Friday, November 04, 2016

Gandrung #8

Desa di bawah bukit itu nampak damai. Sawah terbentang menghijau. Pohon-pohon kelapa berjajar rapi. Hewan ternak merumput, dijaga oleh anak-anak berkepala kuncung. Ada yang menunggu sambil bermain dengan temannya, ada yang terlelungkup tiduran di atas punggung kerbau. Para perempuan menumbuk gabah. Ada pula yang duduk memanjang, saling mencari kutu rambut.
Masih ada satu desa lagi sebelum sampai di tempat tinggal Mpu Soma.
Hari ini terik bukan main, Enggar sampai berkunang-kunang karena lapar dan haus.  “Minum es pasti seger banget nih. Huuhh...dehidrasi... Panas...panas..,” keluhnya.
“Mengeluh saja. Tadi malam kedinginan, sekarang kepanasan. Apalagi? Pasar masih agak jauh. Sabar sedikit,” ujar Singo Abang.
“Nggak ada sungai di sekitar sini kah? Pengen nyebur aja deh. Udah bener-bener kegerahan. Lagian tadi pagi nggak mandi kan? Eh eh, tuh ada sungai. Turun situ bentar ya. Please...” Enggar menepuk-nepuk pundak Singo Abang.
“Kudaku juga butuh minum,” kata Haryo iba melihat Enggar sudah bercucuran keringat.. “Kita istirathat dulu, Bar.”
Singo Abang terpaksa menurut.
Mereka berhenti tak jauh dari sungai, sebelum jembatan kayu. Sungai di bawah itu dihiasi batu-batu besar dan airnya terlihat begitu segar. Enggar turun dari kuda, menyambar buntelan kain yang biasa dibawanya lalu lari ke sungai. Beberapa kali dia terpeleset, tapi buru-buru bangun.
Kedua kaki Enggar masuk ke dalam air. Kesegarannya terasa hingga ke hati. Enggar sejenak lupa diri, asyik bermain air. Ikat kepalanya dilepas. Dibasahinya rambut dan kepalanya yang terasa kotor. Enam hari tidak keramas.
Haryo menarik tali kekang kudanya untuk diajaknya turun. Singo Abang menyusul kemudian. Mereka duduk di bebatuan, tak jauh dari sungai, memperhatikan Enggar yang sudah melompat kesana ke mari dari batu satu ke batu lainnya sementara kuda-kuda mereka minum.
“Apa di jamanmu anak perempuannya sepertimu semua?” tanya Singo Abang. “Banyak tingkah,” lanjutnya. Haryo terkekeh.
“Maksudnya apa banyak tingkah?” Enggar menangkup air di kedua telapak tangannya lalu memercikkan air ke arah Singo Abang yang sedang mengunyah pisang.
“Hei! Jangan macam-macam!” seru Singo Abang, menghindari percikan air. Lengan bajunya basah. “Anak perempuan itu menundukkan pandangan, bicaranya sopan, tidak jumpalitan...”
“Eh eh eh.” Enggar memercikkan air lagi. “Kenapa harus menunduk? Kalau diajak berbicara ya ngeliat mata dong, masa ngeliat jempol kaki. Entar malah dikirain nyari duit jatuh,” protesnya.
“Diberitahu tentang adab kesopanan malah ngelunjak.”
“Memangnya selama ini aku nggak sopan, Bang? Aku nggak pernah menyumpah atau bicara kasar. Nada bicaraku saja yang nggak bisa selembut sutera. Dari sononya udah begitu. Entar kalau aku tiba-tiba mendayu, Bang Singo ngirain aku kesambet.”
Haryo tertawa melihat tampang Singo Abang yang geregetan. Dia menikmati konflik kecil antara Enggar dan Singo Abang itu.
“Aku baru bicara satu kalimat, dia sudah lima belas baris. Pening kepalaku,” ujar Singo Abang pada Haryo. Singo Abang berdiri, hendak menuju kudanya. Tapi cipratan air dari Enggar mengenainya lagi.
“Bang Singo senewen melulu hari ini, kenapa sih?”
“Ya karena kamu, kok masih bertanya. Kamu itu merusak semua rencana yang sudah kususun rapi.” Singo Abang berkacak pinggang. “Masalah Puteri Anggoro seharusnya sudah kelar, tidak berlarut-larut seperti ini.”
Byur! Singo Abang diguyur lagi.   
“Siapa juga sih yang minta kesasar di Majapahit? Apalagi ketemu sama Bang Singo yang darah tinggian. Banyakin senyum kek, biar indah pemandangannya.” Enggar membalas berkacak pinggang.
Singo Abang yang sudah kesal itu secepat kilat turun ke sungai, menangkup air sebanyak mungkin lalu menumpahkannya ke kepada Enggar tanpa sempat gadis itu melarikan diri.
Enggar yang nggak menyangka dapat serangan mendadak begitu hanya bisa berdiri membatu dengan mulut terbuka. Basah kuyub.
Singo Abang menyeringai puas, kemudian pergi mengambil kudanya yang sudah kenyang minum untuk diikatkan ke pohon, di sebelah kuda Haryo.
Kuda-kuda itu dibiarkan merumput.
Singo Abang sekarang duduk di bawah pohon, menjauh dari jangkauan serangan air Enggar. Sambil mengelap wajahnya yang basah, dia menghela napas berat. Pandangan matanya tak lepas dari Enggar.
“Dia mengingatkanmu pada Shiao Lan kan?” tanya Haryo yang sudah duduk di samping Singo Abang.
“Apa yang kau bicarakan?” Singo Abang memalingkan muka.
“Sifat gadis itu. Sinar matanya yang ceria. Cara dia menghadapimu.”  Senyum Haryo menghilang. “Aku masih ingat betul pertemuan pertama kalian di arena panahan. Shiao Lan membidik tepat di semua sasaran tanpa sisa. Mempecundangimu di hadapan para ksatria di keraton.”
Tidak ada tanggapan dari Singo Abang.
“Jayengwangsa membawa berapa orang?” Singo Abang mengalihkan pembicaraan.
“Dia hanya membawa lima orang, tapi Tumengung Sukmo tidak hanya mengirimnya untuk mengejarmu. Dia juga menyebar telik sandi. Belum lagi para pemburu bayaran,” kata Haryo.
“Kita mampir ke pasar sebentar, sekalian beli persediaan. Setelah itu kita tidak usah mampir-mampir lagi, langsung menemui Mpu Soma,” ucap Singo Abang sambil melempar pandangan kembali ke sungai.
Tidak tampak Enggar di tempatnya semula.
Singo Abang berdiri. “Hei, Enggar, kita pergi sekarang,” seru Singo Abang. Matanya mencari sosok gadis itu. Begitu tidak melihat tanda-tanda kemunculan Enggar, Singo Abang berdiri. “Kemana dia? Jangan-jangan kabur lagi. Ah, sial!”
Singo Abang berlari turun. Haryo menyusulnya. Mereka mencari Enggar di sepanjang sungai, mengambil arah yang berbeda.
Enggar keluar dari celah batu besar, agak jauh dari tempatnya bermain air. Dari bawah dia melihat kuda-kuda Singo Abang dan Haryo di atas, tapi kedua lelaki itu tidak ada. Dengan hati deg deg an Enggar naik ke atas, mencari keberadaaan mereka, walau tidak berani terlalu jauh.
Suara derap kaki kuda terdengar mendekati jembatan. Enggar segera bersembunyi di balik semak, mengintip siapa yang lewat. Panji-panji itu dikenalnya. Rombongan yang lewat sepertinya rombongan yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Enggar tetap bersembunyi sampai rombongan itu menjauh. Setelah dirasa aman, dia keluar. Enggar berdiri menempel pada batang pohon tempat kuda-kuda itu ditambatkan, setengah bersembunyi. Dia masih mewaspadai kemungkinan rombongan tadi kembali.
Kuda milik Haryo yang dinamai Bintang mendengus. Ekornya bergerak-gerak gelisah. Enggar menatapnya penasaran. Setelah beberapa saat berpikir, dia memutuskan untuk mencoba menaikinya. Tetapi saat kuda itu didekati, sang kuda makin gusar, jadi Enggar mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Kuda Singo Abang lebih tenang. Mungkin dia bisa coba menaikinya, toh dia sudah beberapa hari membonceng di kuda itu.
“Kamu darimana? Tiba-tiba hilang, membuat panik saja. Sekarang malah mau melarikan diri naik kuda?” seru Singo Abang mengagetkan Enggar. Hampir gadis itu terjatuh dari pelana yang baru sebagian ditumpangi kakinya. Jantung Singo Abang masih berdetak kencang karena kehilangan Enggar barusan. 
“Jangan sewot mulu dong, Bang. Tolongin kek, nyangkut,” pinta Enggar. Singo Abang melepaskan kaki Enggar yang tersangkut tali pelana. “Yang panik itu aku, Bang. Balik kesini hanya ketemu kuda, nggak ada orangnya. Siapa yangg nggak sport jantung? Apalagi rombongan yang tempo hari itu lewat barusan.” Enggar mengibaskan rerumputan kering yang menempel di bajunya.
“Rombongan Cakrawaja maksudmu?” tanya Singo Abang yang melepaskan tali kekang kudanya dari batang pohon. Enggar menganggukkan kepala. “Untung mereka tidak melihatmu. Kamu darimana saja?”
“Memenuhi panggilan alam. Nggak sempat bilang tadi, sudah mendesak,” jawab Enggar diplomatis. Singo Abang menatapnya tidak mengerti. “Ih, masak harus dijelasin panggilan alam yang mana. Udah deh, ayo ke pasar, aku lapar. Buruan naik.”
Singo Abang naik ke atas kuda, kemudian dia membantu Enggar naik dengan menarik tangannya.
“Mulai sekarang, mau kemana pun, kamu harus bilang dulu padaku. Jangan suka menghilang-hilang seperti itu lagi. Pergerakan kita sudah semakin sempit karena makin banyak orang yang tahu keberadaan kita,” kata Singo Abang sambil melirik Haryo. Haryo hanya membalasnya dengan gelengan kepala.
“Sori, sori, Bang.”
Perjalanan mereka dilanjutkan. Pasar yang dituju sudah tidak begitu ramai karena hari sudah siang. Yang masih ada hanya penjual buah, peralatan rumah tangga yang sebagian besar terbuat dari tanah liat dan warung-warung makanan.
Mereka masuk ke salah satu warung. Ada satu atau dua orang memperhatikan mereka. Singo Abang bisa merasakan itu. Mereka makan dengan cepat, tapi tidak segera meninggalkan warung. Menjaring informasi di tempat ini lebih mudah dibandingkan di tempat lain.
“Boleh nggak aku beli buah?” tanya Enggar pada Singo Abang. Semangka yang dijual di seberang sana betul-betul menggoda. “Uangnya?”
“Ini. Aku yang traktir.” Haryo mengeluarkan tiga keping uang perak. Ini berbeda dengan uang yang dibawa Singo Abang.
“Ini harganya lebih tinggi daripada uang Bang Singo ya? Uang Bang Singo lebih jelek soalnya,” celetuk Enggar tanpa bermaksud merendahkan.
“Kamu ini, sudah mending kita punya uang.” Singo Abang mulai sewot.
“Ini derham perak. Satu kepingnya sama dengan 400 gobog,” jelas Haryo.  
“Wah, bisa belanja banyak nih. Terima kasih.” Enggar mengambil uang itu dan bergegas keluar. Tambah satu nilai Haryo. Sudah ganteng, kaya pula.
Gadis itu nampaknya senang sekali berada di pasar. Benda-benda yang dijual unik, sederhana, nyeni, kuno, beberapa tidak pernah dilihat di masanya. Enggar berhenti lama di penjual semangka. Haryo tersenyum melihat gaya Enggar memilih buah itu. Sepertinya dia membuat penjualnya kesal dengan menawar harga semaunya dan minta mencicipi semua semangka.
“Kamu terlalu banyak tertawa dan tersenyum,” sindir Singo Abang tanpa menoleh ke arah Haryo. Haryo hanya tersenyum saja dan mengamati gerak-gerik Enggar yang sedang menikmati semangka.
Tak jauh dari warung tempat Singo Abang dan Haryo berada, Cakrawaja memicingkan matanya, meyakinkan dia tidak salah lihat. Pemuda yang tadi membeli semangka dan sekarang sedang membeli manggis seperti pemuda imut yang ditemuinya beberapa hari lalu. Si imut yang tidak bisa dilupakannya. Si imut yang dicurigainya sebagai seorang gadis yang menyamar.
“Bawa dia kemari,” perintahnya pada anak buahnya.
Dua orang itu mendatangi Enggar dan memaksanya ikut. Manggis di tangan Enggar jatuh menggelinding. Dia mengenali seragam mereka. Mata Enggar nanar menatap ke arah warung tempat Haryo dan Singo Abang, di dalam hatinya dia berteriak meminta pertolongan.
***

No comments: