Sumringah Olweis
The first place to find happiness is in our own heart.
Tuesday, December 10, 2019
Rilis Ulang SMASH! dan DIA by Gramedia
Yeaaaay....akhirnya rilis juga. Covernya cute banget kan :).
Yang ingin ngerasain patah hati, yang mau tahu tips mengejar pujaan hati, yang kangen ketawa ketiwi, atau yang rindu nostalgia rasanya jatuh cinta, yuk boleh deh kepoin SMASH! dan DIA. Sudah beredar di Gramedia dan toko buku lainnya ya.
Wednesday, September 04, 2019
DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia....!
Hai hai hai....!
Masih ingat novelku yang berjudul DIA?
Yang mau kangen-kangenan sama Saka, Denia dan Janu, tunggu ya bulan Oktober nanti DIA akan diterbitkan ulang oleh Gramedia. Yang pasti ceritanya disegarkan lagi dengan ending yang berbeda dari versi lamanya. Cover novelnya pasti juga beda dong.... :).
So, ditunggu ya.
Aku juga nggak sabar hehehe...
Salam,
Nonier
Gandrung #23 (TAMAT)
“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Enggar, aku
senang sekali melihatmu, apalagi di sini. Besok kalau ada waktu aku akan mengajakmu
jalan-jalan ke kotaraja,” janji Haryo. Matanya mengerling menggoda. “Kamu mau
apa saja akan kubelikan.”
“Hei hei!” Singo Abang menyeringai.
Haryo ini main selonong saja.
Haryo berpamitan dan
meninggalkan mereka berdua. Enggar mau tak mau tersenyum geli melihat kelakuan
mereka berdua.
“Dasar Haryo, selalu saja
menginginkan yang aku suka,” kata Singo Abang. Enggar yang ada di sebelahnya
menoleh kaget. Singo Abang yang baru menyadari telah berkata dengan suara lantang
itu, menjadi kikuk.
Singo Abang berdehem
sembari mencondongkan tubuh ke arah Enggar. Jantung gadis itu berdebar sangat
kencang. Apalagi saat Singo Abang meraih kedua tangannya. “Enggar, apa kamu tahu
kalau kamu sudah membuatku gila? Kupikir aku sudah tidak bisa lagi mempunyai
perasaan yang begitu dalam pada seseorang, tapi aku salah.”
“Bang...” Suara Enggar
bergetar. Lilitan yang terasa di dalam perutnya semakin mengencang. Terbius
oleh tatapan mata Singo Abang yang seolah diselimuti kabut.
“Aku jatuh cinta padamu.” Suara lirih namun
tegas dari Singo Abang seperti ledakan kembang api yang sangat indah.
Memercikkan rasa sayang yang tak disangka Enggar begitu besar. Kedamaian
memeluk hati Enggar.
Perlahan, Singo Abang
membelai pipi Enggar, menghapus air mata haru yang mengalir lembut. Lalu
memeluknya dengan erat, sepenuh jiwa. “Tidak penting kamu mempunyai perasaan
yang sama atau ini hanya hatiku saja, aku mencintaimu. Tidak peduli kamu dari
masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu
bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu,” bisiknya mesra.
Enggar berkaca-kaca
mendengar kata-kata Singo Abang. Perasaannya diselimuti rasa bahagia. Laki-laki
itu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah gelang emas yang cantik
diberikannya pada Enggar. “Ini untukmu. Aku mengukirkan namamu di belakangnya,
kuharap kamu suka.”
Saat Singo Abang hendak
memasangkan gelang itu ke tangan Enggar, terdengar pekikan elang Singo Abang.
Suaranya dekat tapi dia tidak tampak. Sesuatu terjadi padanya karena pekikan tadi
menandakan dia kesakitan atau terluka. Singo Abang terpaksa menyadarkan diri
dari suasana mabuk kepayang dan mencari dimana elangnya. “Suaranya dari sebelah
sana.” Singo Abang melangkah, tapi kemudian berbalik. “Jangan kemana-mana, aku
akan segera kembali.” Singo Abang pergi meninggalkan Enggar dengan senyuman
yang paling indah.
Begitu Singo Abang
menjauh, Enggar terduduk di bangku, membungkam mulutnya yang menganga. Enggar
bisa mendengar suara kembang api di dadanya. Hatinya serasa mekar berbunga.
Suara gemeresak tanaman
di samping kolam membuat Enggar menengadahkan wajah. “Bang, apa ketemu
elangnya?”
Enggar terkesiap dan
mukanya pucat. Bukan Singo Abang yang datang, tapi Cakrawaja yang berdiri di
sampingnya dengan tangan menggenggam batu. Enggar hendak berteriak, tapi
Cakrawaja sudah keburu menyergapnya.
“Kau harus bertanggung
jawab atas semua yang terjadi padaku. Kalau aku jatuh, kau akan ikut
bersamaku,” desisnya penuh amarah.
“Enak saja jatuh
ngajak-ngajak orang. Makan-makan baru ngajak orang. Asal kamu tahu ya, rencana
jahatmu tidak akan berhasil. Jadi lebih baik sekarang kamu tobat, bertanggung
jawab atas perbuatanmu dan tidak mencari masalah lagi.”
“Banyak omong kau!”
“Biarin!”
Enggar berontak. Dia
menginjak kaki Cakrawaja, menyodok perutnya dan menggigit tangannya. Sekuat
tenaga Enggar berlari menjauh dari Cakrawaja. Tetapi karena dia masih belum
hafal tempat itu, Enggar justru terpojok di salah satu sudut taman.
“Aku akan menghabisimu!”
teriak Cakrawaja.
Amarah dan dendam sudah
merasuki Cakrawaja. Dia sudah tidak memikirkan lagi yang dihadapannya adalah
seorang perempuan yang tidak sebanding kekuatan dan ilmu kanuragan dengannya.
Enggar beberapa kali
berhasil lolos, tapi Cakrawaja bisa menangkapnya. Semua jurus yang diingat
Enggar dikeluarkan, namun lawannya terlalu tangguh. Ketika Cakrawaja melayangkan
pukulan bertubi-tubi, Enggar hanya sempat menangkis beberapa kali. Saat dia
berbalik hendak melarikan diri, sebuah pukulan berat di belakang kepala. Enggar
terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.
Tak jauh dari situ,
Singo Abang datang dengan sedikit kesal.
“Ada yang memanah
elangku.” Singo Abang datang dengan menopang seekor elang yang sayapnya terluka
di tangannya. “Enggar! Enggar! Kamu dimana?” Singo Abang panik tidak menemukan
Enggar di tempatnya semula. Seperti orang kesetanan dia mencari ke sana kemari.
Jantung Singo Abang
seakan berhenti berdetak ketika menemukan Enggar tergolek di sisi barat taman. Diperiksanya
keadaan Enggar, masih hidup.
Singo Abang buru-buru
menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Panggil tabib, cepat!”
teriaknya mengagetkan Mbok Sorjan yang sedang lewat. Mbok Sorjan pun segera
melaksanakan perintah.
Singo Abang
membaringkan Enggar di ranjang. Diperiksanya sekali lagi keadaannya. Kepalanya
terluka dan mengeluarkan darah. Kurang ajar, siapa yang melakukannya?
“Enggar, bangunlah.
Jangan melakukan ini padaku terus-menerus. Kasihanilah jantungku ini.” Singo
Abang memberi bau-bauan agar Enggar sadar. Kepala gadis itu bergerak dan
matanya mulai membuka. “Enggar, kamu bisa melihatku? Tabib sebentar lagi
datang.” Singo Abang menyeka darah yang masih mengalir di kepala gadis itu.
“Hhh... dimana aku?”
gumam gadis itu lirih.
“Di kamarku. Tabib akan
segera datang, jangan terlalu banyak bergerak.”
“Jangan serahkan aku
pada orang-orang itu. Aku tidak membunuh Sukmana,” gumam gadis itu lirih. Kain
di tangan Singo Abang yang digunakan untuk menyeka darah itu seketika terjatuh.
Tubuh Singo Abang
lemas. Pikirannya berkecamuk mendengar omongan gadis yang terbaring di
hadapannya. Dia menduga-duga dan sangat ingin dugaannya salah. “Apa kamu ingat
namamu?” tanya Singo Abang. Suaranya bergetar.
“Ya. Namaku Anggoro.”
***
Hari ini berlalu
seperti biasanya, tapi tidak bagi Singo Abang. Kenyataan bahwa Enggar telah
pulang, dengan cara yang tak terduga, membuatnya serasa bangun dari mimpi.
Mimpi yang diharapkannya tidak akan berakhir.
Hatinya sudah dibawa
kabur oleh gadis itu. Tanpa bekas, tanpa sisa. Dia ingin memintanya kembali,
tapi apa yang bisa dilakukan? Kalau hanya tujuh ratus kilometer jarak untuk
mencapainya, Singo Abang akan pergi. Kalau hanya tujuh ratus hari perjalanan
menuju kesana, Singo Abang akan berangkat. Ini tujuh ratus tahun. Bagaimana
caranya bertemu kekasih hatinya?
***
Di hadapannya seraut
wajah gembira menyambut. Tangan kiri ibunya menggenggamnya erat, tangan
kanannya mengelus kepala Enggar. Seorang suster datang, disusul dokter. Dokter
laki-laki itu bertanya beberapa hal sembari mengecek kondisi Enggar,
memastikannya benar-benar sadar.
Air mata Enggar
meleleh. Dia tahu dia sudah pulang ke masanya. Bunyi peralatan medis, selang
oksigen, lampu terang dan harum pembersih lantai memastikan dia tidak lagi
berada di jaman Majapahit. Seharusnya dia merasa senang, bertemu lagi dengan keluarga
dan orang-orang yang menyayanginya. Tapi hatinya begitu sedih karena perpisahannya
dengan Singo Abang tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Enggar menutup mata,
berharap mimpi akan membawanya kembali untuk mengatakan perasaannya, bahwa dia
juga mencintai laki-laki itu.
***
EPILOG
Sudah enam bulan sejak
dia sadar dari koma, pikirnya rasa sesak di dada karena rindu pada sosok
laki-laki itu akan hilang. Ternyata tidak. Kadang-kadang sengaja Enggar tidur
lebih lama, berharap mimpi bisa membawanya melintasi ruang dan waktu untuk
bertemu Singo Abang lagi, tapi itu tidak pernah terjadi.
Hari ini pertama
kalinya sejak gempa waktu itu Enggar menginjakkan lagi kakinya ke Museum
Nasional. Kali ini dia yang mengajak Ito pergi. Hanya sekedar ingin melepas
sesak di dada, berharap ada keajaiban atau apalah yang bisa membuat hatinya
tenang. Atau setidaknya membuatnya benar-benar sadar bahwa apa yang dialaminya
waktu itu benar-benar ilusi.
Cara pandangnya
terhadap benda-benda yang ada di sana, terutama benda-benda dari jaman
Majapahit berubah seratus delapan puluh derajat. Benda-benda itu terlihat jauh
lebih indah meski penampakannya sebagian tidak utuh lagi.
“Mana sih orangnya kok
tidak datang juga. Aku sudah tidak sabar melihat koleksi terbaru museum ini.
Ingat yang pernah kubilang seniorku menemukan gelang dan perkamen dari jaman
Majapahit waktu itu? Setelah diterjemahkan isi perkamennya, ternyata itu adalah
surat cinta. Romantis sekali. Tahu kepada siapa surat cinta itu ditujukan?
Dugaannya surat cinta itu untuk gadis yang namanya terukir dalam gelang emas,”
kata Ito. Enggar tidak begitu memperhatikan omongan Ito. Perhatiannya tertuju
pada sesuatu yang menarik perhatiannya di jajaran rak-rak kaca.
Napas Enggar tertahan
saat melihat sebentuk celengan babi hutan di salah satu rak. Babi hutan yang
gemuk dengan pipi tembem, perut besar dan wajah lucu. Sebagian badannya seperti
mozaik karena sebenarnya sudah pecah, tapi direkatkan ulang dan ditambal.
Tangan Enggar menggapainya, dadanya mulai berdebar-debar tidak keruan. Ini
celengan buatan Sanip. Dia mengenalinya. Tidak mungkin salah.
Apa artinya yang
terjadi padanya bisa jadi nyata?
Enggar menghirup napas
dalam-dalam, memastikan semuanya hanya kebetulan. Bahwa dia hanya mencocokkan
apa yang ada di sini dengan apa yang terjadi di mimpinya. Tidak ada bukti dia
pernah berada di jaman Majapahit. Tidak akan pernah ada.
“Di gelang itu terukir nama Enggar Penggalih,
percaya nggak? Enggar Penggalih. Namanya sama persis dengan namamu. Ajaib kan? Aku
jadi penasaran, itu nama seorang puteri atau bukan ya. Sudah kucoba googling, tapi tidak ketemu jawabannya,”
lanjut Ito sambil tertawa-tawa. Enggar yang mendengar kata-kata Ito semakin deg
deg an.
“Dimana senior Mas Ito sekarang?”
tanya Enggar, mengguncang-guncang lengan kakaknya yang terheran-heran.
“Itu dia, kutelepon
dari tadi tidak diangkat. Hei, Enggar. Mau kemana?” Ito memanggil adiknya yang
tiba-tiba berlari ke Gedung Arca. Mau tidak mau Ito mengejar sambil terus
berusaha menghubungi seniornya.
Napas Enggar tersengal-sengal
saat tiba di ruang yang berisi koleksi perhiasan dari berbagai masa. Dengan
cepat Enggar mencari gelang yang dimaksudkan oleh Ito di antara puluhan koleksi
perhiasan dari seluruh nusantara. Langkahnya terhenti salah satu kotak kaca
yang ditempatkan tersendiri. Perlahan Enggar berjalan, mendekatinya. Tubuhnya
gemetaran, menatap nanar pada sebuah gelang yang dipajang dengan sebuah perkamen
di sebelahnya. Aksara jawa kuno tampak samar tertulis dalam perkamen itu.
Gelang itu, Enggar
mengenalnya.
“Tidak peduli kamu dari
masa depan atau masa apapun, aku mencintaimu. Apakah nanti kita akan selalu
bersama atau terpisah berabad-abad, aku mencintaimu.” Terdengar seseorang
berkata. “Kira-kira begitu isi perkamennya. Orang jaman dahulu romantis,”
lanjut orang itu.
Enggar menoleh ke
belakang dan sontak gemetaran seperti melihat hantu.
“Enggar!” Ito datang
menyusul. “Lho, Mas Bara di sini? Aku telepon tidak diangkat-angkat. Mana
temuan Mas Bara yang dipajang di museum. Itu ya? Itu gelang untuk adikku,
Enggar Penggalih? Hehehe.”
Laki-laki yang disebut
Bara menganggukkan kepala.
“Enggar, ini Mas Bara,
seniorku. Dia dulu yang menyelamatkanmu dari reruntuhan saat gempa di sini.
Mas, masih ingat, ini adikku yang Mas Bara gendong keluar museum.” Ito memperkenalkan
mereka berdua lagi. “Lho, kok pada lihat-lihatan, diam-diaman. Lho, kok kamu
nangis, Enggar?”
“Kamu yang
menyelamatkanku?” tanya Enggar pada Bara. “Terima kasih.”
“Aku senang kamu
baik-baik saja.” Senyum Bara membuat Enggar makin berlinang air mata.
Angin berembus melewati
pintu dan jendela-jendela. Bara mendekatinya, menyerahkan sapu tangan pada
Enggar yang masih terus menangis tanpa suara.
***
Friday, September 29, 2017
Gandrung #22
“Kenapa?” Singo Abang
menarik Enggar agar duduk di sebelahnya.
“Waaah.” Enggar masih
takjub. “Tidak ada berewok, tidak awut-awutan, tidak gondrong berantakan.”
Gadis itu menyentuh rambutnya, mengelus wajahnya, menggeleng-gelengkan kepala,
menatap kagum pada Singo Abang.
Ketika sadar apa yang
dilakukannya, terlebih lagi saat melihat tatapan mata Singo Abang yang
melelehkan jiwa itu lekat padanya, Enggar buru-buru menarik tangannya.
“Apa, mau bilang aku
ganteng?” goda Singo Abang.
“He-eh.” Spontan Enggar
menjawab. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah, pura-pura mencari kemana elang
itu terbang, karena malu. Dalam hati dia merutuk karena keceplosan mengatakan
isi hatinya.
Singo Abang tertawa bahagia
melihatnya. Duh, Enggar seperti cokelat di bawah terik mentari. Lumer oleh tawa
Singo Abang yang memesona.
“Kalau melihatku
sekarang ini, gantengan mana aku sama Haryo?” tanya Singo Abang iseng,
sekaligus penasaran. Sekian lama merasa tak dianggap, dia ingin pengakuan jujur
dari Enggar setelah melihatnya dalam sosok pangeran.
“Idih, Abang tanya yang
lain kenapa, kayak anak kecil.” Enggar beringsut menjauh, berusaha melarikan
diri. Tapi Singo Abang sudah keburu menangkap lengannya. Ditariknya kembali
gadis itu ke sisinya.
“Jawab saja, gantengan
mana aku sama Haryo?” desak Singo Abang.
Kalau saja Singo Abang
mendengar deburan ombak yang terasa di dalam dada Enggar, lelaki itu tidak
perlu lagi bertanya. Apalagi raut wajah Enggar sudah sedemikian bersemu merah
menahan jengah.
Getaran aneh menjalari
seluruh tubuh Enggar. Seolah ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya,
Enggar serasa melayang ketika jemari Singo Abang menyentuh lembut dagunya.
Keheningan sekaligus
ketegangan di antara mereka membuat keduanya kesulitan bernapas.
Oh,
Tuhan. Enggar memalingkan muka, menyadari keinginannya
untuk semakin dekat kepada lelaki di hadapannya semakin susah dikendalikan.
“Jadi gimana, apa yang harus kulakukan selama di sini? Aku tidak perlu bertemu
dengan orang tua Bang Singo kan?” hindarnya. Menghapus bayangan Singo Abang
mendekapnya hangat, sungguh terasa sayang.
Singo Abang menggeram
kalut. Sedikit lebih lama lagi mereka saling pandang seperti barusan, dia tidak
bisa menjamin dirinya untuk tidak mengecup bibir gadis di hadapannya.
“Selalu begitu kalau
ditanyain hal yang penting, tidak mau menjawab.” Singo Abang melipat tangannya
di depan dada. Meredakan gemuruh yang bergejolak.
Enggar mencibir. “Masa
penting bertanya gantengan mana?!” Singo Abang merusak momen indah.
“Penting buatku. Ayo,
gantengan mana?” kejar Singo Abang.
“Siapa yang lebih
ganteng dari siapa?”
Panjang umur. Pangeran
Haryo nongol dari belakang. Enggar yang posisinya memunggungi Haryo,
membalikkan badan dan berdiri. Agak terkejut juga dia melihat Haryo dengan
pakaian kebesaran seorang pangeran, tidak pakaian lapangan yang biasa dia
kenakan. Ketampanan lelaki itu naik lagi beberapa derajat.
Kalau tadi Singo Abang
tertegun saat melihat Enggar pertama kali dalam pakaian dinas seorang puteri,
Haryo membeku takjub.
“Enggar?” tanya dia
dengan wajah terpukau. Dia berjalan melewati Enggar dan berdiri tepat di
sebelah Singo Abang untuk melihat lebih jelas puteri jadi-jadian itu. “Kamu sungguh
jelita.”
“Mas Haryo bisa saja.
Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Enggar basa basi dan tersipu di waktu yang sama.
“Kamu benar-benar
membuatku pangling. Puteri-puteri di sini pasti pada ngiri melihatmu,” puji
Haryo tulus. “Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Singo Abang menyingkirkan
Haryo dari hadapan Enggar. Sifat kompetitif sekaligus kekanak-kanakannya muncul.
“Ganggu orang saja kamu, Yo. Aku sedang bicara serius dengan Enggar. Eh,
Enggar, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Gantengan mana aku sama Haryo?” tanya
Singo Abang, lebih gigih dari sebelumnya karena terbakar cemburu.
“Aku sama kamu
gantengan mana? Jelas aku,” sela Haryo terkekeh sombong. Singo Abang mendengus
kesal.
Enggar perlahan melipir,
menjauh dari mereka berdua agar tidak terperangkap antara dua pilihan. Bisa
terjadi perang bratayuda kalau dia bilang dua-duanya ganteng.
“Oh ya, Bar, aku ada
informasi terbaru. Di wilayah Keta ada laporan ada sejumlah pemuda pergi dari
rumah dalam waktu yang berdekatan, mirip seperti yang terjadi di Sadeng. Mereka
bilangnya pergi ke kota, tapi sepertinya tidak.” Haryo mengundur misi
perjuangan cintanya demi menyampaikan berita penting pada Singo Abang.
“Kau mencurigai ada
pergerakan di Keta?” Sesaat Singo Abang melupakan konflik pribadi dengan Haryo.
“Apa, Mas? Di mana
tadi?” tanya Enggar. Nama itu menggelitik kupingnya.
“Keta,” jawab Haryo.
“Kenapa?”
“Kamu teringat
sesuatu?” tanya Singo Abang.
“Aku belum yakin, tapi
nama itu tidak asing. Sadeng, Keta.” Enggar menggigit bibir bawahnya, berpikir
keras. Sementara itu kedua lelaki di hadapannya menatap penuh cinta. “Astaga!
Bang, aku ingat. Pada masa pemerintahan Tribuana Tunggadewi terjadi
pemberontakan Sadeng dan Keta, kalau tidak salah tahun 1331,” serunya.
Singo Abang dan Haryo
tampak kaget. Mereka sudah menduga ada gelagat pemberontakan, tapi semuanya
masih belum jelas.
Ketiganya lalu terdiam
sesaat, sambil saling pandang.
“Kamu yakin?” tanya
Singo Abang, memastikan Enggar tidak salah ingat.
“Di buku sejarah
begitu. Pada tahun 1331 Keta dan Sadeng hendak melepaskan diri dari Majapahit.
Tapi pemberontakan mereka berhasil ditumpas oleh...Gajah Mada.” Enggar menatap
mereka bergantian.
Haryo melirik Singo
Abang. “Menurutmu kita harus menemui Paman Gajah Mada, Bar?”
“Menemui Gajah Mada?”
Tenggorokan Enggar kering. Bertemu Gajah Mada secara langsung sama sekali tidak
ada dalam bayangannya. Enggar merasakan bulu-bulu berdiri. Dia tidak harus
menghadap Gajah Mada kan?
“Kamu tidak perlu
bertemu dengan Paman Gajah Mada dulu. Agak beresiko juga kalau kamu harus
membuka identitas dirimu. Semakin banyak orang tahu, kamu semakin nggak aman nanti.”
Sifat protektif Singo Abang muncul.
“Tapi tidak ada
salahnya juga Enggar bertemu Paman Gajah Mada. Beliau orang yang bijak. Kujamin
tidak akan membahayakan Enggar.”
“Kupikir untuk sementara
informasi ini kita simpan dulu saja, Har. Kamu mungkin bisa mengusulkan untuk
meningkatkan pengawasan di kedua wilayah itu, tapi untuk mengatakan langsung
kepada paman Gajah Mada, bukan ide bagus saat ini. Semua dinding istana bisa
mendengar, aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Enggar. Kamu pikir apa
yang akan terjadi jika ada seorang yang tahu benar tentang masa depan
Majapahit, di dalam istana ini?” Singo Abang memberi tekanan pada kata ‘di
dalam istana ini’. “Enggar akan jadi bulan-bulanan.”
“Kamu benar. Baiklah,
untuk sementara kita simpan informasi ini. Oh ya, satu lagi berita yang kubawa.
Berita yang ini tidak bagus. Cakrawaja dikeluarkan dari tahanan pagi tadi.”
“Apa?” Lutut Enggar
bergetar hebat.
“Untuk dua atau tiga
hari saja. Di rumah keluarganya sedang ada upacara dan orang tuanya memohon
Cakrawaja dihadirkan. Mereka menjamin Cakrawaja tidak akan melarikan diri,”
lanjut Haryo.
“Di hari pertamaku
pulang seharusnya kamu bawa berita yang menyenangkan, Har.”
“Maaf. Tapi lebih baik
kuberitahu, jadi kalian bisa waspada. Aku harus pergi dulu. Akan kutemui kalian
lagi.” Haryo tersenyum pada Enggar. “Oh ya, Barata, apa kau tahu Pangeran
Palawa sudah kembali dari negeri seberang?”
Deg! Enggar sekarang
benar-benar merasa ciut dan gemetaran.
Sisi tangan Singo Abang
menyentuh tangan Enggar. “Jangan kuatir, selama aku di sisimu, tidak akan ada
yang berani menyentuhmu.”
***
Thursday, September 07, 2017
Gandrung #21
Dua hari berikutnya
Enggar, Singo Abang dan Jandul pergi meninggalkan Ketanggung. Untuk sementara
Sanip dan Bogar tetap di sana. Tenaga keduanya dibutuhkan untuk melatih
orang-orang mengenai seni tembikar dan seni kuliner. Seperti dugaan Sanip,
celengan yang dibuatnya atas ide Enggar waktu itu banyak peminatnya, jadi dia
harus memberi pelatihan di beberapa tempat.
Mereka duduk di atas
kuda masing-masing. Enggar sudah berlatih naik kuda dan semakin meningkat
kemampuannya, meski tetap dalam pengawasan ketat Singo Abang. Perjalanan ke
kotaraja membawa sensasi tersendiri bagi Enggar. Dia penasaran seperti apa
pusat ibukota Majapahit itu.
“Bang Singo anak
menteri, berarti semacam pangeran begitu?” tanya Enggar.
“Tidak usah
dibicarakan,” tolak Singo Abang, merasa tidak nyaman.
“Jadi betul Bang Singo
itu pangeran? Ah, rasanya mustahil. Apa nama panggilan Abang di sana? Pangeran
Barata? Di sana nanti harus memakai tata krama, menyembah-nyembah begitu? Harus
berbahasa halus dan lembut?”
Sepanjang perjalanan
kemudian Singo Abang mesti menahan asam lambung karena mendengar Enggar yang
tak kunjung padam bertanya. Baru saat mereka memasuki kotaraja, Enggar
kehabisan kata-kata. Dia sibuk mengagumi rumah-rumah beratap genteng, tertata
apik dan rapi. Orang Majapahit sudah membuat sistem pembuangan air dengan
membangun selokan-selokan di sisi kaki bangunan. Selokan itu dibangun dari
satuan-satuan bata untuk memperkuat strukturnya dan memudahkan air mengalir
lebih cepat. Halaman-halaman rumah mereka dihiasi jambangan air dan kendi
berhias di antara tanaman-tanaman menghijau. Enggar juga sempat melihat
beberapa candi selama perjalanan.
Orang-orang ibukota
memang selalu berbeda dengan orang-orang di perkampungan. Di kotaraja ini
orang-orang berpakaian lebih indah dan lebih mahal. Selain orang Majapahit,
Enggar juga melihat orang-orang Cina dan Gujarat. Sebagian ada yang hanya
berkunjung untuk keperluan berdagang, tetapi ada juga yang menetap di kotaraja.
Para pedagang Cina mengenakan jubah panjang menutup seluruh tubuh dengan
kancing baju terletak di bagian tengah depan, ditandai garis lurus vertikal
atau kadang polos, serta topi bulat di kepala. Beberapa orang Gujarat juga ada
di sini, dikenali dengan tutup kepalanya yang berbentuk kopiah atau sorban,
selain mata besar, hidung mancung besar dan bibir tebalnya.
“Kita sudah ada di
gerbang istana,” kata Singo Abang. Di hadapan mereka terdapat sebuah gerbang
tinggi yang dijaga oleh prajurit kerajaan bersenjatakan tombak dan tameng.
Singo Abang mengeluarkan sebuah lempengan berwarna keemasan, tanda bahwa dia
anggota kerajaan, untuk ditunjukkan kepada prajurit penjaga. Mereka bertiga
dipersilahkan masuk setelah pengecekan.
Di dalam komplek istana
ini rumah-rumahnya jauh lebih bagus dan besar daripada yang di luar sana.
Enggar sampai berkali-kali berdecak kagum. Inikah jantung kerajaan Majapahit?
Apa dia akan mengenali bila berpapasan dengan orang-orang yang dibacanya di
buku sejarah? Perlukah dia minta tanda tangan sama orang-orang bersejarah itu?
Jantung Enggar berdebar-debar memikirkannya.
“Itu rumahku.” Singo
Abang menunjukkan sebuah gerbang yang dijaga dua orang prajurit. Dua orang itu
buru-buru memberi hormat dan mempersilahkan mereka masuk. Kedatangan mereka
langsung disambut seorang pria bertubuh tambun yang langsung mengingatkan
Enggar pada Semar.
“Pangeran Barata,
syukurlah Pangeran pulang. Kanjeng Puteri pasti senang sekali. Mari, Pangeran,
hamba antar ke dalam,” kata pria bertubuh tambun itu.
“Pak Samar, masih ingat
dengan Jandul kan?” tanya Singo Abang. Pak Samar mengangguk. “Ini Puteri
Enggar, tolong suruh Mbok Sorjan melayaninya baik-baik. Dia tamu pentingku.”
“Baik, Pangeran.”
“Enggar, kita berpisah
dulu. Aku harus menemui ibu, baru kemudian aku menemuimu. Tidak apa-apa, tidak
usah takut atau sungkan. Kamu akan dilayani dengan baik. Nanti sore kita
bertemu lagi. Aku akan menyuruh orang mengantarkan pesan untukmu.”
“Aku tidak bisa ikut
Bang Singo ya?” bisik Enggar agak kuatir.
“Di istana aturannya
cukup ketat, tidak seperti di luar sana. Aku akan jelaskan padamu nanti. Pak
Samar, tolong panggil Mbok Sorjan kemari sekarang,” pinta Singo Abang.
“Baik, Pangeran.”
Pak Samar bergegas
pergi dan kembali sebentar kemudian dengan Mbok Sorjan. Perempuan setengah tua
berbadan tak kalah tambun dari Pak Samar tampak senang sekali tuan mudanya
pulang. Mbok Sorjan ibaratnya ibu kedua dari Singo Abang. Dia yang merawatnya
sejak kecil. Semenjak Singo Abang keluar dari rumah setiap hari doanya agar
tuan mudanya itu pulang.
“Mbok, memeluknya nanti
saja kalau tidak ada orang,“ bisik Singo Abang ketika Mbok Sorjan mau
memeluknya. Enggar tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Mbok, ini Puteri
Enggar. Kuserahkan dia sepenuhnya pada Mbok Sorjan. Awas kalau sampai dia
lecet-lecet. Nanti Mbok tidak kuajarin nulis surat cinta pada Pak Samar.”
“Ih, Pangeran ini masih
saja suka menggoda. Mbok sudah menikah dengan Pak Samar sembilan bulan lalu,
jadi tidak perlu surat cinta,” kata Mbok Sorjan malu-malu. Singo Abang tertawa.
Enggar sampai mencubit tangannya, mengira itu mimpi. Ini pertama kalinya dia
melihat Singo Abang tertawa. Kok cakep...
Singo Abang mendekati
Enggar. “Enggar, ikut Mbok Sorjan ya. Dia sudah seperti ibuku, jadi kamu akan
aman bersamanya. Jandul, ikut aku.”
Mereka pun berpisah.
Mbok Sorjan menatap
Enggar dengan sinar matanya yang ramah. Dia bisa merasakan kalau gadis kucel di
hadapannya ini istimewa bagi Barata-nya. Pangeran Barata bisa tertawa lagi, itu
baru luar biasa.
“Mari ikut hamba,
Puteri. Kita perawatan tubuh dulu agar badan Putri yang lelah selama perjalanan
bisa segar kembali.”
Kedengarannya
menyenangkan.
***
Seumur-umur Enggar
tidak pernah spa di salon, jadi ketika dia mendapatkan perawatan kecantikan
secara lengkap begitu dari Mbok Sorjan dan para asistennya, dia hanya bisa
ketiduran. Habisnya enak banget dipijat, dilulur, mandi air wangi, dikeramas
dan disuguhi camilan. Surga dunia.
Penat, pegal, daki dan debu
dari perjalanan penuh petualangan dan bahaya selama berminggu-minggu ini lenyap
sudah. Begitu selesai diberi perawatan oleh para dayang, Enggar merasa begitu
bersih, harum, rileks dan cantik. Apalagi setelah itu dia beristirahat di
ranjang empuk dan lebar. Wah, nikmatnya.
Setelah sekitar dua jam
tidur, Enggar terbangun dengan senyuman tersungging di bibir. Tiap hari begini
bisa betah di Majapahit. Enggar berjalan ke sebuah meja di sudut ruangan. Ada
tempat berisi air dan kain di sisinya untuk cuci muka.
Pintu kamar diketuk.
Muncul seorang dayang muda, seusia Enggar. Dia bertanya apa Enggar siap dirias
karena Pangeran Barata hendak bertemu. Enggar mengangguk. Dia dipersilahkan
duduk di kursi di meja rias. Dayang itu menata rambutnya, membedakinya dan memasang
beberapa perhiasan. Untuk yang terakhir itu Enggar menolak, dia nggak mau
memakai perhiasan orang, takut nanti kalau terjadi apa-apa. Dia kan tidak punya
uang untuk mengganti bila perhiasan itu rusak atau hilang.
Setelah selesai
berdandan, Enggar mengikuti dayang itu menuju taman.
Taman samping dipenuhi
dengan berbagai bunga dan tanaman beraneka warna. Lantai taman terbuat dari
bebatuan bundar yang disusun sedemikian rupa dan dibingkai oleh bata, membentuk
segi empat yang saling terhubung dengan yang lain. Ada beberapa kandang yang
berisi burung-burung berbulu indah. Pohon buah-buahan ditempatkan di beberapa
titik. Ada kolam berair jernih dengan pancuran di tengahnya, menambah keasrian
taman itu. Rupanya keluarga Singo Abang memang kaya.
Tapi dimana laki-laki
itu? Katanya menunggu di taman, kok tidak tampak batang hidungnya.
Enggar berjalan menuju
tepi kolam. Ada sebentuk bangku panjang yang dipayungi tanaman merambat di
atasnya. Dia duduk di situ, menanti kedatangan Singo Abang sambil mengagumi pemandangan
di sekitarnya.
Ada seseorang datang.
Seorang pemuda tampan dengan seekor burung elang di pergelangan tangan kirinya.
Enggar segera berdiri, bersiap untuk menyapa. Dia mungkin salah satu pangeran
yang tinggal di sini. Sepupu Singo Abang atau saudaranya. Semoga dia sekedar
lewat saja dan tidak menanyainya macam-macam. Dia belum berkoordinasi dengan
Singo Abang, harus ngomong apa pada siapa, menjawab ini bila ditanya itu.
Enggar siap tersenyum.
Pemuda itu menghentikan langkahnya dan tertegun melihatnya. Enggar jadi kikuk.
Apa ada yang salah dengannya? Apa dandanannya mencurigakan?
Keduanya akhirnya hanya
saling menatap. Enggar grogi. Dia bahkan berusaha untuk tidak menelan ludah,
agar tidak semakin salah tingkah.
“Ehem.” Laki-laki muda
itu berdehem sambil mengalihkan pandangan ke burung elang di pergelangan
tangannya. Bukannya berjalan menjauh, dia malah menghampiri Enggar dan duduk di
bangku panjang itu.
Enggar buru-buru
berdiri dan menundukkan kepala. Tidak berani menyapa duluan, takut ditanyai
macam-macam.
“Kenapa berdiri terus.
Duduklah,” kata pemuda yang mengelus sayap elangnya dan menyuruhnya terbang.
“Ahh!!” Enggar berseru
kaget sambil tangannya menunjuk muka laki-laki di dekatnya. Itu kan suara Singo
Abang! Enggar spontan membungkukkan badan untuk mengamati lebih dekat. “Bang.
Betul kamu Bang Singo?” tanya dia tidak percaya.
***
Tuesday, August 01, 2017
Gandrung #20
Gadis itu itu mengurung
diri di dalam pondok. Tidak bernafsu makan, tidak mau latihan beladiri, tidak
mau berbincang-bincang. Singo Abang sampai mendatangkan bala bantuan untuk
menghiburnya. Anak buahnya dan anak-anak didik Mpu Soma menyambangi Enggar bergantian.
Bogar membawa makanan-makanan enak. Sanip membawa celengan atau terakota yang
lucu-lucu. Jandul yang tidak pernah bicara itu pun rela datang menemui Enggar
untuk menunjukkan beberapa jurus pedang. Mpu Soma bahkan beberapa kali
berkunjung untuk membesarkan semangatnya.
Perhatian orang-orang
padanya sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan Enggar. Apalagi Singo
Abang berjanji mencari cara lain untuk membantunya. Selama ini Singo Abang bisa
dipercaya, jadi Enggar yakin dia akan benar-benar melakukannya.
Malam ini tidak seperti
biasanya Enggar melihat Singo Abang agak lain. Sesorean tadi laki-laki itu
murung. Sekarang saja Singo Abang duduk menyendiri di luar pendopo, sementara
orang-orang berkumpul di dalam mendengarkan Mpu Soma membacakan kitab. Enggar
mendatangi Singo Abang karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ada apa, Bang?” tanya
Enggar sambil duduk di sebelah Singo Abang. “Kulihat hari ini galau banget.
Terlalu lama hidup damai di sini, jadi kangen berantem ya?”
Gurauan Enggar hanya
mendapatkan sedikit senyuman dari Singo Abang. “Aku mendapat berita dari Haryo
kalau ibuku sakit keras. Keluargaku memintaku pulang.”
“Lhah, kenapa Abang
masih di sini? Pulanglah, temui ibumu. Pasti beliau senang kalau Abang datang. Siapa
tahu sakitnya karena merindukan Bang Singo. Abang sebenarnya juga rindu sama
ibumu kan? Aku baru beberapa minggu di sini sudah kangen setengah mati sama Bunda,
apalagi Abang yang sudah bertahun-tahun,” tukas Enggar.
Singo Abang menghela
napas. Kepergiannya waktu itu penuh dengan cerita kepedihan dan kebencian. Meskipun
luka hatinya sudah mulai sembuh, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk
memulai komunikasi lagi dengan kedua orang tuanya.
Tapi pengalaman demi
pengalaman selama berpetualang di luar istana memberinya pelajaran, bahwa kesedihan,
kemarahan, kebencian dan egoisme yang tinggi tidak akan membawanya kemana-mana
kecuali kerusakan pada diri sendiri.
Selain masih adanya
rasa enggan dan canggung untuk pulang, Singo Abang juga kepikiran Enggar. Kalau
dia pulang, apa dia harus meninggalkan Enggar? Atau membawa Enggar serta ke
istana dimana ada sebagian orang mengenalinya sebagai Putri Anggoro?
Pasti akan muncul
masalah, apalagi Cakrawaja saat ini berada di penjara istana. Meskipun tubuhnya
terkurung di balik tahanan, orang-orang Cakrawaja masih bebas berkeliaran dan
Singo Abang sangat yakin keselamatan Enggar tidak bisa dijamin. Apalagi jika
nanti Singo Abang harus fokus pada rekonsiliasi hubungannya dengan keluarganya.
“Oh ya, rumah Bang
Singo dimana? Kotaraja?” tebak Enggar.
“Iya. Kamu ikut
denganku kalau aku pulang?” tanya Singo Abang.
“Ya iya lah. Di seluruh
Majapahit orang yang kukenal baik dan kupercaya hanya Abang saja. Kemanapun
Abang pergi aku pasti ikut,” jawab Enggar enteng.
Gadis itu tidak tahu
betapa senangnya Singo Abang mendengar kata-katanya. Mati-matian laki-laki itu
menahan senyum bahagia.
“Kalau kau mau ikut
denganku, sebaiknya kukatakan keadaan yang sebenarnya di tempat tinggalku. Jangan
sampai kau kaget dan merasa tidak enak, apalagi tidak betah. Ini juga untuk mengantisipasi
masalah yang bisa saja terjadi di rumahku nanti.”
“Bikin penasaran banget.
Memangnya kenapa sih, Bang? Rumahnya tidak punya kamar tamu?” sela Enggar.
Singo Abang melirik sebal.
“Sebenarnya aku tidak
hanya tinggal di kotaraja, tetapi aku tinggal di komplek istana.” Singo Abang
menunggu komentar Enggar. Karena tidak ada komentar, Singo Abang meneruskan.
“Orang tuaku adalah salah satu menteri di kerajaan Majapahit.”
Enggar belum juga
komentar. Mungkin karena gadis itu tidak begitu saja percaya akan pengakuan
Singo Abang dan perlu waktu untuk mencerna informasi penting barusan.
“Tapi itu bukan hal
yang bisa menimbulkan masalah. Ada hal yang lebih serius yang akan kamu hadapi.
Di sana nanti kamu pasti dianggap sebagai Putri Anggoro, sebagian orang sudah
mengenalnya karena Putri Anggoro kekasih Pangeran Palawa. Mereka akan menikah
setelah Pangeran Palawa pulang dari negeri seberang dan itu tidak akan lama
lagi. Dalam beberapa hari ke depan Pangeran Palawa akan datang,” ujar Singo
Abang hati-hati.
Mata Enggar melebar. Napasnya
mulai tak beraturan.
“P..Pangeran Palawa
calon suami Puteri Anggoro? Oooohh....” Enggar memegang lengan Singo Abang,
merasa tekanan darahnya tiba-tiba turun. Memikirkan dia akan bertemu Pangeran
Palawa dan menjadi kekasihnya membuat kepala Enggar pusing. “Ada yang bawa air
minum?” tanya Enggar.
“Jadi bagaimana,
menurutmu aku harus pulang?” Singo Abang meminta pertimbangan Enggar.
“Beri aku waktu untuk
berpikir. Otakku kekurangan oksigen.” Enggar mengambil napas dalam-dalam untuk
mengurangi pening.
“Aku bisa saja
menitipkanmu di salah satu rumah kerabatku di kotaraja agar kamu terhindar dari
masalah Anggoro, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku tidak mau
kehilanganmu lagi,” kata Singo Abang, tak sadar menatap Enggar dengan penuh
arti.
“Hah?” Enggar terkejut
mendengar kata-kata Singo Abang.
“Oh, eh, maksudku kamu
kan suka kabur kalau aku lengah, apalagi kalau kutinggal pergi. Tersesat di
kotaraja lebih mengerikan dibanding tersesat di hutan atau di gunung. Begitu,”
ralat Singo Abang sebelum keadaan makin membuatnya kikuk karena wajah Enggar
jadi merah merona.
Enggar menundukkan
kepala yang terasa mengeluarkan uap panas. Seluruh tubuhnya diselimuti sensasi
aneh yang menghangatkan. Mungkin Singo Abang merasakan hal yang sama, terbukti sikap
tubuhnya menjadi sedikit kaku dan canggung.
“Bagaimana? Aku akan
sangat senang sekali kalau kamu mau ikut aku ke istana,” kata Singo Abang
sambil berdehem keras untuk menghilangkan atmosfer aneh yang mengelilingi
mereka.
“Coba kuhitung-hitung
resikonya. Di Ketanggung sudah tipis harapanku untuk bisa dipulangkan ke masa
depan. Tetap berada di sini juga tidak menjamin keamananku. Cepat atau lambat masalah Puteri
Anggoro palsu akan terungkap. Mumpung ada di Majapahit, apa salahnya aku datang
ke istana? Siapa tahu di istana nanti malah ada titik cerah. Istana berisi
banyak orang pintar dan berilmu, mungkin ada yang bisa membantu.”
“Aku senang kamu penuh
harapan.”
“Apa hal terburuk yang
bisa kualami di istana? Pangeran Palawa tentu bukan orang yang sempit pikiran dan
tetap memaksakan menikahiku kalau tahu aku bukan Anggoro. Tentang Cakrawaja,
dia ada di penjara yang penjagaannya tentu lebih ketat. Tentang orang-orang
yang mengenalku sebagai Anggoro terkait dengan rencana apapun yang sedang
disusun orang Mertabumi dan Sadeng, ada Bang Singo dan Mas Haryo yang mau
membantuku.”
Singo Abang menghela
napas pendek, tidak sepakat Haryo dibawa-bawa.
“Baik, aku akan ikut
Bang Singo ke istana!” putus Enggar dengan senyuman lebar. Betapa banyak hal
yang akan disaksikannya nanti di pusat kerajaan Majapahit. Itu akan menjadi
pengalaman yang tak akan terulang lagi di hidupnya.
***
Monday, July 03, 2017
Gandrung #19
Kabut sudah mulai
turun. Tipis mengambang. Matahari mengintip dari balik punggung gunung.
Kehangatannya hanya mampu sedikit menembus sejuknya titik-titik air di udara.
Sebentar lagi sore berakhir.
Singo Abang gelisah di
gerbang kediaman Mpu Soma. Ini hari ketiga semenjak Enggar dan Mpu Soma pergi.
Seharusnya dia menahan Enggar agar tidak pergi. Kalau gadis itu benar-benar
kembali ke jamannya, dia tidak akan bertemu lagi. Perpisahan mereka beberapa
hari lalu sangat tidak mengenakkan karena keduanya saling diam, jadi Singo
Abang akan sangat menyesal kalau Enggar benar-benar pergi.
Laki-laki itu mengguncang-guncang
pohon di sebelahnya dengan gemas. Beberapa daun dan ranting kecil menimpanya.
Seekor monyet melompat turun dari pohon karena terganggu oleh guncangan itu.
Rupanya Jambul Abang.
Singo Abang melirik
Jambul Abang. “Dia sudah pergi, jadi tidak ada yang bisa kamu kejar lagi, Mbul.
Si cerewet itu sudah balik ke alamnya,” kata Singo Abang. “Kamu tidak kangen
mengganggu Enggar lagi, Mbul?”
Laki-laki itu pun duduk di bawah pohon ditemani
Jambul Abang. Mereka berdua sesekali saling melihat.
“Kamu pernah mengalami hal aneh seperti ini, Mbul? Membiarkan,
tapi sebenarnya tidak rela. Mendukungnya pergi, tapi sangat mengharap dia
kembali. Tidak tahan dia ada di sekitarmu, tapi tidak sanggup juga kalau dia
tidak ada. Tahu apa itu artinya? Itu artinya kamu sudah gila,” simpul Singo
Abang. “Dan aku sudah gila bicara pada monyet.”
Matahari sudah
bersembunyi. Hanya bias cahayanya saja yang masih mewarnai langit. Singo Abang
mendengar suara derap kuda. Semakin mendekat semakin kuat debar jantungnya.
Ketika dia berdiri, dari belokan muncul Mpu Soma. Sendirian. Rasa kecewa
menguasainya. Jadi Enggar benar-benar pergi.
“Kamu menungguku,
Barata?” Mpu Soma turun dari kuda. Singo Abang belum beranjak dari tempatnya
berdiri. Dia melihat ke arah belakang Mpu Soma, berharap menemukan Enggar.
“Ap...apa Enggar sudah
kembali ke masanya?” tanya Singo Abang. Mpu Soma tidak menjawab. Hanya menepuk
pundak Singo Abang beberapa kali kemudian menuntun kudanya memasuki halaman.
Singo Abang masih
mematung beberapa waktu, seperti menunggu. Dia menggelengkan kepala dan menghela
napas panjang. “Dia sudah pergi, Mbul,” katanya pada Jambul Abang. Dengan
langkah lesu laki-laki itu berjalan meninggalkan gerbang dan Si Jambul. Rasanya
seperti kehilangan Shiao Lan untuk kedua kali.
Kalau yang dulu dia
memang tidak dapat kesempatan mengutarakan isi hatinya pada Shiao Lan. Singo
Abang tengah dikirim ke kerajaan tetangga untuk membantu Pangeran Palawa, dan
saat kembali ke istana dia mendapat kabar kapal yang membawa Shiao Lan dan
keluarganya karam dihajar badai. Tidak ada yang selamat. Kalau sekarang dia
punya kesempatan bicara tapi dirusak sendiri olehnya dengan menciptakan suasana
tidak nyaman di hari terakhir Enggar akan pergi, karena cemburu pada Haryo.
“Jandul, apa kau
baik-baik saja?” tanya Singo Abang yang bertemu Jandul di klinik bersama Pak
Susatra. Jandul kena sedikit luka bakar.
Jandul mengangguk tanda
dia baik-baik saja. Laki-laki itu menanyakan hal yang sama pada Singo Abang
yang dijawab dengan anggukkan kepala juga. Tapi saat Jandul memberi isyarat
mengenai Enggar, Singo Abang menggeleng.
Saat itu terdengar
Jambul Abang ribut di depan sana. Semula tidak diperhatikan oleh mereka, Monyet
itu memang suka berisik, tapi lama-lama tingkahnya menjadi.
Singo Abang membalikkan
badan. Dilihatnya monyet itu mondar-mandir dan berteriak tidak keruan, lalu
lari keluar komplek. Kalau kebiasaannya tidak berubah, dia pasti sedang
mengejar seseorang. Dan selama ini hanya satu orang saja yang dikejarnya.
Berharap dugaannya
benar, secepat kilat Singo Abang melesat mengikuti Si Jambul. Ada suara gemuruh
di telinganya yang berasal dari detak jantungnya.
“Aaaaahh!! Pergi!
Pergi! Pergiiiiiiiiiiiii...!” Seorang berteriak sambil menggerak-gerakkan
tongkat kayu, mengusir monyet yang hendak menyerangnya.
“Enggar!” seru Singo
Abang. Saat dia sudah berada di hadapan Enggar, serta merta dipeluknya gadis
itu erat-erat. Perasaan campur aduk meluap-luap, memenuhi seluruh aliran darah
lelaki itu. Seolah memastikan dia tidak bermimpi, Singo Abang tak ingin
melepaskan dekapannya dari Enggar.
“Kupikir aku tidak akan
bertemu kamu lagi,” bisik Singo Abang lega.
Ketakutan Enggar
terhadap Jambul Abang lumer seketika. Yang ada hanya rasa aman, hangat dan
bahagia.
Tatapan mata mereka
bertemu. Sekilas Enggar teringat peristiwa di danau bersama Singo Abang waktu
itu. Raut mukanya seketika memerah. Begitu juga dengan Singo Abang yang
tiba-tiba dilanda demam. Pelukan mereka terlepas, keduanya merasa canggung dan
salah tingkah.
“Aku senang bisa bertemu Bang Singo lagi, tapi
aku jadi tidak bisa pulang, Bang.” Suara Enggar serak hampir menangis.
Singo Abang mengulurkan
tangan, menghapus air mata gadis itu dengan lembut sambil berusaha keras untuk
tidak menaikkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman. “Kita akan cari
jalan lagi, jangan menyerah. Sekarang kamu istirahat dulu di pondok,” kata
Singo Abang. Enggar mengangguk. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku. Jangan terlalu
bersedih. Pasti ada jalan untuk kamu pulang,” hiburnya.
Enggar tidak
berkomentar. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi itu
sama sekali tidak dipedulikan Singo Abang. Hatinya terlalu bahagia dengan
keberadaan Enggar di sisinya.
Enggar langsung masuk
ke pondoknya dan menutup pintu. Singo Abang mengangguk-anggukkan kepala.
Senyumnya nggak ditutup-tutupi lagi.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)