai aneh.
Haryo meliriknya. “Apa maksudmu?”
“Kupikir kau tidak pernah peduli dengan gadis manapun. Kau sudah berubah sekarang karena dia? Hahaha. Kau memilih gadis yang salah, Haryo. Puteri Anggoro adalah kekasih Pangeran Palawa dan dia akan kembali dari negeri seberang beberapa minggu lagi.” Cakrawaja tampak senang.
“Cakrawaja, ingat tujuan kita semula. Kamu akan dapat nama baik dan orang tuamu akan mengembalikanmu ke daftar penerima warisan kalau kita bisa mengungkap misteri pembunuhan Sukmana. Jadi, jangan merusaknya dengan mengusik urusan pribadiku atau kubawa Eng...Anggoro pergi dan kamu tidak mendapat apa-apa.”
Cakrawaja tersenyum sinis. Biarkan saja Haryo berpikir dia melakukannya untuk mendapatkan nama baik. Haryo tidak tahu kalau Cakrawaja punya rencana lain. Sekali tepuk dua nyamuk mati.   
***

Mereka bertiga duduk semeja. Dalam suasana formal, biasanya Tumenggung Sukmo akan berada di meja lain karena kedudukan kedua orang di hadapannya lebih tinggi darinya. Tapi untuk malam ini itu bukan masalah.
“Apa yang hamba bisa bantu, Tuanku? Malam-malam begini Tuanku berdua datang ke rumah hamba pasti ada hal yang penting,” kata Tumenggung Sukmo kepada Cakrawaja dan Haryo.
“Maaf mengganggu tidurmu, Tumenggung Sukmo. Kami kebetulan saja lewat dan mampir. Sebenarnya besok pagi kami ingin kesini, tapi nampaknya semakin cepat semakin baik. Istana ingin mengetahui bagaimana kelanjutan dari kasus Puteri Anggoro,”  kata Haryo.
Tumenggung Sukmo mendongakkan wajah. “Maksud, Tuanku? Kasus itu sudah selesai, tidak ada kelanjutan. Puteri Anggoro sempat melarikan diri saat hendak dihukum mati, tapi dia sudah diketemukan.”
“Dalam keadaan terbakar?” sahut Cakrawaja. “Bukannya itu sedikit aneh?”
“Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, kami hanya menemukannya dalam keadaan seperti itu. Mungkin dia dan orang yang menolongnya berurusan dengan pihak lain,” kata Tumenggung Sukmo dengan senyum meyakinkan.
“Bagaimana kau yakin itu Anggoro, Tumenggung?” Haryo meneguk minuman yang disuguhkan. “Bagaimana kamu bisa mengenalinya dengan kondisi yang seperti itu?”
“Cincin yang dikenakan. Ya. Dia mengenakan cincin yang tidak mungkin orang lain punya. Cincin dari Pangeran Palawa. Puteri Anggoro pernah menceritakan soal cincin itu,” jawab Tumenggung Sukmo sambil berdehem.
“Kamu menyimpannya?” lanjut Haryo.
Tumenggung Sukmo sedikit merubah posisi duduknya. “Tidak, kami menguburnya bersama dengan Puteri Anggoro.”
“Jayengwangsa sudah kembali ke Mertabumi?” tanya Haryo. Tumenggung Sukmo menggeleng. “Puteri Anggoro sudah ditemukan, untuk apa kamu tetap meminta Jayengwangsa meneruskan pencarian?” kejar Haryo.
Tumenggung Sukmo menyeruput minumannya sebelum menjawab. “Hamba menyuruhnya untuk menyelesaikan tugas lain. Si penculik masih jadi buronan. Dia harus ditangkap untuk bisa mengorek informasi siapa yang menyuruhnya. Hamba mencurigai penculikan Puteri Anggoro bermuatan politis.”
Pinter juga nih Tumenggung ngeles. Cakrawaja hendak bicara, tapi Haryo mencegahnya. “Tumenggung Sukmo, kami ingin mengajakmu ke suatu tempat, menemui seseorang.”
“Sekarang, Tuanku?” Tumenggung Sukmo menatap Haryo dan Cakrawaja bergantian. Ajakan Haryo nampaknya mempunyai maksud lain dari hanya sekedar mengajak pergi. “Boleh saya mengajak Jayengwira?” Pertanyaannya dijawab anggukan oleh Haryo. Tumenggung Sukmo pamit ke belakang dan kembali bersama Jayengwira. Mereka berempat pergi dengan kuda masing-masing, menuju tempat Enggar ditahan.
Mijil sedang keluar dari rumahnya ketika melihat mereka lewat. Pangeran Haryo ada di Mertabumi lagi, mencurigakan. Apalagi bersama-sama dengan Tumenggung Sukmo dan Pangeran Cakrawaja. Mijil diam-diam mengikuti kemana rombongan itu pergi.
Tidak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah paling ujung di Mertabumi. Tumenggung Sukmo dan Jayengwira saling melihat, menebak-nebak maksud dari dua pangeran itu membawa mereka ke sana. Haryo dan Cakrawaja turun dari kuda, diikuti Tumenggung Sukmo dan Jayengwira.
“Kau tahu rumah siapa ini?” tanya Cakrawaja.
“Ini rumah Ki Waji. Sudah sebulan kosong. Hamba tidak tahu Tuanku berdua menginap di sini. Kalau Tuanku berkenan menginap di tempat hamba.”
“Itu tidak penting,” kata Haryo. “Silahkan masuk.” Haryo mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju ke sebuah kamar dengan pintu terkunci. Haryo membuka pintu itu.
Tumenggung Sukmo dan Jayengwira tersentak ketika melihat sosok gadis yang terbaring di atas balai-balai, tertidur lelap. Meskipun dandanannya berbeda, tetapi wajahnya amat mereka kenal.
“Itu...Itu...” Tumenggung Sukmo kesulitan untuk meneruskan kata-katanya.
“Puteri Anggoro.” Cakrawaja yang menjawab. “Dia masih hidup.”
Muka keduanya pucat. Haryo bisa melihat tangan mereka gemetaran. “Bagaimana mungkin Puteri Anggoro masih hidup?” tanya Tumenggung Sukmo.
“Tumenggung Sukmo, ada yang mau kamu ceritakan pada kami sebelum kami memberimu banyak pertanyaan?” tanya Haryo yang mempersilahkan mereka keluar dari kamar itu.
“Jadi siapa yang meninggal dalam keadaan terbakar itu, Jayengwira? Kau yang menemukannya kan? Kalau ini Puteri Anggoro, jadi siapa yang kau temukan?” tanya Tumenggung Sukmo pada Jayengwira.
“Kakang, aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin ada dua orang yang sama. Yang terbakar itu benar-benar Puteri Anggoro. Cincin yang dikenakannya adalah milik Puteri Anggoro.” Jayengwira nampak kebingunan. “Tuanku, dimana Tuanku menemukan Puteri Anggoro ini?”
“Tidak penting bagaimana kami menemukannya. Ada yang tidak beres dengan kasus ini sejak awal. Aku membawa perintah dari istana untuk menyelidiki ulang kasus pembunuhan Sukmana. Puteri Anggoro kemungkinan hanya dijebak. Aku akan membawanya ke istana untuk mendapatkan pengadilan.” Haryo menatap Tumenggung Sukmo tajam.
“Tapi kejadiannya sudah jelas. Puteri Anggoro membunuh anak hamba.”
“Itu akan kita lihat lagi, Tumenggung Sukmo. Aku diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Aku akan minta bantuanmu menghadirkan saksi-saksi untuk menemuiku. Setelah kamu kembali ke rumah, buatlah daftar nama-nama siapa saja yang ada pada hari pembunuhan itu, serahkan padaku dan aku akan memanggil mereka satu per satu. Mengerti?” perintah Haryo.
“B..baik, Tuanku.” Tumenggung Sukmo dan Jayengwira berpamitan pada Haryo dan Cakrawaja. Mereka pergi dengan keresahan di wajah mereka.
“Kau diberi wewenang istana untuk menyelidiki ulang kasus ini?” tanya Cakrawaja. “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Sekarang kamu sudah tahu.” Haryo masuk kembali ke dalam rumah dan mengecek keadaan Enggar. Sebentar lagi mungkin dia akan sadar.
Cakrawaja mengepalkan tangan, kesal pada Haryo Tindakan Haryo memaksanya untuk menemui seseorang agar rencananya tidak terganggu.
***

Mata Enggar tidak berkedip menatap Haryo. Bukan dengan pandangan penuh kekaguman seperti biasanya, tapi pandangan sebal luar biasa. Orang yang selama ini dipikirnya baik, ternyata punya udang di balik tepung.
“Apa kamu tidak akan bicara padaku sama sekali? Aku tidak mendengar suaramu dua hari ini. Padahal biasanya kamu...” Haryo tidak meneruskan kalimatnya karena Enggar melengos. “Maafkan aku, Enggar, tapi aku harus melakukan ini untuk menyelesaikan tugasku. Dan itu akan membantumu juga untuk terbebas dari masalah yang sebenarnya memang tidak ada hubungannya denganmu sebagai Enggar, tapi terkait erat denganmu sebagai Anggoro. Kehadiranmu di sini akan membongkar apapun yang direncanakan oleh orang-orang tertentu pada kerajaan Majapahit. Rencana yang tidak baik.”
Haryo mendekat ke balai-balai tempat Enggar duduk, tapi Enggar menggebrak balai-balai itu. Haryo nggak jadi mendekat.
“Seharusnya aku memberitahumu sebelum membawamu kemari. Tapi aku sudah pernah mencoba mengajakmu kesini kan? Waktu kita makan ikan bakar di sungai?” Haryo tersenyum, tiba-tiba saja teringat saat Enggar kejebur. “Seperti yang pernah kamu bilang, membawamu ke istana untuk bertemu Pangeran Palawa dan Hakim Jogoroso akan percuma saja, karena kamu bukan Puteri Anggoro. Dan tujuan Barata membawamu menemui Mpu Soma untuk mendapatkan cara kembali ke masa depan juga tidak membuahkan hasil. Daripada tidak ada hal yang bisa dilakukan, kamu lebih baik kubawa kemari dan menuntaskan masalah utama yang terkait denganmu sebagai Anggoro. Aku akan menanyai orang-orang yang ada di tempat kejadian dan menyelidiki beberapa hal. Kehadiranmu di sini sudah menciptakan riak di danau yang tenang. Tidak lama lagi suasana akan bergolak. Semakin cepat kasus ini selesai, semakin baik, karena kamu akan bisa konsentrasi untuk mencari jalan pulang, tanpa harus dikejar-kejar mereka lagi. Orang-orang yang ingin mencelakaimu kemungkinan besar akan mendatangimu. Jangan takut, aku menempatkan beberapa orang kepercayaanku untuk menjagamu di sini, kamu tidak perlu kuatir.”
Kata-kata Haryo sungguh terdengar manis di telinga Enggar, tapi menyadari dia digunakan sebagai umpan, Enggar emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan mendatangi Haryo, lalu meninju dada laki-laki itu. Haryo spontan menghindar, sehingga tangan Enggar mendarat di dinding. Enggar jongkok sambil meniupi tangannya agar rasa panasnya berkurang.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Haryo meraih tangan Enggar dan mengelusnya lembut. “Sakit?” tanya Haryo. Enggar mau menyemprot Haryo dengan banyak kata, tapi mata Haryo menguncinya. Dia sepertinya sungguh-sungguh kuatir padanya. Sesaat Enggar meleleh.
Enggar membuka pintu kamarnya dan mendorong Haryo keluar sebelum dia luluh. Dibantingnya pintu itu keras-keras saat Haryo sudah berada di luar. Enggar tidak mau berurusan dengannya.
Gadis itu menuju pojok ruangan, menempelkan tubuhnya ke dinding. berpikir keras kenapa harus terkirim ke Majapahit, “menjadi” Puteri Anggoro yang terlibat pembunuhan, terkait dengan sebuah “rencana” yang dia sama sekali tidak tahu.
Enggar membalikkan badan lalu tubuhnya melorot hingga jongkok. Mau menangis, tapi air matanya tidak keluar. Sudah mencoba mengerjapkan mata berkali-kali dan terisak-isak palsu, masih saja tidak berhasil.
Rencana pada Majapahit. Rencana yang tidak baik. Rencana apa? Singo Abang pernah menyebut hal itu juga, jadi kemungkinan besar memang ada sebuah rencana. Enggar mengerutkan dahi, mengingat-ingat apa yang sudah diketahuinya tentang sejarah Majapahit yang terhubung dengan nama-nama seperti Anggoro, Sukmo, Cakrawaja, Jayengwira dan sebagainya. Tidak, dia tidak tahu.
Pemberontakan Ranggalawe, Sora, Nambi, Ra Kuti, Enggar menduga-duga kemungkinan yang disebut rencana itu adalah rencana pemberontakan. Tapi pemberontakan yang dipikirkannya sudah terjadi.
Suara guntur menggelegar, mengagetkan Enggar. Dia buru-buru bangun dan naik ke atas balai-balai. Udara dingin menyelusup masuk. Enggar duduk memeluk kakinya. Pintu ruangan itu terbuka. Haryo datang membawa selimut. Dia tahu Enggar masih marah, jadi Haryo hanya meletakkan selimut itu di balai-balai, lalu pergi lagi. Enggar mengambil kain tebal itu dan membungkus dirinya.
Sesuatu terjatuh di samping Enggar. Sebuah keris kecil, kemungkinan diselipkan di lipatan kain. Enggar mengambilnya. Apa Haryo sengaja memberikan padanya untuk melindungi diri? Enggar memandang pintu dan keris kecil itu bergantian. Dia akan menyimpannya.
Kantuk tidak memberi kesempatan pada Enggar untuk meneruskan usahanya mencari jawaban. Dia terlelap, tepat saat seseorang meniupkan asap dari bambu kecil yang diselipkan ke lubang dinding.

*** 

No comments: