Friday, December 16, 2016

Gandrung #11

Singo Abang mondar-mandir di halaman klinik. Sesekali dia melihat ke arah pintu gerbang, menanti kedatangan Haryo dan Enggar. Sudah sore begini belum muncul juga.
Jambul Abang mondar-mandir tak jauh dari Singo Abang. Sengaja atau tidak sepertinya monyet menirukannya. Orang-orang di pendopo klinik saling berbisik dan tersenyum melihat kedua makluk itu.
“Apa kamu liat-liat?” bentak Singo Abang pada si monyet yang mulai membuatnya senewen. “Tidak tahu apa orang sedang pusing?”
“Nakmas Barata.” Pak Susatra memanggil Singo Abang. “Mbah So sudah tiba. Mari saya antar menemuinya.”
“Beliau sudah datang?” Singo Abang ragu sesaat, mau menunggu Enggar pulang dulu atau menemui Mpu Soma. Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Pak Susatra ke belakang.
Mereka berjalan melewati semua kompleks bangunan, menuju ke hutan kecil setelah kebun buah. Di hutan kecil itu ada sebuah pondok yang sering dipakai Mpu Soma untuk menyendiri bila sedang tidak ingin diganggu oleh kegiatan di kediamannya. Biasanya juga beliau meracik obat-obat baru di situ. Pak Susatra meninggalkan Singo Abang setelah mempersilahkannya masuk.
Hal pertama yang dilihat oleh Singo Abang begitu memasuki pondok adalah sebuah meja besar berukuran hampir dua setengah meter kali satu setengah meter yang ada di tengah ruangan. Di atas meja itu ada berbagai macam botol, cawan, mangkok, kendi, guci dari keramik, perak maupun dari gerabah. Benda-benda gerabah dari tanah liat didapatkan dari sekitar sini saja, dibuat sendiri oleh beberapa penduduk desa, sedangkan benda-benda dari keramik dibeli dari pedagang dari Cina di kota.
Singo Abang melihat keranjang-keranjang kecil berisi berbagai macam biji-bijian, daun-daunan, kulit dan akar kering. Ada juga beberapa macam serbuk berwarna yang ditempatkan di wadah seperti toples. Semua tertata rapi.
Di dinding sebelah kanan meja terdapat rak-rak berisi lembaran-lembaran daun kajang yang disusun sedemikian rupa. Daun kajang merupakan media untuk menulis, seperti halnya kertas. Hanya saja menulisnya tidak menggunakan tinta tapi dengan pisau tajam sebagai pena. Jadi rak itu berfungsi sebagai rak buku. Selain daun kajang, ada juga lembaran kulit hewan yang digulung, yang juga digunakan untuk media menulis atau menggambar.
Ada beberapa alat yang diletakkan di sisi kiri meja. Sebagian besar terbuat dari logam, berupa penjepit, pisau, gunting, kaki untuk meletakkan wadah, penyaring, sesuatu berbentuk seperti penggorengan dan peralatan lain. Beberapa lampu minyak ada di meja itu pula.
“Sudah berapa tahun kamu tidak main ke sini, Barata? Kupikir kamu sudah lupa menengok orang tua ini.” Seseorang keluar dari ruangan di belakang ruang kerja itu. Singo Abang langsung mendekati orang tersebut dan memeluknya erat seperti cucu kepada kakeknya yang sudah lama tidak bertemu.
Mpu Soma masih seperti dulu meskipun rambutnya sekarang benar-benar putih semua. Rambutnya panjang sebahu diikat dengan rapi dan jenggotnya bahkan lebih panjang. Ikat kepala yang digunakan juga berwarna putih, sebagaimana pakainannya.
“Mpu Soma sehat?”
“Ya, beginilah. Harus sering jalan-jalan ke gunung biar tetap segar. Bagaimana keadaanmu? Masih belum selesai menghadapi badaimu?” tanya Mpu Soma dengan senyum penuh arti. “Ketika kamu memutuskan untuk keluar dari rumah, aku senang. Meski mungkin sebelumnya tujuanmu untuk melupakan sesuatu, tapi banyak hal terjadi di luar, yang aku yakin sedikit demi sedikit telah mengubahmu. Kalau tidak, kamu tidak akan berada disini.” Mpu Soma mengeluarkan sebuah tas yang terbuat dari kulit kambing. Di dalamnya ada berbagai macam dedaunan, akar, buah, bunga, kulit pohon, getah, bahkan tanah.
“Mpu, saya membutuhkan bantuan Mpu.”
“Hahaha. Kamu masih seperti dulu, tidak pakai basa-basi. Kalau begitu kita jalan-jalan dulu sebentar di sekitar sini, sambil mencari madu. Ayo.”
Mpu Soma mengajak Singo Abang keluar dari pondok dan mereka berjalan di hutan itu. Sambil jalan Singo Abang menceritakan tentang kejadian di Mertabumi, keadaan Puteri Anggoro dan “munculnya” Enggar dari negeri antah berantah. Mpu Soma mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Jadi, bagaimana menurut Mpu?” tanya Singo Abang.
“Menurutku, kamu harus membantuku mengambilkan madu di atas pohon itu. Cukup berbahaya, tapi itu madu terbaik. Hati-hati dengan sengatan lebahnya. Aku tunggu di sini. Naiklah ke atas sana.”
Kita tinggalkan dulu Singo Abang dengan tugasnya. Di depan sana, tampak dua orang memasuki gerbang. Haryo dan Enggar. Mereka tadi keluar tanpa membawa kuda, karena kuda Haryo menolak siapapun kecuali si empunya. Dan Enggar belum bisa naik kuda sendiri.
Jambul Abang menyambut. Tatapan matanya mengarah ke Enggar, begitu menurut perasaan Enggar. Setiap Enggar melangkah maju, si Jambul juga begitu. Enggar ke kanan, dia menghadang. Enggar ke kiri, dia menghalangi.
“Hush...sana! Jauh-jauh sana!” Enggar mengusir-usir Jambul Abang, tapi si monyet cuek saja. “Kenapa sih sama si Jambul nih? Naksir aku ya? Sori, aku sudah ada yang punya tuh!” seru Enggar.
“Siapa?” tanya Haryo.
“Siapa apanya?” tanya Enggar. Tadi dia hanya asal bicara.
“Kekasihmu. Katamu kamu sudah ada yang punya.”
Enggar menoleh. “Mas Haryo, usirin Jambul dong. Dia mau menggigitku deh kayaknya.” Enggar tidak mau menjawab.
“Ayo, kukawal.” Haryo mengulurkan tangan, menanti sambutan Enggar.
“Pangeran Haryo.” Pak Susatra keluar dari klinik dan menghampiri mereka. Jambul Abang menyingkir begitu Pak Susatra datang. “Mbah So sudah turun dari gunung. Saat ini Nakmas Barata sedang menemuinya.”
“Sudah datang? Betul? Asyik. Aku bisa pulang dong. Di mana, Pak, mereka?” Enggar kelihatan bersemangat sekali mendengar berita yang disampaikan Pak Susatra. Mpu Soma sudah ada, berarti ada cara dia bisa kembali ke masa depan. “Di belakang ya?” Enggar berlari meninggalkan Haryo begitu Pak Susatra menunjuk arah belakang.      
Dalam perjalanan menuju hutan, Enggar melihat ada dua orang berjalan melewati bengkel kerja. Yang satu berbaju putih, satunya lagi berbaju hitam. Si baju putih tampak terang benderang karena dari ujung rambut ke ujung kaki putih semua. Bersih bersinar deh. Sedangkan si baju hitam tampak aneh, mukanya bentol besar di beberapa tempat. Tangannya juga. Merah ranum siap dipetik.
Mpu Soma memperlambat jalannya ketika Enggar mendekat. Enggar menghentikan langkahnya saat melihat muka Singo Abang yang jadi abstrak.
“Eh, kenapa, Bang, bengkak-bengkak begitu, habis disengat tawon?” tanya Enggar, mengitari Singo Abang dengan sedikit takjub. Sebanyak itu bentolnya.
“Bertanya apa memastikan?” jawab Singo Abang. Enggar terkekeh, tapi segera terdiam karena wajah Singo Abang jadi galak. “Dia yang aku bilang, Mpu. Namanya Enggar.” Singo Abang memperkenalkan Enggar pada Mpu Soma.
Enggar mengulurkan tangan, mengajak salaman. Mpu Soma menyambutnya. Ini nggak lazim, tapi mungkin itu cara orang di masa depan menyampaikan salam.
“Selamat datang di Majapahit,” kata Mpu Soma. Wajahnya yang damai membuat Enggar merasa untuk pertama kalinya tidak merasa asing. “Sudah kutunggu kedatanganmu.”
“Oh ya? Sanip cerita apa saja sama Mpu?” tanya Enggar.
“Aku sudah menunggumu jauh sebelum Sanip kesini,” kata Mpu Soma penuh arti. Enggar nyengir tidak mengerti. “Sedikit berbeda dari dugaanku, tapi ini memang kamu, Enggar. Hm, matahari sudah hampir tenggelam. Kalian kembalilah dulu ke pondok masing-masing. Nanti malam kita bertemu di pondokku.” Mpu Soma menepuk punggung Singo Abang. Itu cowok mendesis. Yang ditepuk itu salah satu luka sengatannya.
Mpu Soma menganggukan kepala ketika Haryo datang memberi salam. Mereka hanya saling menyapa kemudian berpisah. Haryo hendak mendatangi Singo Abang, tapi orangnya keburu pergi diikuti Enggar.
“Apa yang terjadi padamu, Bar?” tanya Haryo. Dia menyusul Singo Abang dan Enggar. Singo Abang diam saja. “Kenapa, kamu marah padaku? Karena membawa Enggar seharian?”
Singo Abang berhenti mendadak, membuat Enggar yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.
“Aduh.” Singo Abang berbalik. “Jangan menambah kejengkelanku ya. Bentol ini sudah cukup menyebalkan, kamu lagi nambah perkara,” ujarnya.
“Memangnya apa salahku?” tanya Enggar bingung.
“Aku yang membawa Enggar, kamu jangan menyalahkannya. Marah saja padaku,” kata Haryo sebelum Enggar disemprot sama Singo Abang.
“Kamu di sini untuk bersembunyi, untuk mengamankan diri, bukannya plesir jalan-jalan kesana kemari. Mata-mata Sukmo sudah menyebar, juga orang-orang Cakrawaja. Kamu mau mereka mengetahui keberadaanmu? Kalau hanya latihan pedang-pedangan, nggak perlu sampai ke desa. Di sini juga bisa. Kalau hanya mau makan ikan bakar, di belakang juga ada. Mengerti?” Singo Abang melipat kedua tangannya di dada. Kata-katanya serius, apalagi dengan kernyit kesakitan seperti itu. Enggar hanya bisa menelan ludah.
“Hei, aku sudah bilang jangan menyalahkannya,” bela Haryo. Singo Abang sama sekali tidak mempedulikan Haryo, matanya hanya menatap Enggar saja. “Aku hanya ingin Enggar sedikit lebih nyaman. Ini tempat asing...”
“Ini tempat asing, jadi kamu harus lebih berhati-hati. Kamu kesini bukan untuk liburan,” potong Singo Abang. Enggar menggangguk. “Lain kali kalau mau kemana-mana, bilang padaku. Aku yang tentukan kamu boleh pergi atau tidak. Kamu itu tanggung jawabku. Mengerti?”
“Bar, aku juga peduli akan keselamatannya.” Haryo maju lagi.
“Kembali ke pondokmu,” perintah Singo Abang pada Enggar.
“Kau mau ke klinik ya, Bang? Ikut dong,” kata Enggar, berniat menjelaskan yang dilakukannya tadi. Rasanya tidak enak merasakan kemarahan Singo Abang.
“Tidak dengar barusan aku bilang apa?” Singo Abang menahan geram.
“Tanganku agak melepuh setelah latihan seharian, aku mau diobati juga. Mas Haryo, aku ke klinik dulu sama Bang Singo ya. Dadah.” Enggar berjalan mendahului Singo Abang. Ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Singo Abang berjalan lambat, Enggar menggerakkan tangannya, menyuruh laki-laki itu menambah kecepatan.
Haryo berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. Sepertinya tidak akan semudah itu membawa Enggar pergi dari Singo Abang. Tapi justru ini akan lebih seru.
“Sori, Bang. Maaf deh kalo Bang Singo marah. Sudah dong jangan monyong begitu, tambah abstrak mukanya. Aku kan ngikutin nasehat Abang untuk mulai berlatih pedang dan membela diri. Aku tahu aku nggak boleh sembarangan pergi, tapi kan aku nggak sendiri. Lagian tadi latihannya di tempat yang sepi kok, nggak menarik perhatian. Eh, tunggu dulu. Kok Abang tau sih kami latihan pedang, makan ikan bakar? Bang Singo emang tadi nyusul kesana? Di sebelah mana, kok aku nggak ngeliat?”
Dunia milik berdua begitu mana bisa liat yang lain, batin Singo Abang. Kalau Enggar ada di istana dia yakin gadis itu pasti bergabung menjadi anggota kelompok pemuja Haryo. Singo Abang mempercepat jalannya, membuat Enggar harus berlari untuk mengejar. Tapi langkah Enggar terhenti karena ada Jambul Abang di halaman pendopo.
 “Mbul, kekasihmu datang,” kata Singo Abang pada Jambul Abang. Dia naik di pendopo, sementara Enggar membatu di halaman. Jambul Abang sudah mengunci jalannya.
Enggar menyeringai pada Singo Abang, tapi laki-laki itu pura-pura tidak ngeliat. “Jambul, kita gencatan senjata dulu ya. Peace deh, peace.” Enggar angkat kaki perlahan.
Jambul Abang tiba-tiba menerjang. Enggar berteriak sambil menutup mukanya. Pasrah lah kalau nasibnya harus dimakan monyet.
Lho, kok tidak terasa ada cakaran atau gigitan di tubuhnya. Enggar membuka jari-jari tangannya dan melihat ada seseorang berdiri di depannya. Dilihatnya ke arah bawah, Jambul Abang terkulai di tanah. Masih hidup, tapi tampak lemas. Jangan-jangan Singo Abang menotoknya.
“Lagi-lagi menutup mata setiap ada yang menyerang. Kamu tidak belajar dari pengalaman. Kalau kamu tidak membuka mata, mana bisa tahu dari arah mana dan kapan serangan akan datang? Kecuali kalau indra pendengaranmu sudah terlatih. Diserang dengan pedang, merem. Diserbu monyet, merem juga. Mana hasil latihanmu seharian?” Singo Abang menurunkan kedua tangan Enggar dari mukanya. “Cepat ke pendopo, aku akan membebaskannya.”
Tanpa dibilangin dua kali Enggar lari ke pendopo. Singo Abang melepaskan totokannya dan monyet itu langsung bergerak-gerak, berlari menjauh.
“Kenapa aku saja sih yang diincarnya?” tanya Enggar setelah Singo Abang menyusul ke pendopo.
“Dia mungkin merasakan ada yang tidak semestinya pada Den Enggar,” kata Pak Susatra yang sudah ada di sebelah Enggar. “Jambul Abang ini monyet betina, tidak begitu suka dengan keberadaan perempuan muda. Tapi Den Enggar kan laki-laki ya. Saya juga bingung.”
“Pak, bisa minta tolong aku diberi obat untuk luka sengatan ini, lama-lama makin perih.” Singo Abang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Pak Susatra penasaran dengan Enggar karena semakin sedikit yang tahu Enggar semakin baik.
Singo Abang mendapatkan perawatan dari Pak Susatra sementara Enggar menungguinya. Tangannya diobati kemudian.
“Masih marah kah, Bang?” tanya Enggar saat mereka meninggalkan klinik. “Iya deh, aku janji kalau kemana-mana bilang dulu sama Abang. Tadi itu spontan saja perginya. Di desa ini keadaannya tenang banget, damai, jadi aku nggak kepikiran ada orang-orang jahat yang mengincarku. Lagian ada Mas Haryo.”
“Kamu baru mengenalnya, tapi sudah begitu dekat dengannya.” Terdengar nada protes dari suara Singo Abang.
“Lho, dia kan teman Abang. Dia juga pernah menyelamatkanku. Wajar lah.”
“Ketika baru mengenalku, kamu mati-matian berusaha melarikan diri dariku. Sikapmu berbeda sekali dengan saat bertemu Haryo pertama kali. Apa karena si Haryo bertampang lelaki baik hati, bersih, rapi dan tampan, sedangkan tampangku yang seperti perampok, beruang. Apa lagi julukan yang kamu berikan untukku? Pembantu? Pengangguran?” Singo Abang mencoba mengingat-ingat daftar yang pernah diucapkan Enggar.
“Ampun...ampun..” Enggar mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala. “Maaf, Bang, maaf. Bercanda itu. Nggak serius. Waktu itu aku mau lari dari Abang karena masih syok. Terlempar ke jaman ini bikin depresi. Apalagi ketemu sama Abang yang tampangnya...” Enggar segera menutup mulut.
“Jadi kalau wajahku bersih, bajuku rapi, senyumku ramah seperti Haryo kamu tidak akan lari?” tanya Singo Abang, penasaran.
“Nah, ngomongin senyum, kenapa sih Bang Singo nggak pernah senyum?”
“Jawab dulu. Apa kalau aku seganteng Haryo kamu tidak akan lari?”

***

No comments: