Monday, November 14, 2016

Gandrung #9

Enggar dibawa ke sebuah warung paling besar di pasar. Di warung itu hanya ada prajurit kerajaan dan pemimpinnya. Sesuai petunjuk Singo Abang, Enggar menundukkan kepala dalam-dalam begitu dihadapkan pada Cakrawaja. Dia juga berlutut dan menghaturkan sembah.
“Kita bertemu lagi, Anak gunung. Kau tidak menatapku seperti waktu itu, kakakmu sudah mengajarimu bagaimana berhadapan dengan seorang bangsawan kerajaan ya? Bagus.” Cakrawaja mendekati Enggar. Terlalu dekat. “Berdirilah. Ayo, berdiri. Aku yang menyuruhmu. Tidak perlu ragu, justru kau harus mematuhinya. Angkat kepalamu,” perintah Cakrawaja. Enggar menurut.
Cakrawaja tersenyum. “Kemana tujuanmu? Kenapa bisa sampai kemari? Jawablah.” Mata Cakrawaja tak lepas memandang wajah di hadapannya yang semakin lama semakin terlihat cantik.
“Berkunjung ke rumah saudara, Tuanku,” jawab Enggar mengarang. Debaran jantungnya semakin tidak beraturan. Dia menduga Cakrawaja sudah mencurigainya sebagai perempuan.
“Kau sudah pernah ke kotaraja? Tentu saja belum, kau kan baru turun gunung. Kotaraja itu tempat yang indah. Pasarnya jauh lebih ramai dan besar dibandingkan tempat ini. Kau bisa membeli apa saja di sana. Semangka, manggis, durian, berbagai macam buah-buahan. Kau bisa membeli pakaian yang lebih bagus, sandal yang lebih bermutu, apapun kebutuhanmu tersedia. Kau berminat pergi ke sana?” pancing Cakrawaja.
“Itu terserah kakak hamba, Tuanku.” Enggar berusaha membuat suaranya terdengar lebih dalam.
Cakrawaja mengulurkan tangan, memegang pundaknya. “Kau sudah besar, kau tidak perlu dia. Bagaimana kalau kau ikut ke kotaraja, bekerja padaku. Kerajaan sedang membutuhkan tenaga segar sebagai prajurit. Gajinya lumayan.”
 Bulu kuduk Enggar berdiri. “Ampun, Tuanku, hamba jadi petani saja.” Kepalanya ditundukkan. Badannya gemetaran.
“Jangan begitu. Menjadi prajurit itu adalah tugas mulia. Mengabdi pada kerajaan. Kupikir kau cukup memenuhi syarat. Orang gunung adalah pekerja keras. Otot mereka terbentuk sejak kecil.” Cakrawaja mengambil pedang dari salah satu prajuritnya. Pedang itu diberikan pada Enggar. “Coba pegang pedang ini. Pegang!” bentaknya.
Enggar terpaksa memegangnya, dengan tangan bergetar.
Cakrawaja mengambil satu pedang lagi. Dengan gerakan tiba-tiba dia mengayunkan perang ke Enggar. Kalau Enggar adalah perempuan seperti dugaannya, dia akan menjerit dan berjongkok atau mungkin malah pingsan.
Ting!! Suara pedang beradu.
Tubuh Enggar seolah membeku. Matanya terpejam pasrah.
Tidak ada rasa sakit di tubuhnya, berarti dia tidak apa-apa. Lalu suara pedang beradu itu milik siapa? Perlahan Enggar membuka matanya, meski pandangannya tetap ke arah ujung kakinya. Ada seseorang berdiri di depannya.
“Jangan mempermalukan diri dengan menakuti anak kecil, Cakrawaja.”
Itu suara Haryo! Sontak Enggar langsung membuka mata lebar-lebar dan menengadahkan kepala. Raut wajahnya terkejut dan tegang, matanya merem lagi karena gentar.
Ternyata ada banyak ujung pedang terhunus ke arahnya dan Haryo. Prajurit-prajurit Cakrawaja sudah mengepung, siap menyerang. Satu kode saja dari Cakrawaja pasti sudah terjadi pertarungan. Untung kode yang diberikan adalah kode untuk menurunkan senjata.
“Pangeran Haryo, tidak menyangka bertemu kau di sini.” Suara Cakrawaja terdengar menahan geram.
Mata Enggar terbuka lagi, memandang Haryo dengan kagum.
Tampan, kaya, pangeran pula. Kualitas yang tidak bisa dianggap remeh.
“Kebetulan saja aku lewat. Kulihat panji-panjimu, jadi kuputuskan untuk mampir menyapa. Siapa bocah laki-laki ini? Dia mengganggumu?” tanya Haryo sambil melirik Enggar. Senyum maut Haryo hanya sedetik, tapi sudah mampu membuat perut Enggar melilit.
“Apa yang kau lakukan di tempat ini?” tanya Cakrawaja gusar.
“Aku mencari buronan.” Haryo merangkul Cakrawaja sembari membawanya menjauh dari Enggar. “Ini buronan nomor satu. Kalau berhasil menangkapnya, namaku akan makin terkenal. Kecuali kalau kamu yang menangkapnya dulu.”
“Buronan?”
“Iya.” Haryo membawa Cakrawaja duduk. “Hei, apa kamu akan membiarkan bocah itu terus di sini? Suruh pergi saja dia. Kalau dia mendengar informasi yang akan kusampaikan padamu, akan banyak saingan nanti. Tidak seru lagi.”
Cakrawaja tidak segera bertindak. Tampaknya dia keberatan dengan permintaan Haryo untuk mengusir “bocah” itu. Tapi karena Haryo terus mendesaknya dengan sikap tubuhnya yang mengintimidasi, akhirnya Cakrawaja memberi isyarat agar prajuritnya membawa Enggar keluar.
“Aku mencurigai bocah itu seorang perempuan. Aku rasa aku pernah melihat wajahnya,” kata Cakrawaja. Matanya masih mengawasi Enggar.
Haryo menoleh ke arah Enggar yang sudah digiring melewati pintu. “Dia perempuan? Jangan mengada-ada. Kalau dia perempuan pasti sudah menjerit-jerit tidak karuan saat kamu mengayunkan pedangmu.” Haryo menuangkan minuman untuk Cakrawaja.
“Garis wajahnya terlalu lembut untuk ukuran laki-laki,” gumam Cakrawaja. “Mencurigakan. Tidakkah kau lihat tangannya yang halus? Itu bukan tangan petani.”
“Astaga, untuk apa aku memperhatikan tangan bocah laki-laki segala, seperti tidak ada urusan yang penting saja. Cakrawaja, aku mau bicara serius. Lupakan dulu bocah itu. Soal buronan yang kubilang tadi, ilmunya sangat tinggi. Dia bisa membawa kabur narapidana hukuman mati tanpa seorangpun tahu wajahnya. Di dunia hitam pun tidak ada yang mengenalinya sebagai anggota. Kupikir dia orang baru.”
Sementara Haryo mengalihkan perhatian Cakrawaja, di luar Enggar didorong dengan kasar sampai terjerembab ke tanah. Gadis itu buru-buru lari sebelum dapat masalah lagi.
Tanpa berani menoleh ke arah belakang, Enggar berlari kencang ke arah jembatan. Suaranya terpekik saat sepasang tangan tiba-tiba menyambarnya.
“Bang Si..!
Singo Abang membekap mulutnya sebelum Enggar teriak. “Kita pergi sekarang. Disini sudah tidak aman.” Singo Abang membawanya lari ke belakang, ke arah kebun. Sanip sudah menunggu di sana dengan kuda Singo Abang.
Mereka mengambil jalan lain yang jarang dilewati orang agar tidak terpantau anak buah Cakrawaja.
“Apa yang terjadi barusan?” tanya Singo Abang. “Kamu ini memang tidak bisa ditinggal sendirian. Baru menoleh sebentar kamu sudah hilang. Sepertinya memang kamu harus diikat.”
“Emangnya sayuran, diikat?”
“Untung saja Haryo bisa menyelamatkanmu tepat waktu.”
“Mas Haryo memang keren.” Enggar tersenyum penuh arti, membuat Singo Abang mengernyitkan dahi.
“Aku yang menyuruhnya menjemputmu. Kalau aku sendiri yang datang, dramanya akan kepanjangan. Aku tidak mau menarik perhatian lebih besar. Kita harus tetap di bawah tanah sampai kasus ini terang benderang” Singo Abang terlihat tidak terima melihat Enggar terpesona oleh Haryo.
“Bang, sepertinya Pangeran Cakrawaja curiga kalau aku ini cewek. Apa dia pernah bertemu Puteri Anggoro?”
“Ya.” Singo Abang naik ke punggung kuda dan menarik Enggar serta.
“Pantas lah. Penyamaranku kurang canggih ya. Harusnya ditambah kumis palsu biar meyakinkan.” Enggar mengelus wajahnya, membayangkan kalau dia harus pakai kumis atau berewok.
“Jangan aneh-aneh, tambah mencurigakan,” ujar Singo Abang.
“Kok Cakrawaja itu tidak mengenalimu saat bertemu dulu, Bang? Atau karena penampilan Bang Singo berubah total, jadi rimbun seperti beruang, eh, orangutan. Waaaa!” Enggar berteriak kaget karena Singo Abang menggebrak kuda tanpa bilang-bilang. Hampir saja gadis itu terjungkal ke belakang. “Mau membunuhku ya?” Enggar menjambak rambut Singo Abang dengan sewot.
“Aduh!” Singo Abang mengelus kepalanya. “Seenaknya saja kamu memanggilku perampok, pengangguran, beruang, orangutan. Tidak sopan!”
“Habisnya mirip.”
“Mirip gimana? Asal tahu saja, orang-orang menganggapku ganteng,” ucapnya kesal.
“Ganteng itu kayak Mas Haryo tuh. Bersih, rapi, cakep,” kata Enggar memancing emosi Singo Abang. Agaknya berhasil karena dia mendengar lelaki itu menggeram.
“Kau belum lihat saja aku yang sebenarnya.”
“Aku sudah lihat, Bang, kita kan bersama setiap hari. Ekspresi Bang Singo kebanyakan galak dan suram, jadi nggak cakep. Banyakin senyum dong kayak Mas Haryo, biar aura gantengnya keluar dari dalam. Eh, tunggu dulu, kenalan Bang Singo kok pangeran semua ya, apa sebenarnya Bang Singo juga pangeran? Ah, nggak mungkin kayaknya,” ujar Enggar sambil menggelengkan kepala. “Atau asistennya pangeran?”
“Berisik!”
***

Desa Ketanggung tempat Mpu Soma tinggal, terletak di kaki Gunung Penanggungan. Memiliki klinik, sekolah, dan memiliki bengkel kerja pembuatan barang-barang dari logam, Mpu Soma sudah benar-benar mengabdikan dirinya untuk penduduk setempat.
Singo Abang dan Enggar sampai di desa tersebut menjelang matahari tenggelam. Rumah Mpu Soma, atau lebih dikenal sebagai Mbah So, agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, berada paling ujung dan paling tinggi lokasinya. Kebun buah-buahan dan tanaman obat seluas hampir lima hektar mengelilingi kompleks rumahnya.
Rumah pertama setelah pintu gerbang adalah klinik pengobatan gratis. Di belakangnya, berjarak hampir tiga ratus meter adalah sekolah. Ini pun bagi siapa saja, dari anak-anak sampai orang dewasa. Lebih jauh di belakang ada bangunan untuk bengkel kerja, mengolah logam menjadi berbagai macam peralatan.
Tempat tinggal Mbah So sendiri ada di samping sekolah, sedangkan orang-orang yang membantunya mengelola tempat ini ada di sisi lainnya. Ada beberapa pondok kosong yang disiapkan untuk para tamu. Yang datang ke kediamannya bukan hanya berasal dari daerah sekitar, tapi dari tempat jauh. Bahkan orang-orang dari pulau seberang, orang Cina dan Gujarat  juga kadang berkunjung.
“Gile bener, keren kali tempat ini. Asyik buat wisata. Kita akan tinggal di sini ya sementara? Di mana Mpu Soma-nya? Kok nggak ada yang menyambut kita sama sekali sih?” tanya Enggar.
Singo Abang turun dari kuda tanpa menjawab pertanyaan Enggar. Mereka sudah memasuki halaman klinik. Beberapa orang terlihat duduk-duduk di pendopo. Ada juga yang berbaring. Seseorang memanggil nama mereka dan yang dipanggil masuk ke salah satu ruangan.
“Permisi, Mbah So ada, Pak?” tanya Singo Abang pada seseorang berpakaian putih yang sedang menyapu halaman.
“Mbah So masih di gunung mencari tumbuh-tumbuhan obat, Nakmas. Mungkin besok malam baru kembali. Ada keperluan apa ya? Kalau mau berobat silahkan ke pendopo.”
“Bapak mengenal Sanip?” tanya Singo Abang.
“Sanip?” Si bapak termangu sesaat. Dilihatnya baik-baik pemuda di hadapannya, lalu diingatnya ciri-ciri pangeran yang akan datang kesini seperti yang disebutkan oleh Sanip. “Oh, maafkan hamba tidak mengenali anda, Tuanku.” Lelaki setengah baya itu langsung jongkok dan menghaturkan sembah. “Hamba, Susatra,  akan mengantar Tuanku ke belakang untuk beristirahat. Mbah So sudah berpesan pada kami untuk melayani semua kebutuhan Tuanku.”
Singo Abang buru-buru menarik bapak itu agar berdiri sebelum Enggar bertanya macam-macam. Untung saja dia lagi sibuk mengamati seekor monyet yang duduk santai di atas pagar.  
“Panggil nakmas saja dan tidak perlu menyembah segala. Oh ya, itu adik saya, Enggar.” Singo Abang menoleh ke arah Enggar. Pak Susatra tampak heran melihat Enggar yang lari karena dilempari buah-buahan oleh monyet itu.
“Hus, Jambul Abang, tidak boleh!” teriak Pak Susastra kepada monyet itu. “Maaf, biasanya Jambul Abang tidak pernah nakal seperti itu, Nakmas... Siapa saya harus memanggil Nakmas?” Pak Susastra menunggu Singo Abang menyebutkan namanya.
Singo Abang hendak menyebut nama samarannya, tapi diurungkan. Dikira meniru nama Jambul Abang. “Barata.” Singo Abang menyebutkan nama aslinya. “Pak Susatra, dimana aku harus menyimpan kudaku?”
“Biar Markun yang akan membawa kudanya ke belakang. Markun!” Pak Susatra memanggil seorang pemuda yang sedang menyapu di bagian samping pendopo. Markun datang dan segera melaksanakan tugas. “Pondok Nakmas yang nomor tiga, adik Nakmas di nomor empat.”
“Terima kasih, Pak Susastra.” Singo Abang melambaikan tangan ke arah Enggar, memintanya mendekat.
“Monyetnya tidak suka padaku,” bisik Enggar pada Singo Abang. “Ternyata nama yang ada ‘Abang’nya memang tidak berjodoh denganku,” kata Enggar, terkekeh. Tawanya terhenti seketika karena Singo Abang menyentil dahinya cukup keras.
“Ayo jalan,” perintah Singo Abang yang sudah beberapa langkah di depannya.
Enggar berlari kecil menyusul Singo Abang yang mengambil jalan setapak di samping kiri klinik. Sambil berjalan beriringan, Enggar mengamati pemandangan di sekitarnya.
“Tempat Mpu Soma bisa buat acara outbond nih, Bang. Asri banget. Tinggal nambah restoran aja biar pengunjung makin betah. Pak Bogar bisa jadi chef-nya,” ujarnya ceria.
“Sudah berapa kali kubilang, jangan menggunakan kata-kata yang aneh, aku tidak mengerti. Apa itu outbond, apa itu chef. Kau ini ada di jaman Majapahit, berlakulah seperti orang Majapahit. Banyak telinga di sekitar kita, hati-hati kalau bicara.  Jangan membuat orang curiga,” kata Singo Abang mengingatkan.
“Iya. Iya, sori. Eh, maaf.”
Kemudian mereka berjalan tanpa suara setelah Enggar meminta maaf.
“Lalu apa artinya?” Singo Abang rupanya tidak betah dengan suasana hening itu.
“Arti apa?”
Outbond dan chef.” Singo Abang berdehem.
Enggar terkekeh. “Hehehe, rupanya mau tahu juga. Rahasia.” Enggar tersenyum penuh kemenangan demi melihat muka penasaran Singo Abang. Lelaki itu menyeringai sebal.
“Hei, kamu mau apa mengikutiku terus? Pondokmu di sebelah sana.” Singo Abang menunjuk ke pondok yang ada di sebelah pondoknya saat mereka sudah tiba di tujuan. “Jangan membuat keributan ya. Jangan juga menggangguku, aku mau istirahat dengan damai. Sana!”
“Iya iya. Eh, Bang, ntar kalo Mpu Soma pulang kasih tahu aku ya.”
Singo Abang hanya menjawab dengan acungan tangan mengarah ke pondok, menandakan Enggar disuruh buruan ke sana dan tidak mengganggunya. 
***

Kabut masih menggantung di udara ketika Enggar mendengar suara orang-orang berseru setelah pada hitungan tertentu. Dibukanya pintu pondok dan dilongokkannya kepala keluar. Hawa dingin menyergapnya, membuat Enggar mengigil. Digosok-gosokkannya kedua tangannya, kemudian letakkan di wajah kemudian ke telinganya. Sehabis subuhan tadi dia meringkuk lagi di balik selimut dan terbangun dengan suara-suara itu.
Ada sekitar dua puluh orang laki-laki, sebagian besar masih remaja berada di lapangan di depan sekolah. Di udara sedingin ini mereka bertelanjang dada dan berbaris sambil melakukan gerakan-gerakan pencak silat. Pak Susatra yang ada di luar barisan sesekali memperbaiki sikap tubuh anak-anak yang kurang tepat.
Enggar menggerak tubuh dan pundaknya, meregangkan otot. Sesekali masih mengigil, tapi berusaha dikurangi dengan meniup kedua tangannya. Dia sudah ada di tepi lapangan sekolah, mengamati kegiatan mereka. Ternyata jaman ini tidak jauh beda sama masa depan.
Berhari-hari berkuda dan sering jatuh membuat badan Enggar terasa loyo. Dia perlu melancarkan aliran darah dengan berolahraga, sekalian mengurangi hawa dingin. Enggar mulai pemanasan untuk senam. Sesekali dia mengaduh, tapi diteruskan juga gerakannya.
Suara teriakan latihan bela diri di tengah lapangan mulai tidak serempak karena sebagian dari mereka memperhatikan apa yang dilakukan Enggar. Beberapa ada yang cekikikan setiap kali Enggar mengaduh kesakitan.
Pemanasan selesai, saatnya latihan inti. Mulailah Enggar melakukan senam kesegaran jasmani, sambil mengumamkan musik pula. Latihan di lapangan sudah benar-benar buyar. Mereka berdiri berjajar menonton Enggar yang gerakannya ganjil. Satu orang menirukan gerakan Enggar, disusul yang lain.
Singo Abang membuka matanya. Dia baru tidur beberapa jam karena semalam menunggu kedatangan Haryo dan Sanip. Dini hari tadi Jandul dan Bogar juga sampai di situ. Baru enak-enaknya merem, di luar ribut sekali.
Dipejamkan matanya lagi. Terdengar suara tawa berderai. Apa yang dilakukan orang-orang itu? Singo Abang mendengus kesal. Dia bangun dari balai-balai dan keluar dari pondok.
Terpampanglah pemandangan ajaib itu. Enggar ada di depan, menari diikuti dua puluh orang murid sekolah ini.
“Suaranya manaaa?” seru Enggar.
“Haaaaa!” teriak mereka kompak saat melakukan gerakan terakhir pendinginan, mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kedua tangan terbentang lebar.
Singo Abang menepuk jidatnya. Parah parah. Anak itu merusak tatanan.
Latihan pagi dibubarkan. Semua kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Enggar mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung tangan. Meskipun masih agak sakit, tapi tubuhnya sudah enakan rasanya sekarang.   
“Kamu belajar ilmu beladiri seperti tadi dari siapa?” tanya Singo Abang yang berdiri tak jauh darinya, menyandar di batang pohon randu.
“Itu bukan ilmu beladiri, itu senam. Olahraga untuk kesehatan badan. Berhari-hari di atas punggung kuda, tubuhku kaku dan sakit. Aku perlu relaksasi, melemaskan otot.”
“Apa itu bisa menolongmu saat menghadapi penjahat bersenjata?”
“Ya jelas nggak lah, gimana sih,” celetuk Enggar santai.
“Jadi mungkin kamu harus belajar bersama mereka berlatih ilmu beladiri, bukannya mengajari mereka senam pagi,” ujar Singo Abang. Enggar menyeringai. Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar, mending ditinggal saja.
Baru tiga langkah Enggar berjalan, tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di tanah, satu jengkal dari kakinya. Enggar berteriak kaget sambil menutup mukanya.
“Di sini banyak orang yang sedang memburumu. Mereka tidak mengenal kasihan. Apalagi kepalamu berharga satu kantong uang emas. Aku tidak mungkin bisa berada di sampingmu sepanjang waktu. Jadi mau tidak mau kamu harus belajar membela diri. Kalau kemampuanmu hanya seperti itu, kamu pasti sudah mati dari tadi.” Singo Abang sudah ada di hadapan Enggar.
“Jangan nyumpahin gitu dong, Bang.”
“Kenapa tidak bilang kalau Cakrawaja memaksamu mengunakan pedang?” Pedang yang tertancap di tanah dicabut oleh Singo Abang. Tatapan matanya tajam menembus ke jantung hati Enggar. Ada kemarahan, tetapi juga ada rasa peduli yang dirasakan Enggar dari tatapan itu.
“Penting ya itu diceritakan?” Enggar menggaruk kepala. Berusaha menetralkan percikan aneh yang dirasakannya.
“Dia sudah mencurigaimu, bukan sebagai perempuan saja, tapi juga sebagai Anggoro. Kalau dia sudah curiga, semua orang akan curiga, karena dia tidak bisa menutup mulutnnya.” Singo Abang mengitari Enggar
“Terus aku harus ganti penyamaran gitu, Bang?” tanya Enggar polos.
“Kamu harus belajar menggunakan senjata. Juga membela diri,” tukas Singo Abang.
“Tua di sini dong aku. Belajar beladiri kan butuh waktu tahunan, Bang. Padahal aku nggak berencana di sini lama-lama. Aku mau pulang.”
“Itu kalau kamu bisa menemukan cara untuk pulang, dan kalau tidak mati duluan.” Kata-kata Singo Abang mematahkan semangat saja. “Makanya belajar dari sekarang.” Diberikannya pedang itu pada Enggar.
Haryo melihat mereka dari kejauhan memperhatikan Singo Abang yang mengajari Enggar bagaimana teknik menggunakan pedang. Mengajari pemula langsung memakai pedang sungguhan, itu terlalu berat. Dia dan Singo Abang saja berlatih dengan pedang kayu sampai satu semester.
“Bar, sarapan dulu.” Haryo melambaikan tangan, mencoba menghentikan mata kuliah ilmu pedang itu sebelum Enggar kepayahan.
Pedang yang ada di tangan Enggar langsung lepas begitu mendengar kata sarapan. Dia sudah kelaparan berat. Dengan suka cita dia pergi meninggalkan Singo Abang untuk bergabung dengan Haryo.
“Hei hei hei, mau kemana? Latihannya belum selesai!” seru Singo Abang. Lari Enggar makin kencang.
Haryo tersenyum saat Enggar sudah ada di sebelahnya. “Gerakan-gerakan yang kamu ajarkan ke anak-anak di sini tadi bukannya gerakan yang kamu lakukan waktu menghadapi perusuh di desa?”
“Hehehe..iya. Itu namanya senam kesegaran jasmani. Aku nggak punya jurus apa-apa, ya udah ngawur saja. Yang penting bisa membuat penjahatnya bingung dulu, jadi aku bisa melarikan diri,” kata Enggar santai.
“Boleh juga akalmu. Tapi di situasi yang lain, senam itu mungkin tidak bisa membantu. Aku mengerti kenapa Barata mengajarkanmu bagaimana menggunakan pedang. Semalam aku menceritakan kejadian di warung tempo hari. Dia kelihatan gusar sekali. Kurasa kamu memang perlu dibekali dasar-dasar beladiri. Hanya saja Barata agak terburu-buru.”
“Aneh rasanya mendengar nama Barata. Singo Abang aja deh nyebutnya, biar lebih menggemaskan,” kata Enggar geli. “Soalnya di sini ada monyet yang namanya Jambul Abang. Singo Abang, Jambul Abang, lucu kan?” lanjut Enggar.
Haryo tersenyum. “Bagaimana kalau aku yang mengajarimu beladiri?” tawarnya. “Kita bisa menggunakan pedang dari kayu dulu.”
“Harus hari ini ya? Lihat, tanganku sudah agak melepuh karena latihan pedang tadi. Besok aja gimana?” pinta Enggar.
“Kalau begitu kuajarkan jurus tangan kosong saja, tidak perlu menggunakan senjata. Mpu Soma masih nanti malam kembalinya. Kamu kan tidak ada kegiatan apa-apa. Daripada menganggur, lebih baik belajar,” kata Haryo
“Tapi Mas Haryo nggak akan segalak Bang Singo kan?”
“Memangnya aku ada tampang galak?” tanya Haryo.
Enggar langsung menggeleng dengan pasti. “Mas Haryo sih nggak galak, ganteng iya,” gumamnya pelan.
*** 

No comments: